Saturday, 10 July 2010

Forced to Close

Blog ini ditutup untuk sementara karena naskah The Myth hilang waktu komputer saya diserang virus trojan. Untuk itu mohon menunggu sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Atas perhatiannya terima kasih.

Sunday, 13 June 2010

CHAPTER 17 - Skak!

Tak hanya Éleon yang menyadari kenihilan Témpust di tempat itu.

Enrico tersadar, di seluruh tempat dia tak bisa menemui Témpust, padahal seharusnya Témpust memimpin peperangan ini. Dia juga sadar, pertarungannya dengan Klaha belum usai. Dia hanya agak mengendurkan perhatiannya pada Klaha. Makhluk itu sudah banyak menguras tenaga Enrico, hanya untuk menembus kulitnya yang sekeras beton. Lebih banyak bertahan, fokus pada pengembalian energi, sambil mencari kelemahan Klaha. Pelahan tenaganya kembali. Meskipun kelemahan Klaha belum ditemukan, Enrico akan menyerang lagi, mungkin hingga Klaha kelelahan, atau hingga tenaganya habis lagi. Dia mulai menikmati pertempuran ini, sebagaimana yang dirinya lakukan di saat masa-masa keemasannya.

Tapi pikiran itu terus membawanya pada kecemasan.

Mungkinkah sesuatu yang buruk akan terjadi setelah ini?

Sesekali pandangannya berhasil menangkap pemandangan yang meyakinkan kekhawatirannya. Wajah Éleon yang terlihat, tak ubahnya menyiratkan pemikiran yang persis dengannya. Tak ada waktu lama bagi Enrico untuk memikirkan hal semacam itu. Si gila Klaha sudah menyerbu membabi buta. Puing-puing batu berhamburan, menyebar debu-debu hingga pandangan keduanya buyar. Tangan-tangan Klaha tetap tak mau berhenti sampai di situ.

“Kalian yang akan jatuh! Kalian semua!” geram monster itu.

“Hentikan omong kosongmu itu! Akan kubalaskan perlakuanmu pada Deven!”

Saat pertarungan dua makhluk hebat itu berlangsung, sangkakala Comdred berbunyi nyaring. Tak ada apapun, tak ada siapapun yang bisa menghalangi kapal-kapal baru itu merapat ke dermaga Eagle Harbour. Para pengusung meriam telah berpegang pada sebilah pedangnya masing-masing di atas tanah. Tak ada letusan untuk menggempur. Para pejuang sudah letih bila harus melayani pasukan baru dari Benua Tengah, pasukan persekutuan itu merepotkan.

Lagi dan lagi.

Kegagalan itu tampak jelas, seperti sudah diramalkan di hadapan mereka. Kegigihan itu diuji dengan kedatangan dua ribu lima ratus manusia pengusung nama Lord Demetria Avalen di dadanya. Kali ini benar-benar manusia. Entah apa maksudnya mereka itu mengirim banyak manusia, di saat Abodh sebenarnya lebih merepotkan untuk ditangani pejuang-pejuang.

Éleon menarik nafasnya dalam-dalam. Tangannya bergetar hebat. Guncangan itu merambat menuju jantungnya. Pejuang kebebasan memang belum berkurang banyak, tapi melawan orang yang jumlahnya sepuluh kali lipat dari mereka, itu nyaris mustahil baginya. Dengan mata terpejam dan gelengan kepala menebas pikiran itu, dia maju menyerbu rombongan baru itu dengan teriakan keras.

“Usir mereka dari tanah kita!!!”

Seratus tiga puluh yang tersisa dari dua ratus orang di pihak pejuang kebebasan. Di sisi lain, jumlah penyerang Abodh telah menyentuh angka seratus. Sesuatu yang sebenarnya sudah dapat dianggap sebagai sebuah keajaiban dalam perang antara manusia dan ras lain.

Dua puluh pemanah didikan Cazar Balamug bersiaga di atas menara-menara di sepanjang jalan Eagle Harbour. Mereka terus menghujani serdadu Comdred dengan panah-panah bermata ulir. Sekali tali busur dilepaskan, panah itu akan berputar deras, mengoyak-ngoyak lapisan otot Abodh yang begitu tebal. Berdasarkan pemikiran Témpust, panah itulah yang terus mereka gunakan hingga kini, termasuk saat Témpust menancapkan panahnya ke tangan Demetria di kemah para bandit.

Kini serdadu Benua Tengah-lah yang menjadi sasaran mereka. Kesigapan para pemanah melahirkan sebuah serangan pembuka yang menewaskan dua puluh musuh baru. Bak hujan, kayu-kayu tipi situ terus mengalir, menghujam tanah. Dari atas, mereka bisa melihat keberanian seorang Hamanidiosalfar bernama Éleonais Markourith untuk memimpin rekannya menyerbu ke dermaga. Para pemanah tahu mereka harus menamatkan riwayat para Abodh terlebih dahulu. Target mereka kini adalah seratus Abodh yang tersisa.

Di dermaga, terpisah jauh dari Enrico, Éleon mengibaskan pedangnya untuk memutus kehidupan ribuan musuhnya. Teriakan musuh di depannya terdengar seperti deru ombak raksasa dari laut. Namun erangan serdadu-serdadu itu sama sekali tak melunturkan degupan amarahnya. Tak ada mulut yang memungkiri kehebatannya dalam berpedang. Kecekatannya sebagai manusia setengah Elf telah melahirkan kemampuan berpedang yang melebihi manusia normal. Bersama pedang dengan dua sisi mata, yang gagangnya dibalut kain putih itu, dia menghajar sepuluh orang secara beruntun. Mereka berjatuhan bagai domino yang tersentuh jari tangan. Bukan wajah lelah yang tergambar di wajah Éleon, hanya ada kecemasan yang berlarut-larut.

Dimana Témpust? Mengapa dia belum juga kembali?

Hatinya selalu terbeban untuk memikirkan itu. Dia tak bisa terlalu lama terpaku pada sekelibat masalah yang membuat hatinya bisa begitu gusar. Rasanya seluruh pejuang kebebasan juga sudah mulai menyadari ketidakberadaan Témpust di tempat itu. Bukan karena mereka benar-benar melihat pria itu pergi, namun teriakan Éleon barusan telah menyadarkan mereka. Seharusnya seorang Témpust yang melakukan itu, bukan Éleonais Baldmur, walaupun dengan segala alasan posisinya sebagai pimpinan Eagle Harbour. Di sini, semua pejuang kebebasan berkumpul, dan pimpinan mereka kini hanya satu, Lampros Témpust keturunan Panglima Besar Kertest. Tapi orang-orang itu secepatnya sadar kalau Éleon melakukannya demi mereka, demi membakar semangat mereka yang sudah mulai tertimbun keletihan. Mereka bingung apakah harus kecewa terhadap Témpust yang pergi tanpa berkata apapun pada mereka. Kini tak ada waktu bagi mereka, sebab masih ada seribu sembilan ratusan manusia yang harus mereka babat habis.

“Panah api, bersiap!” teriak komando dari atas menara.

Titus Vallam menahan kata-kata komando di mulutnya untuk diluncurkan di saat yang tepat.

Tangan-tangan terlatih dari tiap menara membidik kapal terakhir berisi enam ratusan manusia untuk menggenapi dua ribu pasukan manusia. Kapal itu mulai mendekati dermaga untuk menurunkan kematian pada para pejuang kebebasan.

“Lepaskan!”

Desingan-desingan puluhan anak panah itu pun melesat kencang, menyambar kemapanan kapal itu. Layar mereka mulai dihinggapi lidah-lidah api dari panah-panah kurus, terus melalap sampai ke tiang-tiang kayunya. Seluruh penghuni kapal itu panik dan berhamburan ke laut. Sebagian dari mereka terbakar, sambil mengerang-ngerang kepanasan. Sebagian lagi mati tertembus panah, sebelum tubuhnya mencapai lautan. Kapal itu pun hampir sepenuhnya dijatuhkan. Tapi lebih dari separuhnya selamat, mereka tengah merenangi sisa lautan di antara kapal dan dermaga.

Pasukan musuh dari kapal nomor dua adalah bantuan dari pihak benua Barat yang dikenal dengan pelatihan pedang terbaik. Mereka lihai, walaupun tak selihai Éleon. Tubuh mereka dilapisi jubah tempur hitam mengkilat, dari bahu, dada, hingga kaki. Bagian yang tak terlindungi amor dibalut oleh seragam biru muda, dengan garis merah di ujung-ujungnya. Pelindung kepala mereka hanya menyisakan mata-mata bengis yang tersingkap. Mereka memakai pedang lurus dengan gerigi hanya di awal mata pedang. Segulungan kain hitam terikat di masing-masing lengan kiri mereka, sebagai pertanda persekutuan dengan benteng Comdred.

Éleon melihat itu sebagai sebuah bahaya besar. Mereka harus dihalau, setidak-tidaknya mengurangi jumlah mereka akan sangat baik untuk dia dan pasukannya. Dia ingat obor-obor di Eagle Harbour memakai minyak dari kulit pohon Gatte yang mudah terbakar, begitu pula anak-anak panah yang ditembakkan barusan. Minyak itu sulit sekali dihilangkan bila tersentuh di tangan. Mungkin ini akan berhasil menghalau lima ratusan serdadu yang tersisa.

Tujuh orang pejuang kebebasan membuka jalan menuju dermaga, mereka mengawal dua puluh tong berisi getah pohon gatte yang dibopong meuju dermaga. Éleon adalah salah satunya, dia bahkan berdiri paling depan. Tanpa ampun, dihabisinya para penghalang jalan, sesekali Éleon melempar mayat mereka ke laut, sambil terus mengerang. Tarian pedang ketujuh orang itu meninggalkan celah kosong untuk dilalui, mereka menapak cepat ke tepian dermaga.

“Buka, celupkan pedang kalian!” perintah Éleon sambil menjagai mereka dari datangnya serangan lanjutan.

“Untuk apa? Ini bahkan bisa membakar tangan kami,” gemetar salah seorang di antaranya, meskipun dia menurut juga untuk membukanya.

“Menyediakan penyambutan untuk mereka, Saudaraku. Lagipula, aku lebih rela kehilangan tanganku daripada harus terpenggal di sini.” Éleon menyelesaikan tebasan terakhir, satu tubuh tak bernyawa tergeletak di depannya. Kemudian dia berjalan ke belakang, menghampiri tong di samping si penanya. Sambil menenggelamkan mata pedangnya ke dalam getah gatte, Éleon berujar sinis, “Apa itu menjadi masalah jika hanya mata pedangnya saja, Tuan Pejuang?”

Lawan bicaranya menggeleng gemetar, rasanya dia lebih takut pada Éleon, dibandingkan ribuan musuh-musuhnya.

“Bagus,” senyumnya datar. “Kalian semua, lakukan seperti apa yang kulakukan!” perintahnya pada dua puluh enam pejuang lain.

Tanpa banyak percakapan lanjutan, mereka menurut saja. Lempengan-lempengan logan tajam itu dicelupkan, perlahan-lahan diangkat agar tidak menetes ke tangan mereka.

“Éleon, lalu akan diapakan sisanya?”

“Tuang ke dinding dermaga, buang ke laut,” jawabnya sembari menghantam datangnya serdadu lain dengan ujung gagang pedang. Éleon tak tampak ingin menyia-nyiakan getah Gatte di mata pedangnya.

Gemercik getah kental itupun terdengar. Perlahan namun pasti permukaan air laut berubah warna, dipenuhi kilapan minyak, bercampur dengan sedikit warna kemerah-merahan—dari getah Gatte, juga warna darah para penyerbu.

“Cukup, jangan tuang semuanya,” cegah Éleon. “Aku ingin penyambutan yang lebih meriah,” ujarnya dengan senyum percaya diri, saat tinggal empat tong yang tersisa.

Empat tong itu ditinggalkan begitu saja di pinggir-pinggir dermaga. Serentak mereka mundur ke tengah Eagle Harbour. Sesekali Éleon menghentikan derapan sepatunya, dia menengok ke belakang untuk memastikan musuhnya berenang ke arah yang tepat. Mereka tak mungkin memutar, terlalu jauh, mereka pasti tak ingin membuang tenaga. Begitu pikirnya, hingga dia memutuskan untuk mencemari jalur terdekat.

Tampaknya serdadu-serdadu itu mengikuti apa yang diinginkan Éleon. Satu persatu kuku-kuku besi menancap di tepi-tepi dermaga, diikuti oleh tambang panjang menuju ke laut. Meskipun tergelincir jatuh oleh licinnya dinding, gerombolan serdadu itu tetap berusaha memijak kaki-kaki mereka sampai ke atas dermaga. Tak berapa lama, tepian dermaga disesaki oleh para serdadu.

Éleon tersenyum puas. Kemudian dia berteriak amat keras, “Menara!! Lepaskan panah-panah api ke dermaga!!” sambil menunjuk kerumunan itu dengan pedangnya.
Tanpa menunggu lama, Titus Vallam mengalihkan serangannya seperti yang Éleon minta. Puluhan anak panah segera menghujani ujung dermaga. Para serdadu berhamburan panik. Saat tubuh serdadu lain mulai terbakar, mereka sadar, mereka telah terperangkap jebakan Éleon–sebab Éleon tahu, pohon Gatte tidak pernah ada di Benua Barat, mustahil serdadu Benua Barat mengenalnya, dia tahu itu sejak mengamati warna baju perang mereka.

Salah satu anak panah berjalan sesuai kehendak Éleon, menancap di tong-tong yang ditinggalkannya.

Dari kejauhan Éleon lega melihatnya, ledakan besar menggaungkan suara yang memecah-belah pasukan musuh di dermaga. Ledakan itu melempar banyak musuh kembali ke lautan. Kobaran api dengan cepat merambat ke sela-sela siraman getah di dinding dermaga, membakar serdadu yang tengah memanjat, bahkan mengobarkan api di lautan. Rintihan mereka seakan mendominasi riuhnya pertempuran Eagle Harbour. Mata Éleon terus mengamati kejadian itu, dia sadar beberapa musuhnya berhasil lolos dari ledakan itu—tapi tidak dari getah Gatte.

Dia berbalik arah, Éleon kembali ke arah dermaga, memburu sisa-sisa serdadu. Hujan anak panah api masih belum berhenti, namun Éleon terus mendekat ke area serangan, tanpa memberikan tanda untuk berhenti pada pemanah–pemanah di menara.

“Titus! Titus!” ujar salah seorang pemanah dari menara lain gelagapan. Jilatan api di ujung panahnya langsung dicelupkan ke dalam ember kayu berisi air. Dia melihat Éleon di sana. “Itu pimpinan! Dia bisa kena!”

Titus terdiam, dia mengendurkan kembali tali busurnya. “Astaga, kau benar…” ucapnya terkejut, sekaligus bertanya-tanya di dalam pikirannya. “Mau apa orang gila itu?”

Melihat Titus berhenti, yang lainnya pun tak lagi meluncurkan anak panah.

Dari menara itu, tangan Éleon tampak seperti batang lidi, namun jelas sekali tangannya menunjuk ke langit sambil menghunus pedang. Sejenak Titus diam berpikir, apakah itu sebuah isyarat, atau hanya luapan emosi Éleon semata. Nyatanya Éleon terus menahan posisi pedangnya seperti itu, sampai Titus membulatkan tebakannya. Dia tersenyum heran, sambil menggelengkan kepala, lalu dengan sedikit percikan dari obor yang tergantung di tiang menara, dia mengobarkan kembali api di anak panahnya. Alisnya mengernyit tajam, sebelah matanya ditutup rapat-rapat, sambil menahan nafasnya, bukan membidik musuh melainkan Éleon.

Siapapun atas menara, meskipun tidak melihat dari sudut pandang Titus, pasti akan mengerti juga apa target dari panah Titus.

“Titus! Kau ini gila atau apa?” sergap seseorang dari seberang menara dengan semburan kata-katanya.

“Gila…” gumam Titus tak serius sambil terus tersenyum. “Tahukah kau siapa yang lebih gila daripadaku?” ujarnya sedikit lebih keras. Sepertiya bidikan Titus sudah mantap, dia tak ingin diganggu dulu saat ini.

Pemanah lainnya tetap mencegah bidikan Titus. “Bodoh! Kau membahayakan Éleon, turunkan busurmu!”

Titus terkekeh kecil, hanya sekali, sebab dia tak ingin tangannya berguncang terlalu banyak. “Tepat sekali!” teriaknya sesaat setelah anak panah terlepas dari tangan. Hatinya hanya berharap, semoga benar-benar tepat.

Tangan Éleon bergetar, pedangnya agak terpental ke depan. Saat itu dia sadar, pedangnya sudah menyala-nyala, kobaran api tersulut dari anak panah Titus yang datang menyambar. Tak berselang lama, medan pertempuran baru kini mengepungnya, antara tiga ratus orang melawan satu. Éleon menyergap satu orang dengan hujaman lurus dari atas, sayangnya serangan itu masih dipatahkan oleh tangkisan pedang. Éleon mengibasnya lagi, kali ini secepat kilat pedangnya sudah mengoyak bagian dada sang musuh, darah memancar seiring api merambat. Kemudian kakinya mendorong orang itu jauh-jauh, dua-tiga orang bertubrukan dengannya, api menyala lebih besar lagi.

“Berkobarlah, berkobarlah!” teriak Titus sambil tertawa puas, dia lega anak panahnya tidak melenceng.

Bala bantuan datang melapis Éleon. Mereka berlari tergopoh-gopoh, berteriak membakar semangat, sampai semua perasaan kecut itu lenyap tak tersisa. Éleon meluruskan pedangnya, sebagian dari mereka membenturkan pedangnya ke sana agar api merambat, sebagian lagi mengambil api dari sisa pembantaian Éleon. Maka berkobarlah pedang-pedang lain. Api itu terus terjalin, hingga dua puluh tujuh orang berpedang api berhasil mengobrak-abrik tiga ratus serdadu yang tersisa.

Kurang lebih satu jam berlalu, getah pohon Gatte benar-benar efektif, pertempuran di tepian dermaga selesai. Éleon tak percaya ini, tapi mereka benar-benar telah mengakhiri nyawa tiga ratus orang, hanya dengan jumlah pejuang sekecil ini. Hanya sesaat dia menghembus nafas lega, pikirannya langsung terusik.

Apakah ini tidak terlalu mudah?

Éleon terdiam sejenak, di antara kobaran api dari mayat-mayat sekutu Benua Barat yang bergelimpangan di sekelilingnya. Salah satunya telah padam, sama seperti padamnya pedang Éleon. Pria itu lekas mendekati. Sebilah belati ditariknya dari balik pinggang, sesuatu mendorongnya untuk membuka armor mayat ini. Sedikit-demi sedikit, pikiran Éleon terhujami suara-suara desingan anak panah dan kobaran api yang terus menggema berulang-ulang. Mayat ini terlalu kurus, dia terlalu kurus untuk menjadi seorang serdadu persekutuan Benua. Éleon bisa melihat goresan-goresan luka di dadanya, seperti cambuk, bekas luka yang saling timpa-menimpa. Dengan penuh ketergesa-gesaan, dia beralih pada mayat lain, ke yang lain lagi, kemudian berpindah lagi, sampai dia menyerah. Éleon tak lagi sanggup untuk mengelak, goresan luka pada mayat-mayat itu serupa, bagaimanapun Éleon coba menyangkalnya.

“Oh, Frey…” gumamnya terhenyak. “Ampuni aku, ampuni kami…”

Rasanya ingin sekali dia menarik kembali juntaian tali-tali waktu, kembali pada saat sangkakala kedatangan kapal itu berkumandang, jauh sebelum nafsu membunuhnya terumbar. Tapi dengan tangan itu, tangan yang ia pandangi sekarang, dia hanya bisa meratap gemetar. Éleon tersungkur menatap lantai batu dengan rona-rona tetesan darah, tangannya gemetar, nafasnya memburu begitu hebatnya. Baru saja dia membantai ratusan manusia tak berdosa. Dengan tubuh sekurus itu, dia yakin, mereka hanyalah rakyat miskin yang diperalat oleh seseorang di balik sana—seseorang yang merencanakan penyerangan ini.

“Pimpinan! Kembali ke kota, mereka butuh bantuan!” teriak bawahannya, dia berdiri jauh penglihatan kusam Éleon, di tepi-tepi bangunan dari Eagle Harbour, dimana asap-asap putih mengepul tipis, disusul teriakan-teriakan—bukan teriakan pembakar semangat, tapi jeritan kekalahan.

Dia tak tahu berapa lama dihabiskannya dalam lamunan, hanya berdiri diam memandangi kota. Pihaknya yang berada dalam kondisi terjepit, sebuah kenyataan pahit. Keberhasilan barusan mungkin hanyalah hiburan dari dewa Theon yang sudah meramalkan kekalahan mereka dari awal.

Mungkinkah ini akhir dari perjuangan kami?

Sejenak dia mengadahkan kepala ke langit, memohon kehadiran Valkyrie di pihak mereka sekarang.

Semilir angin berhembus tak lebih dari tiga detik, mengibaskan satu persatu helaian rambutnya yang lengket oleh darah, terasa dingin saat merambati tubuh yang diselimuti peluh.. Dia terkejut setengah mati, Éleon hampir lupa tentang hal yang satu ini. Angin itu datang membawa kabar, kehadiran mereka yang terkutuk. Desirannya menyisir seluruh penjuru Eagle Harbour hingga ke dermaga pertarungan. Untuk beberapa saat pertempuran Enrico dan Klaha berhenti. Mereka sadar ada sesuatu yang tak pernah mereka temui di dimensi Maya. Sesuatu itu kini akan menyambangi tempat itu.

Suara jeritan tipis dan parau terdengar melengking hingga ke arena pertempuran.

Pertempuran panas itu terhenti beberapa saat. Jeritan itu membuat ratusan pasang mata terpaku ke sela-sela kegelapan hutan. Mereka menanti perwujudan dari suara mengerikan itu. Semua suara seakan sepakat untuk diam tanpa perintah. Ricuh akibat perang berganti irama jantung yang berpadu kacau. Bulu kuduk mereka mulai digerayangi kengerian sebab suara itu terdengar lagi.

Tak hanya sekali, berkali-kali.

Experta Warcouranta!!!” menyusul sebuah jeritan serak yang terdengar memimpin seluruh jeritan-jeritan lainnya. Setelahnya terdengar sahutan mengerikan menderu-deru.

Sekelebat bayangan-bayangan hitam melesat cepat tanpa mampu terlihat jelas oleh manusia-manusia itu. Mereka berhamburan keluar dari sela-sela pohon rindang berdaun tebal, bak sekawanan burung gagak yang matanya terbelalak oleh ladang jagung. Mereka datang seperti untaian pedang-pedang yang memutuskan leher siapapun musuh mereka. Suara-suara mencekam itu menggetarkan keberanian kedua pihak. Par Aztandor berhamburan ke arah yang tak menentu, seperti capung dan menerjang mangsa secepat seekor elang.

Éleon menatapnya tanpa sekalipun berkedip..

Dia berdiri tegak dengan tangan memegang pedang, genggamannya bergetar penuh ketakutan. Baru kali ini dia dan matanya menyaksikan sendiri kehebatan Aztandor yang melegenda.

Bayangan-bayangan hitam itu meliuk-liuk di udara, lalu menghantam setiap musuh-musuh mereka. Seketika itulah, seluruh pejuang kebebasan tahu Aztandor berdiri di pihak mereka. Tangan-tangan kering para Aztandor menyergapi setiap wajah musuhnya, kemudian menarik keluar jiwa-jiwa mereka. Tubuh-tubuh kosong itu berjatuhan tanpa luka fisik dari Aztandor. Satu persatu bala tentara musuh mengalaminya. Pasukan pimpinan Klaha mengambil langkah seribu, mereka panik, sampai tak ada komando yang berani mengatur.

Semudah itulah Kaum Berjubah Hitam menanggalkan nyawa seseorang.

Para pejuang kebebasan hanya bisa diam di tempat mereka berdiri, sambil memandangi pemandangan itu. Berpasang-pasang mata mengikuti terus kelanjutan pembantaian itu. Hingga kini, barulah manusia-manusia dari pihak musuh memberanikan diri untuk memberikan perlawanan serius. Terlihatlah kelemahan yang nyata dari Aztandor. Meskipun mereka seperti iblis, malaikat pencabut nyawa, atau apapun itu, tapi di sisi lain, tubuh mereka adalah tubuh manusia, mereka masih mungkin diserang oleh tajamnya pedang dan tusukan anak panah. Namun biar bagaimanapun, para Aztandor masih sedikit lebih beruntung, mereka bisa terbang selincah seekor lalat, lagipula mereka tak bisa mati.

Klaha memisahkan pertempurannya dengan Enrico. Dia lebih sibuk menghardik gerombolan kain-kain hitam yang mengerubunginya. Ini bukanlah saat untuk menyerang Klaha, di saat dia sibuk. Tapi Enrico sadar ini saatnya untuk mundur sejenak dan mengisi kembali tenaganya. Lagi-lagi usia, dia kesal dengan hal yang membuatnya semakin lemah itu. Terpaksa dia turuti kehendak tubuhnya.

Para pejuang yang tercengang dikejutkan lagi oleh suara derap kuda dari balik hutan. Mereka tahu suara tapal sekuat ini adalah milik Vacour, kuda milik pimpinan pejuang kebebasan, Lampros Témpust. Bayangan hitam kanopi hutan perlahan memudar saat cahaya matahari memperlihatkan wajah terburu-buru Témpust. Kedatangannya disambut wajah lega para pejuang. Tanpa banyak kata, dia menghampiri Éleon yang tak menyadari kehadirannya.

“Maaf, kurasa kau tahu kemana perginya diriku,” ujarnya sedikit mengagetkan Éleon.

“Para Aztandor, Témpust. Mereka di pihak kita. Perjanjian apa yang telah kalian sepakati?” tanya Éleon cemas.

“Tak akan merugikan kita, Éleon.”

Datanglah pendeta berambut keperakan bernama Enrico di antara mereka.

“Kegilaan ini, Témpust. Aku harap sesuatu yang buruk tak akan menularimu dan seluruh pejuangmu,” tegas Enrico, alisnya berkerut.

“Kau akan sadari pentingnya hal ini saat kau berada di posisiku…” jawab Témpust tersela, kata-kata itu terhenti oleh gerakan kecil tangan Éleon yang seakan berkata, tenanglah sesaat.

Sebab saat itu mendadak Éleon merasakan sebuah kegelapan segera menyusul kehadiran para Aztandor. Dia pikir itu memang berasal dari Aztandor, tapi mengapa jantungnya lebih kuat berdetak saat ini, dia bertanya-tanya apakah ada lagi tamu-tamu yang tak diundang. Akhirnya dia meyakinkan diri kalau ini adalah kegelapan yang berbeda dengan apa yang digiring oleh para Aztandor. Wajahnya terlihat bingung.

“Kalian bisa merasakannya?”

Enrico dan Témpust mengernyitkan alis mereka hampir bersamaan. Mereka heran mengapa Éleon terus menatap aneh pada lautan luas di hadapan mereka.

“Suara-suara itu, kekuatan hitam yang lebih dahsyat dari para Aztandor. Mungkinkah mereka juga adalah kerabat para Aztandor yang datang menyusul?” tanya Éleon dengan nada menggantung.

Di saat kebingungan Éleon itu, situasi telah berbalik. Pejuang kebebasan terbebas dari kepungan manusia-manusia penyerang. Para Aztandor telah membersihkan keberadaan mereka dengan sempurna. Kini, hanya tinggal menunggu waktu bagi Qasfar untuk menagih janji dari Témpust. Impian memiliki tubuh baru yang lebih kuat sudah menanti di hadapan mata-mata hitam para Aztandor. Pemimpin dari kaum Aztandor itu menatap puas bagi hasil pekerjaannya. Seluruh tubuh yang telah jatuh ini, adalah milik kaumnya.

Sampai…

Aliran kekuatan di luar nalar mengalir melewati penerawangan Éleon. Kekuatan itu bagaikan ribuan kuda kekar yang berlari menerobos jurang kematian. Mendadak batas antara kehidupan dan kematian dilanggar. Kehidupan berhembus ke dalam pusaran medan perang ini, terbawa kegelapan yang disadari Éleon sejak tadi. Mayat-mayat musuh yang telah kehilangan nyawanya mulai berdiri lemah, dan dengan amat perlahan mengangkat kembali pedang-pedang mereka. Satu persatu korban dari para Aztandor mulai menapaki tanah dengan kaki mereka sendiri, walaupun tak ada nyawa di dalam tubuh mereka. Qasfar menyadari ada yang aneh dari kejadian ini. Manteranya tak mungkin salah. Jika begitu, dia pun tak bisa menerima ada kekuatan sebesar itu, kekuatan yang menggerakan ratusan mayat untuk bangkit kembali.

“Apa-apaan ini?” ujar Témpust. Dia menarik keluar Broad Sword dari sarung di pinggangnya.

Enrico tersentak oleh ingatannya beberapa hari yang lalu. Mayat-mayat hidup yang dia temukan di dimensi Maya, dia tak yakin apakah mayat-mayat hidup itu sama seperti yang dia lihat sekarang. Kekuatan gelap yang membungkus mereka memang terlihat serupa.

“Kurasa aku sudah biasa menghadapi hal-hal semacam ini. Cukup belah saja kepala mereka dan erangan-erangan memuakkan itu akan terhenti,” ujarnya kesal.

“Mataku telah menyadarinya, ikatan tubuh mereka dengan Benteng Tengah. Mereka tak akan mati sebelum sesuatu yang mengendalikan mereka di ujung lautan sana mengakui kekalahan armadanya kali ini,” ujar Éleon pelan.

“Maksudmu tidak cukup hanya dengan kepala?” ulang Enrico.

“Jika kau ingin mencobanya, aku tak akan melarangmu,” jawab Éleon. “Kita juga tak bisa hanya diam di sini dan menanti penyihir itu kelelahan dengan manteranya, bukan?”

“Sebaiknya penyihir itu sudah terlalu tua untuk bisa menahan makhluk-makhluk ini dalam waktu yang lama,” timpal Témpust.

Dengan penglihatan perinya, Éleon mampu melihat kuasa magis dalam setiap tubuh tak bernyawa ini. Tangan-tangan kekelaman yang menggenggam tubuh mereka bagai boneka. Dia juga bisa melihat bagaimana para penjemput nyawa, kaum phantom, berlalu dari tempat ini karena tugas mereka menjemput arwah telah selesai. Orang-orang ini benar-benar dikendalikan sepenuhnya oleh kegelapan. Kekuatan sihir itu menyebrangi ratusan kilometer antara dua benua. Jauh di ujung sana, di Comdred Fortress, dipastikan seseorang dari sebuah kaum, sedang menggerakkan jari-jemarinya di atas sebuah penglihatan akan pertempuran ini.

Salah satu Aztandor terbang cepat dan berhenti mendadak di depan Témpust.

“Kau tak katakan apapun tentang ikatan kuat Avalen di tubuh mereka!” protesnya. Suara itu menunjukkan kepanikan seorang Qasfar.

“Jika pun aku tahu, kau pasti telah mengetahuinya juga, Qasfar!”

“Avalen? Demi Theon, bukankah itu berarti seorang muda Avalen yang mengendalikannya?” sentak Éleon cemas. “Pernahkah kau lihat seorang Demetria membangkitkan orang mati, Témpust?”

“Hingga kini, inilah kali pertama aku mendengus nama Avalen dalam kematian. Ada orang lain yang bernama Avalen, dia yang melakukan semua ini,” ujar Témpust mencoba berpikir dan mengingat-ingat semua yang terjadi antara dia dan Demetria.

Témpust tak bisa melepaskan matanya dari para mayat hidup yang mulai menikmati kehidupan mereka kembali. Mata-mata kemerahan itu memandangi tangan-tangan mereka dengan takjub. Anugerah kehidupan kembali, yang selayaknya membuat mereka kegirangan.

“Jika legenda yang selama ini berhembus tentang keturunan Azatur Bardiel adalah benar. Semua tentang ketangkasan mereka dalam peperangan, semua keberingasan mereka, lebih baik itu kau nyatakan sekarang, Qasfar,” ujar Témpust pada Qasfar.

Qasfar merasa tersanjung, bersamaan dengan maksud Témpust menyinggungnya, tepat dia sadari pula. “Aku ingat, Lampros Témpust. Semua. Iya benar, semua,” katanya pelan, tanpa memandang ketiga orang itu.

“Aku tak bisa katakan kalau aku membatalkan semua itu,” jawab Témpust berharap penuh pada Qasfar. Sudah amat jelas raut Témpust dipenuhi frustasi dangkal yang perlahan makin dalam.

“Semua? Témpust, apa maksudmu dengan semua?” sela Éleon.

Témpust hanya memperlihatkan wajahnya sejenak pada Éleon. Matanya begitu serius, seakan dia meminta Éleon untuk tak menanyakan hal itu lagi. Témpust meninggalkan Éleon untuk memasuki pertempuran itu lagi. Qasfar juga memandang Éleon, namun dia tersenyum menyeringai, tawa serak yang memualkan bagi Éleon.

“Hamanidiosalfar, sungguh malang bagimu untuk terperangkap di sini. Kaumku jauh lebih berkuasa daripada kaummu,” sindirnya dengan nada remeh. “Perpaduan keangkuhan seorang Elf dan kefanaan seorang manusia. Matilah kau selekas mungkin.”

Qasfar lekas melayang kembali ke udara. Kaum itu melanjutkan apa yang mereka mulai, walaupun mereka membabi buta tanpa tahu apakah ini bisa diakhiri atau tidak. Kali ini pertarungan mereka imbang—antara Aztandor yang tak bisa mati dan mayat hidup tanpa nyawa.

Kata-kata itu menusuk dalam di lubuk hati Éleon. Dia benci mengakui itu, tapi kebenaranlah yang mengalir dari mulut kering busuk Qasfar. Dia juga sadari, pikirannya sekarang menghambatnya untuk beraksi kembali, sementara dia mengetahui dirinya sendirian di tempatnya berdiri. Enrico dan Témpust sudah mengayunkan senjata-senjata mereka di tempat lain.

Éleon menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Kemudian dia memantapkan hati untuk melupakan kata-kata Qasfar. Jalan hidup ini, dialah yang memilih jalan hidup seperti ini, demi menyadarkan kaum Ljosalfar bahwa kaum setengah manusia memiliki tekad untuk bersatu kembali dengan mereka. Hampir saja semangatnya dirusak oleh kalimat rendahan semacam itu.

Ravalanta, Ravalanta, Hálanta!
Ravalant ei im Gorgomur!
Eferof feli im Midianor
Eferof feli im Midianor!

Éleon dapat merasakannya. Mantera itu sambung menyambung menembus batasan tempat. Telinga-telinga musuh dengan mudah menangkapnya, jauh lebih baik dari samar-samar pendengarannya.

Harga diri mendorongnya untuk maju kembali.

Dia dan kebanggaan atas darah Elf, keturunan Markourith terakhir yang masih bertahan di lahan manusia, juga merupakan satu-satunya keturunan Markourith yang bercampur dengan tali kekerabatan manusia. Ibunya adalah seorang Lady, Deaneth Markourith, dan ayahnya hanyalah seorang pengembara, Ierick Baldmur. Mereka berdua bertemu di saat peperangan tengah berkecamuk, dalam kunjungan seorang Ierick ke tanah awal Elf, Lamarka.

Éleonais lahir di Lamarka. Hanya sekedipan mata ia bisa menikmati kasih sayang orangtuanya, hingga satu persatu dari mereka meninggalkan Éleon. Ierick Baldmur, mati dalam tugasnya sebagai pengantar pesan, dan Deaneth Markourith terpaksa mengikuti takdirnya sebagai Elf untuk menyepi ke Anabalheim, meninggalkan tanah Lamarka. Sejak hari itu, dia bersumpah, suatu saat kaum Ljosalfar akan menyesal telah meninggalkan mereka.

Éleon menyerbu mayat-mayat hidup itu, bersama pejuang yang tersisa, bersama Témpust, bersama Enrico, dia sadar dirinya tak sendiri dalam pertempuran ini. Untuk kali ini saja, dia berusaha keras untuk bekerja sama dengan Aztandor yang begitu dibencinya.
Satu persatu mereka berhasil dijatuhkan tanpa erangan selayaknya manusia hidup. Kenyataan mendasar bahwa mereka tak lagi bernyawa membuat tubuh-tubuh itu bangkit terus-menerus, meski tubuh mereka sudah tak berbentuk lagi. Darah mereka akan terus menetes, menyembur, namun tak akan ada kalimat kehabisan darah yang membuat kematian datang. Cipratan-cipratan amis itu hanya menggenangi permukaan lantai batu yang mereka pijak.

Lalu tiba-tiba mereka menjadi lincah, gesit, dan tidak lagi bergerak seperti idiot. Penyebabnya tidak lain adalah rangkaian mantera berbeda yang diperdengarkan dari Benua Tengah. Éleon yakin yang didengarnya barusan, berbeda dengan mantera yang menggaung saat mayat-mayat itu pertama kali dibangkitkan. Emosi dalam mantera itu terasa lebih kuat dari tekad para pejuang sekarang. Éleon tahu penekanan-penekanan intonasi khas yang dia dengar, bukanlah sembarang kalimat-kalimat mantera dasar dari dalam sebuah gulungan. Gulungan apapun itu.

Alcantarra, bei dea hamani
Gotfert im Gorgomur
Vallias la worpeluf
Ravalanta, Ravalanta!

“Apa yang kaummu lakukan di saat seperti ini, Hai Qasfar?” teriak Témpust. “Mereka tak bisa mati!” katanya menghadap ke langit.

Qasfar menatap bengis pada Témpust. Kemudian dengan penuh emosi dia mengacak-acak mayat-mayat hidup itu. Semua usaha itu hanya berakhir sia-sia.

Begitupun keyakinan Enrico akan ‘keampuhan kepala’ itu, menjadi tiada berarti. Mayat-mayat hidup ini berbeda. Bahkan mereka tak bernafsu untuk makan. Mereka tak inginkan daging-daging liat para pejuang. Mereka hanya bergerombol untuk membunuhnya, dengan sisa-sisa ketangkasan seorang manusia.

Lalu dimana Klaha?

Kepalanya menoleh cepat, matanya mencari-cari keberadaan makhluk besar itu. Dia sudah tak terlihat lagi sejak kepanikan besar itu terjadi.

Sial, bagaimana mungkin aku bisa berada dalam kungkungan kegelapan sedemikian dalamnya?

Kali ini, Enrico terpaksa meletakkan dulu hal-hal semacam itu. Bukan dia yang menentukan kedatangan Aztandor, tapi Témpust. Bagi seorang pendeta semacam dia, kegelapan harus diusir, bukan ditemani. Melihat apa yang dia lakukan sekarang, Enrico seakan sedang menjilat ludahnya sendiri.

“Oh, Tuhan, maafkan hamba-Mu ini,” gumamnya pelan. Matanya masih saja cemas akan keberadaan Klaha. “Lepaskanlah kami…” rapalnya khusyuk sambil menyeka bercak darah pada sabit, kemudian menanggalkan jubahnya. “…daripada yang jahat. Amin.”

Sebenarnya apa kehendak kegelapan?

Lambat laun tersirat sudah maksud mereka di dalam jalinan pikiran Enrico. Kelelahan inilah yang mereka incar. Di kanan, kiri, depan, belakang, sisa-sisa pejuang sudah berusaha sekuat tenaga mereka—melawan rasa takut, lelah, gentar, dan gusar. Dia tahu menghilangnya Klaha mungkin adalah bagian dari rangkaian strategi jitu untuk menjatuhkan ketahanan Eagle Harbour. Serba dadakan, pasti akan ada lagi dukungan yang cukup dari jemari Avalen di sana.

Guardian? Mungkinkah Gyoudrim akan datang lagi?

Tamatlah Enrico saat itu terjadi. Walaupun jauh sekali di antara sekat-sekat kekhawatirannya, Gyoudrim dianggap tak sehebat yang orang-orang katakan. Di kemah para bandit, kemampuannya tak lebih dari menyembur api dan tubuh kaleng yang sekeras baja. Enrico tak bisa menerima kabar tentang keberadaannya sebagai naga paling disegani di seluruh dataran Mithrillia. Jadi, Enrico yang sudah sedikit mengetahui legenda Lord Bordock, mengakui dalam hatinya, sudah cukup ketakutan ini berlanjut. Entah apakah itu namanya Grazzadra, ataukah Gyoudrim, beserta cerita tentang mereka yang terdengar sama hebatnya, namun itu belum seberapa di mata Enrico. Tak ada yang perlu dikagumi dari sosok ribuan tahun lalu itu—kecuali keagungannya sebagai raja pendamai.

Lagi-lagi pikiran yang terlalu ngelantur.

Enrico kembali pada dunia nyata. Seluruh pandangannya ke arena yang dipenuhi banyak kaum—para Aztandor, manusia, Hamanidiosalfar, dan mayat hidup, semua itu membuatnya ingat akan keramaian perang. Dahulu sekali, saat usia dua puluhan masih akrab dengannya, dia adalah seorang misionaris ke daerah-daerah koloni Belanda. Sejatinya dia tak mendukung kolonialisme, sama sekali. Tapi panggilan akan Tuhan yang membuatnya inginkan tugas itu. Perang, pembunuhan, penyiksaan, sudah lama sekali telah menjadi bagian dari kilasan-kilasan memori panjang dalam hidupnya. Termasuk pikirannya tentang Mithrillia, juga penyakit aneh yang merenggut kedamaian dalam kematiannya. JES telah mengambil dan memberi banyak hal dari nafas Enrico. Pada stadium ini, kematian hanyalah angan-angan palsu.

Dia bergerak mendekati Témpust, sebab percuma para pejuang membuang tenaganya untuk meladeni mereka. Enrico ingin memberitahu hal itu.

“Tolong hentikan perlawanan ini, Témpust,” ujarnya setengah berteriak. Témpust menoleh saat musuh terakhirnya bisa dia jatuhkan—sementara.

“Apa maksudmu, Enrico? Tak ada yang lebih berharga daripada mempertahankan kota ini.”

“Aku tahu, Témpust!” ujarnya makin keras. “Kau tahu ada seorang pemimpin penyerangan mereka yang bernama Klaha, lalu lihatlah dimana dia sekarang!”

Témpust terdiam dan melihat.

“Kau pikir ini suatu rencana, bukan begitu Enrico?” tanya Témpust dengan mata menjaring setiap sisi kota.

“Lihatlah kelelahan pasukanmu! Mereka sudah bertarung dari awal hari berjalan, melawan banyak musuh, ditinggalkan oleh pimpinannya yang menyalami Kaum Jubah Hitam, sampai memperoleh kenyataan kalau jalinan mantera bisa meruntuhkan semangat mereka. Ini sudah lewat dari batas, Témpust. Kau akan kalah bila sekutu mereka bertambah lagi,” jelas Enrico.

“Aku tahu, aku tahu, Enrico. Aku mengenal pejuang-pejuang ini. Sedikit lagi, aku yakin penguasa mantera ini bukanlah penyihir muda dengan banyak tenaga. Dia juga butuh istirahat, dan saat itu tubuh-tubuh ini akan hancur tak kembali, walau hanya beberapa saat…”

“Bijaksanalah sedikit, Témpust…”

“Jangan memotong kata-kataku!”

“Tapi aku harus!” balas Enrico keras. “Kau sadar bahkan Éleon pun tak menduga ada kekuatan dengan sihir sekuat ini? Ini lebih dari cukup bukti untuk membawamu dan seluruh pasukanmu menyingkir dari sini. Jika para Aztandor adalah penguasa perang, cukup bagi mereka untuk menahan makhluk-makhluk brutal ini, sementara.”

Témpust memandang yakin pada Enrico dan memperlihatkan kerasnya hati di dalam rongga dadanya. “Aku tahu, Enrico. Bantuan tak akan datang secepat itu dari Comdred Fortress. Jaraknya jauh, terkecuali mereka cukup serius untuk menurunkan beberapa Guardian bersayap.”

“Ada apa denganmu?” potong Enrico kembali. “Kau menjadi nekad bertindak. Kemana hilangnya kebijaksanaanmu selama memimpin kelompokmu?”

Pembicaraan itu dipotong oleh beberapa ‘sampah’ yang datang tak diundang. Tertunda, sampai saat gumpalan daging dan tulang itu kembali berjatuhan ke tanah.

“Apakah karena batu itu? Kau takut kalau kenyataan itu terlalu cepat datang?” lanjut Enrico menyerbu pertahanan diri Témpust.

“Aku tak mengerti maksudmu,” jawab Témpust tanpa memandang wajah Enrico.

“Aku menghormatimu, Témpust. Kau hebat, kau kuat, dan kau juga memiliki pengetahuan yang baik tentang sejarah duniamu ini. Sadarilah, keturunan Lampros terlahir untuk melayani para Incargot. Sekarang, saat keadaan berusaha membalik semua posisimu, kau menyangkalnya, Témpust.”

Terpotong lagi. Oleh hal yang sama.

“Keturunan Lampros bisa merubah takdirnya tanpa menunggu harapan dari batu Oriel!” bantah Témpust.

“Tapi kau sadari itu pada awalnya, dan ironis bila kau menyingkirkan kenyataan itu sekarang. Apa yang membuatmu berkata-kata pada Hellen pada pesta itu? Kau ragu dalam pencarian seseorang yang akan membuat posisimu jatuh,” ujar Enrico berusaha menahan emosinya.

“Kata-kata itu tak sepatutnya kau dengar.”

“Tapi aku mendengarnya! Di antara keramaian suara sorak-sorai, aku memandangmu dan menemukan prinsipmu yang sudah mulai terkikis.”

Terpotong lagi. Pembicaraan itu selalu menemui penurunan tensi tiap kehadiran mayat-mayat hidup yang mengusik. Enrico sudah sadar akan pemikiran Témpust ini, sejak mendengar bisikannya pada Hellen Mistrella pada pesta penyambutan dirinya dan Ivander.

“Sadarilah, Témpust. Arti keberadaanmu di sini. Tentang kepercayaanmu, pikirkanlah maksud Lameth membawamu hingga tahap ini. Ingatlah, apa pesan Theon dalam kekuatan dan kejelian perang yang dianugerahkan padamu,” lanjut Enrico menutup semuanya.

Dia kembali ke medan pertempuran. Hatinya berat meninggalkan Témpust yang tak jua mau mengubah sikap keras kepalanya itu. Témpust memang orang yang keras, tapi dia tak menutup kuping untuk setiap kata-kata yang menyentilnya.

Témpust melambungkan pikirannya pada Alexa.

Mengapa nama itu tak terdengar seperti selayaknya nama orang yang terpilih; lalu dimana keberadaan gadis misterius itu dan puteranya, Bader sekarang; dan apakah sebenarnya yang tengah terjadi di utara benua Timur sekarang ini. Selalu berat baginya untuk setiap desahan nafas yang menahan kata-katanya untuk mundur dari Eagle Harbour. Dia yakin, bila saat ini dia menang, tentu ada atau tidak adanya Sang Terpilih bukan menjadi masalah yang patut dirisaukan. Apalagi kepercayaan dirinya tengah menukik bersamaan dengan setiap pembicaraan orang-orangnya tentang sosok yang mereka cari-cari itu.

Pikirannya menyalahkan Lord Bordock untuk sesaat.

Pria itu sudah lama mati. Namun kalimat terakhir menjelang ajalnya tersebar, teraduk dalam sajak karangan para Elf. Kalimat itu mungkin sehangat matahari bagi penduduk Mithrillia, tapi setajam mata pedang baginya. Dia sadar dirinya bukanlah, dan tidak akan, menjadi segalanya bagi mereka. Témpust merogoh sakunya dalam-dalam, sambil digenggamnya benda keras, kasar dan dingin. Batu Oriel yang kini dipandanginya, tanpa cahaya, hanya seonggok batu seukuran kepalan tangan biasa, kasar dan sedikit ditumbuhi bercak-bercak noda. Jika suatu saat seseorang dari tamu-tamu Maya-nya datang untuk merenggut batu itu, maka lenyaplah segala ketergantungan pejuang kebebasan padanya. Ini sama saja seperti menggiringnya ke tiang gantungan..
Kehormatannya sebagai pemimpin akan hilang tanpa bekas.

“Témpust! Berapa lama lagi kita harus menahan ini?” potong Éleon dalam setiap ayunan pedangnya yang makin melemah.

Témpust tersadar dari lamunannya. Dia sadar prajuritnya memang membutuhkan sedikit waktu untuk bersandar. Témpust menghabisi satu mayat hidup untuk terakhir kali sebelum mereka beristirahat. Dia menarik tali kekang kudanya dan membawanya menerobos arena peperangan.

Vacour berlari kencang merubuhkan barikade mayat hidup.

“Tarik mundur! Semuanya, naiklah ke atas atap-atap rumah!” komandonya.

Pedangnya yang berlumuran darah memancarkan cahaya matahari, sekaligus wajah lega para pejuang. Jauh dari sudut pantulan pedang itu, seorang pendeta bernama Enrico tersenyum kecil menyambut keputusannya. Dia mengerti keraguan Témpust untuk menarik para pejuang sepenuhnya dari Eagle Harbour, mungkin Témpust berpikir mayat-mayat hidup ini justru semakin merambah hutan hingga ke Goat Hill. Tapi baginya, langkah ini sudah cukup bagus. Dia bisa pastikan, seseorang di ujung lautan sana tengah menggerutu, mengemertakkan gigi sambil menghitung mundur pelepasan Guardian yang akan dia mainkan pada babak ini.

Kuda-kuda mereka serentak berlarian dari wilayah Eagle Harbour menuju Goat Hill. Bila diam di sini, mayat-mayat juga akan mencabik-cabik mereka tanpa ampun. Diiringi sedikit kepanikan, pejuang kebebasan yang tersisa mulai memanjat. Mereka sekarang berdiri di atas, menyaksikan para mayat berjalan tak tentu arah. Jumlah mereka yang begitu banyak membuat para pejuang sadar akan posisi mereka. Dari tempat mereka berdiri dan memandang, mereka bisa melihat sesungguhnya makhluk-makhluk neraka itu mengerikan. Mereka lupa hal apa yang membuat mereka berani menghadapi kerumunan bekas manusia itu tadi.

Para mayat itu memang tidak bodoh, tidak lamban, tapi mereka malas. Mereka hanya menunggu di bawah, menahan sisa-sisa gempuran Aztandor. Kaum Aztandor akhirnya pun mulai menguncupkan jubah-jubah mereka, lalu bertengger pada bangunan-bangunan tinggi. Mereka diam menunggu, sama seperti para pejuang.

Sesaat, garis-garis mantera itu memudar di telinga Éleon.

Dia merasakan tak ada lagi aliran tenaga yang cukup serius untuk menggerakkan mereka. Mendadak, semua mayat hidup itu roboh satu persatu seperti boneka marionette dengan tali yang terputus. Tak butuh waktu lama bagi mayat-mayat itu untuk menjadi seonggok daging tanpa daya kembali.

“Keparat, kita dipermainkan,” geram Qasfar menjadi-jadi.

“Akhir dari rangkaian mantera-mantera berulang itu, begitu Éleon?” celetuk Témpust yang berdiri di samping Éleon. “Sudah kuduga penyihir itu terlalu lelah dan renta.”

Éleon hanya tersenyum mendesis. “Bukan, Témpust. Dia tak mengendurkan kekuatan sihirnya sedari awal. Kekuatan itu mendadak hilang, bukan perlahan menyusut. Itu artinya, dia sengaja melakukan hal ini untuk memancing kita turun kembali.”

“Ini buruk. Sampai kapan kita akan tertahan di atas sini?” gusar Témpust.

Éleon melirik kawanan Aztandor yang masih diam seperti tak terjadi apapun. Dia masih belum mengerti mengapa mereka harus dilibatkan dalam hal ini. Kemampuan mereka memang hebat, tapi mayat-mayat ini jelas tak bisa begitu saja ditaklukan, sekalipun oleh Kaum Berjubah Hitam. Para Aztandor tak mungkin bisa menyentuh kekelaman dengan kekelaman, apalagi jika kekelaman itu lebih dalam dari mereka.

Dia segera menyadari kekeliruannya.

“Pertempuran antar elemen, selalu itu yang terjadi,” gumamnya. Témpust sedikit menaruh perhatiannya pada suara kecil itu. “Mungkinkah sebuah kegelapan menekan kegelapan lainnya? Bukankah itu sama saja menambah kegelapan itu?” lanjutnya datar. “Aku curiga, mantera itu bisa sampai ke tempat sejauh ini hanya karena kehadiran Aztandor sebagai media perluasan kegelapan itu sendiri.”

“Apakah dendammu begitu kuat hingga kau menyalahkan mereka atas semua keterpojokan kita ini?”

“Tanpa dendam pun aku akan berpikir demikian, Témpust. Hendaknya kau resapi apa arti dari permusuhan cahaya dan kegelapan, antara kaumku dan mereka,” kata Éleon tegas, meskipun itu hanya terdengar, bukan terlihat dari sorot matanya.

“Berarti keputusanku memanggil mereka adalah sebuah kesalahan besar?” tanya Témpust menantang, nadanya tak berubah keras.

“Tidak sepenuhnya benar bagimu untuk berkata seperti itu. Hidup kami pasti sudah habis bila kau tak mendatangkan mereka, kesalahan hanya ada pada isi perjanjianmu dengan mereka. Jika mereka pergi sekarang, tak akan ada lagi tubuh yang terbangun. Percaya padaku.”

Témpust hampir tersedak. “Sepertinya aku harus memberitahukanmu tentang isi dari perjanjianku dan kaum mereka,” tanggapnya pesimis. “Aku menjanjikan seluruh tubuh dari korban perang ini pada mereka, itu kuanggap sebagai sebuah penawaran yang impas.”

Sontak Éleon menjadi lesu tanpa solusi di pikirannya. Mendadak semuanya menjadi buntu, sebab tali-tali magis pasti masih mengikat tubuh-tubuh itu. Para Aztandor tak mungkin mau mengambil tubuh yang sedang terikat mantera penyihir lain. Itu sama saja memasuki rumah baru, dan menemukan orang asing yang sedang duduk di atas sofa dengan camilan dan televisi, di tangannya. Perjanjian itu pasti tak bisa dilanggar, bagaimanapun halangannya, apapun kondisinya. Keadaan ini membuat para pejuanglah yang membantu Aztandor, bukan sebaliknya.

“Seharusnya kau berpikir lebih banyak, sebelum kau mengambil tawaran itu,” ujar Éleon kesal.

“Aku sudah berpikir, mungkin ribuan kali lebih dari yang kau tahu. Mereka hanya menginginkan tubuh sebagai imbalannya, pengganti jasad mereka yang telah usang. Awalnya justru mereka yang meminta, harga yang teramat mahal untuk aku berikan. Lebih baik aku berjuang sampai mati, daripada harus menyerahkanmu, puteriku, Cazar, sepupuku, atau orang-orang berharga lainnya…”

“Mungkin kegelapan hati mereka sudah menjangkiti hatimu. Kau bicara seakan-akan pejuang-pejuang lain yang mati bukanlah orang yang berharga. Sudah tak ada lagi pilihan lain untuk kita, selain memutus jalinan mantera itu. Kau yang bertanggung jawab atas semua ini, Témpust.”

“Bahkan jika nyawaku yang akan membebaskan orang-orangku dari rasa takut, aku akan melakukannya,” balas Témpust untuk semua kata-kata kesal Éleon.

“Aku melihat benang-benang itu mengikat kuat. Aku tak yakin kita punya cara untuk melewati ini, untuk membersihkan mereka dari Eagle Harbour. Lihatlah para Aztandor, mereka pun hanya diam. Sekumpulan makhluk yang tak bisa dipercayai,” komentar Éleon pedas.

“Cari dulu dimana jenderal mereka yang dinamai Klaha. Sebab si tua Enrico terus-menerus mengingatkanku akan hal itu. Ini permainan, Éleon. Mereka pikir mayat-mayat hidup ini bisa menguras tenaga kita sebelum bala bantuan datang.”

“Bau Guardian kental terendus. Pantas saja telingaku bergerak-gerak sedari tadi.” Éleon memaku pandangannya ke laut lepas. “Bukan naga. Itu Griffon dengan pekikan tajam mereka. Aku tak yakin penyihir itu mau mendatangkan Griffon di saat ini.”

“Kau sadar, Éleon?”

“Tentang apa?”

“Kurasa inilah saatnya kita benar-benar keluar dari sangkar yang mengurung kita selama ini. Penyihir itu, dia pasti lebih tangguh dari apa yang kita saksikan sekarang.”

“Kenekadanmu akan membawa kematian, Témpust. Aku takut dewamu telah mengutuk kalian. Aku takut Dewa Frey menaruh murka sepihaknya padaku,” sanggah Éleon cepat-cepat.

“Kutukan itu bisa dirasakan, Éleonais putra Ierick, dan aku tak mau mencicipinya setetespun di atas lidahku.”

“Lidahmu mulai angkuh dari mati oleh rasa-rasa sensitif, Témpust. Aku tak mengerti apa yang tengah terjadi padamu, bahkan pada kita semua. Comdred yang mendadak menyerbu kota, apakah ada yang kau simpan dariku?” tanya Éleon dengan nada curiga.

“Aku yakin kendala itu sudah menyebar ke seluruh telinga pejuang. Beberapa manusia Maya yang datang ke dunia kita, dan apa yang mereka bawa untuk mengejutkan kita.”
Témpust memandang Éleon untuk menanti responsnya atas pernyataan itu, namun sepertinya Éleon tak mengetahuinya.

“Batu, ini soal batu. Oriel telah menurunkan nubuatnya ke atas bumi Mithrillia. Darah Incargot kembali bergejolak, merah pekat seperti akan berjalan tanpa tuntunan. Peperangan ini, hanyalah lembaran pertama dari nubuat Oriel,” lanjut Témpust.

Dengan kekalutan Éleon, Témpust pun tak bisa menunggu lebih lama untuk segera mengambil tindakan lanjut. Pria itu meniupkan jari-jari di bibirnya untuk menyuarakan siulan tinggi ke langit. Beberapa saat, Reape yang dia panggil menjawabnya. Elang itu turun ke atas lengannya.

“Pesan apa, Témpust? Kita tak bisa melibatkan mereka di sini,” sahut Éleon.

“Memang bukan itu. Aku hanya khawatir musuh sengaja mendiamkan kita di sini bersama mayat-mayat bodoh ini dan menyerang kita dari penjuru lain. Mungkin Hutan Whisdur pun tak akan sanggup menelan para pengacau semua. Aku harus tetap berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk.”

Témpust mengoyak sedikit bajunya, kemudian dia melukai kembali ibu jari yang telah berangsur pulih dari luka goresan pisau Falabour. Di atas kain abu-abu itu, dia menuliskan pesan untuk sepuluh orang tersisa di Goat Hill.

Jaga Celah Grendith!

Kemudian kain itu diikatkan dengan kuat pada kaki Reape. Dilepaskannya elang itu ke langit luas, sampai Reape membelok tajam ke arah Goat Hill. Témpust memandangi hilangnya elang itu dengan penuh kerisauan. Dia menyadari pasukannya akan tertahan cukup lama di tempat ini. Mayat-mayat, penghalang dari semua kemenangannya kali ini.

………

“Apa yang kau cemaskan, Lakissa?” ujar Hellen memecah kegelisahan di raut wajah puterinya.

Hellen baru saja selesai membagikan sedikit makanan dari dalam sebuah karung, roti-roti keras yang agak asam, karena memang itulah rasanya, mereka di Goat Hill telah terbiasa memakan roti itu. Pengungsi-pengungsi itu duduk diam di antara tenda-tenda kain di tengah-tengah belantara Whisdur, beralaskan tanah hutan, beratapkan dedaunan. Kepada para pengungsi, Hellen juga turut membantu memberikan minum pada gelas-gelas pengungsi dari drum-drum kayu berisi air. Kali ini, dia berhenti sejenak, sebab kecemasan Lakissa lebih penting baginya.

Lakissa Vernedt berbalik dan memandang wajah ibunya yang juga terlihat cemas, meskipun wanita itu tak mau memperlihatkannya.

“Entah mengapa baru kali ini aku merasa cemas. Sejak Bader belum juga kembali, aku menjadi takut hal yang sama akan terjadi pula pada ayah. Sebenarnya ada apa ini, mengapa begitu mendadak, Ibunda?”

Memori Hellen tersentak. Malam itu, Témpust membisikinya sebuah kata-kata keraguan. Ragu kalau-kalau utusan bumi Maya itu mengelabuinya untuk suatu tujuan. Dia tahu suaminya bukanlah orang yang mudah untuk diyakinkan, tapi setelah batu itu menyala merah, Témpust begitu terguncang. Hellen pikir suaminya telah dipaksa oleh batu itu, untuk segera mencari seseorang yang telah diberitahukan pada bumi Maya sebagai Sang Terpilih. Pertanyaan Lakissa hanya mengerucut pada jawaban itu, keinginan Témpust untuk tetap menyangkal kehadiran keturunan Incargot yang dikiranya telah lama punah.

“Ibu, mengapa wajahmu kelam? Salahkah aku sebagai pejuang untuk bertanya seperti itu?”

Hellen mencoba untuk tersenyum dan memudarkan kekelaman di wajahnya. “Seandainya pun aku tahu, Lakissa. Ayahmu pasti baik-baik saja, dan kakakmu bukanlah laki-laki lemah.”

“Aku tahu…” Lakissa membuang pandangannya jauh dari keramaian manusia yang mencari makanan. “Hanya saja, Ibu, angin ini tak kuinginkan berhembus. Mereka seakan berteriak meramalkan takdir.”

Angin kencang sesekali berhembus melalui sela-sela pepohonan Hutan Whisdur. Gesekan mereka membunyikan suara-suara pilu, sebagai bentuk peringatan alam. Angin itu akan terus berlari, menyisir setiap pengungsi Goat Hill dan Eagle Harbour di sana, mencari-cari keberadaan orang-orang yang dianggapnya layak untuk menerima kehidupan lebih panjang. Bukan angin yang memikirkan itu, bukan pula sebuah sajak, namun Lakissa, dia jauh lebih khawatir dari yang dia perlihatkan.

“Apa yang tengah terjadi di sana…apa?” gumamnya saat berjalan pelan meninggalkan ibunya.

Hampir malam di sana, beberapa orang berkumpul di Hutan Whisdur. Mereka cemas, sebab tak satupun dari mereka yang tahu apa yang tengah terjadi di balik hutan dan kabut yang membatasi kotanya dan Eagle Harbour. Mereka hanya tahu pimpinan mereka, Témpust, menyuarakan agar mereka mengungsi saat Allain tiba-tiba datang dan berbisik dengannya. Sebagian dari mereka yakin, ini adalah suatu awal dari rangkaian kemalangan yang akan menimpa kaum terpinggirkan itu, seperti yang sudah batu Oriel ramalkan.

Sampai detik ini, delapan orang dari pengungsi telah menghilang dari rombongan utama. Persis seperti yang sudah Éleon bayangkan, sama seperti yang Allain khawatirkan, alam tak mau menerima mereka yang keras hatinya. Tapi saudara-saudara mereka sama sekali tak melakukan reaksi. Mereka terlanjur takut terhadap peringatan itu dan memilih diam, menunggu sampai kota mereka bisa ditinggali kembali.

Derap langkah kuda terdengar dari kejauhan. Sepertinya kuda itu begitu familiar di telinga Lakissa. Bisa tergambar betapa besar bobot kuda itu, betapa besar pula perawakannya, sama seperti perawakan penunggangnya. Dia datang dengan nafas memburu yang terasa dari arah Goat Hill. Lakissa maju beberapa langkah dan mengamati kuda itu menyibak gumpalan kegelapan dedaunan yang menutupi sosok besarnya. Waler Gurdon, dia datang tergesa-gesa.

“Apa gerangan yang terjadi, Waler?” sambut Lakissa gusar.

Waler menghentikan kudanya dan menapakkan kakinya di tanah. Sesaat dia mengamati keadaan pengungsi di dalam hutan ini. Jumlahnya lebih banyak dari yang dia perkirakan. Lebih banyak untuk dilindungi, lebih banyak untuk mati.

Di kejauhan yang sama, sembilan orang yang dia bawa tengah memacu kudanya menuju arah yang sama. Mereka semua telah meninggalkan Goat Hill untuk menggenapi tugas dari Témpust.

“Waler, bicaralah padaku!” ulang Lakissa.

Waler tersentak dari pikiran tingginya. “Reape datang dengan pesan dari pimpinan. Pesan itu tertulis dengan darah. Kami butuh lebih banyak pejuang untuk menjaga ujung Hutan Whisdur,” katanya terburu-buru dengan nafas menghembuskan hawa dingin.

“Darah, apa maksud darah ayah? Apakah itu berarti dia dalam bahaya?” sambung Lakissa cepat.

“Aku tak tahu. Aku datang dengan kapak dan sembilan orang lainnya ke sini, dengan keyakinan bahwa pimpinan baik-baik saja di sana. Dia memikirkan keselamatan kalian semua, pikirkanlah karenanya pesan itu dibuat,” katanya dengan suara serak yang menjadi ciri khas pria besar.

Waler Gurdon meninggalkan Lakissa yang menatapnya tanpa suara. Kemudian Waler berjalan untuk mencari bantuan bagi pertahanan mereka nantinya. Sembilan orang lainnya merapatkan kudanya di samping kuda cokelat muda milik Waler.

“Vana, Kruge, Bianco, adakah dari kalian yang bisa memberitahuku ada apa di ujung sana?” ujar Lakissa mencoba menghentikan sembilan orang yang berjalan melaluinya. Mereka diam tak merespon dan terus saja berjalan.

“Dustin, Afar…” panggilnya. “Berdin, Skhale…” ulangnya. “Musdack, Laruz, ada apa dengan kalian semua?” ulang Lakissa makin keras.

Pria tinggi, keling, tak berambut, berhidung bengkok, yang bernama Afar menolehkan wajahnya. Matanya putih, namun syaraf-syarafnya terlihat lelah karena warna merah di sekelilingnya. Pelupuk matanya terlihat menghitam. Dia memejamkan matanya sedetik sebelum menarik nafas panjang. Pria dari Benua Selatan itu terlihat begitu letih dan ingin segalanya cepat berakhir.

“Kami bingung, Lakissa. Tak satupun dari kami yang bisa masuk ke dalam Eagle Harbour. Sejak pesan itu terakhir sampai, kami tak bisa menembus dinding magis yang menyelimuti kota itu. Kami hanya takut, mereka terlanjur lelah sebelum mengetahui tak ada jalan keluar bagi para pejuang di sana. Pertempuran belum akan berakhir, Lakissa,” katanya putus asa. “Ini sebuah keberuntungan bagi Reape untuk bisa keluar sebelum selubung magis itu datang. Aku bisa menjamin kekuatiran ayahmu memiliki alasan yang sangat kuat.”

“Lalu kenapa kalian ada di sini? Bukankah kalian pergi berperang bersama mereka?”

“Ingatlah, kami adalah pengikut Lameth. Kami tak ingin terjerat pikat kegelapan,” kata Afar, dia berjalan pelan menuju Lakissa, kemudian kedua tangan lebarnya memegang pundak Lakissa. Afar menunduk pelan dan menatap mata gadis itu dengan serius. Lakissa terhenyak melihat rona kecemasan yang mendalam di mata Afar. “Ayahmu, dia gunakan Aztandor. Sebab itu kalian diungsikan ke hutan ini,” katanya amat hati-hati.

“Az….az….?”

Lakissa tak mampu berkata-kata saat berita itu disiarkan ke telinganya. Dia berusaha membuang pandangannya dari wajah Afar, dia tak ingin terlihat mempercayai berita itu, dia benci terlihat shock.

“Orang-orang ini dalam bahaya, Lakissa. Lihatlah jumlah mereka, lihatlah berapa banyak dari mereka yang bersenjata. Hanya sedikit, seperti Allain dan beberapa orang lainnya. Mereka bukan petarung. Apa yang bisa kita lakukan seandainya kita diserang oleh kelicikan Comdred? Tak ada, Lakissa. Semua ini akan hilang. Para Phantom akan senang hati menyeret mereka.”

“Kau bicara juga tentang ibuku, Afar. Aku tak akan biarkan ibuku tersentuh!”

“Bagus. Semangat itu sudah hampir pudar di sini. Pertahankan itu dan biarkan Dewa Lameth melihat betapa keras tekadmu.”

“Afar! Bantu kami kumpulkan beberapa orang!” seru pria besar lainnya yang bernama Musdack.

Afar menepuk pundak Lakissa beberapa kali sebelum dia berpaling meninggalkan gadis itu di belakangnya.

“Tunggu, Afar!” sontak Lakissa menyadarkan dirinya kembali.

Afar menghentikan langkah lebarnya sejenak dan setengah menoleh ke belakang.

“Ijinkan aku bersama kalian, apapun yang akan kalian lakukan setelah ini, ijinkan aku ada di dalamnya,” pintanya penuh harap.

Afar tak menjawab dan membuang wajahnya lambat-lambat. Sambil berjalan kembali, dia katakan, “Lakukan apa yang menurutmu benar, Lakissa. Saat ini, bahkan hati nurani pun tak kuasa untuk sekedar berbisik.”

Afar berlalu, kembali pada kelompoknya, kelompok yang tak menerima kedatangan Kaum Jubah Hitam sebagai sebuah pertolongan. Sebelum malam benar-benar terbentuk sempurna, mereka harus sudah siap di ujung Hutan Whisdur. Malam ini akan menjadi malam tanpa bulan, malam yang sempurna untuk penyerangan mendadak. Seseorang seperti Témpust pasti sudah memikirkan hal sedetil itu. Memang beruntung baginya kali ini, Reape masih sempat menerobos dinding magis yang saat itu baru setengah terbentuk.
Tak ada yang tahu berapa besar armada yang akan melakukan serangan dadakan malam itu. Strategi brilian seorang penyihir Avalen yang menguntit dari balik lubang-lubang hati mereka, telah berjalan dengan begitu sempurna, melibatkan tiga ras yang terlihat begitu bodoh saat ini—Aztandor, manusia, dan Hamanidiosalfar.

Skak bagi sang raja!

Tak terbaca oleh langkahnya, Témpust sudah berada di ujung tanduk yang rapuh. Dia yang diperlakukan bak raja di sini, harus menerima kenyataan teritorinya telah dikuasai pion-pion musuh. Tinggal menghitung jam sampai sang penyihir sampai hati untuk menggerakan kesatria-kesatrianya ke medan pembantaian. Di sini, jauh di dalam Hutan Whisdur ini.

Wednesday, 2 June 2010

CHAPTER 16 - Celah Magis Barkastourith

Mereka tak tahu-menahu tentang apa yang sekarang terjadi di Eagle Harbour.

Kusko dan rombongannya menapaki jembatan rapuh yang lebarnya hanya lebih sedikit dari ukuran seekor kuda. Matanya menatap ngeri untuk ketinggian yang benar-benar membuat kepala terasa ngilu—meskipun kabut tebal sedikit menyembunyikan seperti apa ketinggian sebenarnya. Jembatan itu acapkali berderit, sendi-sendinya mengancam ingin menjatuhkan diri. Serpihan debu terkadang tersepak jatuh oleh kaki-kaki kuda, membuatnya menyadari bahwa dia pun beresiko mengalami hal yang sama. Di belakangnya, Cazar dan Ivander membuntuti dalam jarak yang ditentukan untuk meratakan beban di atas jembatan. Sedikit demi sedikit mereka mulai menjauh dari titik awal.

“Tidurlah, Alexa. Perjalanan masih panjang dan melelahkan,” bisik Kusko.

Benar-benar tak ada yang ingin Alexa lihat dari sini.

Seberkas kabut cukup tebal juga menutupi pandangan mereka ke ujung jembatan. Menengok ke belakang sudah tak mungkin, kabut juga menutupinya dengan begitu sempurna. Bisa dibayangkan betapa gelapnya tempat itu. Di sana Kusko menerangi setiap tapak perlahan kudanya dengan sebuah lentera di tangan kanan, sekaligus menggenggam tali kekang Drustgab. Satu-satunya lentera itu cukup menjadi petunjuk bagi kedua orang di belakangnya.

Di sisi seberang, mereka percaya sebuah tempat bernama Lembah Gardner sudah menunggu. Lembah itu dikelilingi oleh perbukitan Raven yang terbentang panjang hingga ke Hutan Urifed, rumah kaum Aztandor. Di sisi-sisi lembah itu terdapat gua-gua tempat para Burandal mengistirahatkan taring-taring penghisap darah milik mereka. Lembah terjal itu terbangun atas banyak batuan kering yang rapuh. Sedikit saja bergerak maka akan terdengar suara gemertak. Apa yang dilakukan Raja Gardner adalah membuat sebuah jalan kecil di antara kedua bukit, untuk dilewati para penunggang kuda yang akan pergi ke Raven Fortress. Dalam pengerjaannya saja diperlukan banyak serdadu yang menjaga para budak agar tidak menjadi mangsa Burandal.

Di balik suara deru angin yang terpecah membentur tembok-tembok bukit, Ivander dan Cazar dapat mendengarkan suara derasnya arus air jauh di bawah mereka. Arus itu terdengar kecil, banyak riak, beradu dengan banyaknya batuan. Mereka berdua sadar, arus itu tidaklah sekecil kedengarannya, ini masalah jarak, dan betapa dalamnya jurang yang mereka seberangi saat ini.

“Kusko, dengar, suara air atau Burandal? Dini sekali mereka pulang dari desa-desa. Apa mungkin tak ada tangkapan bagus?” tanya Cazar.

“Mereka tak lagi bernafsu berburu jika makanannya datang sendiri ke rumahnya, Cazar,” jawab Kusko. “Kau tahu kita berada dalam keadaan yang amat dekat dengan perut mereka. Tak satupun dari mata kita yang bisa menembus kabut setebal ini,” katanya sambil membetulkan selimut yang tersingkap dari tubuh Alexa, dia tak tahu Alexa bisa menjadi selemah ini.

Pendengarannya yang sedikit lebih tajam dari Cazar memang telah diberitahukan tentang keberadaan para Burandal. Mereka mulai berbondong-bondong menuruni lembah setelah mencium kedagingan manusia. Suara kerikil-kerikil berjatuhan, lalu desahan nafas mereka yang amat boros.

“Rasanya Burandal cukup besar dan kuat. Aku menebak dari setiap ucapan kalian,” pikir Ivander yang dikeluarkan lewat celetukan tiba-tiba.

Cazar tertawa pelan saat mendengar itu. “Kau tak akan percaya jika makhluk berbahaya itu berkebalikan dengan apa yang kau ucapkan,” jawabnya. “Mereka seukuran anak umur sembilan tahun, mereka juga tak kuat. Kekuatan lima dari Burandal tak akan sebanding walaupun hanya dengan satu Abodh. Kau tahu Abodh, bukan?” tanya Cazar balik.
“Tidak. Nama-nama itu asing bagiku,” gelengnya.

“Demi Theon. Kau harus mulai menghafalkan nama-nama setiap ras di Mithrillia,” kata Cazar menggelengkan kepalanya. “Burandal itu kecil, mereka gesit dan tajam. Kau harus melindungi dirimu dari taring-taring mereka yang berbahaya. Para Burandal hidup dari setiap tetes darah manusia yang mereka hisap, persis seperti bagaimana cara para Aztandor hidup dengan menghisap darah pahit Amon,” terang Cazar dengan sabar.

Kusko mendiamkan saja pria sebaya Témpust itu menjelaskan detil kaum-kaum di Mithrillia pada Ivander. “…Berbeda dengan Abodh. Mereka lamban, namun kekuatannya tak terbantahkan.”

Lalu pria muda itu mengangguk-angguk, di samping kegiatannya sekarang, yaitu mengamati ke kanan dan kiri bawah tempatnya dan kuda curiannya yang bernama Lecon, berjalan. Dia bisa mengingat dengan baik setiap detil bentuk monster yang diberikan oleh Cazar. Agaknya dia justru penasaran pada bentuk aslinya. Dia jadi berharap langsung bertemu.

Penjelasan Cazar belum selesai.

“…Dahulu semua Abodh menetap di gunung-gunung dan mengasingkan diri dari kehidupan, namun hanya sedikit pada masa ini yang masih bertahan di gunung. Sisa-sisa kesetiaan mereka pada alam dan Dewi Minith (dewi pemelihara alam yang disembah kaum Abodh) telah luntur. Mereka lebih terhasut kekuasaan keturunan Avalen yang menguasai bahasa naga. Mereka menganggap keturunan Avalen adalah titisan dari garis keturunan Bordock yang hilang. Aku yakin dalam pertempuran di Eagle Harbour, para Abodh turut mengambil bagian yang tidak sedikit. Lambat laun mereka semakin membenci manusia yang dianggapnya sebagai perusak alam.”

“Di dimensiku, kaum seperti mereka pasti akan mendapatkan dukungan besar,” canda Ivander. “Baru-baru ini ramai dikampanyekan tentang kepedulian terhadap pengrusakan alam. Hampir setiap minggu aku bisa melihatnya di televisi…” celetuk Ivander.

Awalnya itu mungkin sebuah lelucon. Jika dikatakannya dalam dalam dimensi Maya, mungkin orang-orang akan tertawa, tapi tidak di sini, di Mithrillia, di mana tak satupun dari mereka mengenal televisi. Ivander sadar dia telah melontarkan lelucon yang tak berguna.

“Televisi?” sela Cazar begitu polosnya.

“Benda kotak yang fungsinya mirip dengan sihir penerawangan milik para Aztandor dan Elf. Begitu kan, Ivander?” sela Kusko.

Ivander agak terkejut mendengar selaan Kusko. “Walau aku tak mengerti apa itu sihir penerawangan, aku heran mengapa kau bisa tahu bentuk televisi.”

Wajah Kusko mematung, bibirnya terbata-bata.

“Kisah itu kuperoleh dari orang-orang dimensimu yang terdampar di sini dan memohon untuk dipulangkan untuk bisa melihat kembali benda-benda seperti itu,” dalihnya tergesa-gesa.

Ivander mengangguk paham, meski tak satupun dari mereka yang melihat anggukannya—sebab Ivander berada di posisi paling belakang.

“Tentang Aztandor. Mereka masih menggantung, Cazar. Siapa mereka sebenarnya?” lanjut Ivander.

“Legenda tentang asal-usul mereka telah lama beredar. Dahulu pimpinan mereka, Azatur Bardiel, adalah pendeta yang paling dihormati, dengan status tertinggi di negeri Nemoralexia. Tergiur akan kekuatan yang lebih besar, Azatur melakukan ritual terlarang yang tersurat dalam gulungan hitam Kalanost. Dia terusir dari Nemoralexia setelah itu. Tapi pendukungnya yang tetap setia pada Azatur, yang mereka gelari Sang Kepala. Mereka memutuskan untuk meninggalkan Nemoralexia dan mengikuti Azatur. Itulah asal mula kaum Aztandor. Kabarnya mereka semakin terpuruk dalam sihir kegelapan yang tak bisa sepenuhnya mereka kuasai.”

“Bagaimana bisa Témpust meminta tolong pada kaum semacam itu?” ujar Ivander dengan nada miris.

“Kau sendiri sudah mendengar aku mengatakan hal yang sama pada Mérdanté, bukan?” jawab Cazar ringkas. “Mereka memanfaatkan suatu mantera kuno yang membuat mereka memiliki kekuatan legendaris Sang Pengendali Bangsa Naga, Lord Bordock. Karena itu pula mereka harus meminum darah paling busuk milik Amon. Hanya kekuatan pengendalian naga yang tak turun pada mereka. Kekuatan itu diperoleh melalui sebuah garis keturunan. Itulah yang kami cari-cari sekarang, Ivander. Kami mencari keturunan terakhir dari Lord Bordock yang tersebut dalam sajak kuno…”

Telinga Alexa mendengar pembicaraan itu sedari tadi. Dia tak tidur sepenuhnya. Dirinya jadi begitu sensitif pada cerita-cerita mengenai Lord Bordock. Lamencia Incargot, nama yang terus terbayang dalam setiap usahanya untuk terlelap. Pria yang mengakui namanya adalah Lord Bordock, memanggilnya dengan nama itu. Suara penuh kharismanya terasa tak mungkin bohong. Sudah seyakin itu dia memanggil Alexa, lalu serela itu pula dia berikan sebuah kalung yang begitu cantik padanya, sejauh itu, dia tak mungkin salah memanggil orang. Orang-orang ini menyebutkan nama Lord Bordock dengan begitu megah dan berpengharapan, itu cukup menggambarkan betapa hebat dan dahsyatnya manusia itu. Padahal masih segar di dalam mimpinya, pria besar itu tunduk pada Alexa. Dia dibuat cukup kebingungan, apalagi dengan adanya kalung yang nyata-nyatanya sudah berpindah dari mimpi ke dalam genggaman tangannya di kenyataan.

“…dan batu yang kau tunjukkan pada kami sudah menentukan bahwa masa ini adalah saatnya. Itu bila benar kau melihatnya bersinar di duniamu,” lanjut Cazar.

“Tentu. Sinar seindah itu tak mungkin sebuah tipuan. Aku jamin,” tegas Ivander.

Cazar tak melanjutkan penjelasannya. Sudah cukup sampai di situ. Dia dan Kusko merasakan bahaya yang sama di ujung sana. Bau yang amat khas bercampur dengan bau sebuah zat kimia yang lazim tercium saat perang-perang terjadi. Baunya masih jauh dari sini, namun akan segera menjadi ancaman serius. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berhati-hati. Berlari kencang di atas jembatan ini untuk menerjang, sepertinya menjadi sebuah kemustahilan.

Terusik oleh hal lainnya lagi. Kilauan lentera lainnya terlihat dari bagian belakang Ivander. Kilauan cahaya itu dikaburkan oleh butiran-butiran kecil dari selubung kabut.

“Kusko, lihatlah!”

“Aku tahu, Ivander. Kita terdesak dari dua arah. Si busuk itu, Midianor tak senang kita mendatangi Elgar Lhotién di Barkast. Desa itu milik para manusia setengah Elf yang amat mengurung diri dari pengaruh Midianor dan keturunan Avalen. Dia tak ingin kita bersekutu dengan Elgar.”

Desa Barkast. Saat ini, keamanan hanya akan diperoleh di sana.

“Tak ada yang katakan kita akan bersekutu dengan mereka, Kusko? Kau hanya katakan penyingkapan siapa Alexa sebenarnya,” sanggah Cazar mendadak. “Apakah itu tak akan memakan waktu lama sebelum aku dapat kembali ke Eagle Harbour untuk melihat keadaan saudara-saudaraku?”

“Tak ada yang bisa kau lakukan lagi, Cazar. Mereka sudah mendapatkan Aztandor sekarang, itu jika yang kau katakan tentang Aztandor dan Témpust pada Ivander tadi adalah kebenaran. Walaupun misiku juga membawa Alexa ke sana, namun Tuanku tak menduga ‘sampah selatan’ itu akan begitu mengganggu kita,” ujar Kusko tenang. “Arahkan busurmu ke belakang, Cazar. Saatnya membuat satu dari mereka jatuh.”

Cazar menghembuskan nafas untuk menahan udara dingin yang membuat tangannya gemetar dan tidak stabil. Dia menarik sebuah anak panah dari punggungnya dan menurunkan busur dari bahunya ke dalam genggaman tangan kokohnya. Dia mulai membidik ke arah cahaya-cahaya lentera kecil yang mengiringi mereka di belakang.

“Kau yakin itu para Serigala Pasir, Kusko?” katanya ragu.

“Dengarlah…” jawab Kusko. “Nafas kuda itu, nafas kuda yang terlalu sering berada di atas tumpukan pasir. Mereka pasti berusaha keras menahan udara sedingin ini. Jelas sekali mereka berasal dari peternakan di barat Garbadur Fortress, benteng kumuh di Benua Selatan.”

Barulah Cazar merasa yakin setelah itu.

“Merunduklah, Ivander.”

Ivander tak akan mungkin menolak perintah itu jika dia masih ingin hidup. Walau dia memiliki kekuatan regenerasi, bukanlah hal yang mudah untuk menahan rasa sakit akibat hujaman panah dari jarak sedekat itu. Lagipula melakukan itu akan membuatnya menjadi pria terbodoh sepanjang masa.

Tangan mantap Cazar melepaskan anah panah itu menembus gumpalan kabut tebal. Bahkan anginnya terasa menyisir rambut Ivander. Begitu terasa kekuatan dari satu anah panah itu. Cazar Balamug, seseorang yang mengerti arti busur dan anak panah sejak usianya enam tahun. Pria itu memang berbakat dalam urusan panah-memanah. Walau bukan dalam ilmu pedang.

Tak lama, terdengar celotehan dari bahasa Benua Selatan. Bersama-sama mereka berteriak saat melihat rekan mereka tiba-tiba jatuh ke bawah, ke sungai Galbor. Tepat dugaan Kusko. Mereka adalah gerombolan bandit Tammil Ibrahim yang menginginkan sekali pendayungan untuk mencapai dua pulau sekaligus—mereka inginkan Alexa, berbarengan dengan tujuan mereka ke Raven Fortress selanjutnya. Mereka pikir jalan terbaik adalah melakukan perebutan di atas jembatan, tentunya setelah membuntuti rombongan Ivander ini mulai dari Sladur.

Umpatan-umpatan kasar terdengar ke telinga Kusko yang mengerti bahasa mereka. Mereka amat marah, dan dengan alasan yang berbeda mereka juga merasa yakin berada dalam jalur yang tak salah. Anak panah Cazar membuat mereka juga yakin kalau Alexa berada tepat di hadapan mereka. Mereka dan orang yang mereka cari, hanya terpisahkan oleh kabut. Betapa senang mereka mengetahui hal itu.

“Rasanya itu cukup untuk menyatakan diri kita pada mereka, Cazar,” ujar Kusko sedikit gelisah.

“Jembatan bergetar, Kusko. Sepertinya mereka nekad berlari!” seru Ivander panik. “Kau rasakan itu, Cazar?”

“Kupikir mereka tak pernah cukup memiliki alasan untuk menjadi lebih pintar…Sekumpulan kantung sampah!”

“Dan tak punya alas an untuk lebih mengerti keadaan juga, karena sepertinya para Burandal juga nekad menyerbu, Kusko!” timpal Cazar keras. Dia mendengar deru kerusuhan dari kedua arah, depan dan belakang. Para Burandal dan Serigala Pasir akan bertubrukan dengan rombongan Ivander pada suatu waktu, di atas rapuhnya jembatan ini. Ini juga menunjukkan betapa liarnya pihak-pihak di depan dan belakang. Mereka bahkan tak berpikir jembatan ini bisa runtuh pada waktu apapun. Saat ini saja, bunyi berdenyit dari paku-paku rapuh yang mematri kayu-kayu tua mulai menusuk telinga.

“Kita tak bisa diam di sini. Berlari sajalah ke depan. Kita lihat sekuat apa jembatan ini,” saran Kusko.

Walau itu juga suatu kegilaan, mereka tetap berlari ke depan, seperti seorang kesatria berkuda yang memegang tombak untuk menjatuhkan musuh berkuda di hadapannya. Diam juga berarti mati terkepung hingga tak mungkin lagi bergerak, jadi sejauh ini, hanya itulah pilihan terbaik mereka. Sampai cukup jauh mereka berlari menerobos kabut, menghindari lubang demi lubang kecil pada reyotnya papan, mereka mencium aroma menusuk dari depan. Sebuah bau asam, semakin dekat, bau itulah yang sedari tadi dihirup dari kejauhan oleh Cazar dan Kusko.

“Bau bahan kimia. Tutup hidungmu, Ivander!” seru Cazar yang sudah melakukannya terlebih dahulu.

“Bukan! Ini tidak berbahaya bagi pernafasan,” sanggah Kusko. “Aku sering menghirup bebauan ini. Ini seperti bau getah pohon Gatte.”

“Bukankah itu bom? Burandal gila itu mencoba menjatuhkan kita bukannya memakan kita? Oh, Theon. Mengapa kita jadi terkepung oleh makhluk-makhluk bodoh,” geram Cazar retoris.

Pohon-pohon Gatte hanya tumbuh di sekitar Lembah Gardner dan perbukitan belerang Vallenor. Batangnya kurus kering dengan diameter cukup besar. Akarnya begitu kokoh menunjang tingginya pohon itu. Daun-daunnya menebal seperti tudung jamur. Rantingnya kurus dan panjang-panjang. Pohon Gatte memiliki getah yang jumlahnya sedikit, tapi getah itu mudah meledak bila tersulut api. Para Burandal menyadapnya untuk dimasukkan ke dalam tong kayu kecil yang permukaannya rapat hingga tak ada celah bagi getah itu untuk mengalir keluar. Kemudian pada permukaan atasnya dilubangi dari ditambahkan dengan tali tambang agak tipis sebagai sumbu. Daya ledaknya mirip sebuah bom molotov buatan tangan.

Benarlah apa yang dihirup oleh Kusko dan Cazar. Mereka tak perlu menjelaskan panjang lebar pada Ivander, tentang untuk apa itu getah pohon Gatte. Ivander bisa melihatnya sendiri di hadapan mereka, agak jauh. Para Burandal berlari menyongsong, dengan tangan menggenggam tong-tong kayu kecil. Bom. Maka paniklah mereka semua. Sementara di saat yang sama, para Serigala Pasir juga mulai menggapai keberadaan mereka.

“Minggir!!! Makhluk busuk yang berlagak berperadaban!” teriak Kusko menubruk gerombolan Burandal yang tengah sibuk menyentuhkan api pada obor di tangan mereka dengan tali sumbu bom.

Yang terjadi kemudian adalah belasan bom Gatte berjatuhan di atas jembatan. Acapkali api obor sudah terlanjur menyentuh sumbunya. Para Burandal itu terpelanting oleh tubrukan Drustgab, beberapa dari mereka terjatuh pula ke dasar sungai. Keadaan sangat ricuh saat itu. Kecepatan Kusko mulai terhambat oleh kepadatan Burandal yang semakin menjadi-jadi. Suara-suara kecil bagai nenek sihir itu berbunyi sahut-menyahut. Mereka sangat marah, amat marah dan juga lapar. Para Burandal begitu liar menerkam Kusko. Dorongan kepanikan membuatnya terus berusaha memacu Drustgab sekencang mungkin.

Bom itu akan meledak. Bom-bom lain yang juga terjatuh, walaupun belum tersulut, pasti akan terambati ledakan itu. Bodohnya, para Serigala Pasir tak menyadari adanya bom. Satu buah bom, yang siap meledakkan belasan bom lainnya.

Dengan kecepatan dan kenekadan itu, Kusko berhasil juga sampai ke tepian. Lekas dia menyingkirkan lentera dari tangannya, digantikan oleh sebilah pedang berkilau dari sarungnya demi mengusir para pengacau cilik ini. Panah-panah Cazar beraksi sesaat setelah dia juga menyusul Kusko. Lahan pertarungan baru bagi keduanya telah tercipta. Kerusuhan itu benar-benar terjadi di saat kelelahan sedang erat membungkus tubuh mereka. Cazar Balamug dan Ivander Graham sama sekali belum berkesempatan untuk sepenuhnya tertidur lelap, sementara Mithrillia Kusko baru saja menyembuhkan luka di tulang tangannya—entah bagaimana caranya. Kekuatan mereka begitu dipaksakan demi menyelamatkan seorang gadis yang katanya berharga, di dalam lindungan Kusko sekarang.

Sampai saat-saat terakhir menuju peledakan, Ivander belum tiba juga ke tepian. Dia terhambat oleh para Burandal yang tersisa di jembatan. Sementara satu bom yang tersulut, terlanjur meledak, disusul oleh pelopor peledakan lainnya, merambat ke belasan bom lain di sana. Jembatan kayu itupun terputus dan runtuh. Para Serigala Pasir terkena dampak terburuk dari ledakan itu. Sebagian dari mereka terhempas ledakan itu, sebagian lainnya terjatuh karena jembatan mendadak runtuh, tapi semuanya berakhir sama—kematian di dasar jurang. Aliran deras sungai cadas menyambut tubuh-tubuh mereka.

Ivander terkejut. Dia merasakan betapa maut baru saja begitu dekat membuntutinya di belakang. Hembusan angin dari ledakan itu mengibaskan rambutnya ke depan. Dia bisa membayangkan betapa dahsyatnya ledakan yang terjadi.

“Lompat! Lompat, Lecon!” teriak Ivander panik.

Kuda itu memacu cepat, dia sendiri tahu nyawanya, juga nyawa penunggangnya, berada di ujung tanduk. Suara maut seakan berteriak puas di belakang mereka. Sambil mendengus kencang, Lecon melompat, dia memaksakan kedua kakinya agar sampai ke tepian. Kakinya terpeleset, Lecon jatuh terseret di tanah, menghempaskan tubuh Ivander jauh ke depan, dibarengi tubrukan ke arah dua ekor Burandal. Tapi mereka selamat, tak ada yang lebih melegakan daripada itu.

Para Burandal tak akan mendiamkan mereka yang berhasil lolos.

Mereka menyergap Ivander yang baru saja menarik nafas lega. Pisau kecil senjata mereka, terhunus dengan punggung tangan, berniat menikam kudanya, Lecon. Cazar yang melihat hal itu, secara refleks menembakkan anak panahnya untuk melindungi Lecon. Sudah tak mungkin bagi Lecon untuk membantu Ivander bertarung.. Ivander menyibak kain yang membungkus Obelisk, sambil berteriak, dipaksakannya untuk mengibas brutal ke segala arah. Dia begitu kesal terhadap ulah jahil para Burandal, makhluk kecil jelek menjijikan. Betul kata Cazar. Mereka tidak tinggi, tapi mereka bukan main menyebalkan.

Kini tepian jembatan benar-benar menjadi arena pertempuran baru.

Para Burandal kehilangan banyak kerabat mereka akibat kegilaan yang dipaksakan oleh tiga orang itu. Seorang Bounty Hunter, seorang pejuang kebebasan, dan seorang agen rahasia, kini berada di tengah pertempuran penuh darah-darah merah pekat agak hitam—ciri dari darah para Burandal. Kaum kerdil itu terus saja menyerbu mereka dengan pisau-pisau pendek bengkok mereka yang tergenggam di jari-jari keriputnya. Ukuran tubuh mereka yang tak lebih tinggi dari punggung seekor kuda tak mengurangi kebengisan mereka.

Luka baru, sayatan baru dan goresan baru.

Ivander terus terserang prajurit-prajurit gesit itu. Kini dadanya berdebar-debar karena dia tahu tak ada waktu untuk beristirahat di tengah kesulitan yang menimpa dia dan kedua rekannya. Ivander berjuang untuk melawan kelelahan demi menjaga tubuhnya dari lebih banyak luka goresan yang cukup dalam dan perih. Dia sadar Burandal adalah musuh licik yang tak bisa diremehkan. Mereka miliki banyak senjata di seluruh tubuhnya. Dalam keadaan bagaimanapun, Burandal selalu punya cara lain untuk melukai mangsanya.

Dalam pertempuran yang makin berat sebelah itu, Alexa terbangun, dia terkejut menyadari dirinya tengah berada dalam kerumunan kurcaci-kurcaci menyeramkan. Tebasan-tebasan Kusko terlihat begitu jelas dari sudut pandangnya. Menengok jumlah kurcaci itu, sadarlah dia bahwa mereka dalam bahaya sekarang. Akibat kerusuhan itu, Alexa yang sudah letih terdorong untuk menjelajahi sekitar dengan pandangannya. Di matanya terpantul rombongan Burandal berdatangan dengan pisau-pisau dan suara cekikikan cemprengnya; Cazar Balamug yang sedari tadi menghabisi musuh dengan tenang dan kalem; dan dia sama terkejutnya dengan Ivander, wajah yang sama dengan pria di stasiun kereta api. Tapi kebetulan itu seakan biasa saja bagi Alexa. Dia tak begitu menggubris hal itu. Mungkin saat ini Alexa tak mampu lagi untuk terkejut dan berseru.

Kau? Bukankah kau pria yang kutemui di stasiun?

Benar, gadis itu sudah kelewat lelah dengan perjalanan ini.

Alexa memalingkan wajahnya dari Ivander dan memperhatikan hal lain—justru dia bertambah takut begitu memandang tinggi ke bukit, dimana para Burandal meluncur turun seperti air terjun. Dia tak lagi berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Alexa menutupi wajahnya ke dada Kusko dan berharap-harap. Dia hanya ingin semua ini berakhir dan dia bisa beristirahat.

“Atas, Cazar! Burandal baru dari bukit!” seru Ivander.

Dengan peringatan itu, Cazar menembaki Burandal baru dari bukit. Mereka terguling-guling merosot dengan anak panah tepat di dadanya. Ivander kembali mengayunkan pedang besarnya, menyambut Burandal yang masih tersisa di sepanjang kaki bukit. Sabetannya seperti gelombang lautan. Panjang mata pedang Ivander saja hampir mencapai satu meter. Lebarnya sepanjang satu jengkal tangan orang dewasa—dari ibu jari hingga kelingking. Ivander sangat terlatih menggunakan pedang berdaya rusak hebat itu. Tapi kini keunggulan senjata itu dirasanya kurang ampuh untuk menghadapi kumpulan makhluk kecil dan liat seperti Burandal.

“Kemampuan berpedangmu hebat juga, Ivander. Kau memiliki bakat,” puji Cazar yang masih sibuk membidik Burandal dan menembaknya. Sedikit demi sedikit Burandal berjatuhan akibat panah dari Cazar. Namun Cazar sadar anak panahnya kritis. Dia tak bisa terus menerus mengandalkan kayu tipis bermata tajam itu. Suatu saat, dia harus menghunus pedang ringan di pinggangnya jua, sama seperti kedua rekannya yang lain.
Ivander hanya tersenyum sedikit mendengar pujian itu. Dia lebih serius menghindari serangan langsung para ‘setan-setan’ kecil ini. Mereka terus menyerang tanpa henti seolah tiada habisnya. Ivander menggelengkan kepala saat memandang ke atas bukit, lagi-lagi belasan Burandal baru.

“Burandal. Kecil, jelek, menjijikan!” umpat Ivander kesal.

………

Pertempuran itu semakin memojokkan rombongan pejuang.

Beberapa menit telah berlangsung. Rombongan Ivander memang dikepung habis-habisan. Namun di saat kematian hampir memutuskan nasib mereka, pertolongan datang tak terduga oleh siapapun. Mendadak sebuah gempa mengguncang tempat itu. Para Burandal rontok bagai batuan dari tebing. Mereka tergelincir dan akhirnya terseret hingga ke bawah. Beberapa yang berdiri tepat di dekat tepian, terjatuh ke dasar sungai. Dominasi para Burandal hilang seketika. Gempa itu begitu aneh, bahkan tak sedikitpun mereka bertiga terguncang olehnya. Kusko menemukan keganjilan dalam gempa ini. Dia tahu sebuah gempa tak akan terjadi mendadak seperti ini.

Mantera.

Pasti ini adalah mantera dari elemen bumi.

Lagi-lagi secara mendadak. Dari arah yang sama, utara. Kali ini berhembus angin yang sangat kencang. Angin kencang itu datang dengan kekosongan, tanpa membawa sedikitpun benda-benda alam ke dalamnya. Angin itu datang hanya untuk membawa para Burandal hingga terhempas masuk ke dalam dasar sungai. Satu persatu Burandal lenyap dari tepian jembatan, diiringi oleh teriakan penuh dendamnya. Hanya sedikit Burandal yang berhasil selamat dari kejadian itu—mereka yang mengurungkan niatnya untuk menyerbu saat merasakan gempa bumi magis. Mereka berlari kencang menjauhi tempat itu. Para Burandal berlarian bak dikejar-kejar dewa maut. Dalam sekejap, tempat itu sunyi, suara-suara cempreng tadi lenyap begitu saja.

Ini aneh, serentak ketiganya dari dalam batin mereka. Mereka yang tadinya menutup mata karena debu begitu sadis menerpa wajah mereka, menyadari para Burandal telah habis saat mata mereka terbuka. Mata mereka hanya bisa memandang tak percaya, dan bibir mereka berceletuk takjub dengan kejadian yang baru saja mampir.
Elemen angin. Kusko tahu penyihir barusan pasti menggenggam kekuatan yang amat dahsyat. Butuh tingkatan magis yang sangat tinggi untuk mengontrol dua elemen sekaligus. Terus-menerus batinnya bertanya, siapa dia?

“Sudah berakhirkah?” tanya Ivander perlahan-lahan tanpa perlu didengar dan dijawab. Matanya menerawang ke segala arah, seakan tak percaya para Burandal telah lenyap.
Keheningan sesaat tercipta.

“Sihir apa itu barusan?” celetuk Cazar. “Kekuatannya besar sekali. Apakah itu musuh baru untuk kita, Kusko?”

Kusko menoleh tenang dalam tatapan dinginnya. Dia dan kudanya melangkah beberapa saat ke utara. Kusko memberanikan dirinya untuk melihat lurus ke sana, dimana seorang berkuda datang menyambut. Derap kudanya begitu cepat hingga debu-debu memancarkannya dengan jelas. Dialah penyihir kuat yang membabat habis seluruh serdadu kurcaci bajingan itu. Tangan Kusko masih menggenggam erat gagang pedangnya di tangan kanan.

Saat itu, matahari mulai terlihat dari ufuk timur. Cahaya mudanya memantul di jubah putih pria berkuda itu. Kehadirannya terlihat begitu mengagumkan, apalagi mengingat apa yang sudah dia lakukan untuk menyelamatkan orang-orang itu. Seperti kesejukan yang mendadak mengisi seluruh lembah.

“Kahab?” gumam Kusko tak yakin, saat memandang orang itu.

Cazar menjalankan kudanya beberapa langkah hingga sejajar dengan Kusko. “Kawan, atau lawan?” imbuh Cazar menyiapkan tangannya untuk mengambil anak panah dari punggungnya. “Hanya tersisa sepuluh, kuharap mampu menjatuhkannya dengan tepat.”

“Tahan, Cazar,” kata Kusko penuh ketenangan, sambil meletakkan tangannya pada bahu Cazar. “Aku kenal dia. Dia teman kita.” Kusko sama sekali tak melepaskan pandangannya dari pria berjubah putih itu.

Penunggang kuda berjubah putih bersih itu semakin mendekat dan akhirnya sampai ke hadapan para pejuang. Dia mengenakan jubah yang bertudung putih pula dengan ornamen sulur-sulur dan dedaunan emas di garis tepi tudungnya, juga pada jubahnya. Dia menunggangi kuda yang amat cantik—kulitnya putih bersih, rambutnya halus, matanya bersinar. Dia laki-laki, tampan dan sebersih kudanya. Rambutnya pirang dan tampak sangat halus saat dia membuka tudung untuk memperlihatkan wajahnya. Seluruh rambutnya beralur ke belakang untuk memperlihatkan keanggunannya. Cuping telinganya agak lancip—meski tak selancip milik kaum Elf murni. Bola mata hijau tuanya begitu jernih. Dia tersenyum ramah saat melihat rombongan itu.

“Tamu dari Goat Hill?” katanya ramah. “Sebuah kehormatan bagiku untuk bertemu dengan kalian di sini,” ujarnya penuh kesantunan dalam tata bahasa.

“Kahab? Kau Kahab?” tanya Kusko berulang.

“Bukan, Bounty Hunter. Namaku Halab, putera Rahab Alabanor. Saudara kembarku, Kahab, sudah tak lagi menetap di Barkast sejak tujuh tahun lalu. Elgar akan sangat senang mengetahui kau salah satu teman dari Kahab.”

Kahab Alabanor, manusia setengah Elf. Kusko memiliki banyak kenangan perjuangan dengannya. Mereka berdua ditarik dari dunianya masing-masing, untuk diuji dalam rangkaian ujian menjadi seorang Bounty Hunter. Namun, bukan dengan alasan kekuatan, orang yang menguji mereka akhirnya memilih Kusko, melainkan karena tabiat mereka yang berlawanan. Sudah lama ditentukan bahwa Bounty Hunter pilihannya akan menjadi penjaga bagi Sang Terpilih, dan Kahab tak memiliki rasa untuk berkorban. Walau bila diukur dari segi kekuatan, baik fisik maupun magis—yang tak dikuasai Kusko—Kahab adalah yang terbaik. Setelah kegagalannya merebut hati orang yang telah dijadikannya sebagai panutan, Kahab frustasi dan bersumpah akan membalas penghinaan itu. Kemudian dia hilang, entah kemana.

“Mengapa itu bisa terjadi?” tanya Kusko lagi.

“Kau akan lebih puas jika mendengarnya langsung dari Elgar Lhotién,” jawabnya santun dan ramah. Pria ini memiliki kharisma dan kesantunan seorang Elf, namun proporsi tubuhnya lebih besar dari Elf karena dia memiliki darah keturunan manusia. “Mari kuhantar kalian ke tempat peristirahatan. Desa Barkast sudah menantikan kehadiran kalian.”

“Kudaku, bagaimana dengan Lecon kudaku?” sela Ivander.

Halab mendengarnya. Dia mendekatkan diri pada Lecon, kuda malang yang terbaring, seakan tengah merintih kesakitan. Sorot iba di mata Halab, mendadak meruncing tajam, alisnya berkerut serius. Kemudian Halab memejamkan mata.

Haelica amarretia,” sebut Halab setengah berbisik.

Cahaya putih mengelilingi tangannya, seperti api kecil yang membara. Halab turun dari atas kudanya dan menyentuhkan tangan itu ke pergelangan kaki Lecon yang terkapar. Halab mengelus-elus kaki itu, sampai akhirnya Lecon bisa berdiri kembali. Dia meninggalkan perasaan takjub bagi seluruh manusia yang menyaksikannya. Terakhir dia mengelus-elus wajah Lecon yang bercampur debu-debu perjalanan. Debu-debu sama seperti debu yang menempel di wajah lusuh Ivander dan Cazar. Dari tumpukan debu itu, Halab menyadari perjalanan panjang yang sudah ditempuh orang-orang ini.

Dia menengok dengan ramahnya pada Ivander. “Kudamu ini sudah siap menghantarkanmu kembali.”

“Aku tak tahu dengan apa membalasnya,” jawab Ivander tergagap-gagap.

“Sudah menjadi tugasku untuk membantu perjalanan kalian,” ujarnya. Kemudian dia memalingkan wajah ke arah Alexa dan memperlihatkan antusiasme datarnya, “Seorang wanita bersama kalian?” Halab agak heran.

“Dia Alexa dari Maya. Asalnya dan Ivander sama. Dia terdampar di dimensi ini, dan aku percaya itu bukan sebuah kebetulan,” jawab Kusko.

Halab tersenyum kembali, hampir membuat Ivander kesal karena dia tak biasa menghadapi orang seramah itu. “Dan kalian mencari Elgar untuk itu, bukan?”

“Maaf atas kelancangan kami mengganggu dini harimu, Halab,” balas Kusko untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara lain.

Halab mengerti maksudnya.

“Kalau begitu biarlah kalian diperlakukan selayaknya tamu istimewa yang sudah tak lagi pernah datang ke desa Barkast.”

“Hormat dari kami, Halab,” sambung Cazar Balamug penuh kerendahan hati. “Kuharap kalian mau menerima kami yang berlumuran darah.”

“Jika begitu, adalah sebuah niat baik dari kami untuk membersihkannya kembali,” tanggap Halab begitu santun.

………

Matahari mulai merambat tinggi saat mereka melewati Lembah Gardner. Pagi ini tampak begitu indah bagi Cazar yang belum mengistirahatkan matanya sejak berangkat mencari Bader—tak berbeda dengan Ivander. Kawanan kalajengking sering terlihat melintas di tanah, sepanjang perjalanan menelusuri habitat para kalanjengking itu. Tidak heran para Burandal juga tahu banyak soal racun. Sesekali masih terdengar suara sewot beberapa Burandal yang sama sekali tak berani melakukan serangan balasan. Suara itu memantul-mantul ke dinding lembah dan disampaikan oleh pohon-pohon kering ke telinga mereka. Hanya karena kahadiran Halab saja, mereka bertekuk lutut ketakutan. Mereka semua tahu, berpasang-pasang mata Burandal tengah mengintip mereka dari suatu tempat.

Bayangan sisi bukit sebelah kanan menutupi lembah hingga cahaya matahari menyinari kembali di bukit sisi kiri.

Kuda-kuda itu menderap cukup cepat dengan pimpinan Alamar, kuda yang ditunggangi Halab. Kuda putih Alamar, lebih cantik dari kuda manapun yang pernah ditemui oleh masing-masing rombongan Ivander. Rambut putihnya amat halus, terlihat betul kuda ini sangat terawat. Halab dan Alamar membimbing mereka ke dalam sebuah celah yang sempit, hanya cukup bagi seekor kuda dengan sisa sedikit ruang bagi udara. Semakin jauh celah itu ditelusuri, tanah kering yang dipijak perlahan mulai terlihat ditumbuhi rumput, seiring dengan lokasi mereka yang semakin dekat ke desa Barkast. Sebenarnya, jika tidak berbelok memasuki celah sempit yang jarang ingin dimasuki orang itu, mereka bisa melanjutkan perjalanan ke Hutan Urifed dan bertemu dengan Mérdanté, meskipun jarak yang akan ditempuh lumayan memakan waktu dan tenaga. Hanya kegilaan yang membuat Mérdanté mampu menempuhnya hanya dalam waktu semalam saja.

Celah itu mulai memastikan diri untuk pelan-pelan melebar. Dinding-dinding batu di celah itu mulai ditumbuhi lumut dan tanaman-tanaman kecil. Celah itu disebut Barkastourith, satu-satunya jalan masuk ke desa isolasi Hamanidiosalfar atau manusia setengah Elf, Desa Barkast. Lumut-lumut itu semakin mudah ditemui dan semakin banyak jumlahnya, disusul dengan kehadiran tanaman merambat yang perlahan juga makin banyak bergelantungan di tembok celah. Lalu suara decitan hewan-hewan pengerat memantul, menggantikan suara Burandal yang sama sekali tak terdengar lagi. Tapak kuda-kuda itu akhirnya memijak rumput, begitu hijau seakan belum pernah terinjak sebelumnya.
Desa Barkast sudah mulai bisa terbayang oleh mereka yang sebenarnya sudah cukup takjub hanya dengan melihat pemandangan ini. Mereka mulai memperlambat laju kudanya hingga ada cukup waktu untuk menikmati keindahannya. Melihat itu, Alamar dan penunggangnya menyanggupi. Dia memimpin mereka lambat-lambat.

“Kami tak menyangka ada keindahan semacam ini di tempat semacam Lembah Gardner. Ini luar biasa, Halab. Menakjubkan untuk melihat bagaimana mereka tumbuh untuk membimbing kami pada pikiran akan betapa indahnya desa Barkast,” puji Cazar.

“Atas sanjunganmu kuucapkan banyak terima kasih. Tak banyak tamu kami yang bisa sampai ke tempat ini. Mereka yang berniat buruk terhadap desa Barkast justru akan melihat celah ini semakin menyempit hingga menyatu menjadi tembok penghalang, sebelum sampai ke tanah yang kalian injak sekarang.”

“Salah satu keajaiban dari darah keturunan peri di tubuh kalian, benar?” timpal Kusko yang berjalan di belakang Halab.

Halab tertawa renyah, namun begitu pelan dan singkat hingga terdengar hanya seperti hembusan nafas. “Kami sudah lama meninggalkan kebiasaan kaum peri sejak mereka semua berpindah ke Anabalheim.”

“Dua ratus tahun lalu, Halab? Aku jadi terpikir berapa sebenarnya usiamu?” tanya Cazar.

“Aku lahir sekitar tujuh puluh tahun setelah itu. Menurut kalender kalian kaum manusia, usiaku mencapai seratus tiga puluh tahun. Jika aku menggunakan kalender peri, tepat tiga puluh tahun adalah usiaku,” jawabnya enteng penuh canda.

“Jika itu berlaku pula bagi Elgar, entah sudah seperti apa wajahnya sekarang. Bagaimana keadaannya, Halab?” ujar Kusko setengah canda.

“Kami tak bertambah tua seperti layaknya manusia. Tapi kami bisa memancarkan usia kami dengan raut wajah. Begitulah kebijaksanaan di wajah Elgar cukup menggambarkan usia empat ratus dua puluh empat tahun yang dimilikinya. Kematian bagi kami adalah pilihan, bukan takdir seperti yang dijalani kaummu. Saat ini juga, aku bisa melepaskan kehidupanku dan pergi ke pangkuan Dewa Frey. Begitupun halnya dengan para Elf, termasuk Elgar,” cukup jelas penerangan singkat dari Halab mengenai kehidupannya dan kaumnya. “Aku mengenal Éleon dari keluarga Baldmur di kubu kalian,” sambung Halab meneruskan pembicaraan sambil menoleh sejenak dan memperlihatkan senyum ramahnya.

“Benar. Éleon juga adalah separuh Elf sepertimu dan Elgar. Dia tak pernah menyebutkan berapa usianya padaku. Pernah tersembur dari mulutnya kalau dia tak suka masa lalunya dan para Elf diungkit kembali. Baginya, mempertanyakan usianya berarti sama dengan menyebutnya setengah peri,” ujar Cazar dengan sedikit nada heran.

“Dan menyebut dirinya makhluk setengah peri, hampir berarti kau menghinanya sebagai anak yang terbuang,” sambung Kusko yang juga mengenal Éleonais Markourith.

“Aku mengerti,” jawab Halab. “Éleon tak menyukai kaum peri karena ibunya yang murni seorang Elf, meninggalkan Éleon untuk menyepi ke Anabalheim bersama ratusan Ljosalfar lainnya. Keberadaan kami yang memiliki darah kaum kalian, tak diterima di sana. Namun jelas terlihat kerinduan Éleon untuk bertemu dengan ibunya kembali. Bukankah seharusnya dia memakai nama Baldmur sebagai kelanjutan keturunan ayahnya?...” terang Halab.

Halab menjelaskan betapa dia mengenal Éleon, sebab pria itu sempat menetap di desa Barkast selama beberapa tahun hidup dalam kekecewaan karena ditinggalkan. “…Dia tak keberatan disebut Éleon keturunan Markourith, bukan? Di desa Barkast, tak ada lagi orang yang memiliki nama keluarga itu. Markourith merupakan salah satu keluarga terhormat di antara para Ljosalfar selain Alabanor, Lhotién dan Crassvalla. Nama-nama itu memiliki keturunan kesatria dan konon berhubungan sangat baik dengan keturunan Incargot. Sebab itu, nama-nama itulah yang paling pertama menyatakan kekecewaannya pada manusia. Setidaknya para Ljosalfar tak ikut membalaskan kekecewaannya seperti yang dilakukan para Svartalfar.”

“Mengenai para Elf dalam kegelapan itu, apakah pertikaian antara kalian masih berlangsung?” tanya Kusko.

Hanya bisa diam untuk mendengar, selalu itu yang dilakukan Ivander sejak tadi. Tapi diam dan mendengar kisah menarik ini bukanlah hal yang sulit. Para peri di Mithrillia, sesuatu yang baru kali ini dia lihat, meski baru melihat keturunannya saja, itu sudah membuatnya takjub. Apalagi sejarah mereka seakan sangat panjang dan tak ada habisnya untuk dikupas. Tempat ini masih terlalu luas untuk dijelajahi olehnya yang begitu merasa hebat di dimensi Maya. Ivander seperti merasa amat lemah dan terpinggirkan karena ketidaktahuannya akan perkara-perkara Mithrillia. Dia mengingat tujuannya ke sini hanyalah untuk bertemu Témpust dan menyerahkan batu Oriel, tak lebih. Dia menduga-duga bahwa setelah itu dia bisa pulang dan membereskan kasus Lacuna Syndrome, juga para pesakitan yang merana.

Kenyataanya berbeda, terbalik.

Tak ada kepastian kapan dia bisa kembali. Dia terpisah dari Enrico van Luigi. Meskipun keyakinannya mencuat tentang keselamatan Enrico di sana. Dia tak tahu apakah orang-orang di sini mengkhawatirkan Lacuna Syndrome atau tidak. Dia lebih khawatir lagi ketika semua orang di sekitarnya bertindak kalau Alexa sudah pasti merupakan Sang Terpilih yang bisa menghentikan Lacuna Syndrome.

Lagipula, bila Mirage sebegitu kuatnya sehingga bisa merencanakan Lacuna Syndrome, apakah mungkin gadis yang kerjanya hanya tidur itu bisa?

“Tidak semenjak pengasingan Hamanidiosalfar ke http://www.blogger.com/img/blank.gifdesa Barkast dan Ljosalfar ke Anabalheim. Mereka juga menetap di wilayah mistis bernama Kalanheim, kadang kami menyebutnya Svartalheim. Kami tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu dimana tempat itu. Kami hanya takut mereka akan kembali untuk mengusik haknya atas gulungan Anabalost yang sudah mereka tinggalkan,” lanjut Halab membuat Ivander kembali ke fokusnya terhadap cerita itu.

“Aku mendengar perburuan mereka terhadap keturunan Incargot yang tak pernah berakhir, Halab. Bagiku itu sangat mengancam kelangsungan dimensi kita,” ujar Kusko dengan nada khawatir.

“Dahulu memang begitu, mungkin sampai sekarang tetap seperti itu. Angin tak lagi sudi membawa kabar mereka ke telinga kami. Sudah cukup lama kami berdiam di Barkast tanpa mengetahui perburuan mereka. Yang kutahu, mereka melebarkan sayapnya untuk menghabisi pula kaum Aztandor yang menggunakan keturunan Incargot sebagai kekuatan palsu. Mereka benci kaum pencuri itu. Aztandor telah mencuri isi dari gulungan Kalanost milik mereka dan menemukan mantera-mantera rahasia milik para Svartalfar. Hanya sejauh itu aku bisa menghantarkan pertanyaan kalian menemui jawabannya.”

“Tak apa, Halab. Keramahanmu cukup membuat mata kami terbuka. Tinggal di Goat Hill terkadang membuat mataku terkukung oleh masalah kami sendiri. Kusematkan terima kasih karena sudi menceritakan banyak hal pada kami,” imbuh Cazar menyergap.

………

Perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama. Mereka sempat beristirahat untuk sekedar duduk dan memakan apa yang paling mungkin bisa dimakan—buah Agrob di dinding-dinding bukit—dan menenggak minuman dari wadah masing-masing. Kusko menyandarkan tubuh lemah Alexa ke dinding batu. Dia membisiki Alexa untuk segera bangun sejenak. Tak ada manusia yang dapat bertahan hanya dengan tidur. Alexa harus minum dan memakan paling tidak sebuah Agrob untuk menenangkan perutnya sementara.

Buah Agrob memiliki batang berbulu yang merambat, buahnya hanya tumbuh di tempat yang paling dekat dengan akarnya. Warna buah itu ungu, bentuknya seperti apel, rasanya sedikit asin dan manis. Buahnya tertutupi rambut kasar berwarna kuning pucat. Rambut itu akan terasa gatal saat dipegang dengan tangan. Itu yang membuat Halab menghentikan Ivander yang coba mengambilnya secara langsung. Buah Agrob harus dipetik dari tangkainya, untuk menghindari rambut itu. Setelah beberapa lama terlepas dari tangkainya, rambut itu akan kehilangan keampuhannya membuat gatal, Saat itu buah Agrob bisa dimakan.

Di sela-sela santapan itu, Ivander memandang gadis bernama Alexa dan Kusko dengan perasaan aneh. Dia pikir pemandangan itu cukup membuatnya iri. Ya, baginya ini adalah semacam perasaan cemburu. Ivander berpikir, seandainya saat bertemu di stasiun dia berani menyapa Alexa dan menanyakan namanya, mungkin dialah yang sekarang berada di tempat Kusko berdiri.

Kedua tangan Alexa dengan begitu lemas menggenggam tempat air minum Kusko yang terbuat dari kulit hewan. Matanya sayu, kantung matanya juga tebal. Di wajahnya banyak ditemukan goresan-goresan kecil, begitupun di tangannya, sementara kakinya terlindung oleh rok panjang yang dikenakannya. Kain yang menjadi roknya sudah agak koyak pula di beberapa bagian bawah. Gadis berbaju hijau pastel itu meneguk air dan memakan sesuap demi sesuap potongan buah Agrob, dari tangan Kusko.

Saat ini Ivander bingung harus berbuat apa. Alexa masih lemah dan tak mungkin dia tiba-tiba datang untuk mengajak berkenalan.

Pembicaraan antara Kusko dan Alexa tak terdengar olehnya.

Terlihat dari sudut pandangnya, Alexa sudah begitu mempercayai Kusko. Dari cara Alexa memandang Kusko, Ivander menebak-nebak seakan dia sudah sangat mengenal tabiat Alexa. Laki-laki muda bernama Ivander Graham sangat berharap bisa mendengar pembicaraan itu, namun telinganya tak sebesar gajah untuk melakukan itu. Sesekali Ivander membuang pandangannya pada Alexa untuk menghapus semua prasangka-prasangkanya.

Kusko tiba-tiba menunjuk pada Ivander.

Akhirnya Alexa melihat Ivander untuk kedua kalinya—pertama kali bagi Ivander untuk berpandangan dengannya, meski sesaat. Jelaslah sudah kalau Kusko sedang membicarakan kejadian demi kejadian yang sudah berlalu, kejadian-kejadian yang tak dilihat dan dialami gadis itu, termasuk kesamaan dimensi asal antara ia dan Ivander.

Ivander membalas tatapan itu dengan sebuah senyum gugup.

Senyuman datar yang begitu lemah dari Alexa digunakan untuk menjawab Ivander. Alexa tak mengartikan senyuman itu sebagai sebuah ketidaksenangan atau kesombongan, hanya dia terlalu lelah untuk melakukan lebih dari itu.

Sayang sekali, seorang Ivander terlanjur salah menduga maksud senyuman itu.

Dia menoleh ke arah lain, dimana Cazar Balamug, seorang manusia murni; dan Halab Alabanor, seorang Elf bercampur manusia; sedang berbincang-bincang dengan wajah serius, walau sedikit diselingi canda tawa. Mereka baru saja berkenalan, tapi kebencian mereka yang sama terhadap Mirage membuat komunikasi itu mengalir lancar.

Ivander mengembalikan pandangannya pada Alexa. Oh, Tuhan, dia sendirian. Kusko, dimana Kusko?

Kemudian matanya lega, Kusko jauh dari Alexa. Kusko menggiring kudanya ke pinggir dinding dan membimbingnya pada tanaman merambat yang siap digerus oleh gigi-gigi geraham Drustgab. Sesekali tangannya yang tertutup sarung tangan hitam digunakan untuk mengelus-elus wajah dan tubuh Drustgab. Ivander bisa memahami kedekatan antara Kusko dan Drustgab. Tidak seperti dirinya dan Lecon yang baru saja saling mengenal. Tentu hubungan kuda dan majikan di antara keduanya sangat berbeda. Ivander membiarkan Lecon menjejaki sendiri apa yang akan dimakannya. Sesekali memang Ivander memanjakan Lecon dengan elusannya, namun itu tak mampu begitu saja merubah kedekatan di antara mereka.

Ivander kembali pada Alexa.

Keadaan Alexa telah sedikit terlihat membaik, hanya butuh sedikit dorongan bagi Ivander untuk datang menghampiri dan mengajak gadis pendiam itu berbicara. Hampir saja dia tak mengenal lagi wajah gadis itu setelah beribu-ribu debu menyergapi wajahnya. Alexa yang mengenakan baju terusan berwarna hijau pastel dengan selembar lagi kain ornamen khas Mithrillia yang berupa pola garis emas yang rumit, menutupi bahu, pinggang, ujung lengan dan ujung rok, begitu berbeda dengan Alexa yang ditemuinya di stasiun. Kesamaan dari keduanya sangat disadari Ivander—gadis itu membuatnya tak begitu berani mengucapkan kata-kata. Mungkin hanya Alexa seorang, yang bisa menjatuhkan keberanian seorang yang agak playboy semacam Ivander.

Ivander menghela nafas dalam-dalam untuk menenangkan irama jantungnya. Sesaat kemudian, dia berjalan menuju Alexa yang sibuk memandangi keakraban Kusko dan Drustgab dengan senyum, seakan dia bisa merasakannya juga. Helaan nafas barusan dirasanya percuma, sebab setelah bola mata cokelat muda milik Alexa berpaling padanya, jantungnya kembali pada irama yang menyebalkan itu.

Mereka berdua bertatapan dalam dunia yang seakan tanpa suara.

Tatapan di saat yang sama, dengan maksud yang sangat berbeda.

“Hai,” sapa Ivander singkat.

Alexa tersenyum kecil. “Hai juga,” jawabnya ramah, masih begitu sederhana dan lemah.
“Bolehkah aku duduk di sampingmu?” tanya Ivander terbata-bata. Sudah tak terhitung lagi seberapa cepat getaran di dadanya.

“Tentu,” sambut Alexa datar. Dia menyingkir sedikit ke kiri untuk memberi tempat bagi Ivander. Kemudian dia memperhatikan Ivander yang pelan-pelan duduk di sampingnya.

Ivander yang sudah terlanjur menghadap ke depan, harus berusaha sekuat tenaga untuk berbicara memandang wajah Alexa. Dia tak menyangka bisa sedekat ini, begitu dekatnya dengan gadis berambut cokelat itu.

Pembicaraan itu berlangsung dengan jeda di setiap kalimat.

“Bagaimana keadaanmu? Apakah mereka di Sladur memperlakukanmu dengan buruk?” tanya Ivander agar cepat-cepat mencairkan kebekuan.

Alexa tersenyum lemah dengan sedikit hembusan nafas. Dia memalingkan pandangannya dari Ivander dan menatap kosong ke langit yang begitu sedikit terlihat. Dinding batuan itu menutupinya. “Tak ada yang lebih buruk dari itu. Mungkin sampai hari ini,” jawabnya lesu.

“Maaf, aku tak bermaksud…”

“Bukan itu. Namamu Ivander, bukan?” potong Alexa. Ivander mengangguk setelahnya. “Setidaknya aku bersyukur kalian semua mau datang membawaku pergi dari benteng itu. Setelah kematian Bader, semuanya terasa menakutkan bagiku,” lanjutnya. “Aku tak tahu apakah kedatanganku ke sini akan begitu berguna.”

Ivander tertegun. Dia menelan ludahnya sekali, kemudian menatap ke arah yang sama dengan Alexa, jauh ke langit biru di atas mereka, dengan cara yang hampir sama pula. Hampir saja dia kehilangan kata-kata untuk menanggapi keluhan itu. Tapi kini dia teringat sebuah kalimat dari ayahnya, penting, dampaknya mungkin hebat, sangat tepat digunakan sekarang ini.

“Ayahku bilang…” lanjut Ivander, “…mungkin ada satu sisi dari kehidupan kita yang sebenarnya merupakan takdir besar, namun kita sendiri menimbunnya dengan sesuatu yang jauh lebih kecil, walaupun sesuatu yang kecil itu sebenarnya bisa juga merupakan takdir kita. Jadi, hidup ini sebenarnya hanya pilihan. Pilihan untuk mengikuti takdir besar, atau diam dan mengalir bersama arus kecil.”

Ivander mengembalikan pandangannya ke wajah Alexa yang terlebih dahulu memperhatikan setiap kata-katanya dengan begitu serius.

“Maaf, seharusnya aku tak menasihatimu. Seharusnya aku berkata dengan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami di saat kondisi tubuhmu seperti ini,” sambung Ivander tergesa-gesa.

“Kau tak mengatakan aku bodoh kan?” canda Alexa walaupun tubuhnya letih. Dia tertawa kecil, itu saja sudah cukup membuat Ivander merasa begitu senang. “Aku simpan setiap kata-katamu itu, Ivander. Jadi, bila kau sendiri yang melanggarnya, aku yang akan menggantikan tempatmu sekarang.”

Ivander merasa lega dan menjawabnya dengan anggukan pelan. Kemudian mereka kembali melihat ke sedikit celah menuju langit bercahaya.

“Kau tinggal di Birmingham?” tanya Ivander berselang beberapa detik setelahnya. “Sebetulnya aku sering sekali mendapatimu di sana.”

Alexa menangguk disertai celetukan untuk mengungkapkan kata “ya” tanpa harus membuka mulutnya. Dia masih terpaku ke langit, biru, terang, sesuatu yang jarang sekali terlihat olehnya. Pertanyaan Ivander barusan membuatnya membandingkan keadaan di sini dengan Birmingham. Rasanya jauh berbeda, dan Alexa ingin tinggal di sini lebih lama untuk menghirup aroma alam ini—tentu jika dimensi ini penuh kedamaian.

“Kau juga? Kurasa Birmingham bukanlah kota yang indah untuk ditinggali. Benar?” balas Alexa merespon.

“Lebih seperti itu. Entah mengapa aku bisa menyukai atmosfir kota itu. Mungkin kalau aku tak tinggal di sana, kebetulan semacam ini tak akan terjadi, bukan?”

“Kau pria yang di stasiun itu?” pandang Alexa ramah. “Mungkin setelah perjalanan panjang, kau tampak berbeda dari waktu itu.”

“Sama sepertimu. Seragam sekolah dan baju hijau ini begitu merubah dirimu,” canda Ivander dengan tawa ceria yang begitu singkat. “Soal Kusko, bagaimana kau mengenalnya?”

“Kau mengajukan pertanyaan yang sama dengan Tuan Enrico, Ivander. Aku dan Kusko, mungkin ditambah dengan pria tua baik yang namanya Tuan Enrico. Kami sempat mengalami perjalanan bersama dari sebuah desa, Desa Cordante. Tak lama,” senyumnya lesu tanpa maksud. “…sebelum akhirnya aku bersama Bader, dan kini kembali dengan Kusko.”

Sekali lagi Ivander merasa telah salah menanyakan barisan pertanyaan untuk dijawab Alexa. Meski awalnya, Ivander tak mengira jawaban itu akan membawa Alexa kembali pada nama Bader.

“Ah, mungkin aku saja yang terlalu melankolis. Rasanya sikap sepertiku ini tak pantas untuk hidup di dunia penuh bahaya ini. Seperti sekarang, aku tak tahu harus berbuat apa,” sambung Alexa mencoba menegarkan dirinya sendiri.

“Kau tahu setiap orang berhak menghargai seseorang yang berjasa baginya. Tak ada yang salah dengan itu, sama dengan kau menghargai Bader,” ujar Ivander. “Itu kata-kata ayahku lagi,” lanjutnya sambil tersenyum.

Alexa tersenyum antusias mendengarnya. “Sepertinya kau dekat sekali dengan ayahmu. Kau beruntung, Ivander.”

Alexa berusaha menghibur dirinya sendiri dengan memunculkan pikiran-pikiran baru untuk menyelimuti bayangannya tentang Tuan Alexander. Dulu itu pernah berhasil membuatnya tersenyum tegar kembali, namun tidak untuk sekarang, tidak di saat dia berpikir apakah mereka di sana mencemaskan dirinya atau tidak.

“Ayahku sudah tenang di sana. Mungkin jika dia masih ada, dia yang akan langsung berterima kasih padamu atas pujiannya. Tapi sekarang, aku yang mewakilinya berterima kasih padamu,” jawab Ivander pelan-pelan.

“Maaf, aku turut prihatin.” Ivander menanggapinya dengan senyum memaklumi. “Tapi aku baru saja mendengar dua kalimat indah dari mulutmu yang dibuat oleh ayahmu. Sekali lagi, kau benar-benar beruntung pernah memiliki ayah seperti yang kau punya.”

Percakapan itu berlangsung seakan keduanya sudah saling mengenal sebelumnya. Lambat laun, Alexa merasa tenaganya pulih kembali walaupun itu hanya sugesti dari perasaan riang yang dirasakannya bersama Ivander yang penuh canda. Sesekali Kusko menengok keadaan gadis yang harus dilindunginya itu sambil tersenyum bersyukur. Dia senang Alexa sudah membaik, sebab itulah yang dibutuhkannya. Sementara di sisi lain, Halab merasa sudah cukup lama mereka berdiam di sini. Dia menerawangi orang-orang yang sudah tampak kembali pada kekuatannya semula, lagipula mereka semua harus dibawa ke Barkast sebelum matahari tenggelam.

Hawa magis akan segera menutup langit di malam hari. Kaum Hamanidiosalfar harus terus berjaga-jaga akan kemungkinan terburuk, yaitu penyerbuan dari para Svartalfar. Elf berbaju hitam itu selalu memburu Anabalost hingga mereka berhasil mendapatkan mantera rahasia yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, mereka butuh satu unit kapal magis yang akan menghantar para awaknya menuju pulau Anabalheim, tempat gulungan Anabalost diletakkan di bawah kaki Dewa Frey, sebuah kuil agung bagi para Ljosalfar murni.

Kepergian Halab dari Desa Barkast untuk menjemput rombongan Ivander memang sengaja dirancang agar berlangsung di malam hari, menjelang pagi datang melingkupi seluruh dataran Gardner menuju Eagle Harbour dan Raven Fortress. Itu untuk mencegah Halab dihabisi oleh kaum kegelapan itu saat perjalanan pulang. Nafsu para Svartalfar mampu menggetarkan setiap genggaman tangan manapun, hingga tak bisa lagi menghunuskan pedang dengan gagahnya, tak terkecuali Halab.

Benua Timur, benua dengan wilayah terkecil dan berpuluh-puluh jurang, menjadi sarang dendam yang terus membara. Antara Aztandor dan para Svartalfar; antara para Svartalfar dan Ljosalfar; antara Hamanidiosalfar dan Ljosalfar; antara Témpust dan pemerintahan kerajaan; dan sejumlah rangkaian dendam kecil yang berporos pada sejarah masa lalu yang kelam. Kenyataan bahwa kegelapan tak akan menghasilkan kebahagiaan, dipahami betul oleh Halab keturunan Alabanor. Permusuhan desa Barkast dan Anabalheim telah lama ditinggalkan demi perjalanan panjang mereka untuk mengambil kembali cahaya kehidupan. Namun seorang Éleon tak bisa menerima itu, Kahab jauh lebih menbencinya, hingga akhirnya kedua Hamanidiosalfar itu berlari menuju dua arus yang berbeda.

Kebencian itu berdasar pada sebuah kata, kecewa.

Kenyataan lain amat menancap di dada Halab. Dia tahu kondisi desa Barkast tak lagi aman untuk didiami oleh mereka yang menanti kemurahan hari para Ljosalfar untuk membukakan gerbang Anabalheim bagi mereka. Desa itu goyah. Elgar, sang pemimpin, sudah terlalu letih untuk menjalani setiap detik tanpa harapan pasti. Halab tak yakin berapa lama lagi kaumnya bisa menahan rasa kecewa mereka yang dipendam dalam-dalam, tertimbun oleh bisikan nurani palsu untuk tetap bersabar. Setiap orang dari keturunan Alabanor, Lhotién, dan Crassvalla, selalu menggantungkan diri mereka dari wajah damai Elgar. Walaupun kadang senyum itu paksaan, tak seorangpun mengerti apa pikiran Elgar.

Tapi celah ini mengetahui semua bisikan Elgar pada alam, untuk Dewa Lameth dan keagungannya, pada Dewa Frey, pada kebijaksanaan sang matahari untuk terus melindungi mereka di hari terang, dan kearifan bulan untuk menerangi mereka pada saat-saat kelam. Sejak saat itu, Elgar tahu Desa Barkast tak lagi aman. Seorang kaum kegelapan telah melawat Barkastourith beberapa tahun lalu. Dia pergi dengan pikiran yang mengingat semua celuk persembunyian itu dengan baik.

Mungkin saja kelicikan diperbuat oleh Svartalfar.

Mereka bisa menyamar dengan cukup baik, namun cuping telinga lancip itu tak pernah bisa dihilangkan. Bila mereka menyamar menjadi Halab yang juga memiliki cuping telinga serupa, apa yang berbeda? Untungnya Halab tak menemui kaum bermata emas itu dalam perjalanannya menjemput rombongan pembawa Alexa. Tak akan ada penyelinapan seperti yang mereka—khususnya Elgar—takutkan.

“Para tamu Desa Barkast, sepertinya sekarang sudah cukup untuk kita melanjutkan kembali perjalanan yang tertunda,” seru Halab.

“Kami tak pernah menolak, Halab. Tentunya karena Alexa sudah terlihat sehat kembali,” balas Kusko dengan sambutan baik. Lalu dia melihat Ivander yang masih saja dalam naungan pesona gadis itu. “Hei, Ivander!” serunya keras-keras. Ivander pun menengok. “Carilah kudamu, sepertinya dia pergi entah kemana.”

“Segeralah bertolak, sebab aku tak tahu kapan keindahan ini berubah menjadi lorong penuh kilauan cahaya pedang. Aku hanya takut kalian diikuti para kaum kegelapan,” sambung Halab. “…atau mungkin salah satu dari kalian adalah kaum kegelapan…”

Pandangan-pandangan mata terkejut segera bermunculan dari masing-masing pribadi itu. Mereka heran akan keramahan Halab yang mendadak berotasi menjadi sebuah kecurigaan pasif dalam hubungan pembicaraannya dengan para kaum kegelapan.

“Kita tak pernah tahu. Bahkan mungkin apa yang kutunggangi sekarang bukanlah seekor kuda lagi, melainkan kegelapan menyerupai binatang cantik ini. Semakin dekat dengan Barkast bukan berarti kalian mengendurkan kewaspadaan itu. Jaga! Jaga hingga kalian bisa melihat wajah Elgar,” timpalnya lagi.

Halab yang begitu memikirkan kondisi desanya—mereka akhirnya mengerti itu dari sinar wajah Halab.

Halab menaiki kudanya Alamar, disertai oleh Cazar dan Hemer, kemudian Ivander bersama Lecon, terakhir Alexa dan Kusko dengan si kuat Drustgab. Matahari siang mulai benderang saat mereka meninggalkan tempat peristirahatan mereka. Desa Barkast di depan menunggu.