Mereka tak tahu-menahu tentang apa yang sekarang terjadi di Eagle Harbour.
Kusko dan rombongannya menapaki jembatan rapuh yang lebarnya hanya lebih sedikit dari ukuran seekor kuda. Matanya menatap ngeri untuk ketinggian yang benar-benar membuat kepala terasa ngilu—meskipun kabut tebal sedikit menyembunyikan seperti apa ketinggian sebenarnya. Jembatan itu acapkali berderit, sendi-sendinya mengancam ingin menjatuhkan diri. Serpihan debu terkadang tersepak jatuh oleh kaki-kaki kuda, membuatnya menyadari bahwa dia pun beresiko mengalami hal yang sama. Di belakangnya, Cazar dan Ivander membuntuti dalam jarak yang ditentukan untuk meratakan beban di atas jembatan. Sedikit demi sedikit mereka mulai menjauh dari titik awal.
“Tidurlah, Alexa. Perjalanan masih panjang dan melelahkan,” bisik Kusko.
Benar-benar tak ada yang ingin Alexa lihat dari sini.
Seberkas kabut cukup tebal juga menutupi pandangan mereka ke ujung jembatan. Menengok ke belakang sudah tak mungkin, kabut juga menutupinya dengan begitu sempurna. Bisa dibayangkan betapa gelapnya tempat itu. Di sana Kusko menerangi setiap tapak perlahan kudanya dengan sebuah lentera di tangan kanan, sekaligus menggenggam tali kekang Drustgab. Satu-satunya lentera itu cukup menjadi petunjuk bagi kedua orang di belakangnya.
Di sisi seberang, mereka percaya sebuah tempat bernama Lembah Gardner sudah menunggu. Lembah itu dikelilingi oleh perbukitan Raven yang terbentang panjang hingga ke Hutan Urifed, rumah kaum Aztandor. Di sisi-sisi lembah itu terdapat gua-gua tempat para Burandal mengistirahatkan taring-taring penghisap darah milik mereka. Lembah terjal itu terbangun atas banyak batuan kering yang rapuh. Sedikit saja bergerak maka akan terdengar suara gemertak. Apa yang dilakukan Raja Gardner adalah membuat sebuah jalan kecil di antara kedua bukit, untuk dilewati para penunggang kuda yang akan pergi ke Raven Fortress. Dalam pengerjaannya saja diperlukan banyak serdadu yang menjaga para budak agar tidak menjadi mangsa Burandal.
Di balik suara deru angin yang terpecah membentur tembok-tembok bukit, Ivander dan Cazar dapat mendengarkan suara derasnya arus air jauh di bawah mereka. Arus itu terdengar kecil, banyak riak, beradu dengan banyaknya batuan. Mereka berdua sadar, arus itu tidaklah sekecil kedengarannya, ini masalah jarak, dan betapa dalamnya jurang yang mereka seberangi saat ini.
“Kusko, dengar, suara air atau Burandal? Dini sekali mereka pulang dari desa-desa. Apa mungkin tak ada tangkapan bagus?” tanya Cazar.
“Mereka tak lagi bernafsu berburu jika makanannya datang sendiri ke rumahnya, Cazar,” jawab Kusko. “Kau tahu kita berada dalam keadaan yang amat dekat dengan perut mereka. Tak satupun dari mata kita yang bisa menembus kabut setebal ini,” katanya sambil membetulkan selimut yang tersingkap dari tubuh Alexa, dia tak tahu Alexa bisa menjadi selemah ini.
Pendengarannya yang sedikit lebih tajam dari Cazar memang telah diberitahukan tentang keberadaan para Burandal. Mereka mulai berbondong-bondong menuruni lembah setelah mencium kedagingan manusia. Suara kerikil-kerikil berjatuhan, lalu desahan nafas mereka yang amat boros.
“Rasanya Burandal cukup besar dan kuat. Aku menebak dari setiap ucapan kalian,” pikir Ivander yang dikeluarkan lewat celetukan tiba-tiba.
Cazar tertawa pelan saat mendengar itu. “Kau tak akan percaya jika makhluk berbahaya itu berkebalikan dengan apa yang kau ucapkan,” jawabnya. “Mereka seukuran anak umur sembilan tahun, mereka juga tak kuat. Kekuatan lima dari Burandal tak akan sebanding walaupun hanya dengan satu Abodh. Kau tahu Abodh, bukan?” tanya Cazar balik.
“Tidak. Nama-nama itu asing bagiku,” gelengnya.
“Demi Theon. Kau harus mulai menghafalkan nama-nama setiap ras di Mithrillia,” kata Cazar menggelengkan kepalanya. “Burandal itu kecil, mereka gesit dan tajam. Kau harus melindungi dirimu dari taring-taring mereka yang berbahaya. Para Burandal hidup dari setiap tetes darah manusia yang mereka hisap, persis seperti bagaimana cara para Aztandor hidup dengan menghisap darah pahit Amon,” terang Cazar dengan sabar.
Kusko mendiamkan saja pria sebaya Témpust itu menjelaskan detil kaum-kaum di Mithrillia pada Ivander. “…Berbeda dengan Abodh. Mereka lamban, namun kekuatannya tak terbantahkan.”
Lalu pria muda itu mengangguk-angguk, di samping kegiatannya sekarang, yaitu mengamati ke kanan dan kiri bawah tempatnya dan kuda curiannya yang bernama Lecon, berjalan. Dia bisa mengingat dengan baik setiap detil bentuk monster yang diberikan oleh Cazar. Agaknya dia justru penasaran pada bentuk aslinya. Dia jadi berharap langsung bertemu.
Penjelasan Cazar belum selesai.
“…Dahulu semua Abodh menetap di gunung-gunung dan mengasingkan diri dari kehidupan, namun hanya sedikit pada masa ini yang masih bertahan di gunung. Sisa-sisa kesetiaan mereka pada alam dan Dewi Minith (dewi pemelihara alam yang disembah kaum Abodh) telah luntur. Mereka lebih terhasut kekuasaan keturunan Avalen yang menguasai bahasa naga. Mereka menganggap keturunan Avalen adalah titisan dari garis keturunan Bordock yang hilang. Aku yakin dalam pertempuran di Eagle Harbour, para Abodh turut mengambil bagian yang tidak sedikit. Lambat laun mereka semakin membenci manusia yang dianggapnya sebagai perusak alam.”
“Di dimensiku, kaum seperti mereka pasti akan mendapatkan dukungan besar,” canda Ivander. “Baru-baru ini ramai dikampanyekan tentang kepedulian terhadap pengrusakan alam. Hampir setiap minggu aku bisa melihatnya di televisi…” celetuk Ivander.
Awalnya itu mungkin sebuah lelucon. Jika dikatakannya dalam dalam dimensi Maya, mungkin orang-orang akan tertawa, tapi tidak di sini, di Mithrillia, di mana tak satupun dari mereka mengenal televisi. Ivander sadar dia telah melontarkan lelucon yang tak berguna.
“Televisi?” sela Cazar begitu polosnya.
“Benda kotak yang fungsinya mirip dengan sihir penerawangan milik para Aztandor dan Elf. Begitu kan, Ivander?” sela Kusko.
Ivander agak terkejut mendengar selaan Kusko. “Walau aku tak mengerti apa itu sihir penerawangan, aku heran mengapa kau bisa tahu bentuk televisi.”
Wajah Kusko mematung, bibirnya terbata-bata.
“Kisah itu kuperoleh dari orang-orang dimensimu yang terdampar di sini dan memohon untuk dipulangkan untuk bisa melihat kembali benda-benda seperti itu,” dalihnya tergesa-gesa.
Ivander mengangguk paham, meski tak satupun dari mereka yang melihat anggukannya—sebab Ivander berada di posisi paling belakang.
“Tentang Aztandor. Mereka masih menggantung, Cazar. Siapa mereka sebenarnya?” lanjut Ivander.
“Legenda tentang asal-usul mereka telah lama beredar. Dahulu pimpinan mereka, Azatur Bardiel, adalah pendeta yang paling dihormati, dengan status tertinggi di negeri Nemoralexia. Tergiur akan kekuatan yang lebih besar, Azatur melakukan ritual terlarang yang tersurat dalam gulungan hitam Kalanost. Dia terusir dari Nemoralexia setelah itu. Tapi pendukungnya yang tetap setia pada Azatur, yang mereka gelari Sang Kepala. Mereka memutuskan untuk meninggalkan Nemoralexia dan mengikuti Azatur. Itulah asal mula kaum Aztandor. Kabarnya mereka semakin terpuruk dalam sihir kegelapan yang tak bisa sepenuhnya mereka kuasai.”
“Bagaimana bisa Témpust meminta tolong pada kaum semacam itu?” ujar Ivander dengan nada miris.
“Kau sendiri sudah mendengar aku mengatakan hal yang sama pada Mérdanté, bukan?” jawab Cazar ringkas. “Mereka memanfaatkan suatu mantera kuno yang membuat mereka memiliki kekuatan legendaris Sang Pengendali Bangsa Naga, Lord Bordock. Karena itu pula mereka harus meminum darah paling busuk milik Amon. Hanya kekuatan pengendalian naga yang tak turun pada mereka. Kekuatan itu diperoleh melalui sebuah garis keturunan. Itulah yang kami cari-cari sekarang, Ivander. Kami mencari keturunan terakhir dari Lord Bordock yang tersebut dalam sajak kuno…”
Telinga Alexa mendengar pembicaraan itu sedari tadi. Dia tak tidur sepenuhnya. Dirinya jadi begitu sensitif pada cerita-cerita mengenai Lord Bordock. Lamencia Incargot, nama yang terus terbayang dalam setiap usahanya untuk terlelap. Pria yang mengakui namanya adalah Lord Bordock, memanggilnya dengan nama itu. Suara penuh kharismanya terasa tak mungkin bohong. Sudah seyakin itu dia memanggil Alexa, lalu serela itu pula dia berikan sebuah kalung yang begitu cantik padanya, sejauh itu, dia tak mungkin salah memanggil orang. Orang-orang ini menyebutkan nama Lord Bordock dengan begitu megah dan berpengharapan, itu cukup menggambarkan betapa hebat dan dahsyatnya manusia itu. Padahal masih segar di dalam mimpinya, pria besar itu tunduk pada Alexa. Dia dibuat cukup kebingungan, apalagi dengan adanya kalung yang nyata-nyatanya sudah berpindah dari mimpi ke dalam genggaman tangannya di kenyataan.
“…dan batu yang kau tunjukkan pada kami sudah menentukan bahwa masa ini adalah saatnya. Itu bila benar kau melihatnya bersinar di duniamu,” lanjut Cazar.
“Tentu. Sinar seindah itu tak mungkin sebuah tipuan. Aku jamin,” tegas Ivander.
Cazar tak melanjutkan penjelasannya. Sudah cukup sampai di situ. Dia dan Kusko merasakan bahaya yang sama di ujung sana. Bau yang amat khas bercampur dengan bau sebuah zat kimia yang lazim tercium saat perang-perang terjadi. Baunya masih jauh dari sini, namun akan segera menjadi ancaman serius. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berhati-hati. Berlari kencang di atas jembatan ini untuk menerjang, sepertinya menjadi sebuah kemustahilan.
Terusik oleh hal lainnya lagi. Kilauan lentera lainnya terlihat dari bagian belakang Ivander. Kilauan cahaya itu dikaburkan oleh butiran-butiran kecil dari selubung kabut.
“Kusko, lihatlah!”
“Aku tahu, Ivander. Kita terdesak dari dua arah. Si busuk itu, Midianor tak senang kita mendatangi Elgar Lhotién di Barkast. Desa itu milik para manusia setengah Elf yang amat mengurung diri dari pengaruh Midianor dan keturunan Avalen. Dia tak ingin kita bersekutu dengan Elgar.”
Desa Barkast. Saat ini, keamanan hanya akan diperoleh di sana.
“Tak ada yang katakan kita akan bersekutu dengan mereka, Kusko? Kau hanya katakan penyingkapan siapa Alexa sebenarnya,” sanggah Cazar mendadak. “Apakah itu tak akan memakan waktu lama sebelum aku dapat kembali ke Eagle Harbour untuk melihat keadaan saudara-saudaraku?”
“Tak ada yang bisa kau lakukan lagi, Cazar. Mereka sudah mendapatkan Aztandor sekarang, itu jika yang kau katakan tentang Aztandor dan Témpust pada Ivander tadi adalah kebenaran. Walaupun misiku juga membawa Alexa ke sana, namun Tuanku tak menduga ‘sampah selatan’ itu akan begitu mengganggu kita,” ujar Kusko tenang. “Arahkan busurmu ke belakang, Cazar. Saatnya membuat satu dari mereka jatuh.”
Cazar menghembuskan nafas untuk menahan udara dingin yang membuat tangannya gemetar dan tidak stabil. Dia menarik sebuah anak panah dari punggungnya dan menurunkan busur dari bahunya ke dalam genggaman tangan kokohnya. Dia mulai membidik ke arah cahaya-cahaya lentera kecil yang mengiringi mereka di belakang.
“Kau yakin itu para Serigala Pasir, Kusko?” katanya ragu.
“Dengarlah…” jawab Kusko. “Nafas kuda itu, nafas kuda yang terlalu sering berada di atas tumpukan pasir. Mereka pasti berusaha keras menahan udara sedingin ini. Jelas sekali mereka berasal dari peternakan di barat Garbadur Fortress, benteng kumuh di Benua Selatan.”
Barulah Cazar merasa yakin setelah itu.
“Merunduklah, Ivander.”
Ivander tak akan mungkin menolak perintah itu jika dia masih ingin hidup. Walau dia memiliki kekuatan regenerasi, bukanlah hal yang mudah untuk menahan rasa sakit akibat hujaman panah dari jarak sedekat itu. Lagipula melakukan itu akan membuatnya menjadi pria terbodoh sepanjang masa.
Tangan mantap Cazar melepaskan anah panah itu menembus gumpalan kabut tebal. Bahkan anginnya terasa menyisir rambut Ivander. Begitu terasa kekuatan dari satu anah panah itu. Cazar Balamug, seseorang yang mengerti arti busur dan anak panah sejak usianya enam tahun. Pria itu memang berbakat dalam urusan panah-memanah. Walau bukan dalam ilmu pedang.
Tak lama, terdengar celotehan dari bahasa Benua Selatan. Bersama-sama mereka berteriak saat melihat rekan mereka tiba-tiba jatuh ke bawah, ke sungai Galbor. Tepat dugaan Kusko. Mereka adalah gerombolan bandit Tammil Ibrahim yang menginginkan sekali pendayungan untuk mencapai dua pulau sekaligus—mereka inginkan Alexa, berbarengan dengan tujuan mereka ke Raven Fortress selanjutnya. Mereka pikir jalan terbaik adalah melakukan perebutan di atas jembatan, tentunya setelah membuntuti rombongan Ivander ini mulai dari Sladur.
Umpatan-umpatan kasar terdengar ke telinga Kusko yang mengerti bahasa mereka. Mereka amat marah, dan dengan alasan yang berbeda mereka juga merasa yakin berada dalam jalur yang tak salah. Anak panah Cazar membuat mereka juga yakin kalau Alexa berada tepat di hadapan mereka. Mereka dan orang yang mereka cari, hanya terpisahkan oleh kabut. Betapa senang mereka mengetahui hal itu.
“Rasanya itu cukup untuk menyatakan diri kita pada mereka, Cazar,” ujar Kusko sedikit gelisah.
“Jembatan bergetar, Kusko. Sepertinya mereka nekad berlari!” seru Ivander panik. “Kau rasakan itu, Cazar?”
“Kupikir mereka tak pernah cukup memiliki alasan untuk menjadi lebih pintar…Sekumpulan kantung sampah!”
“Dan tak punya alas an untuk lebih mengerti keadaan juga, karena sepertinya para Burandal juga nekad menyerbu, Kusko!” timpal Cazar keras. Dia mendengar deru kerusuhan dari kedua arah, depan dan belakang. Para Burandal dan Serigala Pasir akan bertubrukan dengan rombongan Ivander pada suatu waktu, di atas rapuhnya jembatan ini. Ini juga menunjukkan betapa liarnya pihak-pihak di depan dan belakang. Mereka bahkan tak berpikir jembatan ini bisa runtuh pada waktu apapun. Saat ini saja, bunyi berdenyit dari paku-paku rapuh yang mematri kayu-kayu tua mulai menusuk telinga.
“Kita tak bisa diam di sini. Berlari sajalah ke depan. Kita lihat sekuat apa jembatan ini,” saran Kusko.
Walau itu juga suatu kegilaan, mereka tetap berlari ke depan, seperti seorang kesatria berkuda yang memegang tombak untuk menjatuhkan musuh berkuda di hadapannya. Diam juga berarti mati terkepung hingga tak mungkin lagi bergerak, jadi sejauh ini, hanya itulah pilihan terbaik mereka. Sampai cukup jauh mereka berlari menerobos kabut, menghindari lubang demi lubang kecil pada reyotnya papan, mereka mencium aroma menusuk dari depan. Sebuah bau asam, semakin dekat, bau itulah yang sedari tadi dihirup dari kejauhan oleh Cazar dan Kusko.
“Bau bahan kimia. Tutup hidungmu, Ivander!” seru Cazar yang sudah melakukannya terlebih dahulu.
“Bukan! Ini tidak berbahaya bagi pernafasan,” sanggah Kusko. “Aku sering menghirup bebauan ini. Ini seperti bau getah pohon Gatte.”
“Bukankah itu bom? Burandal gila itu mencoba menjatuhkan kita bukannya memakan kita? Oh, Theon. Mengapa kita jadi terkepung oleh makhluk-makhluk bodoh,” geram Cazar retoris.
Pohon-pohon Gatte hanya tumbuh di sekitar Lembah Gardner dan perbukitan belerang Vallenor. Batangnya kurus kering dengan diameter cukup besar. Akarnya begitu kokoh menunjang tingginya pohon itu. Daun-daunnya menebal seperti tudung jamur. Rantingnya kurus dan panjang-panjang. Pohon Gatte memiliki getah yang jumlahnya sedikit, tapi getah itu mudah meledak bila tersulut api. Para Burandal menyadapnya untuk dimasukkan ke dalam tong kayu kecil yang permukaannya rapat hingga tak ada celah bagi getah itu untuk mengalir keluar. Kemudian pada permukaan atasnya dilubangi dari ditambahkan dengan tali tambang agak tipis sebagai sumbu. Daya ledaknya mirip sebuah bom molotov buatan tangan.
Benarlah apa yang dihirup oleh Kusko dan Cazar. Mereka tak perlu menjelaskan panjang lebar pada Ivander, tentang untuk apa itu getah pohon Gatte. Ivander bisa melihatnya sendiri di hadapan mereka, agak jauh. Para Burandal berlari menyongsong, dengan tangan menggenggam tong-tong kayu kecil. Bom. Maka paniklah mereka semua. Sementara di saat yang sama, para Serigala Pasir juga mulai menggapai keberadaan mereka.
“Minggir!!! Makhluk busuk yang berlagak berperadaban!” teriak Kusko menubruk gerombolan Burandal yang tengah sibuk menyentuhkan api pada obor di tangan mereka dengan tali sumbu bom.
Yang terjadi kemudian adalah belasan bom Gatte berjatuhan di atas jembatan. Acapkali api obor sudah terlanjur menyentuh sumbunya. Para Burandal itu terpelanting oleh tubrukan Drustgab, beberapa dari mereka terjatuh pula ke dasar sungai. Keadaan sangat ricuh saat itu. Kecepatan Kusko mulai terhambat oleh kepadatan Burandal yang semakin menjadi-jadi. Suara-suara kecil bagai nenek sihir itu berbunyi sahut-menyahut. Mereka sangat marah, amat marah dan juga lapar. Para Burandal begitu liar menerkam Kusko. Dorongan kepanikan membuatnya terus berusaha memacu Drustgab sekencang mungkin.
Bom itu akan meledak. Bom-bom lain yang juga terjatuh, walaupun belum tersulut, pasti akan terambati ledakan itu. Bodohnya, para Serigala Pasir tak menyadari adanya bom. Satu buah bom, yang siap meledakkan belasan bom lainnya.
Dengan kecepatan dan kenekadan itu, Kusko berhasil juga sampai ke tepian. Lekas dia menyingkirkan lentera dari tangannya, digantikan oleh sebilah pedang berkilau dari sarungnya demi mengusir para pengacau cilik ini. Panah-panah Cazar beraksi sesaat setelah dia juga menyusul Kusko. Lahan pertarungan baru bagi keduanya telah tercipta. Kerusuhan itu benar-benar terjadi di saat kelelahan sedang erat membungkus tubuh mereka. Cazar Balamug dan Ivander Graham sama sekali belum berkesempatan untuk sepenuhnya tertidur lelap, sementara Mithrillia Kusko baru saja menyembuhkan luka di tulang tangannya—entah bagaimana caranya. Kekuatan mereka begitu dipaksakan demi menyelamatkan seorang gadis yang katanya berharga, di dalam lindungan Kusko sekarang.
Sampai saat-saat terakhir menuju peledakan, Ivander belum tiba juga ke tepian. Dia terhambat oleh para Burandal yang tersisa di jembatan. Sementara satu bom yang tersulut, terlanjur meledak, disusul oleh pelopor peledakan lainnya, merambat ke belasan bom lain di sana. Jembatan kayu itupun terputus dan runtuh. Para Serigala Pasir terkena dampak terburuk dari ledakan itu. Sebagian dari mereka terhempas ledakan itu, sebagian lainnya terjatuh karena jembatan mendadak runtuh, tapi semuanya berakhir sama—kematian di dasar jurang. Aliran deras sungai cadas menyambut tubuh-tubuh mereka.
Ivander terkejut. Dia merasakan betapa maut baru saja begitu dekat membuntutinya di belakang. Hembusan angin dari ledakan itu mengibaskan rambutnya ke depan. Dia bisa membayangkan betapa dahsyatnya ledakan yang terjadi.
“Lompat! Lompat, Lecon!” teriak Ivander panik.
Kuda itu memacu cepat, dia sendiri tahu nyawanya, juga nyawa penunggangnya, berada di ujung tanduk. Suara maut seakan berteriak puas di belakang mereka. Sambil mendengus kencang, Lecon melompat, dia memaksakan kedua kakinya agar sampai ke tepian. Kakinya terpeleset, Lecon jatuh terseret di tanah, menghempaskan tubuh Ivander jauh ke depan, dibarengi tubrukan ke arah dua ekor Burandal. Tapi mereka selamat, tak ada yang lebih melegakan daripada itu.
Para Burandal tak akan mendiamkan mereka yang berhasil lolos.
Mereka menyergap Ivander yang baru saja menarik nafas lega. Pisau kecil senjata mereka, terhunus dengan punggung tangan, berniat menikam kudanya, Lecon. Cazar yang melihat hal itu, secara refleks menembakkan anak panahnya untuk melindungi Lecon. Sudah tak mungkin bagi Lecon untuk membantu Ivander bertarung.. Ivander menyibak kain yang membungkus Obelisk, sambil berteriak, dipaksakannya untuk mengibas brutal ke segala arah. Dia begitu kesal terhadap ulah jahil para Burandal, makhluk kecil jelek menjijikan. Betul kata Cazar. Mereka tidak tinggi, tapi mereka bukan main menyebalkan.
Kini tepian jembatan benar-benar menjadi arena pertempuran baru.
Para Burandal kehilangan banyak kerabat mereka akibat kegilaan yang dipaksakan oleh tiga orang itu. Seorang Bounty Hunter, seorang pejuang kebebasan, dan seorang agen rahasia, kini berada di tengah pertempuran penuh darah-darah merah pekat agak hitam—ciri dari darah para Burandal. Kaum kerdil itu terus saja menyerbu mereka dengan pisau-pisau pendek bengkok mereka yang tergenggam di jari-jari keriputnya. Ukuran tubuh mereka yang tak lebih tinggi dari punggung seekor kuda tak mengurangi kebengisan mereka.
Luka baru, sayatan baru dan goresan baru.
Ivander terus terserang prajurit-prajurit gesit itu. Kini dadanya berdebar-debar karena dia tahu tak ada waktu untuk beristirahat di tengah kesulitan yang menimpa dia dan kedua rekannya. Ivander berjuang untuk melawan kelelahan demi menjaga tubuhnya dari lebih banyak luka goresan yang cukup dalam dan perih. Dia sadar Burandal adalah musuh licik yang tak bisa diremehkan. Mereka miliki banyak senjata di seluruh tubuhnya. Dalam keadaan bagaimanapun, Burandal selalu punya cara lain untuk melukai mangsanya.
Dalam pertempuran yang makin berat sebelah itu, Alexa terbangun, dia terkejut menyadari dirinya tengah berada dalam kerumunan kurcaci-kurcaci menyeramkan. Tebasan-tebasan Kusko terlihat begitu jelas dari sudut pandangnya. Menengok jumlah kurcaci itu, sadarlah dia bahwa mereka dalam bahaya sekarang. Akibat kerusuhan itu, Alexa yang sudah letih terdorong untuk menjelajahi sekitar dengan pandangannya. Di matanya terpantul rombongan Burandal berdatangan dengan pisau-pisau dan suara cekikikan cemprengnya; Cazar Balamug yang sedari tadi menghabisi musuh dengan tenang dan kalem; dan dia sama terkejutnya dengan Ivander, wajah yang sama dengan pria di stasiun kereta api. Tapi kebetulan itu seakan biasa saja bagi Alexa. Dia tak begitu menggubris hal itu. Mungkin saat ini Alexa tak mampu lagi untuk terkejut dan berseru.
Kau? Bukankah kau pria yang kutemui di stasiun?
Benar, gadis itu sudah kelewat lelah dengan perjalanan ini.
Alexa memalingkan wajahnya dari Ivander dan memperhatikan hal lain—justru dia bertambah takut begitu memandang tinggi ke bukit, dimana para Burandal meluncur turun seperti air terjun. Dia tak lagi berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Alexa menutupi wajahnya ke dada Kusko dan berharap-harap. Dia hanya ingin semua ini berakhir dan dia bisa beristirahat.
“Atas, Cazar! Burandal baru dari bukit!” seru Ivander.
Dengan peringatan itu, Cazar menembaki Burandal baru dari bukit. Mereka terguling-guling merosot dengan anak panah tepat di dadanya. Ivander kembali mengayunkan pedang besarnya, menyambut Burandal yang masih tersisa di sepanjang kaki bukit. Sabetannya seperti gelombang lautan. Panjang mata pedang Ivander saja hampir mencapai satu meter. Lebarnya sepanjang satu jengkal tangan orang dewasa—dari ibu jari hingga kelingking. Ivander sangat terlatih menggunakan pedang berdaya rusak hebat itu. Tapi kini keunggulan senjata itu dirasanya kurang ampuh untuk menghadapi kumpulan makhluk kecil dan liat seperti Burandal.
“Kemampuan berpedangmu hebat juga, Ivander. Kau memiliki bakat,” puji Cazar yang masih sibuk membidik Burandal dan menembaknya. Sedikit demi sedikit Burandal berjatuhan akibat panah dari Cazar. Namun Cazar sadar anak panahnya kritis. Dia tak bisa terus menerus mengandalkan kayu tipis bermata tajam itu. Suatu saat, dia harus menghunus pedang ringan di pinggangnya jua, sama seperti kedua rekannya yang lain.
Ivander hanya tersenyum sedikit mendengar pujian itu. Dia lebih serius menghindari serangan langsung para ‘setan-setan’ kecil ini. Mereka terus menyerang tanpa henti seolah tiada habisnya. Ivander menggelengkan kepala saat memandang ke atas bukit, lagi-lagi belasan Burandal baru.
“Burandal. Kecil, jelek, menjijikan!” umpat Ivander kesal.
………
Pertempuran itu semakin memojokkan rombongan pejuang.
Beberapa menit telah berlangsung. Rombongan Ivander memang dikepung habis-habisan. Namun di saat kematian hampir memutuskan nasib mereka, pertolongan datang tak terduga oleh siapapun. Mendadak sebuah gempa mengguncang tempat itu. Para Burandal rontok bagai batuan dari tebing. Mereka tergelincir dan akhirnya terseret hingga ke bawah. Beberapa yang berdiri tepat di dekat tepian, terjatuh ke dasar sungai. Dominasi para Burandal hilang seketika. Gempa itu begitu aneh, bahkan tak sedikitpun mereka bertiga terguncang olehnya. Kusko menemukan keganjilan dalam gempa ini. Dia tahu sebuah gempa tak akan terjadi mendadak seperti ini.
Mantera.
Pasti ini adalah mantera dari elemen bumi.
Lagi-lagi secara mendadak. Dari arah yang sama, utara. Kali ini berhembus angin yang sangat kencang. Angin kencang itu datang dengan kekosongan, tanpa membawa sedikitpun benda-benda alam ke dalamnya. Angin itu datang hanya untuk membawa para Burandal hingga terhempas masuk ke dalam dasar sungai. Satu persatu Burandal lenyap dari tepian jembatan, diiringi oleh teriakan penuh dendamnya. Hanya sedikit Burandal yang berhasil selamat dari kejadian itu—mereka yang mengurungkan niatnya untuk menyerbu saat merasakan gempa bumi magis. Mereka berlari kencang menjauhi tempat itu. Para Burandal berlarian bak dikejar-kejar dewa maut. Dalam sekejap, tempat itu sunyi, suara-suara cempreng tadi lenyap begitu saja.
Ini aneh, serentak ketiganya dari dalam batin mereka. Mereka yang tadinya menutup mata karena debu begitu sadis menerpa wajah mereka, menyadari para Burandal telah habis saat mata mereka terbuka. Mata mereka hanya bisa memandang tak percaya, dan bibir mereka berceletuk takjub dengan kejadian yang baru saja mampir.
Elemen angin. Kusko tahu penyihir barusan pasti menggenggam kekuatan yang amat dahsyat. Butuh tingkatan magis yang sangat tinggi untuk mengontrol dua elemen sekaligus. Terus-menerus batinnya bertanya, siapa dia?
“Sudah berakhirkah?” tanya Ivander perlahan-lahan tanpa perlu didengar dan dijawab. Matanya menerawang ke segala arah, seakan tak percaya para Burandal telah lenyap.
Keheningan sesaat tercipta.
“Sihir apa itu barusan?” celetuk Cazar. “Kekuatannya besar sekali. Apakah itu musuh baru untuk kita, Kusko?”
Kusko menoleh tenang dalam tatapan dinginnya. Dia dan kudanya melangkah beberapa saat ke utara. Kusko memberanikan dirinya untuk melihat lurus ke sana, dimana seorang berkuda datang menyambut. Derap kudanya begitu cepat hingga debu-debu memancarkannya dengan jelas. Dialah penyihir kuat yang membabat habis seluruh serdadu kurcaci bajingan itu. Tangan Kusko masih menggenggam erat gagang pedangnya di tangan kanan.
Saat itu, matahari mulai terlihat dari ufuk timur. Cahaya mudanya memantul di jubah putih pria berkuda itu. Kehadirannya terlihat begitu mengagumkan, apalagi mengingat apa yang sudah dia lakukan untuk menyelamatkan orang-orang itu. Seperti kesejukan yang mendadak mengisi seluruh lembah.
“Kahab?” gumam Kusko tak yakin, saat memandang orang itu.
Cazar menjalankan kudanya beberapa langkah hingga sejajar dengan Kusko. “Kawan, atau lawan?” imbuh Cazar menyiapkan tangannya untuk mengambil anak panah dari punggungnya. “Hanya tersisa sepuluh, kuharap mampu menjatuhkannya dengan tepat.”
“Tahan, Cazar,” kata Kusko penuh ketenangan, sambil meletakkan tangannya pada bahu Cazar. “Aku kenal dia. Dia teman kita.” Kusko sama sekali tak melepaskan pandangannya dari pria berjubah putih itu.
Penunggang kuda berjubah putih bersih itu semakin mendekat dan akhirnya sampai ke hadapan para pejuang. Dia mengenakan jubah yang bertudung putih pula dengan ornamen sulur-sulur dan dedaunan emas di garis tepi tudungnya, juga pada jubahnya. Dia menunggangi kuda yang amat cantik—kulitnya putih bersih, rambutnya halus, matanya bersinar. Dia laki-laki, tampan dan sebersih kudanya. Rambutnya pirang dan tampak sangat halus saat dia membuka tudung untuk memperlihatkan wajahnya. Seluruh rambutnya beralur ke belakang untuk memperlihatkan keanggunannya. Cuping telinganya agak lancip—meski tak selancip milik kaum Elf murni. Bola mata hijau tuanya begitu jernih. Dia tersenyum ramah saat melihat rombongan itu.
“Tamu dari Goat Hill?” katanya ramah. “Sebuah kehormatan bagiku untuk bertemu dengan kalian di sini,” ujarnya penuh kesantunan dalam tata bahasa.
“Kahab? Kau Kahab?” tanya Kusko berulang.
“Bukan, Bounty Hunter. Namaku Halab, putera Rahab Alabanor. Saudara kembarku, Kahab, sudah tak lagi menetap di Barkast sejak tujuh tahun lalu. Elgar akan sangat senang mengetahui kau salah satu teman dari Kahab.”
Kahab Alabanor, manusia setengah Elf. Kusko memiliki banyak kenangan perjuangan dengannya. Mereka berdua ditarik dari dunianya masing-masing, untuk diuji dalam rangkaian ujian menjadi seorang Bounty Hunter. Namun, bukan dengan alasan kekuatan, orang yang menguji mereka akhirnya memilih Kusko, melainkan karena tabiat mereka yang berlawanan. Sudah lama ditentukan bahwa Bounty Hunter pilihannya akan menjadi penjaga bagi Sang Terpilih, dan Kahab tak memiliki rasa untuk berkorban. Walau bila diukur dari segi kekuatan, baik fisik maupun magis—yang tak dikuasai Kusko—Kahab adalah yang terbaik. Setelah kegagalannya merebut hati orang yang telah dijadikannya sebagai panutan, Kahab frustasi dan bersumpah akan membalas penghinaan itu. Kemudian dia hilang, entah kemana.
“Mengapa itu bisa terjadi?” tanya Kusko lagi.
“Kau akan lebih puas jika mendengarnya langsung dari Elgar Lhotién,” jawabnya santun dan ramah. Pria ini memiliki kharisma dan kesantunan seorang Elf, namun proporsi tubuhnya lebih besar dari Elf karena dia memiliki darah keturunan manusia. “Mari kuhantar kalian ke tempat peristirahatan. Desa Barkast sudah menantikan kehadiran kalian.”
“Kudaku, bagaimana dengan Lecon kudaku?” sela Ivander.
Halab mendengarnya. Dia mendekatkan diri pada Lecon, kuda malang yang terbaring, seakan tengah merintih kesakitan. Sorot iba di mata Halab, mendadak meruncing tajam, alisnya berkerut serius. Kemudian Halab memejamkan mata.
“Haelica amarretia,” sebut Halab setengah berbisik.
Cahaya putih mengelilingi tangannya, seperti api kecil yang membara. Halab turun dari atas kudanya dan menyentuhkan tangan itu ke pergelangan kaki Lecon yang terkapar. Halab mengelus-elus kaki itu, sampai akhirnya Lecon bisa berdiri kembali. Dia meninggalkan perasaan takjub bagi seluruh manusia yang menyaksikannya. Terakhir dia mengelus-elus wajah Lecon yang bercampur debu-debu perjalanan. Debu-debu sama seperti debu yang menempel di wajah lusuh Ivander dan Cazar. Dari tumpukan debu itu, Halab menyadari perjalanan panjang yang sudah ditempuh orang-orang ini.
Dia menengok dengan ramahnya pada Ivander. “Kudamu ini sudah siap menghantarkanmu kembali.”
“Aku tak tahu dengan apa membalasnya,” jawab Ivander tergagap-gagap.
“Sudah menjadi tugasku untuk membantu perjalanan kalian,” ujarnya. Kemudian dia memalingkan wajah ke arah Alexa dan memperlihatkan antusiasme datarnya, “Seorang wanita bersama kalian?” Halab agak heran.
“Dia Alexa dari Maya. Asalnya dan Ivander sama. Dia terdampar di dimensi ini, dan aku percaya itu bukan sebuah kebetulan,” jawab Kusko.
Halab tersenyum kembali, hampir membuat Ivander kesal karena dia tak biasa menghadapi orang seramah itu. “Dan kalian mencari Elgar untuk itu, bukan?”
“Maaf atas kelancangan kami mengganggu dini harimu, Halab,” balas Kusko untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara lain.
Halab mengerti maksudnya.
“Kalau begitu biarlah kalian diperlakukan selayaknya tamu istimewa yang sudah tak lagi pernah datang ke desa Barkast.”
“Hormat dari kami, Halab,” sambung Cazar Balamug penuh kerendahan hati. “Kuharap kalian mau menerima kami yang berlumuran darah.”
“Jika begitu, adalah sebuah niat baik dari kami untuk membersihkannya kembali,” tanggap Halab begitu santun.
………
Matahari mulai merambat tinggi saat mereka melewati Lembah Gardner. Pagi ini tampak begitu indah bagi Cazar yang belum mengistirahatkan matanya sejak berangkat mencari Bader—tak berbeda dengan Ivander. Kawanan kalajengking sering terlihat melintas di tanah, sepanjang perjalanan menelusuri habitat para kalanjengking itu. Tidak heran para Burandal juga tahu banyak soal racun. Sesekali masih terdengar suara sewot beberapa Burandal yang sama sekali tak berani melakukan serangan balasan. Suara itu memantul-mantul ke dinding lembah dan disampaikan oleh pohon-pohon kering ke telinga mereka. Hanya karena kahadiran Halab saja, mereka bertekuk lutut ketakutan. Mereka semua tahu, berpasang-pasang mata Burandal tengah mengintip mereka dari suatu tempat.
Bayangan sisi bukit sebelah kanan menutupi lembah hingga cahaya matahari menyinari kembali di bukit sisi kiri.
Kuda-kuda itu menderap cukup cepat dengan pimpinan Alamar, kuda yang ditunggangi Halab. Kuda putih Alamar, lebih cantik dari kuda manapun yang pernah ditemui oleh masing-masing rombongan Ivander. Rambut putihnya amat halus, terlihat betul kuda ini sangat terawat. Halab dan Alamar membimbing mereka ke dalam sebuah celah yang sempit, hanya cukup bagi seekor kuda dengan sisa sedikit ruang bagi udara. Semakin jauh celah itu ditelusuri, tanah kering yang dipijak perlahan mulai terlihat ditumbuhi rumput, seiring dengan lokasi mereka yang semakin dekat ke desa Barkast. Sebenarnya, jika tidak berbelok memasuki celah sempit yang jarang ingin dimasuki orang itu, mereka bisa melanjutkan perjalanan ke Hutan Urifed dan bertemu dengan Mérdanté, meskipun jarak yang akan ditempuh lumayan memakan waktu dan tenaga. Hanya kegilaan yang membuat Mérdanté mampu menempuhnya hanya dalam waktu semalam saja.
Celah itu mulai memastikan diri untuk pelan-pelan melebar. Dinding-dinding batu di celah itu mulai ditumbuhi lumut dan tanaman-tanaman kecil. Celah itu disebut Barkastourith, satu-satunya jalan masuk ke desa isolasi Hamanidiosalfar atau manusia setengah Elf, Desa Barkast. Lumut-lumut itu semakin mudah ditemui dan semakin banyak jumlahnya, disusul dengan kehadiran tanaman merambat yang perlahan juga makin banyak bergelantungan di tembok celah. Lalu suara decitan hewan-hewan pengerat memantul, menggantikan suara Burandal yang sama sekali tak terdengar lagi. Tapak kuda-kuda itu akhirnya memijak rumput, begitu hijau seakan belum pernah terinjak sebelumnya.
Desa Barkast sudah mulai bisa terbayang oleh mereka yang sebenarnya sudah cukup takjub hanya dengan melihat pemandangan ini. Mereka mulai memperlambat laju kudanya hingga ada cukup waktu untuk menikmati keindahannya. Melihat itu, Alamar dan penunggangnya menyanggupi. Dia memimpin mereka lambat-lambat.
“Kami tak menyangka ada keindahan semacam ini di tempat semacam Lembah Gardner. Ini luar biasa, Halab. Menakjubkan untuk melihat bagaimana mereka tumbuh untuk membimbing kami pada pikiran akan betapa indahnya desa Barkast,” puji Cazar.
“Atas sanjunganmu kuucapkan banyak terima kasih. Tak banyak tamu kami yang bisa sampai ke tempat ini. Mereka yang berniat buruk terhadap desa Barkast justru akan melihat celah ini semakin menyempit hingga menyatu menjadi tembok penghalang, sebelum sampai ke tanah yang kalian injak sekarang.”
“Salah satu keajaiban dari darah keturunan peri di tubuh kalian, benar?” timpal Kusko yang berjalan di belakang Halab.
Halab tertawa renyah, namun begitu pelan dan singkat hingga terdengar hanya seperti hembusan nafas. “Kami sudah lama meninggalkan kebiasaan kaum peri sejak mereka semua berpindah ke Anabalheim.”
“Dua ratus tahun lalu, Halab? Aku jadi terpikir berapa sebenarnya usiamu?” tanya Cazar.
“Aku lahir sekitar tujuh puluh tahun setelah itu. Menurut kalender kalian kaum manusia, usiaku mencapai seratus tiga puluh tahun. Jika aku menggunakan kalender peri, tepat tiga puluh tahun adalah usiaku,” jawabnya enteng penuh canda.
“Jika itu berlaku pula bagi Elgar, entah sudah seperti apa wajahnya sekarang. Bagaimana keadaannya, Halab?” ujar Kusko setengah canda.
“Kami tak bertambah tua seperti layaknya manusia. Tapi kami bisa memancarkan usia kami dengan raut wajah. Begitulah kebijaksanaan di wajah Elgar cukup menggambarkan usia empat ratus dua puluh empat tahun yang dimilikinya. Kematian bagi kami adalah pilihan, bukan takdir seperti yang dijalani kaummu. Saat ini juga, aku bisa melepaskan kehidupanku dan pergi ke pangkuan Dewa Frey. Begitupun halnya dengan para Elf, termasuk Elgar,” cukup jelas penerangan singkat dari Halab mengenai kehidupannya dan kaumnya. “Aku mengenal Éleon dari keluarga Baldmur di kubu kalian,” sambung Halab meneruskan pembicaraan sambil menoleh sejenak dan memperlihatkan senyum ramahnya.
“Benar. Éleon juga adalah separuh Elf sepertimu dan Elgar. Dia tak pernah menyebutkan berapa usianya padaku. Pernah tersembur dari mulutnya kalau dia tak suka masa lalunya dan para Elf diungkit kembali. Baginya, mempertanyakan usianya berarti sama dengan menyebutnya setengah peri,” ujar Cazar dengan sedikit nada heran.
“Dan menyebut dirinya makhluk setengah peri, hampir berarti kau menghinanya sebagai anak yang terbuang,” sambung Kusko yang juga mengenal Éleonais Markourith.
“Aku mengerti,” jawab Halab. “Éleon tak menyukai kaum peri karena ibunya yang murni seorang Elf, meninggalkan Éleon untuk menyepi ke Anabalheim bersama ratusan Ljosalfar lainnya. Keberadaan kami yang memiliki darah kaum kalian, tak diterima di sana. Namun jelas terlihat kerinduan Éleon untuk bertemu dengan ibunya kembali. Bukankah seharusnya dia memakai nama Baldmur sebagai kelanjutan keturunan ayahnya?...” terang Halab.
Halab menjelaskan betapa dia mengenal Éleon, sebab pria itu sempat menetap di desa Barkast selama beberapa tahun hidup dalam kekecewaan karena ditinggalkan. “…Dia tak keberatan disebut Éleon keturunan Markourith, bukan? Di desa Barkast, tak ada lagi orang yang memiliki nama keluarga itu. Markourith merupakan salah satu keluarga terhormat di antara para Ljosalfar selain Alabanor, Lhotién dan Crassvalla. Nama-nama itu memiliki keturunan kesatria dan konon berhubungan sangat baik dengan keturunan Incargot. Sebab itu, nama-nama itulah yang paling pertama menyatakan kekecewaannya pada manusia. Setidaknya para Ljosalfar tak ikut membalaskan kekecewaannya seperti yang dilakukan para Svartalfar.”
“Mengenai para Elf dalam kegelapan itu, apakah pertikaian antara kalian masih berlangsung?” tanya Kusko.
Hanya bisa diam untuk mendengar, selalu itu yang dilakukan Ivander sejak tadi. Tapi diam dan mendengar kisah menarik ini bukanlah hal yang sulit. Para peri di Mithrillia, sesuatu yang baru kali ini dia lihat, meski baru melihat keturunannya saja, itu sudah membuatnya takjub. Apalagi sejarah mereka seakan sangat panjang dan tak ada habisnya untuk dikupas. Tempat ini masih terlalu luas untuk dijelajahi olehnya yang begitu merasa hebat di dimensi Maya. Ivander seperti merasa amat lemah dan terpinggirkan karena ketidaktahuannya akan perkara-perkara Mithrillia. Dia mengingat tujuannya ke sini hanyalah untuk bertemu Témpust dan menyerahkan batu Oriel, tak lebih. Dia menduga-duga bahwa setelah itu dia bisa pulang dan membereskan kasus Lacuna Syndrome, juga para pesakitan yang merana.
Kenyataanya berbeda, terbalik.
Tak ada kepastian kapan dia bisa kembali. Dia terpisah dari Enrico van Luigi. Meskipun keyakinannya mencuat tentang keselamatan Enrico di sana. Dia tak tahu apakah orang-orang di sini mengkhawatirkan Lacuna Syndrome atau tidak. Dia lebih khawatir lagi ketika semua orang di sekitarnya bertindak kalau Alexa sudah pasti merupakan Sang Terpilih yang bisa menghentikan Lacuna Syndrome.
Lagipula, bila Mirage sebegitu kuatnya sehingga bisa merencanakan Lacuna Syndrome, apakah mungkin gadis yang kerjanya hanya tidur itu bisa?
“Tidak semenjak pengasingan Hamanidiosalfar ke http://www.blogger.com/img/blank.gifdesa Barkast dan Ljosalfar ke Anabalheim. Mereka juga menetap di wilayah mistis bernama Kalanheim, kadang kami menyebutnya Svartalheim. Kami tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu dimana tempat itu. Kami hanya takut mereka akan kembali untuk mengusik haknya atas gulungan Anabalost yang sudah mereka tinggalkan,” lanjut Halab membuat Ivander kembali ke fokusnya terhadap cerita itu.
“Aku mendengar perburuan mereka terhadap keturunan Incargot yang tak pernah berakhir, Halab. Bagiku itu sangat mengancam kelangsungan dimensi kita,” ujar Kusko dengan nada khawatir.
“Dahulu memang begitu, mungkin sampai sekarang tetap seperti itu. Angin tak lagi sudi membawa kabar mereka ke telinga kami. Sudah cukup lama kami berdiam di Barkast tanpa mengetahui perburuan mereka. Yang kutahu, mereka melebarkan sayapnya untuk menghabisi pula kaum Aztandor yang menggunakan keturunan Incargot sebagai kekuatan palsu. Mereka benci kaum pencuri itu. Aztandor telah mencuri isi dari gulungan Kalanost milik mereka dan menemukan mantera-mantera rahasia milik para Svartalfar. Hanya sejauh itu aku bisa menghantarkan pertanyaan kalian menemui jawabannya.”
“Tak apa, Halab. Keramahanmu cukup membuat mata kami terbuka. Tinggal di Goat Hill terkadang membuat mataku terkukung oleh masalah kami sendiri. Kusematkan terima kasih karena sudi menceritakan banyak hal pada kami,” imbuh Cazar menyergap.
………
Perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama. Mereka sempat beristirahat untuk sekedar duduk dan memakan apa yang paling mungkin bisa dimakan—buah Agrob di dinding-dinding bukit—dan menenggak minuman dari wadah masing-masing. Kusko menyandarkan tubuh lemah Alexa ke dinding batu. Dia membisiki Alexa untuk segera bangun sejenak. Tak ada manusia yang dapat bertahan hanya dengan tidur. Alexa harus minum dan memakan paling tidak sebuah Agrob untuk menenangkan perutnya sementara.
Buah Agrob memiliki batang berbulu yang merambat, buahnya hanya tumbuh di tempat yang paling dekat dengan akarnya. Warna buah itu ungu, bentuknya seperti apel, rasanya sedikit asin dan manis. Buahnya tertutupi rambut kasar berwarna kuning pucat. Rambut itu akan terasa gatal saat dipegang dengan tangan. Itu yang membuat Halab menghentikan Ivander yang coba mengambilnya secara langsung. Buah Agrob harus dipetik dari tangkainya, untuk menghindari rambut itu. Setelah beberapa lama terlepas dari tangkainya, rambut itu akan kehilangan keampuhannya membuat gatal, Saat itu buah Agrob bisa dimakan.
Di sela-sela santapan itu, Ivander memandang gadis bernama Alexa dan Kusko dengan perasaan aneh. Dia pikir pemandangan itu cukup membuatnya iri. Ya, baginya ini adalah semacam perasaan cemburu. Ivander berpikir, seandainya saat bertemu di stasiun dia berani menyapa Alexa dan menanyakan namanya, mungkin dialah yang sekarang berada di tempat Kusko berdiri.
Kedua tangan Alexa dengan begitu lemas menggenggam tempat air minum Kusko yang terbuat dari kulit hewan. Matanya sayu, kantung matanya juga tebal. Di wajahnya banyak ditemukan goresan-goresan kecil, begitupun di tangannya, sementara kakinya terlindung oleh rok panjang yang dikenakannya. Kain yang menjadi roknya sudah agak koyak pula di beberapa bagian bawah. Gadis berbaju hijau pastel itu meneguk air dan memakan sesuap demi sesuap potongan buah Agrob, dari tangan Kusko.
Saat ini Ivander bingung harus berbuat apa. Alexa masih lemah dan tak mungkin dia tiba-tiba datang untuk mengajak berkenalan.
Pembicaraan antara Kusko dan Alexa tak terdengar olehnya.
Terlihat dari sudut pandangnya, Alexa sudah begitu mempercayai Kusko. Dari cara Alexa memandang Kusko, Ivander menebak-nebak seakan dia sudah sangat mengenal tabiat Alexa. Laki-laki muda bernama Ivander Graham sangat berharap bisa mendengar pembicaraan itu, namun telinganya tak sebesar gajah untuk melakukan itu. Sesekali Ivander membuang pandangannya pada Alexa untuk menghapus semua prasangka-prasangkanya.
Kusko tiba-tiba menunjuk pada Ivander.
Akhirnya Alexa melihat Ivander untuk kedua kalinya—pertama kali bagi Ivander untuk berpandangan dengannya, meski sesaat. Jelaslah sudah kalau Kusko sedang membicarakan kejadian demi kejadian yang sudah berlalu, kejadian-kejadian yang tak dilihat dan dialami gadis itu, termasuk kesamaan dimensi asal antara ia dan Ivander.
Ivander membalas tatapan itu dengan sebuah senyum gugup.
Senyuman datar yang begitu lemah dari Alexa digunakan untuk menjawab Ivander. Alexa tak mengartikan senyuman itu sebagai sebuah ketidaksenangan atau kesombongan, hanya dia terlalu lelah untuk melakukan lebih dari itu.
Sayang sekali, seorang Ivander terlanjur salah menduga maksud senyuman itu.
Dia menoleh ke arah lain, dimana Cazar Balamug, seorang manusia murni; dan Halab Alabanor, seorang Elf bercampur manusia; sedang berbincang-bincang dengan wajah serius, walau sedikit diselingi canda tawa. Mereka baru saja berkenalan, tapi kebencian mereka yang sama terhadap Mirage membuat komunikasi itu mengalir lancar.
Ivander mengembalikan pandangannya pada Alexa. Oh, Tuhan, dia sendirian. Kusko, dimana Kusko?
Kemudian matanya lega, Kusko jauh dari Alexa. Kusko menggiring kudanya ke pinggir dinding dan membimbingnya pada tanaman merambat yang siap digerus oleh gigi-gigi geraham Drustgab. Sesekali tangannya yang tertutup sarung tangan hitam digunakan untuk mengelus-elus wajah dan tubuh Drustgab. Ivander bisa memahami kedekatan antara Kusko dan Drustgab. Tidak seperti dirinya dan Lecon yang baru saja saling mengenal. Tentu hubungan kuda dan majikan di antara keduanya sangat berbeda. Ivander membiarkan Lecon menjejaki sendiri apa yang akan dimakannya. Sesekali memang Ivander memanjakan Lecon dengan elusannya, namun itu tak mampu begitu saja merubah kedekatan di antara mereka.
Ivander kembali pada Alexa.
Keadaan Alexa telah sedikit terlihat membaik, hanya butuh sedikit dorongan bagi Ivander untuk datang menghampiri dan mengajak gadis pendiam itu berbicara. Hampir saja dia tak mengenal lagi wajah gadis itu setelah beribu-ribu debu menyergapi wajahnya. Alexa yang mengenakan baju terusan berwarna hijau pastel dengan selembar lagi kain ornamen khas Mithrillia yang berupa pola garis emas yang rumit, menutupi bahu, pinggang, ujung lengan dan ujung rok, begitu berbeda dengan Alexa yang ditemuinya di stasiun. Kesamaan dari keduanya sangat disadari Ivander—gadis itu membuatnya tak begitu berani mengucapkan kata-kata. Mungkin hanya Alexa seorang, yang bisa menjatuhkan keberanian seorang yang agak playboy semacam Ivander.
Ivander menghela nafas dalam-dalam untuk menenangkan irama jantungnya. Sesaat kemudian, dia berjalan menuju Alexa yang sibuk memandangi keakraban Kusko dan Drustgab dengan senyum, seakan dia bisa merasakannya juga. Helaan nafas barusan dirasanya percuma, sebab setelah bola mata cokelat muda milik Alexa berpaling padanya, jantungnya kembali pada irama yang menyebalkan itu.
Mereka berdua bertatapan dalam dunia yang seakan tanpa suara.
Tatapan di saat yang sama, dengan maksud yang sangat berbeda.
“Hai,” sapa Ivander singkat.
Alexa tersenyum kecil. “Hai juga,” jawabnya ramah, masih begitu sederhana dan lemah.
“Bolehkah aku duduk di sampingmu?” tanya Ivander terbata-bata. Sudah tak terhitung lagi seberapa cepat getaran di dadanya.
“Tentu,” sambut Alexa datar. Dia menyingkir sedikit ke kiri untuk memberi tempat bagi Ivander. Kemudian dia memperhatikan Ivander yang pelan-pelan duduk di sampingnya.
Ivander yang sudah terlanjur menghadap ke depan, harus berusaha sekuat tenaga untuk berbicara memandang wajah Alexa. Dia tak menyangka bisa sedekat ini, begitu dekatnya dengan gadis berambut cokelat itu.
Pembicaraan itu berlangsung dengan jeda di setiap kalimat.
“Bagaimana keadaanmu? Apakah mereka di Sladur memperlakukanmu dengan buruk?” tanya Ivander agar cepat-cepat mencairkan kebekuan.
Alexa tersenyum lemah dengan sedikit hembusan nafas. Dia memalingkan pandangannya dari Ivander dan menatap kosong ke langit yang begitu sedikit terlihat. Dinding batuan itu menutupinya. “Tak ada yang lebih buruk dari itu. Mungkin sampai hari ini,” jawabnya lesu.
“Maaf, aku tak bermaksud…”
“Bukan itu. Namamu Ivander, bukan?” potong Alexa. Ivander mengangguk setelahnya. “Setidaknya aku bersyukur kalian semua mau datang membawaku pergi dari benteng itu. Setelah kematian Bader, semuanya terasa menakutkan bagiku,” lanjutnya. “Aku tak tahu apakah kedatanganku ke sini akan begitu berguna.”
Ivander tertegun. Dia menelan ludahnya sekali, kemudian menatap ke arah yang sama dengan Alexa, jauh ke langit biru di atas mereka, dengan cara yang hampir sama pula. Hampir saja dia kehilangan kata-kata untuk menanggapi keluhan itu. Tapi kini dia teringat sebuah kalimat dari ayahnya, penting, dampaknya mungkin hebat, sangat tepat digunakan sekarang ini.
“Ayahku bilang…” lanjut Ivander, “…mungkin ada satu sisi dari kehidupan kita yang sebenarnya merupakan takdir besar, namun kita sendiri menimbunnya dengan sesuatu yang jauh lebih kecil, walaupun sesuatu yang kecil itu sebenarnya bisa juga merupakan takdir kita. Jadi, hidup ini sebenarnya hanya pilihan. Pilihan untuk mengikuti takdir besar, atau diam dan mengalir bersama arus kecil.”
Ivander mengembalikan pandangannya ke wajah Alexa yang terlebih dahulu memperhatikan setiap kata-katanya dengan begitu serius.
“Maaf, seharusnya aku tak menasihatimu. Seharusnya aku berkata dengan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami di saat kondisi tubuhmu seperti ini,” sambung Ivander tergesa-gesa.
“Kau tak mengatakan aku bodoh kan?” canda Alexa walaupun tubuhnya letih. Dia tertawa kecil, itu saja sudah cukup membuat Ivander merasa begitu senang. “Aku simpan setiap kata-katamu itu, Ivander. Jadi, bila kau sendiri yang melanggarnya, aku yang akan menggantikan tempatmu sekarang.”
Ivander merasa lega dan menjawabnya dengan anggukan pelan. Kemudian mereka kembali melihat ke sedikit celah menuju langit bercahaya.
“Kau tinggal di Birmingham?” tanya Ivander berselang beberapa detik setelahnya. “Sebetulnya aku sering sekali mendapatimu di sana.”
Alexa menangguk disertai celetukan untuk mengungkapkan kata “ya” tanpa harus membuka mulutnya. Dia masih terpaku ke langit, biru, terang, sesuatu yang jarang sekali terlihat olehnya. Pertanyaan Ivander barusan membuatnya membandingkan keadaan di sini dengan Birmingham. Rasanya jauh berbeda, dan Alexa ingin tinggal di sini lebih lama untuk menghirup aroma alam ini—tentu jika dimensi ini penuh kedamaian.
“Kau juga? Kurasa Birmingham bukanlah kota yang indah untuk ditinggali. Benar?” balas Alexa merespon.
“Lebih seperti itu. Entah mengapa aku bisa menyukai atmosfir kota itu. Mungkin kalau aku tak tinggal di sana, kebetulan semacam ini tak akan terjadi, bukan?”
“Kau pria yang di stasiun itu?” pandang Alexa ramah. “Mungkin setelah perjalanan panjang, kau tampak berbeda dari waktu itu.”
“Sama sepertimu. Seragam sekolah dan baju hijau ini begitu merubah dirimu,” canda Ivander dengan tawa ceria yang begitu singkat. “Soal Kusko, bagaimana kau mengenalnya?”
“Kau mengajukan pertanyaan yang sama dengan Tuan Enrico, Ivander. Aku dan Kusko, mungkin ditambah dengan pria tua baik yang namanya Tuan Enrico. Kami sempat mengalami perjalanan bersama dari sebuah desa, Desa Cordante. Tak lama,” senyumnya lesu tanpa maksud. “…sebelum akhirnya aku bersama Bader, dan kini kembali dengan Kusko.”
Sekali lagi Ivander merasa telah salah menanyakan barisan pertanyaan untuk dijawab Alexa. Meski awalnya, Ivander tak mengira jawaban itu akan membawa Alexa kembali pada nama Bader.
“Ah, mungkin aku saja yang terlalu melankolis. Rasanya sikap sepertiku ini tak pantas untuk hidup di dunia penuh bahaya ini. Seperti sekarang, aku tak tahu harus berbuat apa,” sambung Alexa mencoba menegarkan dirinya sendiri.
“Kau tahu setiap orang berhak menghargai seseorang yang berjasa baginya. Tak ada yang salah dengan itu, sama dengan kau menghargai Bader,” ujar Ivander. “Itu kata-kata ayahku lagi,” lanjutnya sambil tersenyum.
Alexa tersenyum antusias mendengarnya. “Sepertinya kau dekat sekali dengan ayahmu. Kau beruntung, Ivander.”
Alexa berusaha menghibur dirinya sendiri dengan memunculkan pikiran-pikiran baru untuk menyelimuti bayangannya tentang Tuan Alexander. Dulu itu pernah berhasil membuatnya tersenyum tegar kembali, namun tidak untuk sekarang, tidak di saat dia berpikir apakah mereka di sana mencemaskan dirinya atau tidak.
“Ayahku sudah tenang di sana. Mungkin jika dia masih ada, dia yang akan langsung berterima kasih padamu atas pujiannya. Tapi sekarang, aku yang mewakilinya berterima kasih padamu,” jawab Ivander pelan-pelan.
“Maaf, aku turut prihatin.” Ivander menanggapinya dengan senyum memaklumi. “Tapi aku baru saja mendengar dua kalimat indah dari mulutmu yang dibuat oleh ayahmu. Sekali lagi, kau benar-benar beruntung pernah memiliki ayah seperti yang kau punya.”
Percakapan itu berlangsung seakan keduanya sudah saling mengenal sebelumnya. Lambat laun, Alexa merasa tenaganya pulih kembali walaupun itu hanya sugesti dari perasaan riang yang dirasakannya bersama Ivander yang penuh canda. Sesekali Kusko menengok keadaan gadis yang harus dilindunginya itu sambil tersenyum bersyukur. Dia senang Alexa sudah membaik, sebab itulah yang dibutuhkannya. Sementara di sisi lain, Halab merasa sudah cukup lama mereka berdiam di sini. Dia menerawangi orang-orang yang sudah tampak kembali pada kekuatannya semula, lagipula mereka semua harus dibawa ke Barkast sebelum matahari tenggelam.
Hawa magis akan segera menutup langit di malam hari. Kaum Hamanidiosalfar harus terus berjaga-jaga akan kemungkinan terburuk, yaitu penyerbuan dari para Svartalfar. Elf berbaju hitam itu selalu memburu Anabalost hingga mereka berhasil mendapatkan mantera rahasia yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, mereka butuh satu unit kapal magis yang akan menghantar para awaknya menuju pulau Anabalheim, tempat gulungan Anabalost diletakkan di bawah kaki Dewa Frey, sebuah kuil agung bagi para Ljosalfar murni.
Kepergian Halab dari Desa Barkast untuk menjemput rombongan Ivander memang sengaja dirancang agar berlangsung di malam hari, menjelang pagi datang melingkupi seluruh dataran Gardner menuju Eagle Harbour dan Raven Fortress. Itu untuk mencegah Halab dihabisi oleh kaum kegelapan itu saat perjalanan pulang. Nafsu para Svartalfar mampu menggetarkan setiap genggaman tangan manapun, hingga tak bisa lagi menghunuskan pedang dengan gagahnya, tak terkecuali Halab.
Benua Timur, benua dengan wilayah terkecil dan berpuluh-puluh jurang, menjadi sarang dendam yang terus membara. Antara Aztandor dan para Svartalfar; antara para Svartalfar dan Ljosalfar; antara Hamanidiosalfar dan Ljosalfar; antara Témpust dan pemerintahan kerajaan; dan sejumlah rangkaian dendam kecil yang berporos pada sejarah masa lalu yang kelam. Kenyataan bahwa kegelapan tak akan menghasilkan kebahagiaan, dipahami betul oleh Halab keturunan Alabanor. Permusuhan desa Barkast dan Anabalheim telah lama ditinggalkan demi perjalanan panjang mereka untuk mengambil kembali cahaya kehidupan. Namun seorang Éleon tak bisa menerima itu, Kahab jauh lebih menbencinya, hingga akhirnya kedua Hamanidiosalfar itu berlari menuju dua arus yang berbeda.
Kebencian itu berdasar pada sebuah kata, kecewa.
Kenyataan lain amat menancap di dada Halab. Dia tahu kondisi desa Barkast tak lagi aman untuk didiami oleh mereka yang menanti kemurahan hari para Ljosalfar untuk membukakan gerbang Anabalheim bagi mereka. Desa itu goyah. Elgar, sang pemimpin, sudah terlalu letih untuk menjalani setiap detik tanpa harapan pasti. Halab tak yakin berapa lama lagi kaumnya bisa menahan rasa kecewa mereka yang dipendam dalam-dalam, tertimbun oleh bisikan nurani palsu untuk tetap bersabar. Setiap orang dari keturunan Alabanor, Lhotién, dan Crassvalla, selalu menggantungkan diri mereka dari wajah damai Elgar. Walaupun kadang senyum itu paksaan, tak seorangpun mengerti apa pikiran Elgar.
Tapi celah ini mengetahui semua bisikan Elgar pada alam, untuk Dewa Lameth dan keagungannya, pada Dewa Frey, pada kebijaksanaan sang matahari untuk terus melindungi mereka di hari terang, dan kearifan bulan untuk menerangi mereka pada saat-saat kelam. Sejak saat itu, Elgar tahu Desa Barkast tak lagi aman. Seorang kaum kegelapan telah melawat Barkastourith beberapa tahun lalu. Dia pergi dengan pikiran yang mengingat semua celuk persembunyian itu dengan baik.
Mungkin saja kelicikan diperbuat oleh Svartalfar.
Mereka bisa menyamar dengan cukup baik, namun cuping telinga lancip itu tak pernah bisa dihilangkan. Bila mereka menyamar menjadi Halab yang juga memiliki cuping telinga serupa, apa yang berbeda? Untungnya Halab tak menemui kaum bermata emas itu dalam perjalanannya menjemput rombongan pembawa Alexa. Tak akan ada penyelinapan seperti yang mereka—khususnya Elgar—takutkan.
“Para tamu Desa Barkast, sepertinya sekarang sudah cukup untuk kita melanjutkan kembali perjalanan yang tertunda,” seru Halab.
“Kami tak pernah menolak, Halab. Tentunya karena Alexa sudah terlihat sehat kembali,” balas Kusko dengan sambutan baik. Lalu dia melihat Ivander yang masih saja dalam naungan pesona gadis itu. “Hei, Ivander!” serunya keras-keras. Ivander pun menengok. “Carilah kudamu, sepertinya dia pergi entah kemana.”
“Segeralah bertolak, sebab aku tak tahu kapan keindahan ini berubah menjadi lorong penuh kilauan cahaya pedang. Aku hanya takut kalian diikuti para kaum kegelapan,” sambung Halab. “…atau mungkin salah satu dari kalian adalah kaum kegelapan…”
Pandangan-pandangan mata terkejut segera bermunculan dari masing-masing pribadi itu. Mereka heran akan keramahan Halab yang mendadak berotasi menjadi sebuah kecurigaan pasif dalam hubungan pembicaraannya dengan para kaum kegelapan.
“Kita tak pernah tahu. Bahkan mungkin apa yang kutunggangi sekarang bukanlah seekor kuda lagi, melainkan kegelapan menyerupai binatang cantik ini. Semakin dekat dengan Barkast bukan berarti kalian mengendurkan kewaspadaan itu. Jaga! Jaga hingga kalian bisa melihat wajah Elgar,” timpalnya lagi.
Halab yang begitu memikirkan kondisi desanya—mereka akhirnya mengerti itu dari sinar wajah Halab.
Halab menaiki kudanya Alamar, disertai oleh Cazar dan Hemer, kemudian Ivander bersama Lecon, terakhir Alexa dan Kusko dengan si kuat Drustgab. Matahari siang mulai benderang saat mereka meninggalkan tempat peristirahatan mereka. Desa Barkast di depan menunggu.
Kusko dan rombongannya menapaki jembatan rapuh yang lebarnya hanya lebih sedikit dari ukuran seekor kuda. Matanya menatap ngeri untuk ketinggian yang benar-benar membuat kepala terasa ngilu—meskipun kabut tebal sedikit menyembunyikan seperti apa ketinggian sebenarnya. Jembatan itu acapkali berderit, sendi-sendinya mengancam ingin menjatuhkan diri. Serpihan debu terkadang tersepak jatuh oleh kaki-kaki kuda, membuatnya menyadari bahwa dia pun beresiko mengalami hal yang sama. Di belakangnya, Cazar dan Ivander membuntuti dalam jarak yang ditentukan untuk meratakan beban di atas jembatan. Sedikit demi sedikit mereka mulai menjauh dari titik awal.
“Tidurlah, Alexa. Perjalanan masih panjang dan melelahkan,” bisik Kusko.
Benar-benar tak ada yang ingin Alexa lihat dari sini.
Seberkas kabut cukup tebal juga menutupi pandangan mereka ke ujung jembatan. Menengok ke belakang sudah tak mungkin, kabut juga menutupinya dengan begitu sempurna. Bisa dibayangkan betapa gelapnya tempat itu. Di sana Kusko menerangi setiap tapak perlahan kudanya dengan sebuah lentera di tangan kanan, sekaligus menggenggam tali kekang Drustgab. Satu-satunya lentera itu cukup menjadi petunjuk bagi kedua orang di belakangnya.
Di sisi seberang, mereka percaya sebuah tempat bernama Lembah Gardner sudah menunggu. Lembah itu dikelilingi oleh perbukitan Raven yang terbentang panjang hingga ke Hutan Urifed, rumah kaum Aztandor. Di sisi-sisi lembah itu terdapat gua-gua tempat para Burandal mengistirahatkan taring-taring penghisap darah milik mereka. Lembah terjal itu terbangun atas banyak batuan kering yang rapuh. Sedikit saja bergerak maka akan terdengar suara gemertak. Apa yang dilakukan Raja Gardner adalah membuat sebuah jalan kecil di antara kedua bukit, untuk dilewati para penunggang kuda yang akan pergi ke Raven Fortress. Dalam pengerjaannya saja diperlukan banyak serdadu yang menjaga para budak agar tidak menjadi mangsa Burandal.
Di balik suara deru angin yang terpecah membentur tembok-tembok bukit, Ivander dan Cazar dapat mendengarkan suara derasnya arus air jauh di bawah mereka. Arus itu terdengar kecil, banyak riak, beradu dengan banyaknya batuan. Mereka berdua sadar, arus itu tidaklah sekecil kedengarannya, ini masalah jarak, dan betapa dalamnya jurang yang mereka seberangi saat ini.
“Kusko, dengar, suara air atau Burandal? Dini sekali mereka pulang dari desa-desa. Apa mungkin tak ada tangkapan bagus?” tanya Cazar.
“Mereka tak lagi bernafsu berburu jika makanannya datang sendiri ke rumahnya, Cazar,” jawab Kusko. “Kau tahu kita berada dalam keadaan yang amat dekat dengan perut mereka. Tak satupun dari mata kita yang bisa menembus kabut setebal ini,” katanya sambil membetulkan selimut yang tersingkap dari tubuh Alexa, dia tak tahu Alexa bisa menjadi selemah ini.
Pendengarannya yang sedikit lebih tajam dari Cazar memang telah diberitahukan tentang keberadaan para Burandal. Mereka mulai berbondong-bondong menuruni lembah setelah mencium kedagingan manusia. Suara kerikil-kerikil berjatuhan, lalu desahan nafas mereka yang amat boros.
“Rasanya Burandal cukup besar dan kuat. Aku menebak dari setiap ucapan kalian,” pikir Ivander yang dikeluarkan lewat celetukan tiba-tiba.
Cazar tertawa pelan saat mendengar itu. “Kau tak akan percaya jika makhluk berbahaya itu berkebalikan dengan apa yang kau ucapkan,” jawabnya. “Mereka seukuran anak umur sembilan tahun, mereka juga tak kuat. Kekuatan lima dari Burandal tak akan sebanding walaupun hanya dengan satu Abodh. Kau tahu Abodh, bukan?” tanya Cazar balik.
“Tidak. Nama-nama itu asing bagiku,” gelengnya.
“Demi Theon. Kau harus mulai menghafalkan nama-nama setiap ras di Mithrillia,” kata Cazar menggelengkan kepalanya. “Burandal itu kecil, mereka gesit dan tajam. Kau harus melindungi dirimu dari taring-taring mereka yang berbahaya. Para Burandal hidup dari setiap tetes darah manusia yang mereka hisap, persis seperti bagaimana cara para Aztandor hidup dengan menghisap darah pahit Amon,” terang Cazar dengan sabar.
Kusko mendiamkan saja pria sebaya Témpust itu menjelaskan detil kaum-kaum di Mithrillia pada Ivander. “…Berbeda dengan Abodh. Mereka lamban, namun kekuatannya tak terbantahkan.”
Lalu pria muda itu mengangguk-angguk, di samping kegiatannya sekarang, yaitu mengamati ke kanan dan kiri bawah tempatnya dan kuda curiannya yang bernama Lecon, berjalan. Dia bisa mengingat dengan baik setiap detil bentuk monster yang diberikan oleh Cazar. Agaknya dia justru penasaran pada bentuk aslinya. Dia jadi berharap langsung bertemu.
Penjelasan Cazar belum selesai.
“…Dahulu semua Abodh menetap di gunung-gunung dan mengasingkan diri dari kehidupan, namun hanya sedikit pada masa ini yang masih bertahan di gunung. Sisa-sisa kesetiaan mereka pada alam dan Dewi Minith (dewi pemelihara alam yang disembah kaum Abodh) telah luntur. Mereka lebih terhasut kekuasaan keturunan Avalen yang menguasai bahasa naga. Mereka menganggap keturunan Avalen adalah titisan dari garis keturunan Bordock yang hilang. Aku yakin dalam pertempuran di Eagle Harbour, para Abodh turut mengambil bagian yang tidak sedikit. Lambat laun mereka semakin membenci manusia yang dianggapnya sebagai perusak alam.”
“Di dimensiku, kaum seperti mereka pasti akan mendapatkan dukungan besar,” canda Ivander. “Baru-baru ini ramai dikampanyekan tentang kepedulian terhadap pengrusakan alam. Hampir setiap minggu aku bisa melihatnya di televisi…” celetuk Ivander.
Awalnya itu mungkin sebuah lelucon. Jika dikatakannya dalam dalam dimensi Maya, mungkin orang-orang akan tertawa, tapi tidak di sini, di Mithrillia, di mana tak satupun dari mereka mengenal televisi. Ivander sadar dia telah melontarkan lelucon yang tak berguna.
“Televisi?” sela Cazar begitu polosnya.
“Benda kotak yang fungsinya mirip dengan sihir penerawangan milik para Aztandor dan Elf. Begitu kan, Ivander?” sela Kusko.
Ivander agak terkejut mendengar selaan Kusko. “Walau aku tak mengerti apa itu sihir penerawangan, aku heran mengapa kau bisa tahu bentuk televisi.”
Wajah Kusko mematung, bibirnya terbata-bata.
“Kisah itu kuperoleh dari orang-orang dimensimu yang terdampar di sini dan memohon untuk dipulangkan untuk bisa melihat kembali benda-benda seperti itu,” dalihnya tergesa-gesa.
Ivander mengangguk paham, meski tak satupun dari mereka yang melihat anggukannya—sebab Ivander berada di posisi paling belakang.
“Tentang Aztandor. Mereka masih menggantung, Cazar. Siapa mereka sebenarnya?” lanjut Ivander.
“Legenda tentang asal-usul mereka telah lama beredar. Dahulu pimpinan mereka, Azatur Bardiel, adalah pendeta yang paling dihormati, dengan status tertinggi di negeri Nemoralexia. Tergiur akan kekuatan yang lebih besar, Azatur melakukan ritual terlarang yang tersurat dalam gulungan hitam Kalanost. Dia terusir dari Nemoralexia setelah itu. Tapi pendukungnya yang tetap setia pada Azatur, yang mereka gelari Sang Kepala. Mereka memutuskan untuk meninggalkan Nemoralexia dan mengikuti Azatur. Itulah asal mula kaum Aztandor. Kabarnya mereka semakin terpuruk dalam sihir kegelapan yang tak bisa sepenuhnya mereka kuasai.”
“Bagaimana bisa Témpust meminta tolong pada kaum semacam itu?” ujar Ivander dengan nada miris.
“Kau sendiri sudah mendengar aku mengatakan hal yang sama pada Mérdanté, bukan?” jawab Cazar ringkas. “Mereka memanfaatkan suatu mantera kuno yang membuat mereka memiliki kekuatan legendaris Sang Pengendali Bangsa Naga, Lord Bordock. Karena itu pula mereka harus meminum darah paling busuk milik Amon. Hanya kekuatan pengendalian naga yang tak turun pada mereka. Kekuatan itu diperoleh melalui sebuah garis keturunan. Itulah yang kami cari-cari sekarang, Ivander. Kami mencari keturunan terakhir dari Lord Bordock yang tersebut dalam sajak kuno…”
Telinga Alexa mendengar pembicaraan itu sedari tadi. Dia tak tidur sepenuhnya. Dirinya jadi begitu sensitif pada cerita-cerita mengenai Lord Bordock. Lamencia Incargot, nama yang terus terbayang dalam setiap usahanya untuk terlelap. Pria yang mengakui namanya adalah Lord Bordock, memanggilnya dengan nama itu. Suara penuh kharismanya terasa tak mungkin bohong. Sudah seyakin itu dia memanggil Alexa, lalu serela itu pula dia berikan sebuah kalung yang begitu cantik padanya, sejauh itu, dia tak mungkin salah memanggil orang. Orang-orang ini menyebutkan nama Lord Bordock dengan begitu megah dan berpengharapan, itu cukup menggambarkan betapa hebat dan dahsyatnya manusia itu. Padahal masih segar di dalam mimpinya, pria besar itu tunduk pada Alexa. Dia dibuat cukup kebingungan, apalagi dengan adanya kalung yang nyata-nyatanya sudah berpindah dari mimpi ke dalam genggaman tangannya di kenyataan.
“…dan batu yang kau tunjukkan pada kami sudah menentukan bahwa masa ini adalah saatnya. Itu bila benar kau melihatnya bersinar di duniamu,” lanjut Cazar.
“Tentu. Sinar seindah itu tak mungkin sebuah tipuan. Aku jamin,” tegas Ivander.
Cazar tak melanjutkan penjelasannya. Sudah cukup sampai di situ. Dia dan Kusko merasakan bahaya yang sama di ujung sana. Bau yang amat khas bercampur dengan bau sebuah zat kimia yang lazim tercium saat perang-perang terjadi. Baunya masih jauh dari sini, namun akan segera menjadi ancaman serius. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berhati-hati. Berlari kencang di atas jembatan ini untuk menerjang, sepertinya menjadi sebuah kemustahilan.
Terusik oleh hal lainnya lagi. Kilauan lentera lainnya terlihat dari bagian belakang Ivander. Kilauan cahaya itu dikaburkan oleh butiran-butiran kecil dari selubung kabut.
“Kusko, lihatlah!”
“Aku tahu, Ivander. Kita terdesak dari dua arah. Si busuk itu, Midianor tak senang kita mendatangi Elgar Lhotién di Barkast. Desa itu milik para manusia setengah Elf yang amat mengurung diri dari pengaruh Midianor dan keturunan Avalen. Dia tak ingin kita bersekutu dengan Elgar.”
Desa Barkast. Saat ini, keamanan hanya akan diperoleh di sana.
“Tak ada yang katakan kita akan bersekutu dengan mereka, Kusko? Kau hanya katakan penyingkapan siapa Alexa sebenarnya,” sanggah Cazar mendadak. “Apakah itu tak akan memakan waktu lama sebelum aku dapat kembali ke Eagle Harbour untuk melihat keadaan saudara-saudaraku?”
“Tak ada yang bisa kau lakukan lagi, Cazar. Mereka sudah mendapatkan Aztandor sekarang, itu jika yang kau katakan tentang Aztandor dan Témpust pada Ivander tadi adalah kebenaran. Walaupun misiku juga membawa Alexa ke sana, namun Tuanku tak menduga ‘sampah selatan’ itu akan begitu mengganggu kita,” ujar Kusko tenang. “Arahkan busurmu ke belakang, Cazar. Saatnya membuat satu dari mereka jatuh.”
Cazar menghembuskan nafas untuk menahan udara dingin yang membuat tangannya gemetar dan tidak stabil. Dia menarik sebuah anak panah dari punggungnya dan menurunkan busur dari bahunya ke dalam genggaman tangan kokohnya. Dia mulai membidik ke arah cahaya-cahaya lentera kecil yang mengiringi mereka di belakang.
“Kau yakin itu para Serigala Pasir, Kusko?” katanya ragu.
“Dengarlah…” jawab Kusko. “Nafas kuda itu, nafas kuda yang terlalu sering berada di atas tumpukan pasir. Mereka pasti berusaha keras menahan udara sedingin ini. Jelas sekali mereka berasal dari peternakan di barat Garbadur Fortress, benteng kumuh di Benua Selatan.”
Barulah Cazar merasa yakin setelah itu.
“Merunduklah, Ivander.”
Ivander tak akan mungkin menolak perintah itu jika dia masih ingin hidup. Walau dia memiliki kekuatan regenerasi, bukanlah hal yang mudah untuk menahan rasa sakit akibat hujaman panah dari jarak sedekat itu. Lagipula melakukan itu akan membuatnya menjadi pria terbodoh sepanjang masa.
Tangan mantap Cazar melepaskan anah panah itu menembus gumpalan kabut tebal. Bahkan anginnya terasa menyisir rambut Ivander. Begitu terasa kekuatan dari satu anah panah itu. Cazar Balamug, seseorang yang mengerti arti busur dan anak panah sejak usianya enam tahun. Pria itu memang berbakat dalam urusan panah-memanah. Walau bukan dalam ilmu pedang.
Tak lama, terdengar celotehan dari bahasa Benua Selatan. Bersama-sama mereka berteriak saat melihat rekan mereka tiba-tiba jatuh ke bawah, ke sungai Galbor. Tepat dugaan Kusko. Mereka adalah gerombolan bandit Tammil Ibrahim yang menginginkan sekali pendayungan untuk mencapai dua pulau sekaligus—mereka inginkan Alexa, berbarengan dengan tujuan mereka ke Raven Fortress selanjutnya. Mereka pikir jalan terbaik adalah melakukan perebutan di atas jembatan, tentunya setelah membuntuti rombongan Ivander ini mulai dari Sladur.
Umpatan-umpatan kasar terdengar ke telinga Kusko yang mengerti bahasa mereka. Mereka amat marah, dan dengan alasan yang berbeda mereka juga merasa yakin berada dalam jalur yang tak salah. Anak panah Cazar membuat mereka juga yakin kalau Alexa berada tepat di hadapan mereka. Mereka dan orang yang mereka cari, hanya terpisahkan oleh kabut. Betapa senang mereka mengetahui hal itu.
“Rasanya itu cukup untuk menyatakan diri kita pada mereka, Cazar,” ujar Kusko sedikit gelisah.
“Jembatan bergetar, Kusko. Sepertinya mereka nekad berlari!” seru Ivander panik. “Kau rasakan itu, Cazar?”
“Kupikir mereka tak pernah cukup memiliki alasan untuk menjadi lebih pintar…Sekumpulan kantung sampah!”
“Dan tak punya alas an untuk lebih mengerti keadaan juga, karena sepertinya para Burandal juga nekad menyerbu, Kusko!” timpal Cazar keras. Dia mendengar deru kerusuhan dari kedua arah, depan dan belakang. Para Burandal dan Serigala Pasir akan bertubrukan dengan rombongan Ivander pada suatu waktu, di atas rapuhnya jembatan ini. Ini juga menunjukkan betapa liarnya pihak-pihak di depan dan belakang. Mereka bahkan tak berpikir jembatan ini bisa runtuh pada waktu apapun. Saat ini saja, bunyi berdenyit dari paku-paku rapuh yang mematri kayu-kayu tua mulai menusuk telinga.
“Kita tak bisa diam di sini. Berlari sajalah ke depan. Kita lihat sekuat apa jembatan ini,” saran Kusko.
Walau itu juga suatu kegilaan, mereka tetap berlari ke depan, seperti seorang kesatria berkuda yang memegang tombak untuk menjatuhkan musuh berkuda di hadapannya. Diam juga berarti mati terkepung hingga tak mungkin lagi bergerak, jadi sejauh ini, hanya itulah pilihan terbaik mereka. Sampai cukup jauh mereka berlari menerobos kabut, menghindari lubang demi lubang kecil pada reyotnya papan, mereka mencium aroma menusuk dari depan. Sebuah bau asam, semakin dekat, bau itulah yang sedari tadi dihirup dari kejauhan oleh Cazar dan Kusko.
“Bau bahan kimia. Tutup hidungmu, Ivander!” seru Cazar yang sudah melakukannya terlebih dahulu.
“Bukan! Ini tidak berbahaya bagi pernafasan,” sanggah Kusko. “Aku sering menghirup bebauan ini. Ini seperti bau getah pohon Gatte.”
“Bukankah itu bom? Burandal gila itu mencoba menjatuhkan kita bukannya memakan kita? Oh, Theon. Mengapa kita jadi terkepung oleh makhluk-makhluk bodoh,” geram Cazar retoris.
Pohon-pohon Gatte hanya tumbuh di sekitar Lembah Gardner dan perbukitan belerang Vallenor. Batangnya kurus kering dengan diameter cukup besar. Akarnya begitu kokoh menunjang tingginya pohon itu. Daun-daunnya menebal seperti tudung jamur. Rantingnya kurus dan panjang-panjang. Pohon Gatte memiliki getah yang jumlahnya sedikit, tapi getah itu mudah meledak bila tersulut api. Para Burandal menyadapnya untuk dimasukkan ke dalam tong kayu kecil yang permukaannya rapat hingga tak ada celah bagi getah itu untuk mengalir keluar. Kemudian pada permukaan atasnya dilubangi dari ditambahkan dengan tali tambang agak tipis sebagai sumbu. Daya ledaknya mirip sebuah bom molotov buatan tangan.
Benarlah apa yang dihirup oleh Kusko dan Cazar. Mereka tak perlu menjelaskan panjang lebar pada Ivander, tentang untuk apa itu getah pohon Gatte. Ivander bisa melihatnya sendiri di hadapan mereka, agak jauh. Para Burandal berlari menyongsong, dengan tangan menggenggam tong-tong kayu kecil. Bom. Maka paniklah mereka semua. Sementara di saat yang sama, para Serigala Pasir juga mulai menggapai keberadaan mereka.
“Minggir!!! Makhluk busuk yang berlagak berperadaban!” teriak Kusko menubruk gerombolan Burandal yang tengah sibuk menyentuhkan api pada obor di tangan mereka dengan tali sumbu bom.
Yang terjadi kemudian adalah belasan bom Gatte berjatuhan di atas jembatan. Acapkali api obor sudah terlanjur menyentuh sumbunya. Para Burandal itu terpelanting oleh tubrukan Drustgab, beberapa dari mereka terjatuh pula ke dasar sungai. Keadaan sangat ricuh saat itu. Kecepatan Kusko mulai terhambat oleh kepadatan Burandal yang semakin menjadi-jadi. Suara-suara kecil bagai nenek sihir itu berbunyi sahut-menyahut. Mereka sangat marah, amat marah dan juga lapar. Para Burandal begitu liar menerkam Kusko. Dorongan kepanikan membuatnya terus berusaha memacu Drustgab sekencang mungkin.
Bom itu akan meledak. Bom-bom lain yang juga terjatuh, walaupun belum tersulut, pasti akan terambati ledakan itu. Bodohnya, para Serigala Pasir tak menyadari adanya bom. Satu buah bom, yang siap meledakkan belasan bom lainnya.
Dengan kecepatan dan kenekadan itu, Kusko berhasil juga sampai ke tepian. Lekas dia menyingkirkan lentera dari tangannya, digantikan oleh sebilah pedang berkilau dari sarungnya demi mengusir para pengacau cilik ini. Panah-panah Cazar beraksi sesaat setelah dia juga menyusul Kusko. Lahan pertarungan baru bagi keduanya telah tercipta. Kerusuhan itu benar-benar terjadi di saat kelelahan sedang erat membungkus tubuh mereka. Cazar Balamug dan Ivander Graham sama sekali belum berkesempatan untuk sepenuhnya tertidur lelap, sementara Mithrillia Kusko baru saja menyembuhkan luka di tulang tangannya—entah bagaimana caranya. Kekuatan mereka begitu dipaksakan demi menyelamatkan seorang gadis yang katanya berharga, di dalam lindungan Kusko sekarang.
Sampai saat-saat terakhir menuju peledakan, Ivander belum tiba juga ke tepian. Dia terhambat oleh para Burandal yang tersisa di jembatan. Sementara satu bom yang tersulut, terlanjur meledak, disusul oleh pelopor peledakan lainnya, merambat ke belasan bom lain di sana. Jembatan kayu itupun terputus dan runtuh. Para Serigala Pasir terkena dampak terburuk dari ledakan itu. Sebagian dari mereka terhempas ledakan itu, sebagian lainnya terjatuh karena jembatan mendadak runtuh, tapi semuanya berakhir sama—kematian di dasar jurang. Aliran deras sungai cadas menyambut tubuh-tubuh mereka.
Ivander terkejut. Dia merasakan betapa maut baru saja begitu dekat membuntutinya di belakang. Hembusan angin dari ledakan itu mengibaskan rambutnya ke depan. Dia bisa membayangkan betapa dahsyatnya ledakan yang terjadi.
“Lompat! Lompat, Lecon!” teriak Ivander panik.
Kuda itu memacu cepat, dia sendiri tahu nyawanya, juga nyawa penunggangnya, berada di ujung tanduk. Suara maut seakan berteriak puas di belakang mereka. Sambil mendengus kencang, Lecon melompat, dia memaksakan kedua kakinya agar sampai ke tepian. Kakinya terpeleset, Lecon jatuh terseret di tanah, menghempaskan tubuh Ivander jauh ke depan, dibarengi tubrukan ke arah dua ekor Burandal. Tapi mereka selamat, tak ada yang lebih melegakan daripada itu.
Para Burandal tak akan mendiamkan mereka yang berhasil lolos.
Mereka menyergap Ivander yang baru saja menarik nafas lega. Pisau kecil senjata mereka, terhunus dengan punggung tangan, berniat menikam kudanya, Lecon. Cazar yang melihat hal itu, secara refleks menembakkan anak panahnya untuk melindungi Lecon. Sudah tak mungkin bagi Lecon untuk membantu Ivander bertarung.. Ivander menyibak kain yang membungkus Obelisk, sambil berteriak, dipaksakannya untuk mengibas brutal ke segala arah. Dia begitu kesal terhadap ulah jahil para Burandal, makhluk kecil jelek menjijikan. Betul kata Cazar. Mereka tidak tinggi, tapi mereka bukan main menyebalkan.
Kini tepian jembatan benar-benar menjadi arena pertempuran baru.
Para Burandal kehilangan banyak kerabat mereka akibat kegilaan yang dipaksakan oleh tiga orang itu. Seorang Bounty Hunter, seorang pejuang kebebasan, dan seorang agen rahasia, kini berada di tengah pertempuran penuh darah-darah merah pekat agak hitam—ciri dari darah para Burandal. Kaum kerdil itu terus saja menyerbu mereka dengan pisau-pisau pendek bengkok mereka yang tergenggam di jari-jari keriputnya. Ukuran tubuh mereka yang tak lebih tinggi dari punggung seekor kuda tak mengurangi kebengisan mereka.
Luka baru, sayatan baru dan goresan baru.
Ivander terus terserang prajurit-prajurit gesit itu. Kini dadanya berdebar-debar karena dia tahu tak ada waktu untuk beristirahat di tengah kesulitan yang menimpa dia dan kedua rekannya. Ivander berjuang untuk melawan kelelahan demi menjaga tubuhnya dari lebih banyak luka goresan yang cukup dalam dan perih. Dia sadar Burandal adalah musuh licik yang tak bisa diremehkan. Mereka miliki banyak senjata di seluruh tubuhnya. Dalam keadaan bagaimanapun, Burandal selalu punya cara lain untuk melukai mangsanya.
Dalam pertempuran yang makin berat sebelah itu, Alexa terbangun, dia terkejut menyadari dirinya tengah berada dalam kerumunan kurcaci-kurcaci menyeramkan. Tebasan-tebasan Kusko terlihat begitu jelas dari sudut pandangnya. Menengok jumlah kurcaci itu, sadarlah dia bahwa mereka dalam bahaya sekarang. Akibat kerusuhan itu, Alexa yang sudah letih terdorong untuk menjelajahi sekitar dengan pandangannya. Di matanya terpantul rombongan Burandal berdatangan dengan pisau-pisau dan suara cekikikan cemprengnya; Cazar Balamug yang sedari tadi menghabisi musuh dengan tenang dan kalem; dan dia sama terkejutnya dengan Ivander, wajah yang sama dengan pria di stasiun kereta api. Tapi kebetulan itu seakan biasa saja bagi Alexa. Dia tak begitu menggubris hal itu. Mungkin saat ini Alexa tak mampu lagi untuk terkejut dan berseru.
Kau? Bukankah kau pria yang kutemui di stasiun?
Benar, gadis itu sudah kelewat lelah dengan perjalanan ini.
Alexa memalingkan wajahnya dari Ivander dan memperhatikan hal lain—justru dia bertambah takut begitu memandang tinggi ke bukit, dimana para Burandal meluncur turun seperti air terjun. Dia tak lagi berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Alexa menutupi wajahnya ke dada Kusko dan berharap-harap. Dia hanya ingin semua ini berakhir dan dia bisa beristirahat.
“Atas, Cazar! Burandal baru dari bukit!” seru Ivander.
Dengan peringatan itu, Cazar menembaki Burandal baru dari bukit. Mereka terguling-guling merosot dengan anak panah tepat di dadanya. Ivander kembali mengayunkan pedang besarnya, menyambut Burandal yang masih tersisa di sepanjang kaki bukit. Sabetannya seperti gelombang lautan. Panjang mata pedang Ivander saja hampir mencapai satu meter. Lebarnya sepanjang satu jengkal tangan orang dewasa—dari ibu jari hingga kelingking. Ivander sangat terlatih menggunakan pedang berdaya rusak hebat itu. Tapi kini keunggulan senjata itu dirasanya kurang ampuh untuk menghadapi kumpulan makhluk kecil dan liat seperti Burandal.
“Kemampuan berpedangmu hebat juga, Ivander. Kau memiliki bakat,” puji Cazar yang masih sibuk membidik Burandal dan menembaknya. Sedikit demi sedikit Burandal berjatuhan akibat panah dari Cazar. Namun Cazar sadar anak panahnya kritis. Dia tak bisa terus menerus mengandalkan kayu tipis bermata tajam itu. Suatu saat, dia harus menghunus pedang ringan di pinggangnya jua, sama seperti kedua rekannya yang lain.
Ivander hanya tersenyum sedikit mendengar pujian itu. Dia lebih serius menghindari serangan langsung para ‘setan-setan’ kecil ini. Mereka terus menyerang tanpa henti seolah tiada habisnya. Ivander menggelengkan kepala saat memandang ke atas bukit, lagi-lagi belasan Burandal baru.
“Burandal. Kecil, jelek, menjijikan!” umpat Ivander kesal.
………
Pertempuran itu semakin memojokkan rombongan pejuang.
Beberapa menit telah berlangsung. Rombongan Ivander memang dikepung habis-habisan. Namun di saat kematian hampir memutuskan nasib mereka, pertolongan datang tak terduga oleh siapapun. Mendadak sebuah gempa mengguncang tempat itu. Para Burandal rontok bagai batuan dari tebing. Mereka tergelincir dan akhirnya terseret hingga ke bawah. Beberapa yang berdiri tepat di dekat tepian, terjatuh ke dasar sungai. Dominasi para Burandal hilang seketika. Gempa itu begitu aneh, bahkan tak sedikitpun mereka bertiga terguncang olehnya. Kusko menemukan keganjilan dalam gempa ini. Dia tahu sebuah gempa tak akan terjadi mendadak seperti ini.
Mantera.
Pasti ini adalah mantera dari elemen bumi.
Lagi-lagi secara mendadak. Dari arah yang sama, utara. Kali ini berhembus angin yang sangat kencang. Angin kencang itu datang dengan kekosongan, tanpa membawa sedikitpun benda-benda alam ke dalamnya. Angin itu datang hanya untuk membawa para Burandal hingga terhempas masuk ke dalam dasar sungai. Satu persatu Burandal lenyap dari tepian jembatan, diiringi oleh teriakan penuh dendamnya. Hanya sedikit Burandal yang berhasil selamat dari kejadian itu—mereka yang mengurungkan niatnya untuk menyerbu saat merasakan gempa bumi magis. Mereka berlari kencang menjauhi tempat itu. Para Burandal berlarian bak dikejar-kejar dewa maut. Dalam sekejap, tempat itu sunyi, suara-suara cempreng tadi lenyap begitu saja.
Ini aneh, serentak ketiganya dari dalam batin mereka. Mereka yang tadinya menutup mata karena debu begitu sadis menerpa wajah mereka, menyadari para Burandal telah habis saat mata mereka terbuka. Mata mereka hanya bisa memandang tak percaya, dan bibir mereka berceletuk takjub dengan kejadian yang baru saja mampir.
Elemen angin. Kusko tahu penyihir barusan pasti menggenggam kekuatan yang amat dahsyat. Butuh tingkatan magis yang sangat tinggi untuk mengontrol dua elemen sekaligus. Terus-menerus batinnya bertanya, siapa dia?
“Sudah berakhirkah?” tanya Ivander perlahan-lahan tanpa perlu didengar dan dijawab. Matanya menerawang ke segala arah, seakan tak percaya para Burandal telah lenyap.
Keheningan sesaat tercipta.
“Sihir apa itu barusan?” celetuk Cazar. “Kekuatannya besar sekali. Apakah itu musuh baru untuk kita, Kusko?”
Kusko menoleh tenang dalam tatapan dinginnya. Dia dan kudanya melangkah beberapa saat ke utara. Kusko memberanikan dirinya untuk melihat lurus ke sana, dimana seorang berkuda datang menyambut. Derap kudanya begitu cepat hingga debu-debu memancarkannya dengan jelas. Dialah penyihir kuat yang membabat habis seluruh serdadu kurcaci bajingan itu. Tangan Kusko masih menggenggam erat gagang pedangnya di tangan kanan.
Saat itu, matahari mulai terlihat dari ufuk timur. Cahaya mudanya memantul di jubah putih pria berkuda itu. Kehadirannya terlihat begitu mengagumkan, apalagi mengingat apa yang sudah dia lakukan untuk menyelamatkan orang-orang itu. Seperti kesejukan yang mendadak mengisi seluruh lembah.
“Kahab?” gumam Kusko tak yakin, saat memandang orang itu.
Cazar menjalankan kudanya beberapa langkah hingga sejajar dengan Kusko. “Kawan, atau lawan?” imbuh Cazar menyiapkan tangannya untuk mengambil anak panah dari punggungnya. “Hanya tersisa sepuluh, kuharap mampu menjatuhkannya dengan tepat.”
“Tahan, Cazar,” kata Kusko penuh ketenangan, sambil meletakkan tangannya pada bahu Cazar. “Aku kenal dia. Dia teman kita.” Kusko sama sekali tak melepaskan pandangannya dari pria berjubah putih itu.
Penunggang kuda berjubah putih bersih itu semakin mendekat dan akhirnya sampai ke hadapan para pejuang. Dia mengenakan jubah yang bertudung putih pula dengan ornamen sulur-sulur dan dedaunan emas di garis tepi tudungnya, juga pada jubahnya. Dia menunggangi kuda yang amat cantik—kulitnya putih bersih, rambutnya halus, matanya bersinar. Dia laki-laki, tampan dan sebersih kudanya. Rambutnya pirang dan tampak sangat halus saat dia membuka tudung untuk memperlihatkan wajahnya. Seluruh rambutnya beralur ke belakang untuk memperlihatkan keanggunannya. Cuping telinganya agak lancip—meski tak selancip milik kaum Elf murni. Bola mata hijau tuanya begitu jernih. Dia tersenyum ramah saat melihat rombongan itu.
“Tamu dari Goat Hill?” katanya ramah. “Sebuah kehormatan bagiku untuk bertemu dengan kalian di sini,” ujarnya penuh kesantunan dalam tata bahasa.
“Kahab? Kau Kahab?” tanya Kusko berulang.
“Bukan, Bounty Hunter. Namaku Halab, putera Rahab Alabanor. Saudara kembarku, Kahab, sudah tak lagi menetap di Barkast sejak tujuh tahun lalu. Elgar akan sangat senang mengetahui kau salah satu teman dari Kahab.”
Kahab Alabanor, manusia setengah Elf. Kusko memiliki banyak kenangan perjuangan dengannya. Mereka berdua ditarik dari dunianya masing-masing, untuk diuji dalam rangkaian ujian menjadi seorang Bounty Hunter. Namun, bukan dengan alasan kekuatan, orang yang menguji mereka akhirnya memilih Kusko, melainkan karena tabiat mereka yang berlawanan. Sudah lama ditentukan bahwa Bounty Hunter pilihannya akan menjadi penjaga bagi Sang Terpilih, dan Kahab tak memiliki rasa untuk berkorban. Walau bila diukur dari segi kekuatan, baik fisik maupun magis—yang tak dikuasai Kusko—Kahab adalah yang terbaik. Setelah kegagalannya merebut hati orang yang telah dijadikannya sebagai panutan, Kahab frustasi dan bersumpah akan membalas penghinaan itu. Kemudian dia hilang, entah kemana.
“Mengapa itu bisa terjadi?” tanya Kusko lagi.
“Kau akan lebih puas jika mendengarnya langsung dari Elgar Lhotién,” jawabnya santun dan ramah. Pria ini memiliki kharisma dan kesantunan seorang Elf, namun proporsi tubuhnya lebih besar dari Elf karena dia memiliki darah keturunan manusia. “Mari kuhantar kalian ke tempat peristirahatan. Desa Barkast sudah menantikan kehadiran kalian.”
“Kudaku, bagaimana dengan Lecon kudaku?” sela Ivander.
Halab mendengarnya. Dia mendekatkan diri pada Lecon, kuda malang yang terbaring, seakan tengah merintih kesakitan. Sorot iba di mata Halab, mendadak meruncing tajam, alisnya berkerut serius. Kemudian Halab memejamkan mata.
“Haelica amarretia,” sebut Halab setengah berbisik.
Cahaya putih mengelilingi tangannya, seperti api kecil yang membara. Halab turun dari atas kudanya dan menyentuhkan tangan itu ke pergelangan kaki Lecon yang terkapar. Halab mengelus-elus kaki itu, sampai akhirnya Lecon bisa berdiri kembali. Dia meninggalkan perasaan takjub bagi seluruh manusia yang menyaksikannya. Terakhir dia mengelus-elus wajah Lecon yang bercampur debu-debu perjalanan. Debu-debu sama seperti debu yang menempel di wajah lusuh Ivander dan Cazar. Dari tumpukan debu itu, Halab menyadari perjalanan panjang yang sudah ditempuh orang-orang ini.
Dia menengok dengan ramahnya pada Ivander. “Kudamu ini sudah siap menghantarkanmu kembali.”
“Aku tak tahu dengan apa membalasnya,” jawab Ivander tergagap-gagap.
“Sudah menjadi tugasku untuk membantu perjalanan kalian,” ujarnya. Kemudian dia memalingkan wajah ke arah Alexa dan memperlihatkan antusiasme datarnya, “Seorang wanita bersama kalian?” Halab agak heran.
“Dia Alexa dari Maya. Asalnya dan Ivander sama. Dia terdampar di dimensi ini, dan aku percaya itu bukan sebuah kebetulan,” jawab Kusko.
Halab tersenyum kembali, hampir membuat Ivander kesal karena dia tak biasa menghadapi orang seramah itu. “Dan kalian mencari Elgar untuk itu, bukan?”
“Maaf atas kelancangan kami mengganggu dini harimu, Halab,” balas Kusko untuk menjawab pertanyaan itu dengan cara lain.
Halab mengerti maksudnya.
“Kalau begitu biarlah kalian diperlakukan selayaknya tamu istimewa yang sudah tak lagi pernah datang ke desa Barkast.”
“Hormat dari kami, Halab,” sambung Cazar Balamug penuh kerendahan hati. “Kuharap kalian mau menerima kami yang berlumuran darah.”
“Jika begitu, adalah sebuah niat baik dari kami untuk membersihkannya kembali,” tanggap Halab begitu santun.
………
Matahari mulai merambat tinggi saat mereka melewati Lembah Gardner. Pagi ini tampak begitu indah bagi Cazar yang belum mengistirahatkan matanya sejak berangkat mencari Bader—tak berbeda dengan Ivander. Kawanan kalajengking sering terlihat melintas di tanah, sepanjang perjalanan menelusuri habitat para kalanjengking itu. Tidak heran para Burandal juga tahu banyak soal racun. Sesekali masih terdengar suara sewot beberapa Burandal yang sama sekali tak berani melakukan serangan balasan. Suara itu memantul-mantul ke dinding lembah dan disampaikan oleh pohon-pohon kering ke telinga mereka. Hanya karena kahadiran Halab saja, mereka bertekuk lutut ketakutan. Mereka semua tahu, berpasang-pasang mata Burandal tengah mengintip mereka dari suatu tempat.
Bayangan sisi bukit sebelah kanan menutupi lembah hingga cahaya matahari menyinari kembali di bukit sisi kiri.
Kuda-kuda itu menderap cukup cepat dengan pimpinan Alamar, kuda yang ditunggangi Halab. Kuda putih Alamar, lebih cantik dari kuda manapun yang pernah ditemui oleh masing-masing rombongan Ivander. Rambut putihnya amat halus, terlihat betul kuda ini sangat terawat. Halab dan Alamar membimbing mereka ke dalam sebuah celah yang sempit, hanya cukup bagi seekor kuda dengan sisa sedikit ruang bagi udara. Semakin jauh celah itu ditelusuri, tanah kering yang dipijak perlahan mulai terlihat ditumbuhi rumput, seiring dengan lokasi mereka yang semakin dekat ke desa Barkast. Sebenarnya, jika tidak berbelok memasuki celah sempit yang jarang ingin dimasuki orang itu, mereka bisa melanjutkan perjalanan ke Hutan Urifed dan bertemu dengan Mérdanté, meskipun jarak yang akan ditempuh lumayan memakan waktu dan tenaga. Hanya kegilaan yang membuat Mérdanté mampu menempuhnya hanya dalam waktu semalam saja.
Celah itu mulai memastikan diri untuk pelan-pelan melebar. Dinding-dinding batu di celah itu mulai ditumbuhi lumut dan tanaman-tanaman kecil. Celah itu disebut Barkastourith, satu-satunya jalan masuk ke desa isolasi Hamanidiosalfar atau manusia setengah Elf, Desa Barkast. Lumut-lumut itu semakin mudah ditemui dan semakin banyak jumlahnya, disusul dengan kehadiran tanaman merambat yang perlahan juga makin banyak bergelantungan di tembok celah. Lalu suara decitan hewan-hewan pengerat memantul, menggantikan suara Burandal yang sama sekali tak terdengar lagi. Tapak kuda-kuda itu akhirnya memijak rumput, begitu hijau seakan belum pernah terinjak sebelumnya.
Desa Barkast sudah mulai bisa terbayang oleh mereka yang sebenarnya sudah cukup takjub hanya dengan melihat pemandangan ini. Mereka mulai memperlambat laju kudanya hingga ada cukup waktu untuk menikmati keindahannya. Melihat itu, Alamar dan penunggangnya menyanggupi. Dia memimpin mereka lambat-lambat.
“Kami tak menyangka ada keindahan semacam ini di tempat semacam Lembah Gardner. Ini luar biasa, Halab. Menakjubkan untuk melihat bagaimana mereka tumbuh untuk membimbing kami pada pikiran akan betapa indahnya desa Barkast,” puji Cazar.
“Atas sanjunganmu kuucapkan banyak terima kasih. Tak banyak tamu kami yang bisa sampai ke tempat ini. Mereka yang berniat buruk terhadap desa Barkast justru akan melihat celah ini semakin menyempit hingga menyatu menjadi tembok penghalang, sebelum sampai ke tanah yang kalian injak sekarang.”
“Salah satu keajaiban dari darah keturunan peri di tubuh kalian, benar?” timpal Kusko yang berjalan di belakang Halab.
Halab tertawa renyah, namun begitu pelan dan singkat hingga terdengar hanya seperti hembusan nafas. “Kami sudah lama meninggalkan kebiasaan kaum peri sejak mereka semua berpindah ke Anabalheim.”
“Dua ratus tahun lalu, Halab? Aku jadi terpikir berapa sebenarnya usiamu?” tanya Cazar.
“Aku lahir sekitar tujuh puluh tahun setelah itu. Menurut kalender kalian kaum manusia, usiaku mencapai seratus tiga puluh tahun. Jika aku menggunakan kalender peri, tepat tiga puluh tahun adalah usiaku,” jawabnya enteng penuh canda.
“Jika itu berlaku pula bagi Elgar, entah sudah seperti apa wajahnya sekarang. Bagaimana keadaannya, Halab?” ujar Kusko setengah canda.
“Kami tak bertambah tua seperti layaknya manusia. Tapi kami bisa memancarkan usia kami dengan raut wajah. Begitulah kebijaksanaan di wajah Elgar cukup menggambarkan usia empat ratus dua puluh empat tahun yang dimilikinya. Kematian bagi kami adalah pilihan, bukan takdir seperti yang dijalani kaummu. Saat ini juga, aku bisa melepaskan kehidupanku dan pergi ke pangkuan Dewa Frey. Begitupun halnya dengan para Elf, termasuk Elgar,” cukup jelas penerangan singkat dari Halab mengenai kehidupannya dan kaumnya. “Aku mengenal Éleon dari keluarga Baldmur di kubu kalian,” sambung Halab meneruskan pembicaraan sambil menoleh sejenak dan memperlihatkan senyum ramahnya.
“Benar. Éleon juga adalah separuh Elf sepertimu dan Elgar. Dia tak pernah menyebutkan berapa usianya padaku. Pernah tersembur dari mulutnya kalau dia tak suka masa lalunya dan para Elf diungkit kembali. Baginya, mempertanyakan usianya berarti sama dengan menyebutnya setengah peri,” ujar Cazar dengan sedikit nada heran.
“Dan menyebut dirinya makhluk setengah peri, hampir berarti kau menghinanya sebagai anak yang terbuang,” sambung Kusko yang juga mengenal Éleonais Markourith.
“Aku mengerti,” jawab Halab. “Éleon tak menyukai kaum peri karena ibunya yang murni seorang Elf, meninggalkan Éleon untuk menyepi ke Anabalheim bersama ratusan Ljosalfar lainnya. Keberadaan kami yang memiliki darah kaum kalian, tak diterima di sana. Namun jelas terlihat kerinduan Éleon untuk bertemu dengan ibunya kembali. Bukankah seharusnya dia memakai nama Baldmur sebagai kelanjutan keturunan ayahnya?...” terang Halab.
Halab menjelaskan betapa dia mengenal Éleon, sebab pria itu sempat menetap di desa Barkast selama beberapa tahun hidup dalam kekecewaan karena ditinggalkan. “…Dia tak keberatan disebut Éleon keturunan Markourith, bukan? Di desa Barkast, tak ada lagi orang yang memiliki nama keluarga itu. Markourith merupakan salah satu keluarga terhormat di antara para Ljosalfar selain Alabanor, Lhotién dan Crassvalla. Nama-nama itu memiliki keturunan kesatria dan konon berhubungan sangat baik dengan keturunan Incargot. Sebab itu, nama-nama itulah yang paling pertama menyatakan kekecewaannya pada manusia. Setidaknya para Ljosalfar tak ikut membalaskan kekecewaannya seperti yang dilakukan para Svartalfar.”
“Mengenai para Elf dalam kegelapan itu, apakah pertikaian antara kalian masih berlangsung?” tanya Kusko.
Hanya bisa diam untuk mendengar, selalu itu yang dilakukan Ivander sejak tadi. Tapi diam dan mendengar kisah menarik ini bukanlah hal yang sulit. Para peri di Mithrillia, sesuatu yang baru kali ini dia lihat, meski baru melihat keturunannya saja, itu sudah membuatnya takjub. Apalagi sejarah mereka seakan sangat panjang dan tak ada habisnya untuk dikupas. Tempat ini masih terlalu luas untuk dijelajahi olehnya yang begitu merasa hebat di dimensi Maya. Ivander seperti merasa amat lemah dan terpinggirkan karena ketidaktahuannya akan perkara-perkara Mithrillia. Dia mengingat tujuannya ke sini hanyalah untuk bertemu Témpust dan menyerahkan batu Oriel, tak lebih. Dia menduga-duga bahwa setelah itu dia bisa pulang dan membereskan kasus Lacuna Syndrome, juga para pesakitan yang merana.
Kenyataanya berbeda, terbalik.
Tak ada kepastian kapan dia bisa kembali. Dia terpisah dari Enrico van Luigi. Meskipun keyakinannya mencuat tentang keselamatan Enrico di sana. Dia tak tahu apakah orang-orang di sini mengkhawatirkan Lacuna Syndrome atau tidak. Dia lebih khawatir lagi ketika semua orang di sekitarnya bertindak kalau Alexa sudah pasti merupakan Sang Terpilih yang bisa menghentikan Lacuna Syndrome.
Lagipula, bila Mirage sebegitu kuatnya sehingga bisa merencanakan Lacuna Syndrome, apakah mungkin gadis yang kerjanya hanya tidur itu bisa?
“Tidak semenjak pengasingan Hamanidiosalfar ke http://www.blogger.com/img/blank.gifdesa Barkast dan Ljosalfar ke Anabalheim. Mereka juga menetap di wilayah mistis bernama Kalanheim, kadang kami menyebutnya Svartalheim. Kami tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu dimana tempat itu. Kami hanya takut mereka akan kembali untuk mengusik haknya atas gulungan Anabalost yang sudah mereka tinggalkan,” lanjut Halab membuat Ivander kembali ke fokusnya terhadap cerita itu.
“Aku mendengar perburuan mereka terhadap keturunan Incargot yang tak pernah berakhir, Halab. Bagiku itu sangat mengancam kelangsungan dimensi kita,” ujar Kusko dengan nada khawatir.
“Dahulu memang begitu, mungkin sampai sekarang tetap seperti itu. Angin tak lagi sudi membawa kabar mereka ke telinga kami. Sudah cukup lama kami berdiam di Barkast tanpa mengetahui perburuan mereka. Yang kutahu, mereka melebarkan sayapnya untuk menghabisi pula kaum Aztandor yang menggunakan keturunan Incargot sebagai kekuatan palsu. Mereka benci kaum pencuri itu. Aztandor telah mencuri isi dari gulungan Kalanost milik mereka dan menemukan mantera-mantera rahasia milik para Svartalfar. Hanya sejauh itu aku bisa menghantarkan pertanyaan kalian menemui jawabannya.”
“Tak apa, Halab. Keramahanmu cukup membuat mata kami terbuka. Tinggal di Goat Hill terkadang membuat mataku terkukung oleh masalah kami sendiri. Kusematkan terima kasih karena sudi menceritakan banyak hal pada kami,” imbuh Cazar menyergap.
………
Perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama. Mereka sempat beristirahat untuk sekedar duduk dan memakan apa yang paling mungkin bisa dimakan—buah Agrob di dinding-dinding bukit—dan menenggak minuman dari wadah masing-masing. Kusko menyandarkan tubuh lemah Alexa ke dinding batu. Dia membisiki Alexa untuk segera bangun sejenak. Tak ada manusia yang dapat bertahan hanya dengan tidur. Alexa harus minum dan memakan paling tidak sebuah Agrob untuk menenangkan perutnya sementara.
Buah Agrob memiliki batang berbulu yang merambat, buahnya hanya tumbuh di tempat yang paling dekat dengan akarnya. Warna buah itu ungu, bentuknya seperti apel, rasanya sedikit asin dan manis. Buahnya tertutupi rambut kasar berwarna kuning pucat. Rambut itu akan terasa gatal saat dipegang dengan tangan. Itu yang membuat Halab menghentikan Ivander yang coba mengambilnya secara langsung. Buah Agrob harus dipetik dari tangkainya, untuk menghindari rambut itu. Setelah beberapa lama terlepas dari tangkainya, rambut itu akan kehilangan keampuhannya membuat gatal, Saat itu buah Agrob bisa dimakan.
Di sela-sela santapan itu, Ivander memandang gadis bernama Alexa dan Kusko dengan perasaan aneh. Dia pikir pemandangan itu cukup membuatnya iri. Ya, baginya ini adalah semacam perasaan cemburu. Ivander berpikir, seandainya saat bertemu di stasiun dia berani menyapa Alexa dan menanyakan namanya, mungkin dialah yang sekarang berada di tempat Kusko berdiri.
Kedua tangan Alexa dengan begitu lemas menggenggam tempat air minum Kusko yang terbuat dari kulit hewan. Matanya sayu, kantung matanya juga tebal. Di wajahnya banyak ditemukan goresan-goresan kecil, begitupun di tangannya, sementara kakinya terlindung oleh rok panjang yang dikenakannya. Kain yang menjadi roknya sudah agak koyak pula di beberapa bagian bawah. Gadis berbaju hijau pastel itu meneguk air dan memakan sesuap demi sesuap potongan buah Agrob, dari tangan Kusko.
Saat ini Ivander bingung harus berbuat apa. Alexa masih lemah dan tak mungkin dia tiba-tiba datang untuk mengajak berkenalan.
Pembicaraan antara Kusko dan Alexa tak terdengar olehnya.
Terlihat dari sudut pandangnya, Alexa sudah begitu mempercayai Kusko. Dari cara Alexa memandang Kusko, Ivander menebak-nebak seakan dia sudah sangat mengenal tabiat Alexa. Laki-laki muda bernama Ivander Graham sangat berharap bisa mendengar pembicaraan itu, namun telinganya tak sebesar gajah untuk melakukan itu. Sesekali Ivander membuang pandangannya pada Alexa untuk menghapus semua prasangka-prasangkanya.
Kusko tiba-tiba menunjuk pada Ivander.
Akhirnya Alexa melihat Ivander untuk kedua kalinya—pertama kali bagi Ivander untuk berpandangan dengannya, meski sesaat. Jelaslah sudah kalau Kusko sedang membicarakan kejadian demi kejadian yang sudah berlalu, kejadian-kejadian yang tak dilihat dan dialami gadis itu, termasuk kesamaan dimensi asal antara ia dan Ivander.
Ivander membalas tatapan itu dengan sebuah senyum gugup.
Senyuman datar yang begitu lemah dari Alexa digunakan untuk menjawab Ivander. Alexa tak mengartikan senyuman itu sebagai sebuah ketidaksenangan atau kesombongan, hanya dia terlalu lelah untuk melakukan lebih dari itu.
Sayang sekali, seorang Ivander terlanjur salah menduga maksud senyuman itu.
Dia menoleh ke arah lain, dimana Cazar Balamug, seorang manusia murni; dan Halab Alabanor, seorang Elf bercampur manusia; sedang berbincang-bincang dengan wajah serius, walau sedikit diselingi canda tawa. Mereka baru saja berkenalan, tapi kebencian mereka yang sama terhadap Mirage membuat komunikasi itu mengalir lancar.
Ivander mengembalikan pandangannya pada Alexa. Oh, Tuhan, dia sendirian. Kusko, dimana Kusko?
Kemudian matanya lega, Kusko jauh dari Alexa. Kusko menggiring kudanya ke pinggir dinding dan membimbingnya pada tanaman merambat yang siap digerus oleh gigi-gigi geraham Drustgab. Sesekali tangannya yang tertutup sarung tangan hitam digunakan untuk mengelus-elus wajah dan tubuh Drustgab. Ivander bisa memahami kedekatan antara Kusko dan Drustgab. Tidak seperti dirinya dan Lecon yang baru saja saling mengenal. Tentu hubungan kuda dan majikan di antara keduanya sangat berbeda. Ivander membiarkan Lecon menjejaki sendiri apa yang akan dimakannya. Sesekali memang Ivander memanjakan Lecon dengan elusannya, namun itu tak mampu begitu saja merubah kedekatan di antara mereka.
Ivander kembali pada Alexa.
Keadaan Alexa telah sedikit terlihat membaik, hanya butuh sedikit dorongan bagi Ivander untuk datang menghampiri dan mengajak gadis pendiam itu berbicara. Hampir saja dia tak mengenal lagi wajah gadis itu setelah beribu-ribu debu menyergapi wajahnya. Alexa yang mengenakan baju terusan berwarna hijau pastel dengan selembar lagi kain ornamen khas Mithrillia yang berupa pola garis emas yang rumit, menutupi bahu, pinggang, ujung lengan dan ujung rok, begitu berbeda dengan Alexa yang ditemuinya di stasiun. Kesamaan dari keduanya sangat disadari Ivander—gadis itu membuatnya tak begitu berani mengucapkan kata-kata. Mungkin hanya Alexa seorang, yang bisa menjatuhkan keberanian seorang yang agak playboy semacam Ivander.
Ivander menghela nafas dalam-dalam untuk menenangkan irama jantungnya. Sesaat kemudian, dia berjalan menuju Alexa yang sibuk memandangi keakraban Kusko dan Drustgab dengan senyum, seakan dia bisa merasakannya juga. Helaan nafas barusan dirasanya percuma, sebab setelah bola mata cokelat muda milik Alexa berpaling padanya, jantungnya kembali pada irama yang menyebalkan itu.
Mereka berdua bertatapan dalam dunia yang seakan tanpa suara.
Tatapan di saat yang sama, dengan maksud yang sangat berbeda.
“Hai,” sapa Ivander singkat.
Alexa tersenyum kecil. “Hai juga,” jawabnya ramah, masih begitu sederhana dan lemah.
“Bolehkah aku duduk di sampingmu?” tanya Ivander terbata-bata. Sudah tak terhitung lagi seberapa cepat getaran di dadanya.
“Tentu,” sambut Alexa datar. Dia menyingkir sedikit ke kiri untuk memberi tempat bagi Ivander. Kemudian dia memperhatikan Ivander yang pelan-pelan duduk di sampingnya.
Ivander yang sudah terlanjur menghadap ke depan, harus berusaha sekuat tenaga untuk berbicara memandang wajah Alexa. Dia tak menyangka bisa sedekat ini, begitu dekatnya dengan gadis berambut cokelat itu.
Pembicaraan itu berlangsung dengan jeda di setiap kalimat.
“Bagaimana keadaanmu? Apakah mereka di Sladur memperlakukanmu dengan buruk?” tanya Ivander agar cepat-cepat mencairkan kebekuan.
Alexa tersenyum lemah dengan sedikit hembusan nafas. Dia memalingkan pandangannya dari Ivander dan menatap kosong ke langit yang begitu sedikit terlihat. Dinding batuan itu menutupinya. “Tak ada yang lebih buruk dari itu. Mungkin sampai hari ini,” jawabnya lesu.
“Maaf, aku tak bermaksud…”
“Bukan itu. Namamu Ivander, bukan?” potong Alexa. Ivander mengangguk setelahnya. “Setidaknya aku bersyukur kalian semua mau datang membawaku pergi dari benteng itu. Setelah kematian Bader, semuanya terasa menakutkan bagiku,” lanjutnya. “Aku tak tahu apakah kedatanganku ke sini akan begitu berguna.”
Ivander tertegun. Dia menelan ludahnya sekali, kemudian menatap ke arah yang sama dengan Alexa, jauh ke langit biru di atas mereka, dengan cara yang hampir sama pula. Hampir saja dia kehilangan kata-kata untuk menanggapi keluhan itu. Tapi kini dia teringat sebuah kalimat dari ayahnya, penting, dampaknya mungkin hebat, sangat tepat digunakan sekarang ini.
“Ayahku bilang…” lanjut Ivander, “…mungkin ada satu sisi dari kehidupan kita yang sebenarnya merupakan takdir besar, namun kita sendiri menimbunnya dengan sesuatu yang jauh lebih kecil, walaupun sesuatu yang kecil itu sebenarnya bisa juga merupakan takdir kita. Jadi, hidup ini sebenarnya hanya pilihan. Pilihan untuk mengikuti takdir besar, atau diam dan mengalir bersama arus kecil.”
Ivander mengembalikan pandangannya ke wajah Alexa yang terlebih dahulu memperhatikan setiap kata-katanya dengan begitu serius.
“Maaf, seharusnya aku tak menasihatimu. Seharusnya aku berkata dengan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami di saat kondisi tubuhmu seperti ini,” sambung Ivander tergesa-gesa.
“Kau tak mengatakan aku bodoh kan?” canda Alexa walaupun tubuhnya letih. Dia tertawa kecil, itu saja sudah cukup membuat Ivander merasa begitu senang. “Aku simpan setiap kata-katamu itu, Ivander. Jadi, bila kau sendiri yang melanggarnya, aku yang akan menggantikan tempatmu sekarang.”
Ivander merasa lega dan menjawabnya dengan anggukan pelan. Kemudian mereka kembali melihat ke sedikit celah menuju langit bercahaya.
“Kau tinggal di Birmingham?” tanya Ivander berselang beberapa detik setelahnya. “Sebetulnya aku sering sekali mendapatimu di sana.”
Alexa menangguk disertai celetukan untuk mengungkapkan kata “ya” tanpa harus membuka mulutnya. Dia masih terpaku ke langit, biru, terang, sesuatu yang jarang sekali terlihat olehnya. Pertanyaan Ivander barusan membuatnya membandingkan keadaan di sini dengan Birmingham. Rasanya jauh berbeda, dan Alexa ingin tinggal di sini lebih lama untuk menghirup aroma alam ini—tentu jika dimensi ini penuh kedamaian.
“Kau juga? Kurasa Birmingham bukanlah kota yang indah untuk ditinggali. Benar?” balas Alexa merespon.
“Lebih seperti itu. Entah mengapa aku bisa menyukai atmosfir kota itu. Mungkin kalau aku tak tinggal di sana, kebetulan semacam ini tak akan terjadi, bukan?”
“Kau pria yang di stasiun itu?” pandang Alexa ramah. “Mungkin setelah perjalanan panjang, kau tampak berbeda dari waktu itu.”
“Sama sepertimu. Seragam sekolah dan baju hijau ini begitu merubah dirimu,” canda Ivander dengan tawa ceria yang begitu singkat. “Soal Kusko, bagaimana kau mengenalnya?”
“Kau mengajukan pertanyaan yang sama dengan Tuan Enrico, Ivander. Aku dan Kusko, mungkin ditambah dengan pria tua baik yang namanya Tuan Enrico. Kami sempat mengalami perjalanan bersama dari sebuah desa, Desa Cordante. Tak lama,” senyumnya lesu tanpa maksud. “…sebelum akhirnya aku bersama Bader, dan kini kembali dengan Kusko.”
Sekali lagi Ivander merasa telah salah menanyakan barisan pertanyaan untuk dijawab Alexa. Meski awalnya, Ivander tak mengira jawaban itu akan membawa Alexa kembali pada nama Bader.
“Ah, mungkin aku saja yang terlalu melankolis. Rasanya sikap sepertiku ini tak pantas untuk hidup di dunia penuh bahaya ini. Seperti sekarang, aku tak tahu harus berbuat apa,” sambung Alexa mencoba menegarkan dirinya sendiri.
“Kau tahu setiap orang berhak menghargai seseorang yang berjasa baginya. Tak ada yang salah dengan itu, sama dengan kau menghargai Bader,” ujar Ivander. “Itu kata-kata ayahku lagi,” lanjutnya sambil tersenyum.
Alexa tersenyum antusias mendengarnya. “Sepertinya kau dekat sekali dengan ayahmu. Kau beruntung, Ivander.”
Alexa berusaha menghibur dirinya sendiri dengan memunculkan pikiran-pikiran baru untuk menyelimuti bayangannya tentang Tuan Alexander. Dulu itu pernah berhasil membuatnya tersenyum tegar kembali, namun tidak untuk sekarang, tidak di saat dia berpikir apakah mereka di sana mencemaskan dirinya atau tidak.
“Ayahku sudah tenang di sana. Mungkin jika dia masih ada, dia yang akan langsung berterima kasih padamu atas pujiannya. Tapi sekarang, aku yang mewakilinya berterima kasih padamu,” jawab Ivander pelan-pelan.
“Maaf, aku turut prihatin.” Ivander menanggapinya dengan senyum memaklumi. “Tapi aku baru saja mendengar dua kalimat indah dari mulutmu yang dibuat oleh ayahmu. Sekali lagi, kau benar-benar beruntung pernah memiliki ayah seperti yang kau punya.”
Percakapan itu berlangsung seakan keduanya sudah saling mengenal sebelumnya. Lambat laun, Alexa merasa tenaganya pulih kembali walaupun itu hanya sugesti dari perasaan riang yang dirasakannya bersama Ivander yang penuh canda. Sesekali Kusko menengok keadaan gadis yang harus dilindunginya itu sambil tersenyum bersyukur. Dia senang Alexa sudah membaik, sebab itulah yang dibutuhkannya. Sementara di sisi lain, Halab merasa sudah cukup lama mereka berdiam di sini. Dia menerawangi orang-orang yang sudah tampak kembali pada kekuatannya semula, lagipula mereka semua harus dibawa ke Barkast sebelum matahari tenggelam.
Hawa magis akan segera menutup langit di malam hari. Kaum Hamanidiosalfar harus terus berjaga-jaga akan kemungkinan terburuk, yaitu penyerbuan dari para Svartalfar. Elf berbaju hitam itu selalu memburu Anabalost hingga mereka berhasil mendapatkan mantera rahasia yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, mereka butuh satu unit kapal magis yang akan menghantar para awaknya menuju pulau Anabalheim, tempat gulungan Anabalost diletakkan di bawah kaki Dewa Frey, sebuah kuil agung bagi para Ljosalfar murni.
Kepergian Halab dari Desa Barkast untuk menjemput rombongan Ivander memang sengaja dirancang agar berlangsung di malam hari, menjelang pagi datang melingkupi seluruh dataran Gardner menuju Eagle Harbour dan Raven Fortress. Itu untuk mencegah Halab dihabisi oleh kaum kegelapan itu saat perjalanan pulang. Nafsu para Svartalfar mampu menggetarkan setiap genggaman tangan manapun, hingga tak bisa lagi menghunuskan pedang dengan gagahnya, tak terkecuali Halab.
Benua Timur, benua dengan wilayah terkecil dan berpuluh-puluh jurang, menjadi sarang dendam yang terus membara. Antara Aztandor dan para Svartalfar; antara para Svartalfar dan Ljosalfar; antara Hamanidiosalfar dan Ljosalfar; antara Témpust dan pemerintahan kerajaan; dan sejumlah rangkaian dendam kecil yang berporos pada sejarah masa lalu yang kelam. Kenyataan bahwa kegelapan tak akan menghasilkan kebahagiaan, dipahami betul oleh Halab keturunan Alabanor. Permusuhan desa Barkast dan Anabalheim telah lama ditinggalkan demi perjalanan panjang mereka untuk mengambil kembali cahaya kehidupan. Namun seorang Éleon tak bisa menerima itu, Kahab jauh lebih menbencinya, hingga akhirnya kedua Hamanidiosalfar itu berlari menuju dua arus yang berbeda.
Kebencian itu berdasar pada sebuah kata, kecewa.
Kenyataan lain amat menancap di dada Halab. Dia tahu kondisi desa Barkast tak lagi aman untuk didiami oleh mereka yang menanti kemurahan hari para Ljosalfar untuk membukakan gerbang Anabalheim bagi mereka. Desa itu goyah. Elgar, sang pemimpin, sudah terlalu letih untuk menjalani setiap detik tanpa harapan pasti. Halab tak yakin berapa lama lagi kaumnya bisa menahan rasa kecewa mereka yang dipendam dalam-dalam, tertimbun oleh bisikan nurani palsu untuk tetap bersabar. Setiap orang dari keturunan Alabanor, Lhotién, dan Crassvalla, selalu menggantungkan diri mereka dari wajah damai Elgar. Walaupun kadang senyum itu paksaan, tak seorangpun mengerti apa pikiran Elgar.
Tapi celah ini mengetahui semua bisikan Elgar pada alam, untuk Dewa Lameth dan keagungannya, pada Dewa Frey, pada kebijaksanaan sang matahari untuk terus melindungi mereka di hari terang, dan kearifan bulan untuk menerangi mereka pada saat-saat kelam. Sejak saat itu, Elgar tahu Desa Barkast tak lagi aman. Seorang kaum kegelapan telah melawat Barkastourith beberapa tahun lalu. Dia pergi dengan pikiran yang mengingat semua celuk persembunyian itu dengan baik.
Mungkin saja kelicikan diperbuat oleh Svartalfar.
Mereka bisa menyamar dengan cukup baik, namun cuping telinga lancip itu tak pernah bisa dihilangkan. Bila mereka menyamar menjadi Halab yang juga memiliki cuping telinga serupa, apa yang berbeda? Untungnya Halab tak menemui kaum bermata emas itu dalam perjalanannya menjemput rombongan pembawa Alexa. Tak akan ada penyelinapan seperti yang mereka—khususnya Elgar—takutkan.
“Para tamu Desa Barkast, sepertinya sekarang sudah cukup untuk kita melanjutkan kembali perjalanan yang tertunda,” seru Halab.
“Kami tak pernah menolak, Halab. Tentunya karena Alexa sudah terlihat sehat kembali,” balas Kusko dengan sambutan baik. Lalu dia melihat Ivander yang masih saja dalam naungan pesona gadis itu. “Hei, Ivander!” serunya keras-keras. Ivander pun menengok. “Carilah kudamu, sepertinya dia pergi entah kemana.”
“Segeralah bertolak, sebab aku tak tahu kapan keindahan ini berubah menjadi lorong penuh kilauan cahaya pedang. Aku hanya takut kalian diikuti para kaum kegelapan,” sambung Halab. “…atau mungkin salah satu dari kalian adalah kaum kegelapan…”
Pandangan-pandangan mata terkejut segera bermunculan dari masing-masing pribadi itu. Mereka heran akan keramahan Halab yang mendadak berotasi menjadi sebuah kecurigaan pasif dalam hubungan pembicaraannya dengan para kaum kegelapan.
“Kita tak pernah tahu. Bahkan mungkin apa yang kutunggangi sekarang bukanlah seekor kuda lagi, melainkan kegelapan menyerupai binatang cantik ini. Semakin dekat dengan Barkast bukan berarti kalian mengendurkan kewaspadaan itu. Jaga! Jaga hingga kalian bisa melihat wajah Elgar,” timpalnya lagi.
Halab yang begitu memikirkan kondisi desanya—mereka akhirnya mengerti itu dari sinar wajah Halab.
Halab menaiki kudanya Alamar, disertai oleh Cazar dan Hemer, kemudian Ivander bersama Lecon, terakhir Alexa dan Kusko dengan si kuat Drustgab. Matahari siang mulai benderang saat mereka meninggalkan tempat peristirahatan mereka. Desa Barkast di depan menunggu.
0 comments:
Post a Comment