Pengusung meriam-meriam telah berhenti berteriak. Komando-komando keluar dari ruang penembakan meriam. Tak ada lagi yang bisa ditembaki oleh bola besi hitam itu. Dua kapal Comdred hancur, namun awak-awaknya berenang, menepi dengan cepat. Dua kapal lainnya telah merapat dan menurunkan serdadunya dengan sempurna. Pimpinan serdadu Comdred itu menggila. Klaha, Assassin pertama dari dua kelanjutan Assassin Project, menghantam para pejuang kebebasan dengan senjata api tak berpelurunya—sebab tak ada peluru di Mithrillia. Peluru-pelurunya telah habis saat menghabisi penghalang perjalanannya dari Iscariot ke Comdred Fortress—sekaligus membunuh orang-orang di markas Alpha Operation, termasuk Deven.
Para pejuang kebebasan berusaha sekuat tenaga menahan gempuran bertubi-tubi dari kaum Abodh yang digiring ke sana oleh kekuatan kegelapan Midianor.. Mereka terlalu banyak bagi para pejuang kebebasan, situasi ini tak berimbang. Sudah berjam-jam setelah Témpust mengirim Reape ke Sladur, namun tak ada tanda-tanda kehadiran rombongan jubah hitam.
Empat ratus Abodh datang menyerbu, menghadapi dua ratus orang dari pihak pejuang kebebasan.
Drama perjuangan keras terjadi di Eagle Harbour saat itu. Suara gaung kapal yang biasa terdengar berubah menjadi suara teriakan-teriakan yang saling terkait. Tebasan senjata, logam berdesing, kemudian teriakan menyusul. Hantaman gada dan kapak berat para Abodh juga menghancurkan lantai Eagle Harbour menjadi puing-puing, penuh dengan semburat darah.
“Jangan mundur! Tahan barisan!” teriak Témpust keras-keras.
Para Abodh berbaju zirah memang alot untuk ditekuk, tapi mereka tak cepat, mereka lamban. Kapak-kapak mereka mudah dipatahkan gerakannya, namun tebasan-tebasan punya kekuatan yang cukup untuk mematahkan pedang dalam beberapa kali aduan. Suara dentingan besi, seruan kesakitan, hantaman tubuh, geraman Abodh, dan tentunya seruan suara serak Témpust yang menekan rasa takut bawahannya selalu terdengar.
Selain itu, para pejuang gentar akan wujud Klaha.
Terkecuali Enrico yang menghadapinya sendirian.
Monster itu memiliki ukuran tubuh yang sebanding dengan para Abodh. Kulitnya abu-abu, kering, dengan jahitan di mana-mana. Dia hanya memiliki satu mata sementara mata lainnya hanya tinggal sebuah lubang kosong. Tak berambut, hanya kepala dengan bagian tengah agak menonjol, dan hidungnya tertutupi masker besi yang menyambung ke tengkuk. Pundaknya begitu besar hingga menyatu dengan leher. Tubuhnya terbungkus baju besi yang begitu sempurna. Sebelah tangan senjata, sebelah tangan jari-jemari yang genggamannya bisa meremukkan mobil sekalipun. Sayangnya, atau lebih tepat ‘untungnya’, Klaha bodoh dan lamban.
Enrico belum lelah untuk yang satu ini. Dia telah beberapa kali memasukkan serangan ke dalam pertahanan Klaha, namun tampaknya ciptaan biadab ini memiliki seribu satu alasan untuk tidak merasa sakit. Tangan rentanya sudah lelah menggenggam sabit perak dan menghujamkannya keras-keras ke tubuh Klaha. Monster itu sulit membalas, tapi balasannya akan jauh lebih menyiksa Enrico dibandingkan semua serangan yang telah Enrico lancarkan. Inilah Klaha yang telah merenggut nyawa Deven. Dendam Enrico begitu memanaskan darah di nadinya. Bayangan Deven selalu tampak di setiap geraman parau Klaha. Kelelahannya mendadak sirna saat itu. Dia tahu kebencian adalah dosa, tapi membiarkan musuh merenggut sesuatu yang berharga di hidupnya juga adalah sebuah dosa bagi Enrico.
Langit seakan runtuh saat terdengar gema sangkakala baru.
Keberanian itu seakan runtuh saat tiga kapal lain menyembulkan layarnya dari garis horizon. Atas nama Comdred Fortress, mereka datang untuk mengusung kekuatan perlawanan yang lebih besar di Eagle Harbour. Pengisi kapal-kapal itu adalah manusia yang dibutakan oleh propaganda dan harta. Ironisnya, mereka yang berada di kapal itu adalah orang-orang dari Benua Tengah, mereka yang seharusnya masih memiliki garis keturunan bangsa besar Nemoralexia. Bagi mereka, uang lebih penting dibandingkan perjuangan mati-matian melawan penjajah Mirage yang jumlahnya puluhan kali lipat dari jumlah orang-orang yang menentangnya.
Éleonais menatap pesimis pada tiga kapal itu.
Cipratan-cipratan darah melekat di wajahnya yang telah membunuh banyak musuh, sebagian mengering di sekitar kelopak matanya, berisi mata yang memancarkan ketidakpercayaan akan apa yang dilihatnya sekarang. Pasukannya telah lebih banyak hilang dibandingkan pasukan bantuan Témpust. Pimpinannya itu terlihat tak fokus sepenuhnya pada pertahanan. Sesekali dia memergoki Témpust menengok ke arah hutan menuju Goat Hill.
Di sisi lain, sepuluh orang yang tersisa di Goat Hill tengah mengalami ketakutan yang sama dengan yang dialami Mérdanté. Para Aztandor sudah menduduki Goat Hill. Mereka menanti Témpust untuk membicarakan kesepakatan bagi kedua pihak. Goat Hill memberi tanda asap hitam dari kumpulan sampah yang dibakar di dalam lubang tanah. Asapnya memanggil-manggil Témpust untuk datang.
Tak sedikitpun tanda itu meleset dari pandangan Témpust.
Darah menyembur keluar dari Abodh terakhir yang ditebasnya dengan pedang tebal di tangannya. Tak ada lagi waktu bagi Témpust untuk terus menahan gempuran. Dia memanggil kuda kekarnya dengan siulan kencang. Vacour, kuda itu berlari dengan cepat menyongsong majikannya. Témpust beranjak dari tempat itu tanpa berkata apapun. Éleon melihat kepergiannya.
Tapi dia tak bisa terpaku terlalu lama pada pandangannya terhadap Témpust. Lingkungan bisa membunuhnya kapan saja dia lengah. Éleon berusaha mengacuhkan pikiran itu dan fokus pada pertarungan. Dia yakin pimpinannya sedang mengusahakan sesuatu yang baik bagi pertempuran ini.
Apakah Aztandor telah datang?
Tiba-tiba saja pikiran itu mengunjunginya. Seperti yang Allain sampaikan padanya. Bala bantuan yang tak diharapkan, namun amat diperlukan.
Apakah asap hitam yang sekarang masih terlihat itu adalah tanda dari orang-orang yang tersisa di Goat Hill?
Pikirannya mulai diganggu oleh hal-hal semacam itu. Dia sangat amat yakin kedatangan Aztandor akan menjadi kejutan terbesar bagi pertempuran ini. Bukan hanya bagi pihak penyerbu, tapi juga bagi pasukannya yang mati-matian mempertahankan kota strategis ini.
Éleon membuyarkan semua lamunan itu dengan cepat.
Dia hampir saja hancur oleh hantaman kapak Abodh yang mengalir menuju tengkoraknya. Hantaman itu tertahan oleh pedang pejuang lainnya. Segera disadari betapa beruntung dirinya.
“Jangan melamun, Éleon,” katanya setelah menghempaskan nyawa Abodh itu dalam beberapa kali serangan penuh konsentrasi dan tenaga.
Éleon tersenyum gelisah. Dia kembali ke jalurnya sebagai pimpinan pasukan Eagle Harbour. Rasanya sesuatu yang besar akan terjadi setelah ini, firasatnya terus membisiki terus-menerus. Semoga itu adalah kemenangan bagi pejuang kebebasan.
………
Waler Gurdon masih di Goat Hill, bersama dengan sembilan orang lainnya. Mereka menanti tanggapan atas sinyal itu. Dua puluh lima Aztandor menyinggahi Goat Hill. Mereka hanya melayang diam beberapa sentimeter di atas tanah dengan Qasfar berdiri di barisan terdepan.
Terdengar suara deru tapak Vacour dari kejauhan.
“Dia datang. Kalian bisa berbicara dengannya sekarang. Aku minta kebaikan hati kalian dalam kesepakatan nanti,” tandas Waler.
Qasfar melayang melewatinya, bergerak semakin dekat menuju pintu hutan, tempat Témpust akan datang.
“Jika ada yang bisa kami minta sekarang, itu adalah tubuh besarmu. Jadi diamlah dan saksikan pimpinanmu berbicara. Apakah dia cukup pintar dalam hal ini,” kata Qasfar mencibir.
Waler menunjukkan raut wajah kesal. Namun dia sadar, sepuluh orang tak akan sebanding dengan dua puluh lima Aztandor—bahkan lima puluh orang sekalipun. Dengusan nafas-nafas parau Aztandor seakan menghipnotis untuk tetap diam.
Semakin keras terdengar Vacour meringkik, membawa Témpust memasuki Goat Hill kembali. Dia terkejut melihat jumlah besar Aztandor yang datang, terlebih lagi perawakan mereka tampak lebih dari yang dia perkirakan—lebih menyeramkan, lebih misterius, lebih jahat, dan terlihat begitu licik. Témpust segera turun dari atas sadel dan berjalan cepat mendekati Qasfar, pimpinan kaum Aztandor, keturunan langsung dari Azatur Bardiel.
“Kuharap kebaikan hati kalian yang membawa jubah hitammu melayang ke kota ini,” sapa Témpust.
“Hawa kematian begitu kental, Témpust. Tak kusangka keadaanmu lebih tersudut dibandingkan apa yang temanmu katakan. Seorang pria berambut ikal datang dengan wajah gemetar saat melihat kami. Kuharap kau benar-benar mengutusnya.”
“Mérdanté? Tentu dia yang kuutus.” Témpust berpikir mengapa Qasfar hanya menyebutkan ciri dari satu orang saja.
Kemana Ivander dan Cazar? Apakah urusan pencarian itu belum tuntas juga?
“Seluruh tubuh tak bernyawa di sana…” Témpust menunjuk arah Eagle Harbour, “…ambillah jika kalian inginkan.”
“Pimpinan, termasuk para pejuang?” sela Waler.
Diliriknya Waler Gurdon dengan tajam. Akhirnya Waler memilih diam dan hanya mendengar.
“Kehidupan seribu tahun kami tidak dimaksudkan untuk tubuh-tubuh serendah itu lagi, Témpust. Kami tahu ada beberapa orang yang memiliki derajat lebih di matamu…” Témpust berusaha mencerna maksud kata-kata Qasfar. “…seperti Mérdanté, Mered hampir saja membuatnya kehilangan ‘wadah’ untuk hidup. Aku tak ingin kaumku menyesal telah mengabaikan Mérdanté. Aku butuh bayaran setimpal, tubuh dari jiwa yang kuat.”
Siapa? Éleonkah?
Témpust memikirkan nama itu untuk pertama kali. Namun dia buru-buru menepis nama itu dari pikirannya. Ada banyak orang seperti itu di sini, Lakissa Vernedt dan Lampros Bader, puteri dan puteranya dari perkawinan dengan Hellen Mistrella; Cazar Balamug, tangan kanannya, ahli penyusupan terbaik mungkin di seluruh benua Timur; Lampros Mérdanté, sepupunya yang amat loyal, putera dari Lampros Gilford, adik Lampros Alford—ayah kandung Témpust; Éleonais Markourith, putera dari seorang gadis keturunan kaum Elf, yang menikah dengan keturunan Baldmur; Waler Gurdon, pandai besi andalannya; Titus Vallam, yang walaupun agak kurang dalam respon, kemampuan bertarungnya tak diragukan lagi. Meski cukup banyak, namun tak satupun dari orang-orang itu sudi diserahkannya.
“Hanya sampai sebatas itu kebaikan yang kutawarkan padamu, Qasfar anak Azatur. Hanya tubuh tak bernyawa,” tandas Témpust sekali lagi.
“Jika satu dari mereka yang berhamburan di pikiranmu terjatuh dalam peperangan, maka itu akan menjadi hak kami,” jawab Qasfar.
Témpust tersenyum menggeleng heran. Dia sedikit terkejut akibat kemampuan Qasfar untuk membaca pikirannya, sekaligus ia begitu percaya tak satupun dari mereka yang akan mati dalam peperangan.
“Terserah padamu, Qasfar putera legenda Azatur. Kami menghormati bantuan darimu dan akan menepati kesepakatan yang terjadi saat ini.”
“Termasuk bila itu tubuhmu, Témpust?” tanya Qasfar. Senyumnya tak memendam sedikitpun keculasan. Semua jelas tersirat.
Emosi Témpust nyaris tersulut oleh untaian kata-kata itu. Dia berusaha memendam emosinya di depan para Aztandor. Dia ingat apa yang ada di dalam tubuh para Aztandor. Menghadapi mereka semua. sama saja mengadu pedang dengan setengah kekuatan dari Lord Bordock.
“Kau tak akan menemukan kesempatan itu, Qasfar. Aku mengenal pedangku, dan pedangku mengasihi aku lebih dari tetesan darah. Dewa Lameth menjanjikan kemenangan bagiku. Aku akan tetap hidup untuk melihat dominasi Mirage diruntuhkan oleh Sang Terpilih,” kata Témpust. Dia tersenyum meremehkan sesuatu yang dianggapnya sebagai sindiran dari Qasfar.
Qasfar menyerahkan sebilah pisau pendek yang matanya bengkok. Gagangnya berukiran api-api berwarna ungu dan hitam, dengan sebuah mata di dasar gagangnya. Pisau itu terasa ringan, tapi bisa sangat mematikan. Ketajamannya bahkan terasa menusuk setiap mata yang melihat.
“Greimand nor Témpust, Greimand ei riw. Segal falabour!”
“Teteskan darahmu pada simbol mata di gagangnya. Simbol itu akan menjadi sebuah perjanjian yang tak akan terkhianati antara kau dan kaumku,” sambung Mered.
Hati Témpust berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk melakukan hal ini.
Pada akhirnya dia menyayat sedikit dari jari telunjuknya. Darahnya yang tersisa di pisau langsung terhisap ke atas, mengalir ke gagang pisau itu dan membuat mata di dasar gagangnya menyala bagai warna darah. Seketika itu Témpust merasa tangannya kaku dan dingin. Perasaan tajam itu berlangsung sesaat sebelum dia menyerahkan pisau itu kembali pada Mered.
Terdengar suara tawa Qasfar mendesis. Dia tak menoleh untuk melihat prosesi itu sama sekali. “Sudah selesai, Témpust,” ujar Qasfar.
Mered maju beberapa langkah dan mengambil pisau itu dari genggaman Témpust. Secepat kilat menyambar, dua puluh lima Aztandor bertolak dari Goat Hill, menyusuri pepohonan bagai capung beterbangan.
Témpust bergegas kembali ke atas sadel Vacour. Dia harus memimpin kembali perang itu. Tanpa dirinya, dia tak percaya para Aztandor akan mengikuti semua perjanjian yang terjalin. Pisau Falabour merupakan benda yang diturunkan bagi pendeta-pendeta tertinggi di Nemoralexia. Benda itu selalu ada setiap kali perjanjian darah akan dilakukan. Pemimpin kaum Aztandor, Azatur, menjadi pemegang terakhirnya saat ini, sangat mungkin kaumnya telah mengubah ketentuan dalam penggunaan pisau itu. Para Aztandor menguasai tiga per empat dari seluruh mantera hitam dalam gulungan kegelapan—para Svartalfar sendiri hanya menguasai setengah, namun jauh lebih mahir dari Aztandor.
“Aku kembali ke Eagle Harbour, Waler,” katanya sambil sedikit merintih. Ujung jarinya masih terasa sedikit ngilu. “Saat kalian lihat asap dari Eagle Harbour berwarna hitam, bawa kembali para penduduk ke kotanya.”
Waler mengangguk mengerti.
Vacour pun melesat menyusul para Aztandor yang sudah lebih dahulu memburu nafsu mereka. Nafas-nafas busuk itu terdengar menggema hingga ke seluruh penjuru hutan. Témpust harus menyadari niat mereka sepenuhnya berada pada keinginan untuk mendapatkan tubuh-tubuh baru, bukan pada keinginan untuk menyambung kembali kekerabatan yang sudah ratusan tahun pupus oleh perbuatan mereka sendiri.
Para pejuang kebebasan berusaha sekuat tenaga menahan gempuran bertubi-tubi dari kaum Abodh yang digiring ke sana oleh kekuatan kegelapan Midianor.. Mereka terlalu banyak bagi para pejuang kebebasan, situasi ini tak berimbang. Sudah berjam-jam setelah Témpust mengirim Reape ke Sladur, namun tak ada tanda-tanda kehadiran rombongan jubah hitam.
Empat ratus Abodh datang menyerbu, menghadapi dua ratus orang dari pihak pejuang kebebasan.
Drama perjuangan keras terjadi di Eagle Harbour saat itu. Suara gaung kapal yang biasa terdengar berubah menjadi suara teriakan-teriakan yang saling terkait. Tebasan senjata, logam berdesing, kemudian teriakan menyusul. Hantaman gada dan kapak berat para Abodh juga menghancurkan lantai Eagle Harbour menjadi puing-puing, penuh dengan semburat darah.
“Jangan mundur! Tahan barisan!” teriak Témpust keras-keras.
Para Abodh berbaju zirah memang alot untuk ditekuk, tapi mereka tak cepat, mereka lamban. Kapak-kapak mereka mudah dipatahkan gerakannya, namun tebasan-tebasan punya kekuatan yang cukup untuk mematahkan pedang dalam beberapa kali aduan. Suara dentingan besi, seruan kesakitan, hantaman tubuh, geraman Abodh, dan tentunya seruan suara serak Témpust yang menekan rasa takut bawahannya selalu terdengar.
Selain itu, para pejuang gentar akan wujud Klaha.
Terkecuali Enrico yang menghadapinya sendirian.
Monster itu memiliki ukuran tubuh yang sebanding dengan para Abodh. Kulitnya abu-abu, kering, dengan jahitan di mana-mana. Dia hanya memiliki satu mata sementara mata lainnya hanya tinggal sebuah lubang kosong. Tak berambut, hanya kepala dengan bagian tengah agak menonjol, dan hidungnya tertutupi masker besi yang menyambung ke tengkuk. Pundaknya begitu besar hingga menyatu dengan leher. Tubuhnya terbungkus baju besi yang begitu sempurna. Sebelah tangan senjata, sebelah tangan jari-jemari yang genggamannya bisa meremukkan mobil sekalipun. Sayangnya, atau lebih tepat ‘untungnya’, Klaha bodoh dan lamban.
Enrico belum lelah untuk yang satu ini. Dia telah beberapa kali memasukkan serangan ke dalam pertahanan Klaha, namun tampaknya ciptaan biadab ini memiliki seribu satu alasan untuk tidak merasa sakit. Tangan rentanya sudah lelah menggenggam sabit perak dan menghujamkannya keras-keras ke tubuh Klaha. Monster itu sulit membalas, tapi balasannya akan jauh lebih menyiksa Enrico dibandingkan semua serangan yang telah Enrico lancarkan. Inilah Klaha yang telah merenggut nyawa Deven. Dendam Enrico begitu memanaskan darah di nadinya. Bayangan Deven selalu tampak di setiap geraman parau Klaha. Kelelahannya mendadak sirna saat itu. Dia tahu kebencian adalah dosa, tapi membiarkan musuh merenggut sesuatu yang berharga di hidupnya juga adalah sebuah dosa bagi Enrico.
Langit seakan runtuh saat terdengar gema sangkakala baru.
Keberanian itu seakan runtuh saat tiga kapal lain menyembulkan layarnya dari garis horizon. Atas nama Comdred Fortress, mereka datang untuk mengusung kekuatan perlawanan yang lebih besar di Eagle Harbour. Pengisi kapal-kapal itu adalah manusia yang dibutakan oleh propaganda dan harta. Ironisnya, mereka yang berada di kapal itu adalah orang-orang dari Benua Tengah, mereka yang seharusnya masih memiliki garis keturunan bangsa besar Nemoralexia. Bagi mereka, uang lebih penting dibandingkan perjuangan mati-matian melawan penjajah Mirage yang jumlahnya puluhan kali lipat dari jumlah orang-orang yang menentangnya.
Éleonais menatap pesimis pada tiga kapal itu.
Cipratan-cipratan darah melekat di wajahnya yang telah membunuh banyak musuh, sebagian mengering di sekitar kelopak matanya, berisi mata yang memancarkan ketidakpercayaan akan apa yang dilihatnya sekarang. Pasukannya telah lebih banyak hilang dibandingkan pasukan bantuan Témpust. Pimpinannya itu terlihat tak fokus sepenuhnya pada pertahanan. Sesekali dia memergoki Témpust menengok ke arah hutan menuju Goat Hill.
Di sisi lain, sepuluh orang yang tersisa di Goat Hill tengah mengalami ketakutan yang sama dengan yang dialami Mérdanté. Para Aztandor sudah menduduki Goat Hill. Mereka menanti Témpust untuk membicarakan kesepakatan bagi kedua pihak. Goat Hill memberi tanda asap hitam dari kumpulan sampah yang dibakar di dalam lubang tanah. Asapnya memanggil-manggil Témpust untuk datang.
Tak sedikitpun tanda itu meleset dari pandangan Témpust.
Darah menyembur keluar dari Abodh terakhir yang ditebasnya dengan pedang tebal di tangannya. Tak ada lagi waktu bagi Témpust untuk terus menahan gempuran. Dia memanggil kuda kekarnya dengan siulan kencang. Vacour, kuda itu berlari dengan cepat menyongsong majikannya. Témpust beranjak dari tempat itu tanpa berkata apapun. Éleon melihat kepergiannya.
Tapi dia tak bisa terpaku terlalu lama pada pandangannya terhadap Témpust. Lingkungan bisa membunuhnya kapan saja dia lengah. Éleon berusaha mengacuhkan pikiran itu dan fokus pada pertarungan. Dia yakin pimpinannya sedang mengusahakan sesuatu yang baik bagi pertempuran ini.
Apakah Aztandor telah datang?
Tiba-tiba saja pikiran itu mengunjunginya. Seperti yang Allain sampaikan padanya. Bala bantuan yang tak diharapkan, namun amat diperlukan.
Apakah asap hitam yang sekarang masih terlihat itu adalah tanda dari orang-orang yang tersisa di Goat Hill?
Pikirannya mulai diganggu oleh hal-hal semacam itu. Dia sangat amat yakin kedatangan Aztandor akan menjadi kejutan terbesar bagi pertempuran ini. Bukan hanya bagi pihak penyerbu, tapi juga bagi pasukannya yang mati-matian mempertahankan kota strategis ini.
Éleon membuyarkan semua lamunan itu dengan cepat.
Dia hampir saja hancur oleh hantaman kapak Abodh yang mengalir menuju tengkoraknya. Hantaman itu tertahan oleh pedang pejuang lainnya. Segera disadari betapa beruntung dirinya.
“Jangan melamun, Éleon,” katanya setelah menghempaskan nyawa Abodh itu dalam beberapa kali serangan penuh konsentrasi dan tenaga.
Éleon tersenyum gelisah. Dia kembali ke jalurnya sebagai pimpinan pasukan Eagle Harbour. Rasanya sesuatu yang besar akan terjadi setelah ini, firasatnya terus membisiki terus-menerus. Semoga itu adalah kemenangan bagi pejuang kebebasan.
………
Waler Gurdon masih di Goat Hill, bersama dengan sembilan orang lainnya. Mereka menanti tanggapan atas sinyal itu. Dua puluh lima Aztandor menyinggahi Goat Hill. Mereka hanya melayang diam beberapa sentimeter di atas tanah dengan Qasfar berdiri di barisan terdepan.
Terdengar suara deru tapak Vacour dari kejauhan.
“Dia datang. Kalian bisa berbicara dengannya sekarang. Aku minta kebaikan hati kalian dalam kesepakatan nanti,” tandas Waler.
Qasfar melayang melewatinya, bergerak semakin dekat menuju pintu hutan, tempat Témpust akan datang.
“Jika ada yang bisa kami minta sekarang, itu adalah tubuh besarmu. Jadi diamlah dan saksikan pimpinanmu berbicara. Apakah dia cukup pintar dalam hal ini,” kata Qasfar mencibir.
Waler menunjukkan raut wajah kesal. Namun dia sadar, sepuluh orang tak akan sebanding dengan dua puluh lima Aztandor—bahkan lima puluh orang sekalipun. Dengusan nafas-nafas parau Aztandor seakan menghipnotis untuk tetap diam.
Semakin keras terdengar Vacour meringkik, membawa Témpust memasuki Goat Hill kembali. Dia terkejut melihat jumlah besar Aztandor yang datang, terlebih lagi perawakan mereka tampak lebih dari yang dia perkirakan—lebih menyeramkan, lebih misterius, lebih jahat, dan terlihat begitu licik. Témpust segera turun dari atas sadel dan berjalan cepat mendekati Qasfar, pimpinan kaum Aztandor, keturunan langsung dari Azatur Bardiel.
“Kuharap kebaikan hati kalian yang membawa jubah hitammu melayang ke kota ini,” sapa Témpust.
“Hawa kematian begitu kental, Témpust. Tak kusangka keadaanmu lebih tersudut dibandingkan apa yang temanmu katakan. Seorang pria berambut ikal datang dengan wajah gemetar saat melihat kami. Kuharap kau benar-benar mengutusnya.”
“Mérdanté? Tentu dia yang kuutus.” Témpust berpikir mengapa Qasfar hanya menyebutkan ciri dari satu orang saja.
Kemana Ivander dan Cazar? Apakah urusan pencarian itu belum tuntas juga?
“Seluruh tubuh tak bernyawa di sana…” Témpust menunjuk arah Eagle Harbour, “…ambillah jika kalian inginkan.”
“Pimpinan, termasuk para pejuang?” sela Waler.
Diliriknya Waler Gurdon dengan tajam. Akhirnya Waler memilih diam dan hanya mendengar.
“Kehidupan seribu tahun kami tidak dimaksudkan untuk tubuh-tubuh serendah itu lagi, Témpust. Kami tahu ada beberapa orang yang memiliki derajat lebih di matamu…” Témpust berusaha mencerna maksud kata-kata Qasfar. “…seperti Mérdanté, Mered hampir saja membuatnya kehilangan ‘wadah’ untuk hidup. Aku tak ingin kaumku menyesal telah mengabaikan Mérdanté. Aku butuh bayaran setimpal, tubuh dari jiwa yang kuat.”
Siapa? Éleonkah?
Témpust memikirkan nama itu untuk pertama kali. Namun dia buru-buru menepis nama itu dari pikirannya. Ada banyak orang seperti itu di sini, Lakissa Vernedt dan Lampros Bader, puteri dan puteranya dari perkawinan dengan Hellen Mistrella; Cazar Balamug, tangan kanannya, ahli penyusupan terbaik mungkin di seluruh benua Timur; Lampros Mérdanté, sepupunya yang amat loyal, putera dari Lampros Gilford, adik Lampros Alford—ayah kandung Témpust; Éleonais Markourith, putera dari seorang gadis keturunan kaum Elf, yang menikah dengan keturunan Baldmur; Waler Gurdon, pandai besi andalannya; Titus Vallam, yang walaupun agak kurang dalam respon, kemampuan bertarungnya tak diragukan lagi. Meski cukup banyak, namun tak satupun dari orang-orang itu sudi diserahkannya.
“Hanya sampai sebatas itu kebaikan yang kutawarkan padamu, Qasfar anak Azatur. Hanya tubuh tak bernyawa,” tandas Témpust sekali lagi.
“Jika satu dari mereka yang berhamburan di pikiranmu terjatuh dalam peperangan, maka itu akan menjadi hak kami,” jawab Qasfar.
Témpust tersenyum menggeleng heran. Dia sedikit terkejut akibat kemampuan Qasfar untuk membaca pikirannya, sekaligus ia begitu percaya tak satupun dari mereka yang akan mati dalam peperangan.
“Terserah padamu, Qasfar putera legenda Azatur. Kami menghormati bantuan darimu dan akan menepati kesepakatan yang terjadi saat ini.”
“Termasuk bila itu tubuhmu, Témpust?” tanya Qasfar. Senyumnya tak memendam sedikitpun keculasan. Semua jelas tersirat.
Emosi Témpust nyaris tersulut oleh untaian kata-kata itu. Dia berusaha memendam emosinya di depan para Aztandor. Dia ingat apa yang ada di dalam tubuh para Aztandor. Menghadapi mereka semua. sama saja mengadu pedang dengan setengah kekuatan dari Lord Bordock.
“Kau tak akan menemukan kesempatan itu, Qasfar. Aku mengenal pedangku, dan pedangku mengasihi aku lebih dari tetesan darah. Dewa Lameth menjanjikan kemenangan bagiku. Aku akan tetap hidup untuk melihat dominasi Mirage diruntuhkan oleh Sang Terpilih,” kata Témpust. Dia tersenyum meremehkan sesuatu yang dianggapnya sebagai sindiran dari Qasfar.
Qasfar menyerahkan sebilah pisau pendek yang matanya bengkok. Gagangnya berukiran api-api berwarna ungu dan hitam, dengan sebuah mata di dasar gagangnya. Pisau itu terasa ringan, tapi bisa sangat mematikan. Ketajamannya bahkan terasa menusuk setiap mata yang melihat.
“Greimand nor Témpust, Greimand ei riw. Segal falabour!”
“Teteskan darahmu pada simbol mata di gagangnya. Simbol itu akan menjadi sebuah perjanjian yang tak akan terkhianati antara kau dan kaumku,” sambung Mered.
Hati Témpust berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk melakukan hal ini.
Pada akhirnya dia menyayat sedikit dari jari telunjuknya. Darahnya yang tersisa di pisau langsung terhisap ke atas, mengalir ke gagang pisau itu dan membuat mata di dasar gagangnya menyala bagai warna darah. Seketika itu Témpust merasa tangannya kaku dan dingin. Perasaan tajam itu berlangsung sesaat sebelum dia menyerahkan pisau itu kembali pada Mered.
Terdengar suara tawa Qasfar mendesis. Dia tak menoleh untuk melihat prosesi itu sama sekali. “Sudah selesai, Témpust,” ujar Qasfar.
Mered maju beberapa langkah dan mengambil pisau itu dari genggaman Témpust. Secepat kilat menyambar, dua puluh lima Aztandor bertolak dari Goat Hill, menyusuri pepohonan bagai capung beterbangan.
Témpust bergegas kembali ke atas sadel Vacour. Dia harus memimpin kembali perang itu. Tanpa dirinya, dia tak percaya para Aztandor akan mengikuti semua perjanjian yang terjalin. Pisau Falabour merupakan benda yang diturunkan bagi pendeta-pendeta tertinggi di Nemoralexia. Benda itu selalu ada setiap kali perjanjian darah akan dilakukan. Pemimpin kaum Aztandor, Azatur, menjadi pemegang terakhirnya saat ini, sangat mungkin kaumnya telah mengubah ketentuan dalam penggunaan pisau itu. Para Aztandor menguasai tiga per empat dari seluruh mantera hitam dalam gulungan kegelapan—para Svartalfar sendiri hanya menguasai setengah, namun jauh lebih mahir dari Aztandor.
“Aku kembali ke Eagle Harbour, Waler,” katanya sambil sedikit merintih. Ujung jarinya masih terasa sedikit ngilu. “Saat kalian lihat asap dari Eagle Harbour berwarna hitam, bawa kembali para penduduk ke kotanya.”
Waler mengangguk mengerti.
Vacour pun melesat menyusul para Aztandor yang sudah lebih dahulu memburu nafsu mereka. Nafas-nafas busuk itu terdengar menggema hingga ke seluruh penjuru hutan. Témpust harus menyadari niat mereka sepenuhnya berada pada keinginan untuk mendapatkan tubuh-tubuh baru, bukan pada keinginan untuk menyambung kembali kekerabatan yang sudah ratusan tahun pupus oleh perbuatan mereka sendiri.
0 comments:
Post a Comment