Cazar dan kedua teman seperjalanannya memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan—sama dengan Bader dan Alexa nyaris menginap. Penginapan Kuda Putih, penginapan yang mereka datangi tadi pagi. Penjara sedang ketat-ketatnya dijaga pada waktu ini. Mereka tengah menunggu ketatnya penjagaan itu terbuka, memberikan celah bagi mereka. Sampai saat itu mereka akan tetap di dalam penginapan. Mérdanté dan Ivander masih bercakap-cakap di ruangan kamar, sesuatu yang kurang ingin diketahui Cazar.
Adalah seorang Cazar Balamug yang menemukan seekor falcon terbang tinggi melintas dalam pandangannya. Saat itu malam telah datang, seperti bentangan kain hitam di atas langit dengan segala keindahan kilau bintangnya. Tapi bintang-bintang itu tak terlihat dari Sladur, seperti habis dilalap oleh kegelapan langit. Sebuah pertanda buruk, yaitu saat Cazar menyadari tak adanya bintang waktu Reape datang. Elang pembawa pesan itu memberi salam dengan pekikannya yang mengudara di atas langit kelam Benteng Sladur. Benteng ini begitu tenang, jauh dari keributan kota pelabuhan, tak seperti Eagle Harbour yang tengah terkepung.
Cazar menerima hewan berbulu cokelat kehitaman itu di atas lengan kanannya yang terbungkus kain wol berlengan panjang. Cengkraman kaki-kaki Reape seakan berbicara tentang pesan yang dia bawa untuk mereka.
“Reape?” gumam Cazar. “Untuk apa kira-kira Tempust menyuruhmu menyusul kami,” bisiknya sambil mengelus bulu-bulu di kepala Reape.
Cazar menarik simpul tali di kaki Reape, kemudian dibiarkannya Reape mematuk sedikit daging dari makan malam penginapan, sebelum kemudian Reape kembali terbang tanpa sepengetahuannya.
Sepotong kertas kecil itu dibukanya tergesa-gesa. Angin di balkon berhembus sangat kencang, seperti hendak mencegah Cazar membacanya, berkali-kali Cazar merasa kertas itu akan lepas dri tangannya. Di lantai dua ini penginapan ini, bayangan dalam pikiran Cazar seperti tertembus ribuan anak panah, dari surat itu, ya kertas kecil yang tak seberapa besar itu.
Ada apa dengan Témpust? Perasaannya tentang Bader kah yang mendorong Témpust mengirim pesan ini?
Begitu firasat-firasat Cazar terus menggulung di hatinya. Firasat itu ternyata meleset. Hanya beberapa rangkaian kata singkat yang membuat Cazar terperanjat. Bahkan tangannya ingin jari-jari kasarnya melonggarkan cengkraman pada kertas itu. Segera dia tinggalkan tempatnya berdiri, dia yakin Mérdanté pasti tak kalah terkejut pada tingkah sepupunya itu. Hanya butuh lima langkah untuk memasuki ruangan temaram berlampu minyak yang berpenjar kekuningan. Cazar mendudukkan dirinya ke atas sebuah kursi kayu di samping meja kayu rendah. Saat Cazar seperti membanting tubuhnya ke atas kursi, seluruh percakapan Ivander dan Mérdanté terhenti. Empat mata itu memandang gusarnya Cazar.
Cazar tak berbicara. Dia langsung memberikan kertas itu pada Mérdanté. Dugaannya tepat, sepupu Témpust itupun tak kalah heran. Ini merupakan pertama kalinya bagi Témpust untuk mengalahkan egonya sebagai seorang pemegang teguh dendam masa lalu. Mereka berdua tahu sikap Témpust netral terhadap kaum yang menamakan dirinya Aztandor, tapi terkadang pria itu senang mengoceh tentang cara para Aztandor memperoleh kehormatan rasnya. Entah itu karena darah palsu Sang Legenda, Bordock, yang didapatkan kaum terkutuk itu, atau memang rasa irinya oleh kaum yang tak terusik serdadu Mirage itu.
“Dia gila, Mérdanté. Saudaramu itu sudah kehilangan akal sehatnya.”
“Sebenarnya ada apa di sana? Bukankah sebenarnya kita dibutuhkan, Cazar?” Mérdanté belum bisa membuang sedihnya akan sepeninggal Bader. Perasaan sedih itu selalu mendorongnya untuk pulang. Tekanan dari surat ini menambah dorongan itu.
Tak satupun kata-kata dalam kertas itu terbaca oleh Ivander. Surat itu ditulis dengan bahasa asli desa Cordante, bahasa para pelaut, logatnya kasar dan sama sekali tidak santun. Itu membuatnya hanya diam memandangi konflik antara dua rekanan itu.
“Mérdanté, pikiranmu sedang kacau. Aku tahu maksud pertanyaanmu barusan. Jika kau inginkan itu, pergilah sekarang!” tegur Cazar.
Mérdanté menatap Cazar yang begitu tegas menegurnya. Hatinya membenarkan semua tuduhan Cazar terhadapnya. Dia tak ingin lagi tinggal lebih lama di dalam kota ini. Terlalu beresiko untuk menyusup nanti malam. Pria ini baru saja menyadari hal ini, saat malam semakin larut dan bayangan penderitaan kemenakannya terlintas terus-menerus. Dia tak ingin lagi berpikir adanya harapan tentang sesuatu di dalam diri Alexa.
Semakin mengesalkan saat Cazar mulai tak sabar menunggu.
“Tunggu, Cazar, Mérdanté, ada yang bisa jelaskan ini padaku?” sela Ivander.
Namun sepertinya tak ditanggapi. Kedua pria lainnya sibuk menusuk mata satu sama lain dengan sorotan tajam, seperti berusaha saling membawa pihak lain ke dalam keyakinannya. Bagi Ivander, Cazar terlihat akan memenangi perang keyakinan ini. Dia melihat keraguan dan kepedihan di mata seorang Mérdanté, ahli strategi dari Goat Hill. Seorang berotak pandai yang kini terlihat hampir sama dengan dungunya seekor keledai.
“Maksudmu kau akan menghalangi niatnya untuk mengiring Aztandor ke medan perang? Jika kita tetap di sini, kita terjebak, Cazar. Kau tahu sendiri…” Mérdanté berdiri dari atas ranjangnya. “Tak satupun dari kita yang pernah melihat Alexa, dan kau inginkan penyelamatan tanpa memikirkan kotamu sendiri? Kaummu, Cazar! Kaum yang kau bela!” lanjut Mérdanté meninggi keras.
“Kekuatan perangmu mungkin menjadikan dirimu pantas menyandang keturunan seorang Lampros Kertest, tapi lihat mentalmu. Kau tak ubahnya seperti daun di panas hari. Kau gugur, dan ketika jatuh, tak satupun keuntungan dihasilkan, selain oleh mayatmu yang akan membusuk dan diinjak-injak. Aku tahu kau takut. Aku tahu kau ingin menghindar.”
Mérdanté sedikit terpancing oleh amarahnya. Tapi pengendalian dirinya akan emosi jauh lebih tangguh daripada yang diduga.
“Kuulangi, Cazar. Kau inginkan kejatuhan Goat Hill dan Eagle Harbour?” singkat Mérdanté, jelas-jelas memendam emosi.
“Percayalah padaku. Bukanlah saat ini dimana pasukan Comdred akan menyerbu habis-habisan. Pengorbanan mereka yang berjuang sendiri di sana, tak akan sebanding dengan harga yang akan kau bayar untuk setan berkedok itu.” Cazar mendudukkan dirinya di atas kursi merah lainnya. “Kutukan mereka itu abadi. Bukan mustahil kutukan itu bisa menulari pasukan kita.”
“Seberapa bodohkah Témpust sehingga dia berani untuk mengambil keputusan ini? Dia bukan pria sembarangan yang malas berjuang. Dia tahu bagaimana memanfaatkan potensi seadanya untuk memenangi sebuah perang. Kalau dia sampai menginginkan ini terjadi, berarti ada sesuatu di sana.”
Mereka hening beberapa saat, dimana malam menunggu begitu lama bagi aksi mereka selanjutnya.
“Kalau kau paham, maka bergeraklah sekarang!” tegas Mérdanté kembali.
Cazar tak juga beranjak dari tempatnya, Mérdanté sedikit geram.
“Biar aku saja yang melakukannya!” ujar Mérdanté kasar.
Pria berambut ikal itupun pergi dengan menapakkan kakinya di atas lantai papan kayu. Pintu itu mengeluarkannya dari ruangan bertensi tinggi. Mérdanté tak lagi memikirkan seorang gadis tak jelas yang bernama Alexa—padahal tadi siang baru saja disebutnya sebagai Sang Terpilih. Pandangannya lurus, menuruni setiap anak tangga, melewati orang-orang yang menikmati malam di bar, melewati pintu sekali lagi, hingga menaiki kuda cokelatnya yang berambut hitam, namanya Hesfid. Derapan kuda Mérdanté tergema sampai ke atas penginapan itu—tempat Cazar dan Ivander memandang keluar dan menyaksikan kepergian rekan mereka.
Terasa seperti sebuah pengkhianatan.
Cazar memiringkan pandangannya ke Selatan, seakan dia bisa melihat Goat Hill dari sana. Dia merasakan bisikan-bisikan udara yang menghembus. Hidungnya mencium bau darah yang terbawa bersama angin. Setelah mencoba menerbangkan kertas pesan dari Reape, kini hembusan angin mencoba memberitahu keadaan di Eagle Harbour—kacau. Dia tak mampu bayangkan ada apa di sana.
Tidak.
Dia tak menyangka Mérdanté akan benar-benar pergi. Dia pikir rekannya itu masihlah seorang Mérdanté yang sedikit kecut dan ciut nyalinya. Tapi keberaniannya cukup besar untuk menyambangi Kuil Azatur sendirian. Cazar berkeras hati tak merestui kepergian Mérdanté ke kuil Azatur, meski keadaan mendesak di selatan. Harapannya hanyalah penolakan dari kaum Aztandor terhadap pinta sahabatnya itu. Bila tetap berhasil, doanya hanya agar para lintah itu tidak menghisap terlalu banyak darah, darah para pejuang yang masih berharga, karena perjuangan sesungguhnya belum dimulai.
“Cazar?”
“Oh, maaf Ivander. Aku terlalu memikirkan kejadian tadi,” jawab Cazar sambil tersenyum sedikit sekali.
“Memangnya, tadi itu apa?” sambung Ivander cepat.
Cazar membalik badannya dan menunjuk arah yang dituju seorang Mérdanté dengan kudanya. Perjalanan panjang terus ke utara, agak berbelok ke kanan, di sanalah Kuil Azatur terbangun. Sementara penjelasan itu diberikan, tentang asal usul Aztandor; sifat dasar mereka; siasat-siasat mereka; dan hubungannya dengan malam ini, Ivander mulai bisa membayangkan alasan pertikaian keduanya.
Mata biru Ivander menerawang jalan-jalan batu berkilatan yang basah setelah beberapa jam lalu baru saja tersiram hujan. Kilatan itu terpantul dari cahaya bulan yang hampir bersinar sempurna. Keheningan sudah tergambar pula dari lorong-lorong penjuru Sladur. Suara berisik itu hanya datang dari bar di bawah kamar mereka. Dingin yang menusuk tulang mulai merambati jari-jari Ivander.
Sementara Cazar masih berusaha membuang keraguannya untuk bergerak malam ini, diperhatikannya seluruh penjuru kota, bak kunang-kunang di antara gelapnya malam. Tapi Cazar paham betul, kunang-kunang itu menyembunyikan ular-ular berbisa di tengah kegelapannya.
Cazar begitu serius untuk seseorang yang tak dikenalnya.
“Bersiap-siap, Ivander. Saatnya hampir tiba untukmu dan aku.”
Cazar mengangkat busur dan menyarungkan pisau sepanjang telapak tangan di pinggangnya. Bahkan sampai saat itu, kaki-kaki Ivander masih ragu untuk digerakkan. Ini berbeda dengan misi-misi di dunia asalnya, dimana teligannya disumpal dengan alat komunikasi, hanya dengan mendengarkan petunjuk Hayden dan membantai target, semuanya bisa selesai. Cazar sudah selesai dengan persiapannya, saat dilihatnya Ivander masih termenung mengetuk-ngetukkan sepatu ke lantai.
“Aku tunggu di bawah, cepatlah.”
Ivander menarik nafas berat, kemudian terhembus begitu saja seiring anggukkannya.
Kemudian dia dan Cazar berjalan beriringan melewati iringan lampu minyak yang menyinari lorong sempit menuju tangga-tangga, membawa mereka dua belas langkah ke lantai bawah, menuju keriuhan di lantai bawah.
Orang-orang terkesan acuh pada mereka. Itu sebuah keuntungan.
“Tanpa kuda, Ivander. Biarkan Silver Wind, Hemer, dan kudamu Lecon untuk diam di sini.” Kata-kata itu menghentikan Ivander yang tengah melepaskan tali kekang Lecon dari pagar kayu.
Dia menyadari fakta positif dari pemerintahan tegas kota ini. Sudah berjam-jam mereka membiarkan kereta berisi barang berharga milik gerombolan Serigala Pasir di luar, namun tak satupun yang berani mengusiknya, apalagi mengambilnya. Tirai yang menutupinya masih utuh, tali-talinya masih kuat. Bannya hanya sedikit bergeser karena pemilik penginapan ini mendorongnya untuk memberikan tempat bagi kuda lainnya.
………
Sedikit sekali dari penduduk yang masih berkeliaran di jalan-jalan. Penjaga-penjaga masih berlalu lalang saat Ivander dan Cazar tiba di pelataran timur. Lapangan timur memang tak dijaga dari bawah, melainkan dari setiap menara dan jalur pijakan di atas tembok kastil yang menyatu dengan penjara. Busur-busur panah memenuhi punggung mereka.
Sesungguhnya, merekalah ‘setan-setan’ yang berkeliaran di tempat hampir serupa kuburan ini.
Sebuah pasak di sana membuat Ivander mengingat kembali saat itu. Mengingat saat kepala Bader dipajang di sana membuat lehernya ngilu. Sekarang benda itu sudah lenyap dari sebuah pasak kayu di dekat pisau guillotine yang mengatup ke bawah. Bercak darah mengering di sisi berkilaunya.
Mereka berhenti sejenak untuk bersandar di tembok. Mereka bersembunyi di balik batu-batunya yang kokoh dan tebal. Penjagaan di bangunan penjara seketat itu, mustahil untuk ditembus begitu saja.
“Sekarang, bagaimana, Cazar?” tanya Ivander sambil tersenyum. Senyum itu melambangkan kebingungannya, dan keheranannya. Dia heran mengapa dia sendiri bisa membulatkan tekadnya untuk memasuki penjagaan yang sangat ketat ini.
“Ini tak sebanding dengan penyusupan kami di Benua Tengah. Walau begitu, meremehkan mereka bukanlah cara yang baik untuk menusuk ke dalam pintu itu.” Cazar mengajak Ivander untuk sedikit mengintip dari sela tembok. “Pintu itu…satu-satunya lubang di dinding penjara ini selain lubang-lubang angin kecil berteralis baja yang letaknya jauh dari jangkauan siapapun.”
“Kau tahu banyak, Cazar?”
“Itu struktur dasar penjara di benteng. Setiap orang dari kami tahu hal ini.” Cazar mengeluarkan sebilah pisau dari pinggang belakangnya. “Nah, sepertinya sekarang saat yang tepat untuk berjalan di bawah bayangan atap bangunan ini. Kita coba, Ivander.”
Udara dingin di malam hari membuat keringatnya tak bisa menetes. Ivander tahu dirinya rentan terlihat. Tubuhnya merapat ke dinding, kemudian dia mengikuti bagaimana Cazar melakukan tugasnya. Pria itu begitu cekatan, tak tampak guratan ketakutan di wajahnya. Bandingkan dengan Ivander yang takut untuk berbuat kesalahan hingga memilih tertinggal jauh dari Cazar.
Degupan-degupan jantung itu dipadu dengan kegelisahan.
Sangat terasa bagi Ivander. Kali ini dia bersama seseorang yang kemampuan bertarungnya belum jelas. Berbeda sekali dengan dia dan Deven. Mereka saling mengenal kelemahan dan kekuatan rekannya, itu yang membuat mereka solid dan kompak. Sementara sekarang, dia belum pernah sekalipun melihat Cazar menangani musuh. Bertemu pun baru saja.
Ivander membuang kecemasannya dengan satu hembusan nafas pelan.
Cukup jauh dari sini, pintu yang dituju sudah terlihat jelas. Bayangan mereka bersatu dengan lebih panjangnya bayangan atap tinggi bergenting.
Semua seperti berjalan lancar di waktu Ivander mulai bisa menguasai situasi, mendadak dua orang penjaga berhamburan keluar dari pintu. Mereka tergesa-gesa untuk berbicara pada penjaga pintu lainnya. Entah apa yang mereka bicarakan, itu membuat mereka tampak panik. Tak pedulikan itu, yang jelas ini membuat Cazar dan Ivander mendapat kesempatan emas.
“Tahanan wanita itu hilang!” teriak penjaga lainnya sambil menarik nafas pendek-pendek. Dia berteriak pada para pemanah di atasnya. Kepanikan penjaga itu seakan tertular pada para pemanah. Satu di antara mereka berlari ke menara terdekat.
Tahanan wanita…Alexa?
Bunyi lonceng dari atas menara penjara menggema keras. Kericuhan pun terjadi dalam sekejap. Dari balik bayangan hitam, Ivander menyaksikan penjaga-penjaga keluar bagai kuda-kuda dari kandangnya, dari berbagai lorong. Saat dia menyadari, Cazar sudah di sampingnya, mendorongnya untuk segera menyingkir dari tempat itu. Wajah mereka pun segera berpindah ke tempat yang tersinari cahaya bulan dan obor yang menerangi lorong kedua terdekat dari penjara. Langkah mereka tak berhenti hingga di situ, justru lebih cepat berlari mengikuti kesibukan para penjaga.
Rombongan itu berlari ke arah barat, berlawanan dengan letak penjara. Cazar dan Ivander memperhatikan sekeliling mereka, dimana banyak orang telah terjaga dan menonton keributan di luar. Mereka tak terlalu peduli, hanya keluar dari rumahnya dengan mata setengah terbuka, memandangi dua orang yang berlari tergesa-gesa, lalu mereka hanya diam. Mereka menunggu lonceng itu selesai berdentang untuk bisa tertidur lagi. Sifat tidak peduli itu terbentuk akibat perlakuan buruk Mayor Arbal pada mereka. Walaupun Sladur sangat tegas, tapi para pengadil di sini tak ubahnya seperti boneka yang dikendalikan oleh Mayor Arbal. Pekerjaan para penjaga Sladur tak boleh dicampuri oleh penduduk, atau bisa-bisa penduduk itu yang berbalik menjadi tersangka. Itu yang menyebabkan semalam—saat Serigala Pasir beraksi di bar—tak ada penduduk yang dengan sukarela membantu menghentikan aksi nekad mereka.
Lorong lebar yang dilalui Ivander dan Cazar membawa mereka berlari lurus dan berbelok ke kiri, sebelum mencapai pusat kota Sladur. Sebuah lapangan bundar yang luas dengan air mancur dan patung megah di tengahnya.
Lonceng itu terus menjalin suara hingga ke Sladur tengah.
Tempat dimana Ivander dan Cazar berdiri sekarang, Sladur bagian tengah, dimana mereka berhenti mengejar para penjaga yang mulai terpecah belah. Di sekitar air mancur, Cazar menarik baju Ivander dan berhenti.
“Tidakkah kau mencium sedikit bau yang berbeda dari para penjaga? Hidungku tidaklah setajam Amon, tapi aku bisa merasakannya.” tanya Cazar. Kepalanya terus menoleh ke sana kemari.
“Katakan, Cazar. Jangan sampai Alexa lolos lagi kali ini!”
“Aku tak bisa menyalahkan penciumanku, Ivander. Yang jelas, seorang Bounty Hunter tengah membawanya pergi. Baunya seperti jubah hitam yang tak jarang tersiram darah, dan sepatu kulit, bukanlah pejuang, melainkan pasti seorang Pemburu Bayaran. Batu-batu keras yang menyusun benteng sudah terlalu takut terhadap Mayor Arbal, mereka tak memberitahuku kemana perginya kedua manusia itu.”
“Bounty Hunter?” Ivander memandang ke arah yang sama dengan arah pandangan Cazar—timur. “Ada apa di sana?”
Cazar terdiam tak menjawab untuk sejenak. Dia membandingkan arah Timur yang tengah dilihatnya dengan kesibukan para penjaga mengobrak-abrik tiap rumah penduduk di sisi sebaliknya. Sepertinya terjadi kepanikan di antara para penjaga, hingga mereka bertindak tanpa arah.
“Perketat penjagaan di tiap gerbang! Jangan biarkan mereka keluar dari tempat ini!” teriak orang yang kelihatannya paling berkuasa di sana. Para penjaga pun berhamburan ke empat penjuru mata angin, tepat ke seluruh gerbang.
“Benarkah ini semua?” gumam Cazar perlahan. “Mengapa mereka langsung bereaksi ke arah barat? Apakah udara mengkhianatiku dengan mengatakan kalau orang yang kita cari justru belum beranjak jauh dari penjara timur?”
“Kita akan berbalik?” Ivander menanti jawaban pasti itu. “Cazar?”
Dalam hati Cazar, dia percaya kalau alam tak pernah berbohong. Alam tidak pernah mengkhianatinya. Kepercayaannya terhadap kehadiran Dewa Lameth di setiap elemen alam telah meyakinkannya untuk hidup dari bimbingan alam, sejak dia meninggalkan dunia kelamnya sebagai pembantai. Masa lalu Cazar Balamug adalah seorang pembunuh bayaran, bukan pemburu bayaran. Dia tega menghabisi siapa saja demi seseorang yang mau membayarnya dengan harga tinggi. Dia berbeda dengan Kusko yang memiliki satu Tuan, saat itu Cazar tak mengikatkan dirinya pada seseorang. Suatu saat, seseorang berpangkat tinggi membayarnya untuk menghabisi salah satu orang penting dalam pemerintahan. Malangnya, saat itu juga Cazar ditangkap. Misinya gagal. Dia disiksa beberapa malam. Kesadisan pada malam-malam itu sungguh menyakitkan baginya. Setelah itulah, dia dibuang ke Grendith, dengan tujuan menyesatkannya ke Ragnarok. Tapi para pemerintah salah, Cazar diselamatkan oleh Témpust. Bersama pria itu, dia mendapatkan kepercayaan dirinya kembali, hingga dia sepenuhnya mengabdi menjadi tangan kanan Témpust. Dia ingat itu juga, sebagai hadiah dari alam baginya.
Tapi pada Bader, pada apa yang terjadi pada Bader. Mengapa alam tak mengingatkan Bader untuk berjaga-jaga? Atau mungkin Bader bereaksi sama sepertinya saat ini? Kebimbangan pada tuntunan alam itu sendiri.
“Berbalik, Ivander!”
Ivander tak bisa mengerti maksud kalimat itu. Dia memperlihatkan wajah penuh tanda tanya. Ivander pikir ada sesuatu di punggungnya yang ingin Cazar tengok, maka itu Cazar menyuruhnya berbalik. Dia juga mengira Cazar dan dia akan berbalik ke timur. Yang mana yang benar?
“Maksudku, para penjaga itu tak tahu ada dimana mereka berdua sekarang. Tapi kita tahu, dan kita diberitahu. Berterima kasihlah pada kebaikan alam.” Cazar tersenyum melihat wajah Ivander yang perlahan mulai mengerti kata-katanya. “Cepatlah, kita tidak ingin kehilangan mereka lagi.”
Ivander menggangguk tegas.
………
Mereka berlari berputar arah. Melewati banyaknya rumah-rumah berpintu terbuka, penggeledahan tengah berlangsung secara keras. Wajah-wajah letih penduduk terlempar keluar dari pintu rumah. Sejalan dengan itu, Cazar dan Ivander terus menyusuri lorong lebar ini hingga sampai kembali di pelataran timur. Tempat itu penuh dengan dinginnya udara yang tak terhirup—hanya ada sedikit penjaga di sana.
Pertanyaannya, dimanakah Alexa dan Bounty Hunter itu sekarang?
Daerah timur amatlah luas. Bukan hanya sebuah tempat berisi lapangan lebar, tanpa bangunan, yang membuat seluruh makhluk hidup di sana bisa nampak. Mereka sempat mencari-cari beberapa saat. Cazar berharap keyakinanya benar. Keyakinan itu akhirnya terbayar juga, saat seorang penunggang kuda dengan kereta kudanya melintas tepat di jalan lurus menuju pusat Sladur. Benar, penyamaran apa lagi yang cocok untuk saat ini kalau bukan seorang pedagang dari negeri nun jauh di sana.
Cazar pun sependapat.
Dia menahan kereta kuda itu dengan menghalangi jalurnya. Penunggang kuda itupun menghentikan derapan kecil laju kudanya.
Tak ada suara yang keluar dari mulut pria bertudung abu-abu itu. Dia duduk di atas keretanya sambil memegang cambuk dan tali kekang kedua kuda. Kepalanya tertunduk menebar misteri. Setelan bajunya serupa para pedagang asli dari Benua Timur. Sederhana, abu-abu kusam, tertutup, dengan baju agak kebesaran.
“Bicaralah. Kami pikir kau sejalan dengan kami,” ujar Cazar membuatnya menegakkan kepalanya.
Kain warna gelap itu disingkapnya, hingga Cazar mengenali siapa di balik tudung abu-abu itu, seorang Bounty Hunter yang namanya telah tersebar di ke empat benua. “Aku tahu, Cazar. Aku tahu itu…” jawabnya.
“Sudah kuduga alam tak pernah mengecewakan, Saudaraku. Lama waktu berselang sejak saat itu.”
Jelas sekali, Bounty Hunter ini tidak asing bagi para pejuang kebebasan.
“Ivander, ini temanku dan seluruh pejuang kebebasan. Namanya Mithrillia Kusko. Dia memang, adalah Bounty Hunter.”
Mendadak Ivander terpatri pada wajahnya. Pria berjubah abu-abu di depannya ini seakan tak asing lagi, tapi entah siapa. Nama Kusko memang terdengar saat dia, Bader dan Témpust menempuh perjalanan ke kemah para bandit untuk merespon peringatan dari Reape. Saat itu wajah Kusko juga tak terlihat jelas, hanya rambut sepanjang lehernya yang menutupi wajahnya yang lengket dengan darah. Tapi wajah ini…familiar baginya, apakah salah jika dia bertanya pada seseorang yang dianggapnya mirip dengan manusia dari dimensi asalnya?
Apakah masuk akal jika seorang musisi menjadi bayangan masa lalunya akan Kusko?
Akhirnya dia ingat satu nama, Trevor Starlight, yang dia ingat sebagai idolanya semasa remaja. Pria itu menjadi alasan bagi Ivander untuk menyelinap diam-diam pada malam kedua di Alpha Operation demi konsernya. Gitaris solo itu memiliki segudang alasan bagi Ivander—dan jutaan penggemar lain—untuk mengidolainya. Dia mampu bermain baik, semua teknik telah dipertontonkannya di khalayak ramai, diramu dengan melodi yang menyayat dan aransemen yang luar biasa. Itulah Trevor Starlight.
Tapi malam itu menjadi konser terakhir Trevor dalam karirnya. Setelah menyelesaikan bait terakhir dari lagunya, Trevor pergi tanpa pamit pada para penontonnya. Kekecewaan penonton tak pernah ditanggapinya, karena setelah itu, nama Trevor hanya menjadi sejarah dalam industri musik Eropa. Dia hilang secara misterius, tanpa pernah memunculkan wajahnya di atas kotak mika berisi kepingan CD lagi.
Bukan dia, Ivander tak yakin, yang pasti mustahil Trevor adalah Kusko.
“Naiklah, Ivander, Cazar. Kita akan keluar dari pintu timur,” tawar Kusko ramah. Lamunan Ivander terurai oleh tawaran itu.
Dia teringat, kuda dan kereta kuda mereka tertinggal di White Horse Inn. Di sana ada Silver Wind, haram untuk ditinggalkan.
“Maaf, Kusko. Bisakah kau menjauh dari sini? Para penjaga sedang berbondong-bondong memperketat penjagaan di keempat pintu gerbang, termasuk gerbang timur ini,” kata Ivander. “Lagipula kuda-kuda kami tertinggal di gerbang utara. Sangat tidak mungkin bagimu untuk beriringan dengan kami ke gerbang utara.”
“Dan Kusko, isi kereta kudamu itu, Alexa bukan?” tanya Cazar. Sedikit dia berusaha menengok ke belakang kereta dari depan hembusan nafas kuda cokelat tua itu, seakan bisa dilihatnya dari depan.
“Hari yang panjang dan melelahkan baginya. Dia tertidur lelap, dan demi keselamatannya, aku terima saran Ivander. Akan kutunggu kalian di gerbang barat.”
Kusko menarik kembali kain abu-abu kusam yang digunakannya untuk menutupi wajah. Dia juga mengenakan kalung penanda pengunjung benteng Sladur, tapi tak satupun penjaga yang mencurigainya karena wajah. Itu merupakan pertanda kalau Sang Bounty Hunter, Mithrillia Kusko, hanya dikenal melalui namanya, bukan parasnya.
………
Dua kereta kuda bertemu di depan bangunan-bangunan batu yang berjejer rapi. Jajaran bangunan ini adalah daerah pusat pemerintahan Sladur, dimana aliran pajak dan suplai kebutuhan penduduknya diatur. Tempat yang paling ramai dengan orang penting, namun dengan lebih sedikit penjagaan dibandingkan ketiga gerbang lainnya.
“Sudah semuanya, Cazar?” tanya Kusko menengok sedikit ke belakang.
“Belum, tapi tak terambil. Tak mungkin bisa kudapatkan, hal terakhir yang sesungguhnya paling penting,” jawab Cazar lemah dan penuh kesedihan.
“Bader? Aku melihatnya tadi pagi. Sungguh menyesal aku terlambat menyelamatkannya,” timpal Kusko. “Berdiam di sini justru akan membuat rohnya gusar. Mari, Cazar, Ivander. Aku tunjukkan jalan menuju Elgar, satu-satunya kaum Elf yang masih sudi menginjakkan kakinya di bumi timur.”
“Elgar? Mengapa nama itu baru kudengar?” gumam Cazar begitu pelan.
“Itu karena dia sendiri, Cazar,” sahut Kusko. Cazar sendiri tak mengharapkan Kusko mendengar kata-katanya. “Elgar akan menunjukkan padamu alasan untuk mempertahankan Alexa sekuat tenagamu. Hal yang sama seperti yang dikatakan Tuanku kepadaku.”
“Tapi Goat Hill dalam peperangan. Mereka butuh kami,” sanggah Cazar.
“Tak lebih dibutuhkan dibandingkan kalian akan membutuhkan Alexa. Percayalah, kalian tak akan melewatkan satupun kekalahan di selatan sana, karena saat ini bukanlah saat bagi Témpust untuk kalah.”
Cazar coba untuk percaya pada Kusko, juga pada Merdante yang entah sekarang berada dimana.
Mereka tiba di depan lempengan kayu tebal dan besar, yang dikunci oleh baja-baja kuat. Sepasang bidang kayu itu memjulang tinggi dengan potongan gelondong kayu persegi yang tebal sebagai kuncinya. Sisi kanan dan kirinya terbangun atas dinding-dinding batu dengan jalur pijakan para pemanah dan menara pengintai yang menjulang melebihi ketinggian dinding itu. Sebuah sungai memisahkan kota dan daerah terakhir di sisi barat. Jembatan kokoh menjadi penghubung antara keduanya. Di ujung jembatan, sudah berjaga sepuluh orang berpanji Sladur, dengan tombak dan perisainya.
Tombak-tombak hitam itu memalangi mereka.
“Tak seorang pun boleh keluar dari Sladur malam ini. Itu keputusan dari Mayor Arbal,” kata satu dari mereka.
“Tapi kami pedagang. Kau pasti tahu bila kami terlambat memasuki Gabion satu hari saja, harga sutera-sutera kami bisa turun beberapa keping Krall,” kilah Kusko.
Cepat sekali kata-kata itu membuat si penjaga ragu. Kemudian dia berbisik pada penjaga lainnya. Tapi jelas tampak ketundukan mereka pada Mayor Arbal, menjadikan keputusannya tetap pada semula.
“Keputusan Mayor Arbal tak bisa kami langgar. Hukuman bisa mendatangi kami, dan mengejar-ngejar kalian. Berbaliklah dan tunggu hingga malam ini berakhir…”
Pundaknya ditepuk oleh penjaga lain. Kemudian mereka berbisik lagi pelan-pelan. Sepertinya sebuah saran diucapkan di sana. Lalu penjaga yang berbicara tadi mengangguk-angguk setuju. Dia kembali pada tiga orang yang menanti jawabannya.
“Bisa kami lihat isi dari kereta yang kalian bawa? Mungkin malam ini kalian tetap tak bisa keluar, tetaplah tenang jika yang kalian bawa bukanlah gadis itu.”
Kusko mengkerut. Dia tak menduga hal ini bisa menjadi lama dan berbelit-belit. Alexa ada di dalam dan tak selembar suterapun yang bisa menutupi-nutupi keberadaannya. Seperti meminta persetujuan dahulu dari Kusko, Cazar terjun dari atas kudanya.
Untuk sesaat dia pandangi delapan orang penjaga lain di depan gerbang. Ini seperti kesempatan lain untuk mempengaruhi dua orang yang tampaknya lemah di hadapannya. Kemudian dia maju beberapa langkah untuk membangun kenyamanan obrolan penting malam itu.
Ivander dan Kusko mulai gusar.
Mereka menyentuh gagang pedang secara bersamaan, seperti bersiap pada sebuah bentrokan. Dengan sabar dinantinya hasil kasak-kusuk antara Cazar dan penjaga. Kedua makhluk penganggu itu mengangguk setuju. Tanda bagi Ivander dan Kusko untuk melepaskan genggaman dari gagang pedang.
Cazar mengiringi dua penjaga itu ke belakang kereta kuda lain, dimana tumpukan harta tersimpan di sana. Dia berhasil menyogok kedua penjaga ini dengan seluruh harta di kereta itu. Wajah-wajah berbinar mereka membuat Cazar ingin muntah, tapi dia pun turut senang kesepakatan itu tercapai.
“Baiklah. Seluruhnya untuk kami dan kalian boleh pergi sekarang.”
“Terima kasih atas kerjasamanya, Tuan-Tuan.”
Sebuah pisau mengiris tali yang mengikat kereta itu dengan Hemer. Mereka diijinkan pergi dari Sladur. Tangan penjaga tadi melambai-lambai ada penjaga pintu, isyarat untuk membuka gerbang besar itu.
Selanjutnya adalah memotong jalur Lembah Gardner, kediaman para Burandal-Burandal yang tak berpihak pada siapapun. Mereka adalah para kurcaci-kurcaci jelek dan liar. Mereka tak senang diperintah. Itu yang membuat jalan terbentang di hadapan mereka amatlah berbahaya. Hutan-hutan kering berkayu kehitam-hitaman menyambut mereka saat beberapa langkah dilayangkan dari titik akhir Sladur. Hutan itu terus sambung-menyambung ke kanan dan ke kiri, sejauh yang bisa dilihat. Hutan itu sudah mati belasan tahun lalu, namanya Hutan Kematian, penuh oleh ranting-ranting kurus kering dan akar-akaran besar.
“Tak ada jalan lain, Kusko?” tanya Cazar ragu-ragu.
“Dekat dan berbahaya, Cazar. Karena saat ini, waktu lebih berharga daripada mengkhawatirkan bagian tubuhmu yang patah, seperti diriku,” katanya sambil turun dari atas punggung Drustgab.
Pria itu menengok ke belakang, pada kereta kudanya. Dia menyadari medan akan semakin berat untuk ditempuh dengan membawa kereta kuda. Akar-akar bangkai pohon bisa menjegal roda kayu kereta kuda itu. Kusko membuka tirai keretanya dan menarik keluar tubuh seorang gadis yang tengah tertidur lelap. Untuk sementara Kusko menyandarkan tubuh Alexa pada sebatang pohon kering di dekatnya. Ivander melihat gadis itu, di bawah bulan, Ivander bersumpah dia mengenal gadis itu sebelumnya.
“Kusko…itukah Alexa?” serunya tergagap-gagap.
“Sedari awal, dialah yang kalian cari-cari. Maaf aku tak bisa menghantarkannya ke Goat Hill saat pertama kali dia tiba di dunia ini.”
Ivander menjejakkan kudanya perlahan mendekati Drustgab. Dia memandang wajah molek gadis yang tengah tertidur dengan wajah letih dan kusam itu.
“Jangan perhatikan dia seperti dirimu baru melihat seorang wanita satu kali seumur hidupmu, Ivander. Sebenarnya aku juga tak begitu yakin mengapa kehadirannya menjadi begitu penting di sini, bagi Tuanku, bagi Tammil Ibrahim juga. Tapi aku akan berusaha melindunginya sampai aku tahu hal apa yang terus menjadikannya berharga. Bahkan jika kau yang barusaha melakukan hal buruk padanya, pedangku yang akan menebasmu dahulu,” ujar Kusko. Dia menyambilnya dengan memotong penghubung antara kereta kudanya dengan Drustgab.
Mereka pun membiarkan Silver Wind pergi dalam kedamaian. Walaupun belum pasti kuda itu akan kembali ke Goat Hill, setidaknya kebebasan adalah haknya sekarang.
“Memang, dunia itu sangat sempit…" gumam Ivander.
"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Kusko.
Ivander menggeleng, sambil melebarkan senyumnya, sedikit geli. "Bahkan saat kita sudah menjejakkan kaki di dimensi lainnya, dunia tetap terasa sempit ya, Alexa?” celetuk Ivander tanpa memandang Kusko. Gadis yang terakhir ditemuinya di dekat mesin penjual minuman, kini berada dekat dengannya lagi.
Akhirnya dia bisa tahu nama gadis itu.
Kusko mengangkat tubuh Alexa ke atas kuda bersamanya. Kemudian ia membungkus Alexa dengan selimut bulu beruang hitam yang tebal, dan menyandarkan gadis itu di dadanya. Ditahannya tubuh Alexa dengan tangan kiri yang ditempelkan di punggungnya. Kedua kaki Alexa berada di sisi kiri kudanya. Bukanlah hal berat untuk membawa orang seperti Alexa dalam satu kuda yang sama.
Melewati Hutan Kematian—jalan pintas menuju lembah Gardner—ketiga penunggang kuda itu berharap ada sesuatu dari balik bibir seorang Elf bernama Elgar yang membuat perjuangan mereka tak sia-sia.
Adalah seorang Cazar Balamug yang menemukan seekor falcon terbang tinggi melintas dalam pandangannya. Saat itu malam telah datang, seperti bentangan kain hitam di atas langit dengan segala keindahan kilau bintangnya. Tapi bintang-bintang itu tak terlihat dari Sladur, seperti habis dilalap oleh kegelapan langit. Sebuah pertanda buruk, yaitu saat Cazar menyadari tak adanya bintang waktu Reape datang. Elang pembawa pesan itu memberi salam dengan pekikannya yang mengudara di atas langit kelam Benteng Sladur. Benteng ini begitu tenang, jauh dari keributan kota pelabuhan, tak seperti Eagle Harbour yang tengah terkepung.
Cazar menerima hewan berbulu cokelat kehitaman itu di atas lengan kanannya yang terbungkus kain wol berlengan panjang. Cengkraman kaki-kaki Reape seakan berbicara tentang pesan yang dia bawa untuk mereka.
“Reape?” gumam Cazar. “Untuk apa kira-kira Tempust menyuruhmu menyusul kami,” bisiknya sambil mengelus bulu-bulu di kepala Reape.
Cazar menarik simpul tali di kaki Reape, kemudian dibiarkannya Reape mematuk sedikit daging dari makan malam penginapan, sebelum kemudian Reape kembali terbang tanpa sepengetahuannya.
Sepotong kertas kecil itu dibukanya tergesa-gesa. Angin di balkon berhembus sangat kencang, seperti hendak mencegah Cazar membacanya, berkali-kali Cazar merasa kertas itu akan lepas dri tangannya. Di lantai dua ini penginapan ini, bayangan dalam pikiran Cazar seperti tertembus ribuan anak panah, dari surat itu, ya kertas kecil yang tak seberapa besar itu.
Ada apa dengan Témpust? Perasaannya tentang Bader kah yang mendorong Témpust mengirim pesan ini?
Begitu firasat-firasat Cazar terus menggulung di hatinya. Firasat itu ternyata meleset. Hanya beberapa rangkaian kata singkat yang membuat Cazar terperanjat. Bahkan tangannya ingin jari-jari kasarnya melonggarkan cengkraman pada kertas itu. Segera dia tinggalkan tempatnya berdiri, dia yakin Mérdanté pasti tak kalah terkejut pada tingkah sepupunya itu. Hanya butuh lima langkah untuk memasuki ruangan temaram berlampu minyak yang berpenjar kekuningan. Cazar mendudukkan dirinya ke atas sebuah kursi kayu di samping meja kayu rendah. Saat Cazar seperti membanting tubuhnya ke atas kursi, seluruh percakapan Ivander dan Mérdanté terhenti. Empat mata itu memandang gusarnya Cazar.
Cazar tak berbicara. Dia langsung memberikan kertas itu pada Mérdanté. Dugaannya tepat, sepupu Témpust itupun tak kalah heran. Ini merupakan pertama kalinya bagi Témpust untuk mengalahkan egonya sebagai seorang pemegang teguh dendam masa lalu. Mereka berdua tahu sikap Témpust netral terhadap kaum yang menamakan dirinya Aztandor, tapi terkadang pria itu senang mengoceh tentang cara para Aztandor memperoleh kehormatan rasnya. Entah itu karena darah palsu Sang Legenda, Bordock, yang didapatkan kaum terkutuk itu, atau memang rasa irinya oleh kaum yang tak terusik serdadu Mirage itu.
“Dia gila, Mérdanté. Saudaramu itu sudah kehilangan akal sehatnya.”
“Sebenarnya ada apa di sana? Bukankah sebenarnya kita dibutuhkan, Cazar?” Mérdanté belum bisa membuang sedihnya akan sepeninggal Bader. Perasaan sedih itu selalu mendorongnya untuk pulang. Tekanan dari surat ini menambah dorongan itu.
Tak satupun kata-kata dalam kertas itu terbaca oleh Ivander. Surat itu ditulis dengan bahasa asli desa Cordante, bahasa para pelaut, logatnya kasar dan sama sekali tidak santun. Itu membuatnya hanya diam memandangi konflik antara dua rekanan itu.
“Mérdanté, pikiranmu sedang kacau. Aku tahu maksud pertanyaanmu barusan. Jika kau inginkan itu, pergilah sekarang!” tegur Cazar.
Mérdanté menatap Cazar yang begitu tegas menegurnya. Hatinya membenarkan semua tuduhan Cazar terhadapnya. Dia tak ingin lagi tinggal lebih lama di dalam kota ini. Terlalu beresiko untuk menyusup nanti malam. Pria ini baru saja menyadari hal ini, saat malam semakin larut dan bayangan penderitaan kemenakannya terlintas terus-menerus. Dia tak ingin lagi berpikir adanya harapan tentang sesuatu di dalam diri Alexa.
Semakin mengesalkan saat Cazar mulai tak sabar menunggu.
“Tunggu, Cazar, Mérdanté, ada yang bisa jelaskan ini padaku?” sela Ivander.
Namun sepertinya tak ditanggapi. Kedua pria lainnya sibuk menusuk mata satu sama lain dengan sorotan tajam, seperti berusaha saling membawa pihak lain ke dalam keyakinannya. Bagi Ivander, Cazar terlihat akan memenangi perang keyakinan ini. Dia melihat keraguan dan kepedihan di mata seorang Mérdanté, ahli strategi dari Goat Hill. Seorang berotak pandai yang kini terlihat hampir sama dengan dungunya seekor keledai.
“Maksudmu kau akan menghalangi niatnya untuk mengiring Aztandor ke medan perang? Jika kita tetap di sini, kita terjebak, Cazar. Kau tahu sendiri…” Mérdanté berdiri dari atas ranjangnya. “Tak satupun dari kita yang pernah melihat Alexa, dan kau inginkan penyelamatan tanpa memikirkan kotamu sendiri? Kaummu, Cazar! Kaum yang kau bela!” lanjut Mérdanté meninggi keras.
“Kekuatan perangmu mungkin menjadikan dirimu pantas menyandang keturunan seorang Lampros Kertest, tapi lihat mentalmu. Kau tak ubahnya seperti daun di panas hari. Kau gugur, dan ketika jatuh, tak satupun keuntungan dihasilkan, selain oleh mayatmu yang akan membusuk dan diinjak-injak. Aku tahu kau takut. Aku tahu kau ingin menghindar.”
Mérdanté sedikit terpancing oleh amarahnya. Tapi pengendalian dirinya akan emosi jauh lebih tangguh daripada yang diduga.
“Kuulangi, Cazar. Kau inginkan kejatuhan Goat Hill dan Eagle Harbour?” singkat Mérdanté, jelas-jelas memendam emosi.
“Percayalah padaku. Bukanlah saat ini dimana pasukan Comdred akan menyerbu habis-habisan. Pengorbanan mereka yang berjuang sendiri di sana, tak akan sebanding dengan harga yang akan kau bayar untuk setan berkedok itu.” Cazar mendudukkan dirinya di atas kursi merah lainnya. “Kutukan mereka itu abadi. Bukan mustahil kutukan itu bisa menulari pasukan kita.”
“Seberapa bodohkah Témpust sehingga dia berani untuk mengambil keputusan ini? Dia bukan pria sembarangan yang malas berjuang. Dia tahu bagaimana memanfaatkan potensi seadanya untuk memenangi sebuah perang. Kalau dia sampai menginginkan ini terjadi, berarti ada sesuatu di sana.”
Mereka hening beberapa saat, dimana malam menunggu begitu lama bagi aksi mereka selanjutnya.
“Kalau kau paham, maka bergeraklah sekarang!” tegas Mérdanté kembali.
Cazar tak juga beranjak dari tempatnya, Mérdanté sedikit geram.
“Biar aku saja yang melakukannya!” ujar Mérdanté kasar.
Pria berambut ikal itupun pergi dengan menapakkan kakinya di atas lantai papan kayu. Pintu itu mengeluarkannya dari ruangan bertensi tinggi. Mérdanté tak lagi memikirkan seorang gadis tak jelas yang bernama Alexa—padahal tadi siang baru saja disebutnya sebagai Sang Terpilih. Pandangannya lurus, menuruni setiap anak tangga, melewati orang-orang yang menikmati malam di bar, melewati pintu sekali lagi, hingga menaiki kuda cokelatnya yang berambut hitam, namanya Hesfid. Derapan kuda Mérdanté tergema sampai ke atas penginapan itu—tempat Cazar dan Ivander memandang keluar dan menyaksikan kepergian rekan mereka.
Terasa seperti sebuah pengkhianatan.
Cazar memiringkan pandangannya ke Selatan, seakan dia bisa melihat Goat Hill dari sana. Dia merasakan bisikan-bisikan udara yang menghembus. Hidungnya mencium bau darah yang terbawa bersama angin. Setelah mencoba menerbangkan kertas pesan dari Reape, kini hembusan angin mencoba memberitahu keadaan di Eagle Harbour—kacau. Dia tak mampu bayangkan ada apa di sana.
Tidak.
Dia tak menyangka Mérdanté akan benar-benar pergi. Dia pikir rekannya itu masihlah seorang Mérdanté yang sedikit kecut dan ciut nyalinya. Tapi keberaniannya cukup besar untuk menyambangi Kuil Azatur sendirian. Cazar berkeras hati tak merestui kepergian Mérdanté ke kuil Azatur, meski keadaan mendesak di selatan. Harapannya hanyalah penolakan dari kaum Aztandor terhadap pinta sahabatnya itu. Bila tetap berhasil, doanya hanya agar para lintah itu tidak menghisap terlalu banyak darah, darah para pejuang yang masih berharga, karena perjuangan sesungguhnya belum dimulai.
“Cazar?”
“Oh, maaf Ivander. Aku terlalu memikirkan kejadian tadi,” jawab Cazar sambil tersenyum sedikit sekali.
“Memangnya, tadi itu apa?” sambung Ivander cepat.
Cazar membalik badannya dan menunjuk arah yang dituju seorang Mérdanté dengan kudanya. Perjalanan panjang terus ke utara, agak berbelok ke kanan, di sanalah Kuil Azatur terbangun. Sementara penjelasan itu diberikan, tentang asal usul Aztandor; sifat dasar mereka; siasat-siasat mereka; dan hubungannya dengan malam ini, Ivander mulai bisa membayangkan alasan pertikaian keduanya.
Mata biru Ivander menerawang jalan-jalan batu berkilatan yang basah setelah beberapa jam lalu baru saja tersiram hujan. Kilatan itu terpantul dari cahaya bulan yang hampir bersinar sempurna. Keheningan sudah tergambar pula dari lorong-lorong penjuru Sladur. Suara berisik itu hanya datang dari bar di bawah kamar mereka. Dingin yang menusuk tulang mulai merambati jari-jari Ivander.
Sementara Cazar masih berusaha membuang keraguannya untuk bergerak malam ini, diperhatikannya seluruh penjuru kota, bak kunang-kunang di antara gelapnya malam. Tapi Cazar paham betul, kunang-kunang itu menyembunyikan ular-ular berbisa di tengah kegelapannya.
Cazar begitu serius untuk seseorang yang tak dikenalnya.
“Bersiap-siap, Ivander. Saatnya hampir tiba untukmu dan aku.”
Cazar mengangkat busur dan menyarungkan pisau sepanjang telapak tangan di pinggangnya. Bahkan sampai saat itu, kaki-kaki Ivander masih ragu untuk digerakkan. Ini berbeda dengan misi-misi di dunia asalnya, dimana teligannya disumpal dengan alat komunikasi, hanya dengan mendengarkan petunjuk Hayden dan membantai target, semuanya bisa selesai. Cazar sudah selesai dengan persiapannya, saat dilihatnya Ivander masih termenung mengetuk-ngetukkan sepatu ke lantai.
“Aku tunggu di bawah, cepatlah.”
Ivander menarik nafas berat, kemudian terhembus begitu saja seiring anggukkannya.
Kemudian dia dan Cazar berjalan beriringan melewati iringan lampu minyak yang menyinari lorong sempit menuju tangga-tangga, membawa mereka dua belas langkah ke lantai bawah, menuju keriuhan di lantai bawah.
Orang-orang terkesan acuh pada mereka. Itu sebuah keuntungan.
“Tanpa kuda, Ivander. Biarkan Silver Wind, Hemer, dan kudamu Lecon untuk diam di sini.” Kata-kata itu menghentikan Ivander yang tengah melepaskan tali kekang Lecon dari pagar kayu.
Dia menyadari fakta positif dari pemerintahan tegas kota ini. Sudah berjam-jam mereka membiarkan kereta berisi barang berharga milik gerombolan Serigala Pasir di luar, namun tak satupun yang berani mengusiknya, apalagi mengambilnya. Tirai yang menutupinya masih utuh, tali-talinya masih kuat. Bannya hanya sedikit bergeser karena pemilik penginapan ini mendorongnya untuk memberikan tempat bagi kuda lainnya.
………
Sedikit sekali dari penduduk yang masih berkeliaran di jalan-jalan. Penjaga-penjaga masih berlalu lalang saat Ivander dan Cazar tiba di pelataran timur. Lapangan timur memang tak dijaga dari bawah, melainkan dari setiap menara dan jalur pijakan di atas tembok kastil yang menyatu dengan penjara. Busur-busur panah memenuhi punggung mereka.
Sesungguhnya, merekalah ‘setan-setan’ yang berkeliaran di tempat hampir serupa kuburan ini.
Sebuah pasak di sana membuat Ivander mengingat kembali saat itu. Mengingat saat kepala Bader dipajang di sana membuat lehernya ngilu. Sekarang benda itu sudah lenyap dari sebuah pasak kayu di dekat pisau guillotine yang mengatup ke bawah. Bercak darah mengering di sisi berkilaunya.
Mereka berhenti sejenak untuk bersandar di tembok. Mereka bersembunyi di balik batu-batunya yang kokoh dan tebal. Penjagaan di bangunan penjara seketat itu, mustahil untuk ditembus begitu saja.
“Sekarang, bagaimana, Cazar?” tanya Ivander sambil tersenyum. Senyum itu melambangkan kebingungannya, dan keheranannya. Dia heran mengapa dia sendiri bisa membulatkan tekadnya untuk memasuki penjagaan yang sangat ketat ini.
“Ini tak sebanding dengan penyusupan kami di Benua Tengah. Walau begitu, meremehkan mereka bukanlah cara yang baik untuk menusuk ke dalam pintu itu.” Cazar mengajak Ivander untuk sedikit mengintip dari sela tembok. “Pintu itu…satu-satunya lubang di dinding penjara ini selain lubang-lubang angin kecil berteralis baja yang letaknya jauh dari jangkauan siapapun.”
“Kau tahu banyak, Cazar?”
“Itu struktur dasar penjara di benteng. Setiap orang dari kami tahu hal ini.” Cazar mengeluarkan sebilah pisau dari pinggang belakangnya. “Nah, sepertinya sekarang saat yang tepat untuk berjalan di bawah bayangan atap bangunan ini. Kita coba, Ivander.”
Udara dingin di malam hari membuat keringatnya tak bisa menetes. Ivander tahu dirinya rentan terlihat. Tubuhnya merapat ke dinding, kemudian dia mengikuti bagaimana Cazar melakukan tugasnya. Pria itu begitu cekatan, tak tampak guratan ketakutan di wajahnya. Bandingkan dengan Ivander yang takut untuk berbuat kesalahan hingga memilih tertinggal jauh dari Cazar.
Degupan-degupan jantung itu dipadu dengan kegelisahan.
Sangat terasa bagi Ivander. Kali ini dia bersama seseorang yang kemampuan bertarungnya belum jelas. Berbeda sekali dengan dia dan Deven. Mereka saling mengenal kelemahan dan kekuatan rekannya, itu yang membuat mereka solid dan kompak. Sementara sekarang, dia belum pernah sekalipun melihat Cazar menangani musuh. Bertemu pun baru saja.
Ivander membuang kecemasannya dengan satu hembusan nafas pelan.
Cukup jauh dari sini, pintu yang dituju sudah terlihat jelas. Bayangan mereka bersatu dengan lebih panjangnya bayangan atap tinggi bergenting.
Semua seperti berjalan lancar di waktu Ivander mulai bisa menguasai situasi, mendadak dua orang penjaga berhamburan keluar dari pintu. Mereka tergesa-gesa untuk berbicara pada penjaga pintu lainnya. Entah apa yang mereka bicarakan, itu membuat mereka tampak panik. Tak pedulikan itu, yang jelas ini membuat Cazar dan Ivander mendapat kesempatan emas.
“Tahanan wanita itu hilang!” teriak penjaga lainnya sambil menarik nafas pendek-pendek. Dia berteriak pada para pemanah di atasnya. Kepanikan penjaga itu seakan tertular pada para pemanah. Satu di antara mereka berlari ke menara terdekat.
Tahanan wanita…Alexa?
Bunyi lonceng dari atas menara penjara menggema keras. Kericuhan pun terjadi dalam sekejap. Dari balik bayangan hitam, Ivander menyaksikan penjaga-penjaga keluar bagai kuda-kuda dari kandangnya, dari berbagai lorong. Saat dia menyadari, Cazar sudah di sampingnya, mendorongnya untuk segera menyingkir dari tempat itu. Wajah mereka pun segera berpindah ke tempat yang tersinari cahaya bulan dan obor yang menerangi lorong kedua terdekat dari penjara. Langkah mereka tak berhenti hingga di situ, justru lebih cepat berlari mengikuti kesibukan para penjaga.
Rombongan itu berlari ke arah barat, berlawanan dengan letak penjara. Cazar dan Ivander memperhatikan sekeliling mereka, dimana banyak orang telah terjaga dan menonton keributan di luar. Mereka tak terlalu peduli, hanya keluar dari rumahnya dengan mata setengah terbuka, memandangi dua orang yang berlari tergesa-gesa, lalu mereka hanya diam. Mereka menunggu lonceng itu selesai berdentang untuk bisa tertidur lagi. Sifat tidak peduli itu terbentuk akibat perlakuan buruk Mayor Arbal pada mereka. Walaupun Sladur sangat tegas, tapi para pengadil di sini tak ubahnya seperti boneka yang dikendalikan oleh Mayor Arbal. Pekerjaan para penjaga Sladur tak boleh dicampuri oleh penduduk, atau bisa-bisa penduduk itu yang berbalik menjadi tersangka. Itu yang menyebabkan semalam—saat Serigala Pasir beraksi di bar—tak ada penduduk yang dengan sukarela membantu menghentikan aksi nekad mereka.
Lorong lebar yang dilalui Ivander dan Cazar membawa mereka berlari lurus dan berbelok ke kiri, sebelum mencapai pusat kota Sladur. Sebuah lapangan bundar yang luas dengan air mancur dan patung megah di tengahnya.
Lonceng itu terus menjalin suara hingga ke Sladur tengah.
Tempat dimana Ivander dan Cazar berdiri sekarang, Sladur bagian tengah, dimana mereka berhenti mengejar para penjaga yang mulai terpecah belah. Di sekitar air mancur, Cazar menarik baju Ivander dan berhenti.
“Tidakkah kau mencium sedikit bau yang berbeda dari para penjaga? Hidungku tidaklah setajam Amon, tapi aku bisa merasakannya.” tanya Cazar. Kepalanya terus menoleh ke sana kemari.
“Katakan, Cazar. Jangan sampai Alexa lolos lagi kali ini!”
“Aku tak bisa menyalahkan penciumanku, Ivander. Yang jelas, seorang Bounty Hunter tengah membawanya pergi. Baunya seperti jubah hitam yang tak jarang tersiram darah, dan sepatu kulit, bukanlah pejuang, melainkan pasti seorang Pemburu Bayaran. Batu-batu keras yang menyusun benteng sudah terlalu takut terhadap Mayor Arbal, mereka tak memberitahuku kemana perginya kedua manusia itu.”
“Bounty Hunter?” Ivander memandang ke arah yang sama dengan arah pandangan Cazar—timur. “Ada apa di sana?”
Cazar terdiam tak menjawab untuk sejenak. Dia membandingkan arah Timur yang tengah dilihatnya dengan kesibukan para penjaga mengobrak-abrik tiap rumah penduduk di sisi sebaliknya. Sepertinya terjadi kepanikan di antara para penjaga, hingga mereka bertindak tanpa arah.
“Perketat penjagaan di tiap gerbang! Jangan biarkan mereka keluar dari tempat ini!” teriak orang yang kelihatannya paling berkuasa di sana. Para penjaga pun berhamburan ke empat penjuru mata angin, tepat ke seluruh gerbang.
“Benarkah ini semua?” gumam Cazar perlahan. “Mengapa mereka langsung bereaksi ke arah barat? Apakah udara mengkhianatiku dengan mengatakan kalau orang yang kita cari justru belum beranjak jauh dari penjara timur?”
“Kita akan berbalik?” Ivander menanti jawaban pasti itu. “Cazar?”
Dalam hati Cazar, dia percaya kalau alam tak pernah berbohong. Alam tidak pernah mengkhianatinya. Kepercayaannya terhadap kehadiran Dewa Lameth di setiap elemen alam telah meyakinkannya untuk hidup dari bimbingan alam, sejak dia meninggalkan dunia kelamnya sebagai pembantai. Masa lalu Cazar Balamug adalah seorang pembunuh bayaran, bukan pemburu bayaran. Dia tega menghabisi siapa saja demi seseorang yang mau membayarnya dengan harga tinggi. Dia berbeda dengan Kusko yang memiliki satu Tuan, saat itu Cazar tak mengikatkan dirinya pada seseorang. Suatu saat, seseorang berpangkat tinggi membayarnya untuk menghabisi salah satu orang penting dalam pemerintahan. Malangnya, saat itu juga Cazar ditangkap. Misinya gagal. Dia disiksa beberapa malam. Kesadisan pada malam-malam itu sungguh menyakitkan baginya. Setelah itulah, dia dibuang ke Grendith, dengan tujuan menyesatkannya ke Ragnarok. Tapi para pemerintah salah, Cazar diselamatkan oleh Témpust. Bersama pria itu, dia mendapatkan kepercayaan dirinya kembali, hingga dia sepenuhnya mengabdi menjadi tangan kanan Témpust. Dia ingat itu juga, sebagai hadiah dari alam baginya.
Tapi pada Bader, pada apa yang terjadi pada Bader. Mengapa alam tak mengingatkan Bader untuk berjaga-jaga? Atau mungkin Bader bereaksi sama sepertinya saat ini? Kebimbangan pada tuntunan alam itu sendiri.
“Berbalik, Ivander!”
Ivander tak bisa mengerti maksud kalimat itu. Dia memperlihatkan wajah penuh tanda tanya. Ivander pikir ada sesuatu di punggungnya yang ingin Cazar tengok, maka itu Cazar menyuruhnya berbalik. Dia juga mengira Cazar dan dia akan berbalik ke timur. Yang mana yang benar?
“Maksudku, para penjaga itu tak tahu ada dimana mereka berdua sekarang. Tapi kita tahu, dan kita diberitahu. Berterima kasihlah pada kebaikan alam.” Cazar tersenyum melihat wajah Ivander yang perlahan mulai mengerti kata-katanya. “Cepatlah, kita tidak ingin kehilangan mereka lagi.”
Ivander menggangguk tegas.
………
Mereka berlari berputar arah. Melewati banyaknya rumah-rumah berpintu terbuka, penggeledahan tengah berlangsung secara keras. Wajah-wajah letih penduduk terlempar keluar dari pintu rumah. Sejalan dengan itu, Cazar dan Ivander terus menyusuri lorong lebar ini hingga sampai kembali di pelataran timur. Tempat itu penuh dengan dinginnya udara yang tak terhirup—hanya ada sedikit penjaga di sana.
Pertanyaannya, dimanakah Alexa dan Bounty Hunter itu sekarang?
Daerah timur amatlah luas. Bukan hanya sebuah tempat berisi lapangan lebar, tanpa bangunan, yang membuat seluruh makhluk hidup di sana bisa nampak. Mereka sempat mencari-cari beberapa saat. Cazar berharap keyakinanya benar. Keyakinan itu akhirnya terbayar juga, saat seorang penunggang kuda dengan kereta kudanya melintas tepat di jalan lurus menuju pusat Sladur. Benar, penyamaran apa lagi yang cocok untuk saat ini kalau bukan seorang pedagang dari negeri nun jauh di sana.
Cazar pun sependapat.
Dia menahan kereta kuda itu dengan menghalangi jalurnya. Penunggang kuda itupun menghentikan derapan kecil laju kudanya.
Tak ada suara yang keluar dari mulut pria bertudung abu-abu itu. Dia duduk di atas keretanya sambil memegang cambuk dan tali kekang kedua kuda. Kepalanya tertunduk menebar misteri. Setelan bajunya serupa para pedagang asli dari Benua Timur. Sederhana, abu-abu kusam, tertutup, dengan baju agak kebesaran.
“Bicaralah. Kami pikir kau sejalan dengan kami,” ujar Cazar membuatnya menegakkan kepalanya.
Kain warna gelap itu disingkapnya, hingga Cazar mengenali siapa di balik tudung abu-abu itu, seorang Bounty Hunter yang namanya telah tersebar di ke empat benua. “Aku tahu, Cazar. Aku tahu itu…” jawabnya.
“Sudah kuduga alam tak pernah mengecewakan, Saudaraku. Lama waktu berselang sejak saat itu.”
Jelas sekali, Bounty Hunter ini tidak asing bagi para pejuang kebebasan.
“Ivander, ini temanku dan seluruh pejuang kebebasan. Namanya Mithrillia Kusko. Dia memang, adalah Bounty Hunter.”
Mendadak Ivander terpatri pada wajahnya. Pria berjubah abu-abu di depannya ini seakan tak asing lagi, tapi entah siapa. Nama Kusko memang terdengar saat dia, Bader dan Témpust menempuh perjalanan ke kemah para bandit untuk merespon peringatan dari Reape. Saat itu wajah Kusko juga tak terlihat jelas, hanya rambut sepanjang lehernya yang menutupi wajahnya yang lengket dengan darah. Tapi wajah ini…familiar baginya, apakah salah jika dia bertanya pada seseorang yang dianggapnya mirip dengan manusia dari dimensi asalnya?
Apakah masuk akal jika seorang musisi menjadi bayangan masa lalunya akan Kusko?
Akhirnya dia ingat satu nama, Trevor Starlight, yang dia ingat sebagai idolanya semasa remaja. Pria itu menjadi alasan bagi Ivander untuk menyelinap diam-diam pada malam kedua di Alpha Operation demi konsernya. Gitaris solo itu memiliki segudang alasan bagi Ivander—dan jutaan penggemar lain—untuk mengidolainya. Dia mampu bermain baik, semua teknik telah dipertontonkannya di khalayak ramai, diramu dengan melodi yang menyayat dan aransemen yang luar biasa. Itulah Trevor Starlight.
Tapi malam itu menjadi konser terakhir Trevor dalam karirnya. Setelah menyelesaikan bait terakhir dari lagunya, Trevor pergi tanpa pamit pada para penontonnya. Kekecewaan penonton tak pernah ditanggapinya, karena setelah itu, nama Trevor hanya menjadi sejarah dalam industri musik Eropa. Dia hilang secara misterius, tanpa pernah memunculkan wajahnya di atas kotak mika berisi kepingan CD lagi.
Bukan dia, Ivander tak yakin, yang pasti mustahil Trevor adalah Kusko.
“Naiklah, Ivander, Cazar. Kita akan keluar dari pintu timur,” tawar Kusko ramah. Lamunan Ivander terurai oleh tawaran itu.
Dia teringat, kuda dan kereta kuda mereka tertinggal di White Horse Inn. Di sana ada Silver Wind, haram untuk ditinggalkan.
“Maaf, Kusko. Bisakah kau menjauh dari sini? Para penjaga sedang berbondong-bondong memperketat penjagaan di keempat pintu gerbang, termasuk gerbang timur ini,” kata Ivander. “Lagipula kuda-kuda kami tertinggal di gerbang utara. Sangat tidak mungkin bagimu untuk beriringan dengan kami ke gerbang utara.”
“Dan Kusko, isi kereta kudamu itu, Alexa bukan?” tanya Cazar. Sedikit dia berusaha menengok ke belakang kereta dari depan hembusan nafas kuda cokelat tua itu, seakan bisa dilihatnya dari depan.
“Hari yang panjang dan melelahkan baginya. Dia tertidur lelap, dan demi keselamatannya, aku terima saran Ivander. Akan kutunggu kalian di gerbang barat.”
Kusko menarik kembali kain abu-abu kusam yang digunakannya untuk menutupi wajah. Dia juga mengenakan kalung penanda pengunjung benteng Sladur, tapi tak satupun penjaga yang mencurigainya karena wajah. Itu merupakan pertanda kalau Sang Bounty Hunter, Mithrillia Kusko, hanya dikenal melalui namanya, bukan parasnya.
………
Dua kereta kuda bertemu di depan bangunan-bangunan batu yang berjejer rapi. Jajaran bangunan ini adalah daerah pusat pemerintahan Sladur, dimana aliran pajak dan suplai kebutuhan penduduknya diatur. Tempat yang paling ramai dengan orang penting, namun dengan lebih sedikit penjagaan dibandingkan ketiga gerbang lainnya.
“Sudah semuanya, Cazar?” tanya Kusko menengok sedikit ke belakang.
“Belum, tapi tak terambil. Tak mungkin bisa kudapatkan, hal terakhir yang sesungguhnya paling penting,” jawab Cazar lemah dan penuh kesedihan.
“Bader? Aku melihatnya tadi pagi. Sungguh menyesal aku terlambat menyelamatkannya,” timpal Kusko. “Berdiam di sini justru akan membuat rohnya gusar. Mari, Cazar, Ivander. Aku tunjukkan jalan menuju Elgar, satu-satunya kaum Elf yang masih sudi menginjakkan kakinya di bumi timur.”
“Elgar? Mengapa nama itu baru kudengar?” gumam Cazar begitu pelan.
“Itu karena dia sendiri, Cazar,” sahut Kusko. Cazar sendiri tak mengharapkan Kusko mendengar kata-katanya. “Elgar akan menunjukkan padamu alasan untuk mempertahankan Alexa sekuat tenagamu. Hal yang sama seperti yang dikatakan Tuanku kepadaku.”
“Tapi Goat Hill dalam peperangan. Mereka butuh kami,” sanggah Cazar.
“Tak lebih dibutuhkan dibandingkan kalian akan membutuhkan Alexa. Percayalah, kalian tak akan melewatkan satupun kekalahan di selatan sana, karena saat ini bukanlah saat bagi Témpust untuk kalah.”
Cazar coba untuk percaya pada Kusko, juga pada Merdante yang entah sekarang berada dimana.
Mereka tiba di depan lempengan kayu tebal dan besar, yang dikunci oleh baja-baja kuat. Sepasang bidang kayu itu memjulang tinggi dengan potongan gelondong kayu persegi yang tebal sebagai kuncinya. Sisi kanan dan kirinya terbangun atas dinding-dinding batu dengan jalur pijakan para pemanah dan menara pengintai yang menjulang melebihi ketinggian dinding itu. Sebuah sungai memisahkan kota dan daerah terakhir di sisi barat. Jembatan kokoh menjadi penghubung antara keduanya. Di ujung jembatan, sudah berjaga sepuluh orang berpanji Sladur, dengan tombak dan perisainya.
Tombak-tombak hitam itu memalangi mereka.
“Tak seorang pun boleh keluar dari Sladur malam ini. Itu keputusan dari Mayor Arbal,” kata satu dari mereka.
“Tapi kami pedagang. Kau pasti tahu bila kami terlambat memasuki Gabion satu hari saja, harga sutera-sutera kami bisa turun beberapa keping Krall,” kilah Kusko.
Cepat sekali kata-kata itu membuat si penjaga ragu. Kemudian dia berbisik pada penjaga lainnya. Tapi jelas tampak ketundukan mereka pada Mayor Arbal, menjadikan keputusannya tetap pada semula.
“Keputusan Mayor Arbal tak bisa kami langgar. Hukuman bisa mendatangi kami, dan mengejar-ngejar kalian. Berbaliklah dan tunggu hingga malam ini berakhir…”
Pundaknya ditepuk oleh penjaga lain. Kemudian mereka berbisik lagi pelan-pelan. Sepertinya sebuah saran diucapkan di sana. Lalu penjaga yang berbicara tadi mengangguk-angguk setuju. Dia kembali pada tiga orang yang menanti jawabannya.
“Bisa kami lihat isi dari kereta yang kalian bawa? Mungkin malam ini kalian tetap tak bisa keluar, tetaplah tenang jika yang kalian bawa bukanlah gadis itu.”
Kusko mengkerut. Dia tak menduga hal ini bisa menjadi lama dan berbelit-belit. Alexa ada di dalam dan tak selembar suterapun yang bisa menutupi-nutupi keberadaannya. Seperti meminta persetujuan dahulu dari Kusko, Cazar terjun dari atas kudanya.
Untuk sesaat dia pandangi delapan orang penjaga lain di depan gerbang. Ini seperti kesempatan lain untuk mempengaruhi dua orang yang tampaknya lemah di hadapannya. Kemudian dia maju beberapa langkah untuk membangun kenyamanan obrolan penting malam itu.
Ivander dan Kusko mulai gusar.
Mereka menyentuh gagang pedang secara bersamaan, seperti bersiap pada sebuah bentrokan. Dengan sabar dinantinya hasil kasak-kusuk antara Cazar dan penjaga. Kedua makhluk penganggu itu mengangguk setuju. Tanda bagi Ivander dan Kusko untuk melepaskan genggaman dari gagang pedang.
Cazar mengiringi dua penjaga itu ke belakang kereta kuda lain, dimana tumpukan harta tersimpan di sana. Dia berhasil menyogok kedua penjaga ini dengan seluruh harta di kereta itu. Wajah-wajah berbinar mereka membuat Cazar ingin muntah, tapi dia pun turut senang kesepakatan itu tercapai.
“Baiklah. Seluruhnya untuk kami dan kalian boleh pergi sekarang.”
“Terima kasih atas kerjasamanya, Tuan-Tuan.”
Sebuah pisau mengiris tali yang mengikat kereta itu dengan Hemer. Mereka diijinkan pergi dari Sladur. Tangan penjaga tadi melambai-lambai ada penjaga pintu, isyarat untuk membuka gerbang besar itu.
Selanjutnya adalah memotong jalur Lembah Gardner, kediaman para Burandal-Burandal yang tak berpihak pada siapapun. Mereka adalah para kurcaci-kurcaci jelek dan liar. Mereka tak senang diperintah. Itu yang membuat jalan terbentang di hadapan mereka amatlah berbahaya. Hutan-hutan kering berkayu kehitam-hitaman menyambut mereka saat beberapa langkah dilayangkan dari titik akhir Sladur. Hutan itu terus sambung-menyambung ke kanan dan ke kiri, sejauh yang bisa dilihat. Hutan itu sudah mati belasan tahun lalu, namanya Hutan Kematian, penuh oleh ranting-ranting kurus kering dan akar-akaran besar.
“Tak ada jalan lain, Kusko?” tanya Cazar ragu-ragu.
“Dekat dan berbahaya, Cazar. Karena saat ini, waktu lebih berharga daripada mengkhawatirkan bagian tubuhmu yang patah, seperti diriku,” katanya sambil turun dari atas punggung Drustgab.
Pria itu menengok ke belakang, pada kereta kudanya. Dia menyadari medan akan semakin berat untuk ditempuh dengan membawa kereta kuda. Akar-akar bangkai pohon bisa menjegal roda kayu kereta kuda itu. Kusko membuka tirai keretanya dan menarik keluar tubuh seorang gadis yang tengah tertidur lelap. Untuk sementara Kusko menyandarkan tubuh Alexa pada sebatang pohon kering di dekatnya. Ivander melihat gadis itu, di bawah bulan, Ivander bersumpah dia mengenal gadis itu sebelumnya.
“Kusko…itukah Alexa?” serunya tergagap-gagap.
“Sedari awal, dialah yang kalian cari-cari. Maaf aku tak bisa menghantarkannya ke Goat Hill saat pertama kali dia tiba di dunia ini.”
Ivander menjejakkan kudanya perlahan mendekati Drustgab. Dia memandang wajah molek gadis yang tengah tertidur dengan wajah letih dan kusam itu.
“Jangan perhatikan dia seperti dirimu baru melihat seorang wanita satu kali seumur hidupmu, Ivander. Sebenarnya aku juga tak begitu yakin mengapa kehadirannya menjadi begitu penting di sini, bagi Tuanku, bagi Tammil Ibrahim juga. Tapi aku akan berusaha melindunginya sampai aku tahu hal apa yang terus menjadikannya berharga. Bahkan jika kau yang barusaha melakukan hal buruk padanya, pedangku yang akan menebasmu dahulu,” ujar Kusko. Dia menyambilnya dengan memotong penghubung antara kereta kudanya dengan Drustgab.
Mereka pun membiarkan Silver Wind pergi dalam kedamaian. Walaupun belum pasti kuda itu akan kembali ke Goat Hill, setidaknya kebebasan adalah haknya sekarang.
“Memang, dunia itu sangat sempit…" gumam Ivander.
"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Kusko.
Ivander menggeleng, sambil melebarkan senyumnya, sedikit geli. "Bahkan saat kita sudah menjejakkan kaki di dimensi lainnya, dunia tetap terasa sempit ya, Alexa?” celetuk Ivander tanpa memandang Kusko. Gadis yang terakhir ditemuinya di dekat mesin penjual minuman, kini berada dekat dengannya lagi.
Akhirnya dia bisa tahu nama gadis itu.
Kusko mengangkat tubuh Alexa ke atas kuda bersamanya. Kemudian ia membungkus Alexa dengan selimut bulu beruang hitam yang tebal, dan menyandarkan gadis itu di dadanya. Ditahannya tubuh Alexa dengan tangan kiri yang ditempelkan di punggungnya. Kedua kaki Alexa berada di sisi kiri kudanya. Bukanlah hal berat untuk membawa orang seperti Alexa dalam satu kuda yang sama.
Melewati Hutan Kematian—jalan pintas menuju lembah Gardner—ketiga penunggang kuda itu berharap ada sesuatu dari balik bibir seorang Elf bernama Elgar yang membuat perjuangan mereka tak sia-sia.
0 comments:
Post a Comment