Monday, 31 May 2010

CHAPTER 14 - Aztandor

Lurus melalui celah-celah batu di Lembah Gardner, kemudian melintasi patok-patok kayu cokelat tua besar yang menandai perbatasan Raven, akan ada sebuah hutan tua dengan aroma kerapuhan berdiri di belakang pepohonan muda yang mengelilingi tepian luarnya. Di sekitarnya terdapat banyak makam kumuh yang lama tak terurus—bahkan gundukan tanahnya sudah terbongkar. Hutan jelek itu memiliki nama Urifed. Di sanalah kaum jelek itu juga menetap dan bersembunyi, Aztandor.

Benteng Raven terlihat jumawa di bawah bendera hitam di ujung-ujung menaranya. Rajutan singa berbenang emas itu berkibar mewah, bersama rumbai-rumbai benang warna emas di seluruh tepinya. Umbul-umbul itu menghiasi setiap sudut dari kompleks tembok Raven Fortress, benteng dengan meriam terbesar yang mampu menyapu pasukan musuh bagaikan tertiup angin. Meriam itu panjangnya lima puluh meter, lebarnya empat setengah meter. Para penyihir dari Raven akan memasukkan kabut ungu—perwujudan dari kekuatan sihir mereka—ke dalam botol-botol kaca seukuran genggaman tangan. Itulah mesiunya. Letusan meriam itu hampir bisa meruntuhkan separuh Benteng Sladur. Mereka menyebut meriam itu De Valkyrie.

Hutan Urifed, tak menyeramkan di siang hari, namun hilangnya sinar matahari sejak petang akan melepaskan aura kelam dari keberadaan para Aztandor di sana. Hutan itu terdiri dari pohon-pohon eboni dengan kayu-kayu yang baik untuk membuat harpa dan genderang. Bagian terluar hutan ini adalah sumber kayu utama bagi penduduk Raven Fortress. Ketika siang, para penebang pohon datang untuk setidaknya mengambil sebatang pohon untuk dijadikan karya baru, atau untuk dijual dalam bentuk papan-papan dan gelondongan. Tapi serangga pun tak berani masuk ke dalamnya saat malam tiba, dan tak seorangpun berani.

Si pintar Mérdanté, sepupu dari Témpust.

Tak ada waktu lagi baginya untuk berpikir kalau tempat itu berbahaya bila didatangi sendirian di pagi-pagi buta. Kudanya sudah letih karena terus dipacu dalam kecepatan yang tak kira-kira. Mérdanté tahu dia tak boleh berhenti di sini, dengan penuh harapan, dia mendorong dirinya memasuki Hutan Urifed. Pagi muda yang masih diselimuti kabut. Mérdanté membelah kabut itu dengan derap kudanya. Lembap dan dingin, rasanya seakan menusuk lubang telinga. Beberapa kali sahutan burung gagak terdengar, diiringi dengan semilir angin. Dari tepian dalam pohon-pohon muda, tanah semakin curam membawahnya ke hutan tua, dengan akar-akar rapuh dibungkus lumut dan puluhan ranting patah berserakan. Pijakan Hesfid amblas setiap tapaknya menyentuh tanah lembek di Urifed, tak jarang ada genangan-genangan air berwarna kehijauan dengan bau busuk menyeruak. Kalau sudah begini, hanya dengan insting Mérdanté mencari keberadaan Kuil Azatur. Dia berharap alam membantunya menemukan tempat terlarang itu.

Salah, sepertinya alam segan.

Mérdanté berdiam di tengah hutan, berusaha menenangkan kudanya yang semakin kalut. Dia tak menemukan satupun tanda-tanda keberadaan tuntunan alam. Dia tahu dirinya tersasar, meskipun pisaunya sudah menggores tanda silang di pohon-pohon, tetap saja pohon-pohon tergores itu yang ditemuinya lagi. Lagi dan lagi, meskipun Mérdanté masih belum mengakui dia salah jalan. Pasti ketemu, aku akan menemukannya. Mérdanté tahu waktu sangat terbatas, apalagi bagi Témpust di ujung benua sana.

Mérdanté merasa benar saat dia mulai memasuki bagian hutan lain, semakin berbau busuk, dadanya semakin sesak. Entah darimana lender-lendir kental yang bergelantungan di dahan-dahan pohon itu berasal. Pohon-pohonnya kelihatan kurus dan terkelupas bahkan beberapa di antara mereka tetap berdiri walaupun mati. Dia tak bisa memungkiri kalau tulang belulang manusia bukanlah hal aneh di dalam hutan ini. Cahaya matahari tak sedikitpun menembus bebas ke dalam. Hanya ada sinar-sinar tipis dari celah kecil dari kanopi hutan. Pantas saja banyak pohon-pohon rendah yang mulai kurus dan mati. Itu karena cahaya tak menyusup baik. Pohon-pohon tinggi itu pastilah sudah tua dan renta. Sudah begitu, daerah ini lembapnya bukan main.

Hidungnya tertarik oleh bebauan tipis yang samara-samar menunjukkannya jalan, wangi dupa. Tidak salah lagi Mérdanté sudah berada di jalan yang benar. Beruntung bagi Mérdanté, dari sudut kanan matanya, dia melihat batu besar tertanam di tanah. Bentuknya seperti nisan kotak, sudah retak di sana-sini dan berlumut di dasarnya. Semakin dekat Mérdanté, dia semakin yakin ini sebuah petunjuk. Pahatan-pahatan tulisan kuno tertera di permukaan cekungnya. Bau itu juga berasal dari sini.

Mérdanté turun dan menghampiri batu harum itu.

Baunya mirip seperti bebauan cendana yang memberikan ketenangan. Mérdanté memang tak percaya ada batu yang bisa mengeluarkan bau, namun dia tak menemukan sumber bebauan yang masuk akal lainnya di sekitar batu itu.
Dia meraba-raba tulisan di atas batu itu, sambil coba mengeja.

Hetar ealrud, olz riw, riw foccats ei hem
[Bencilah dunia, begitupun kami, kami menderita karenanya]
Zhot AZATUR, rige min De Had
[Berserulah pada Azatur, tinggikan dia Sang Kepala]
Hwen zu hetar wof traugh e mirk
[Saat kebencian mengalir melalui darahmu]
Zu wud nezzar ne worpeluf
[Kau akan memperoleh kekuatan baru]
Zaf fint russete gorgomur zan
[Dan bahkan membuat kematian gentar]

Bahasa itu pula yang digunakan dalam gulungan mantera-mantera hitam, di dalam Kalanost. Bahkan tak satupun dari manusia Mithrillia yang bisa memahami maksud bait itu. Mérdanté berpikir keras untuk mencocokkan sedikit demi sedikit ejaan bahasa itu dengan bahasa kuno Mithrillia yang masih agak dipahaminya. Dia berusaha keras mengulang kembali seluruh pelajaran kata kuno yang diajarkan para sesepuh di Desa Cordante saat dia kecil dulu..Hanya ada kemiripan pada kata Gorgomur, yang berarti kematian, maut, atau ketakutan mendalam, dengan kata Gorgoir, sisanya…dia menyerah.

Bahasa ini, yang dia lihat sekarang, sudah punah sejak era baru Lord Bordock. Karena dahulu, bahasa ini adalah simbol perapalan mantera-mantera kegelapan yang bisa membinasakan umat manusia. Karena itu, saat Pendeta Agung Azatur Bardiel coba menggunakannya untuk ambisi pribadi, seluruh langit Nemoralexia mendadak gelap. Awan-awan hitam kelam menggumpal, memutari langit negeri itu. Tahulah Lord Bordock bahwa ada yang tak beres dengan salah satu dari pendetanya. Maka saat itu juga, saat Azatur dibuang dari Nemoralexia, bahasa itu benar-benar tak lagi dipakai.
Apa yang bisa dia perbuat hanya dengan mengetahui makna dari satu kata?
Tak ada yang bisa Mérdanté lakukan kecuali mencari jalan lain. Hatinya yakin ini adalah gerbang awal menuju kuil tersembunyi itu. Mérdanté hampir menyerah, meskipun dia masih ragu-ragu meninggalkan batu itu. Sesaat Mérdanté memandang kudanya yang masih terlihat lelah. Lalu dia kembali lagi memusingkan diri dengan tulisan-tulisan itu.

Sebuah suara mendadak menyergap dirinya. “Arbalesta vanadir!!!” seruan parau yang terdengar tiba-tiba itu membingungkan Mérdanté.

Tak sampai sedetik, Mérdanté terpelanting dari posisinya menunduk sekarang. Kudanya meronta dan meringkik kencang. Tubuhnya terseret di tanah lembek, terantuk banyak akar, sebelum punggungnya membentur pohon. Kejadian mendadak itu membuat Mérdanté terkejut setengah mati. Dia berusaha bangkit dan mencari pelakunya.

Arbalesta vanadir!” ulang suara itu sebelum Mérdanté sempat melihatnya.

Lagi-lagi Mérdanté terdorong jauh ke belakang. Seperti ada sebuah bola besi besar yang menghujam.

“Brengsek!” geramnya sambil mencoba berdiri kembali. “Tunjukkan wajahmu di hadapanku, Penyihir!” teriaknya.

Sesuai permintaan Mérdanté, sosok wajah menyedihkan itu mendadak memenuhi ruang penglihatannya. Asap hitam menggumpali sekelilingnya, seakan melakukan tarian sambutan bagi Mérdanté.

Busuk, keriput dan kering. Mata yang dipenuhi urat-urat merah kecil, tanpa kelopak hingga hampir keluar dari lubangnya. Makhluk itu tingginya lebih dari pada Mérdanté dan Témpust. Tubuhnya ditutupi jubah sehitam jelaga yang terkoyak-koyak. Bisa ditebak, kakinya tak menapak tanah.

Dia mengangkat jari telunjuknya ke hadapan wajah Mérdanté yang terdiam kaku. Jari-jari kurus panjang dengan kuku yang kuning dan rusak. Sebagian tulang jarinya sudah terlihat dengan daging-daging cokelat yang sudah benar-benar busuk dan kulit yang terkoyak. Mérdanté bias melihat makhluk itu menggenggam sebuah tongkat sihir dari kayu cokelat tua, berhiaskan sulur-sulur dan batu hitam bulat sebagai mahkotanya.

Aztandor, tidak salah lagi, inilah Aztandor.

Nafasnya bisa terasa di wajah Mérdanté. Nafas yang sesak, seperti terhimpit beban di dadanya. Nafas itu berhembus kencang seperti dipaksakan. Seperti ada kemarahan besar dalam diri Aztandor itu pada Mérdanté.

“Aztandor?” tanya Mérdanté gemetar.

“Aztandor?” ulangnya dengan suara parau yang mengerikan.

“Aku…”

“Aku…” ulangnya terus.

Mérdanté tidak mengetahui maksud pengulangan itu, yang jelas dia tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya saat makhluk itu mendekati wajahnya terus, seakan baru sekali melihat manusia. Kepalanya dimiringkan bergantian—ke kanan dan ke kiri, jangankan melanjutkan kata-kata, keberanian untuk menatap wajahnya pun menguap entah kemana. Bayangan akan Aztandor selama ini telah benar-benar menipunya. Aztandor tidaklah sekeren yang diucapkan dalam kisah-kisah dan mitos di masa kecilnya. Ternyata mereka menyeramkan, dan menjijikkan.

Zu fert ei riw, rade zu commo harez,” (kau takut pada kami, beraninya kau datang ke sini) rapal Aztandor berdesah, saat dia memojokkan Mérdanté terus-menerus. “Arbalesta vanadir!” ucapnya sekali lagi.

Mérdanté terhempas ke kiri, terguling-guling di tanah berlumpur, terseret beberapa kaki sebelum jemarinya meraih akar terdekat. Aztandor kembali datang menghampiri wajah pucat pasi itu. Wajah Mérdanté jelas sekali memperlihatkan rasa takut.

“Kumohon,” katanya terbatuk-batuk. “Kami butuh bantuanmu. Pejuang kebebasan menginginkan bantuanmu. Témpust, pimpinan kami, menginginkan bantuanmu,” lanjutnya terbata-bata..

Aztandor itu mendadak menjauhkan wajahnya dari Mérdanté.

“Pergilah, karena tak ada lagi yang bisa disambung di antara kalian dan kami. Kami jera melihat dunia yang begitu angkuh mempermalukan kami. Kami tak ingin lidah bijak palsu para peri mengolok-olok kami. Kami tak ingin bahkan kebodohan para Abodh mengganggu kami. Kami lelah dikucilkan kaummu yang merasa hebat, manusia…”

“Tapi…”

Sekuat topangan kedua tangannya, Mérdanté mencoba bangkit berdiri, sambil sedikit merintih. Aztandor itu mendorong kembali tubuh Mérdanté dengan ujung tongkatnya hingga pria itu terjerumus kembali ke tanah. Agaknya benturan demi benturan yang diterimanya telah melemahkan tubuh itu.

“Kau telah berbuat kesalahan untuk datang ke sini. Kuil kami tak akan lagi diinjak oleh manusia. Sang Kepala tak akan mau bertemu lagi dengan manusia. Tapi tubuhmu, sebaiknya menjadi milikku untuk menggantikan mayat busuk yang telah lama membuatku gatal.”

Aztandor itu tersenyum… Mérdanté tahu itu bukan pertanda baik.

Dia mencoba bertahan dari rasa gentar ini dan melawan.

Tak semudah yang dia bayangkan untuk membuat Aztandor mau membantu mereka di Eagle Harbour. Memang, ada sedikit rasa sesal, mengapa dia tak mau mendengarkan kata Cazar di Sladur. Mérdanté itu sedikit keras kepala, tapi juga agak pengecut. Di saat apa yang diperjuangkannya dihalangi, semangatnya bisa langsung pudar saat itu juga. Tapi kali ini, kaitannya dengan nyawa, dia tak mau main-main.

Dengan dorongan kaki kanan, Mérdanté berdiri, lalu sontak mengeluarkan pedang diiringi tebasan miring ke arah bahu iri Aztandor secepat mungkin. Namun penyihir itu menghindar seperti asap yang terdorong angin tebasan Mérdanté. Mérdanté melakukan tebasan turun sekuat tenag, tapi tongkat Aztandor menangkisnya, pergelangan tangan Mérdanté merasakan benturan keras, seperti membelah batu.

Biertorica Caurage!

Aztandor menggunakan tangan kanannya untuk mengeluarkan sebuah bola tenaga dalam, dikelilingi listrik berwarna biru terang. Listrik itu meletup-letup di permukaan tangannya. Bola itu meluncur telak ke perut Mérdanté. Bajunya terkoyak, permukaan kulitnya terbaret-baret semakin banyak. Lalu bola itu hilang menguap, seiring asap putih muncul dari luka di perutnya.

Mérdanté tak sanggup menahan sakit yang menimpanya. Listrik itu masih membuat tubuhnya mengalami kejutan-kejutan. Dia tersungkur jatuh, hingga menjadi begitu lemah untuk menggenggam pedangnya. Tangannya bergerak lemah menutupi pedihnya luka akibat listrik yang menubruk perutnya.

Sang Aztandor melayang-layang di depan kepala Mérdanté. Belaian jubah hitam Aztandor terasa di jari kiri Mérdanté. Bahkan akar pohon tahu persis, bagaimana rasa takut yang dihadapi Mérdanté sekarang.

Mérdanté gagal membawa harapan.

Dia tak ingin berpasrah, tapi tak mungkin baginya untuk meronta.

Aztandor mengangkat tongkat tinggi-tinggi, hingga jubahnya tersibak, memperlihatkan sedikit tulang belulang dari tangan kering itu. Aztandor itu pun tersenyum mendesis. Cahaya keunguan segera berbinar dari mahkota tongkat itu, bentuknya seperti kobaran api. Cahaya itu adalah wujud mantera kuno terlarang yang disegel oleh para Elf. Para Elf bersumpah untuk tidak memberitahukan mantera itu pada siapapun, tapi entah mengapa para Aztandor menemukannya. Rapalan kata-kata cepat yang kini keluar dari mulut Aztandor—seakan berbicara asal—adalah jalinan kata-kata mistis untuk memasuki tubuh seseorang dan mengusir jiwa lain di tubuh itu.

Tapi sepertinya Mérdanté beruntung.

Tiba-tiba sinar itu meredup. Tongkatnya berhenti bergejolak, Aztandor itu sendiri bingung tentang apa yang terjadi. Cahaya yang tersisa kini tinggal percikan listrik Mérdanté dan cahaya matahari muda yang masih sedikit sekali. Aztandor itu menengok ke seluruh arah, pada sisi-sisi gelap lindungan kanopi hutan, dan segeralah dia sadar ada apa sebenarnya. Dia dan Mérdanté sudah dikelilingi puluhan Aztandor lainnya, seperti lingkaran kabut asap hitam.

Serentak mereka terbang tak berpola, mengelilingi Mérdanté dan Aztandor itu, seperti capung. Setiap gerakan itu meninggalkan jejak asap hitam yang menghilang secara mistis. Salah satu dari mereka—yang memiliki jubah hitam terbesar—turun dan mengambil tempat di samping Mérdanté. Jari-jari jangkung Aztandor itu meletakkan ujung kukunya pada punggung Mérdanté, lalu disayatnya garisan kecil dengan ujung kuku, dan setetes dua tetes darah mengalir. Aliran listrik di tubuh Mérdanté hilang seketika.

Aztandor itu mendengus keras, sambil mendesis parau.

“Mered, dia bawakan sesuatu untuk kita. Mengapa kau usir dia dan ingin mengambil tubuhnya?” tanya Aztandor itu pada Aztandor yang menyerang Mérdanté.

“Qasfar, dia milikku. Aku yang menemukannya lebih dulu. Menjauhlah dan bersikaplah adil!” bantah Mered sambil menunjukkan taring-taringnya.

Mérdanté tak bisa lagi berkata banyak. Dia melihat di hadapannya, di atasnya, di mana-mana, begitu banyak Aztandor mengelilinginya. Dia terbatuk-batuk menahan hawa busuk para Aztandor yang tercium begitu menyengat.

“Ada perang di Eagle Harbour…” rintihnya menyela perdebatan dua Aztandor itu. “Ada perang, disana…”

Mereka mendadak diam memperhatikan.

“Témpust butuh bantuan kalian. Tolong kami…” lanjutnya.

“Aku sudah bilang kami tak akan membantu manusia lagi, kau bedebah…”

“Mered, akan kujahit mulut besarmu nanti,” potong Qasfar. “Sadarlah kita butuh tubuh-tubuh baru. Perang akan memberi kita hal itu. Sejak Sang Kepala tak sanggup keluar, aku pimpinan di sini!”

“Jangan seenaknya, Mulut bangkai! Siapa yang menunjukmu?” kesal Mered.

“Sang Kepala, Mered…” jawab Qasfar dihiasi senyum licik. “Perlukah kukatakan sekali lagi? Sang Kepala…Sang Kepala….” Tawa Qasfar memecah keheningan hutan itu segera setelahnya, suara tawa yang tipis dan tinggi, seakan memecahkan telinga yang mendengarnya. “Mari, Aztandor. Menuju medan pertempuran!”

Dengan segera, para Aztandor berhamburan ke arah selatan, sesuai dengan arah telunjuk Mérdanté. Mereka pergi secepat mereka datang. Meski begitu, bau busuknya masih tersisa beberapa menit setelah mereka meninggalkan Mérdanté sendiri.

Sepi, hembusan angin dingin menggetarkan tubuh lemahnya.

Lebih baik daripada usaha pengambilan tubuhnya.

Mérdanté memandang Hesfid dari kejauhan. Hatinya tak lagi terbebani oleh omongan Cazar, dia lega tugasnya berhasil. Pulang ke Goat Hill, hanya itu yang ada di dalam pikirannya sekarang, meskipun luka itu membuatnya tak mampu berbuat apa-apa saat ini. Seakan paham dengan keadaan Mérdanté, Hesfid menghampiri tuannya itu, merendahkan moncongnya, kemudian menggerakkan kepala Mérdanté. Pria itu berusaha keras, bahkan hanya untuk mengelus kudanya.

“Sebentar lagi, kita pulang…Hesfid.”

0 comments:

Post a Comment