Hayden berjalan menyusuri 22th Avenue yang terbentang di hadapannya. Sudah sejak lama dia belum kembali ke Rumania untuk membereskan markas dan ruang kerjanya. Cukup lama dia berdiam di Birmingham untuk sekedar mengunjungi rumah lama. Di tangannya, dia memeluk bungkusan kertas berwarna cokelat berisi makanan kaleng dan sayuran. Begitu penuhnya hingga Hayden sendiri kesulitan untuk melhat ke depan. Trotoar ini membimbingnya terus menyibak harumnya udara pagi.
Pagi itu, belum dikatakan lengkap bila Hayden belum membeli koran. Hayden menyadari betapa dia begitu terasingkan dari keadaan dunia setelah dua hari membiarkan otaknya beristirahat tanpa koran.
Sepi.
Itu kata yang tepat untuk menggambarkan sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman rumput dengan Range Rover diparkir di atas jalur betonnya. Hayden membuka pintu putih rumah, kemudian menyalakan lampu kuning yang menerangi lorong menuju ruang keluarga—yang tak berisi keluarga, hanya dia dan pendingin ruangannya. Dia menapakkan kakinya di atas karpet abu-abu yang membungkus hampir seluruh bagian lantai rumahnya.
Harian itu dilemparkan ke atas sofa di depan televisi layar datar. Hayden meletakkan belanjaan di atas meja kayu ala bar di dapur dan mengobrak-abrik isinya. Dia menyusun satu-persatu barang yang telah dibelinya, sebelum mengambil sebotol susu rendah lemak dari rak terbawah lemari es. Langkah berat Hayden membawanya ke sofa merah tua di depan televisi, di sela-sela kesibukkan tangannya membuka tutup aluminium botol susu.
Hayden meletakkan botol kaca itu di atas meja telepon setelah beberapa tegukan. Dia duduk dengan nyaman di sofa merah tua dan membaca lembaran pertama dari harian yang dibelinya.
Berita yang sangat menggugah.
Di sana tertulis tentang kematian beruntun tujuh orang di Jepang. Korban ditemukan mati dalam kondisi mengenaskan dengan kondisi tak berkepala—bahkan kepalanya pun hilang. Pembunuhan ini terjadi hanya dalam waktu sehari, di empat kota berbeda yang letaknya saling berjauhan. Polisi dibantu oleh detektif swasta masih menyelidiki kemungkinan pembunuhan, dan keterkaitan antara tujuh korban. Kesamaan yang ditemukan antara ketujuh korban masih samar-samar mencuat. Ketujuhnya diduga memiliki gangguan jiwa akibat depresi berat. Anggota keluarganya masing-masing menyebutkan bahwa mereka suka mengumbar bualan telah melihat setan-setan atau Shinnigami (dewa kematian). Belum selesai kasus itu menjulang di Jepang, negara-negara Asia Timur lainnya ikut ambil bagian menyumbang korban. Kasusnya sama.
Pertanyaan di sana tertulis, benarkah telah lahir seorang psikopat yang membunuh orang-orang dengan gangguan jiwa?
Pelakunya bukan hanya seorang. Melihat waktu dan lokasi kejadiannya, polisi menduga mereka adalah komplotan besar. Mungkin pembunuhan itu dimaksudkan untuk tujuan tertentu.
Kebijakan selanjutnya dari negara-negara korban adalah memperketat penjagaan di banyak rumah sakit jiwa. Pikiran para polisi terlalu sederhana, mereka pikir dengan ini jumlah kematian tak akan bertambah banyak.
Hayden merasa ada yang tak beres dengan semua ini. Membaca bahwa seluruh korbannya memiliki gangguan kejiwaan dan kebiasaan melihat ilusi-ilusi, tanpa sadar pikirannya langsung menerka-nerka…
Penderita penyakit itu…mereka semua dibunuh?
“Hellfire Institution. Pasti mereka dalangnya,” pikir Hayden. “Ini gila. Berita sebesar ini belum membuat Flavio menghubungiku juga. Ada apa sebenarnya di sana?” tanya Hayden kesal di dalam hatinya.
Hayden membanting koran itu ke sofa dan beranjak ke meja telepon. Dia menekan tombol-tombol menuju nomor Rosetti, pesawat telepon itu berguncang-guncang saking kerasnya Hayden menekan. Kakinya tak sabar menunggu sambungan terjadi. Justru Hayden menelan kekecewaan. Ponsel Flavio tak diaktifkan, tak mungkin baginya untuk menelepon ke jaringan telepon perusahaan asuransi yang tengah diperbaiki.
Hayden meletakkan gagang telepon kembali. Dia membenturkan kepalanya pelan, ke dinding di samping meja teleponnya.
Apakah ini semacam pembersihan?
Pagi itu, belum dikatakan lengkap bila Hayden belum membeli koran. Hayden menyadari betapa dia begitu terasingkan dari keadaan dunia setelah dua hari membiarkan otaknya beristirahat tanpa koran.
Sepi.
Itu kata yang tepat untuk menggambarkan sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman rumput dengan Range Rover diparkir di atas jalur betonnya. Hayden membuka pintu putih rumah, kemudian menyalakan lampu kuning yang menerangi lorong menuju ruang keluarga—yang tak berisi keluarga, hanya dia dan pendingin ruangannya. Dia menapakkan kakinya di atas karpet abu-abu yang membungkus hampir seluruh bagian lantai rumahnya.
Harian itu dilemparkan ke atas sofa di depan televisi layar datar. Hayden meletakkan belanjaan di atas meja kayu ala bar di dapur dan mengobrak-abrik isinya. Dia menyusun satu-persatu barang yang telah dibelinya, sebelum mengambil sebotol susu rendah lemak dari rak terbawah lemari es. Langkah berat Hayden membawanya ke sofa merah tua di depan televisi, di sela-sela kesibukkan tangannya membuka tutup aluminium botol susu.
Hayden meletakkan botol kaca itu di atas meja telepon setelah beberapa tegukan. Dia duduk dengan nyaman di sofa merah tua dan membaca lembaran pertama dari harian yang dibelinya.
Berita yang sangat menggugah.
Di sana tertulis tentang kematian beruntun tujuh orang di Jepang. Korban ditemukan mati dalam kondisi mengenaskan dengan kondisi tak berkepala—bahkan kepalanya pun hilang. Pembunuhan ini terjadi hanya dalam waktu sehari, di empat kota berbeda yang letaknya saling berjauhan. Polisi dibantu oleh detektif swasta masih menyelidiki kemungkinan pembunuhan, dan keterkaitan antara tujuh korban. Kesamaan yang ditemukan antara ketujuh korban masih samar-samar mencuat. Ketujuhnya diduga memiliki gangguan jiwa akibat depresi berat. Anggota keluarganya masing-masing menyebutkan bahwa mereka suka mengumbar bualan telah melihat setan-setan atau Shinnigami (dewa kematian). Belum selesai kasus itu menjulang di Jepang, negara-negara Asia Timur lainnya ikut ambil bagian menyumbang korban. Kasusnya sama.
Pertanyaan di sana tertulis, benarkah telah lahir seorang psikopat yang membunuh orang-orang dengan gangguan jiwa?
Pelakunya bukan hanya seorang. Melihat waktu dan lokasi kejadiannya, polisi menduga mereka adalah komplotan besar. Mungkin pembunuhan itu dimaksudkan untuk tujuan tertentu.
Kebijakan selanjutnya dari negara-negara korban adalah memperketat penjagaan di banyak rumah sakit jiwa. Pikiran para polisi terlalu sederhana, mereka pikir dengan ini jumlah kematian tak akan bertambah banyak.
Hayden merasa ada yang tak beres dengan semua ini. Membaca bahwa seluruh korbannya memiliki gangguan kejiwaan dan kebiasaan melihat ilusi-ilusi, tanpa sadar pikirannya langsung menerka-nerka…
Penderita penyakit itu…mereka semua dibunuh?
“Hellfire Institution. Pasti mereka dalangnya,” pikir Hayden. “Ini gila. Berita sebesar ini belum membuat Flavio menghubungiku juga. Ada apa sebenarnya di sana?” tanya Hayden kesal di dalam hatinya.
Hayden membanting koran itu ke sofa dan beranjak ke meja telepon. Dia menekan tombol-tombol menuju nomor Rosetti, pesawat telepon itu berguncang-guncang saking kerasnya Hayden menekan. Kakinya tak sabar menunggu sambungan terjadi. Justru Hayden menelan kekecewaan. Ponsel Flavio tak diaktifkan, tak mungkin baginya untuk menelepon ke jaringan telepon perusahaan asuransi yang tengah diperbaiki.
Hayden meletakkan gagang telepon kembali. Dia membenturkan kepalanya pelan, ke dinding di samping meja teleponnya.
Apakah ini semacam pembersihan?
0 comments:
Post a Comment