Thursday, 27 May 2010

CHAPTER 12 - Mimpi

Gadis lugu itu malas terlibat suatu petualangan yang penuh konflik. Dia mengharapkan sebuah penjelajahan yang penuh keindahan alam, bukan sebuah pertentangan yang rumit. Baginya, bisa beristirahat di dekat orang yang mampu menjaganya dengan baik, adalah sebuah hadiah terindah di hari itu. Laju kuda itu tak membuka matanya, walau sudah beberapa jam tiga orang yang mengawalnya menembus kayu-kayu kering dan tajam.

Alexa McGeady, dia bermimpi.

Dia berada di dalam sebuah kolam dangkal, dengan langit membiru gelap oleh sinar rembulan penuh. Sekitarnya merupakan pohon-pohon besar yang melingkupi. Pohon-pohon berakar gantung dengan dedaunan yang lebat, membentuk sebuah kanopi yang menghalangi pandangan ke sela-sela pepohonan. Hanya tempatnya sekarang yang bersinar. Alexa duduk di atas kolam dangkal itu. Ketinggian air telah menyentuh bagian perutnya.

Dia sadar dirinya berada di tempat antah-berantah.

Dia tak menemukan apapun kecuali cahaya-cahaya biru seperti kunang-kunang, yang beterbangan kesana-kemari. Cahaya-cahaya temaram itu tak cukup membuatnya nyaman di tengah kekelaman.

Kini Alexa menyadari dia sendirian. Di tempat asing. Tanpa suara.

Dia berusaha bangkit perlahan dari air, gemericik bunyi air segera terdengar. Dia berjalan pelan-pelan menyeret air di kakinya, menuju hutan yang dia rasa sebagai tujuan berikutnya. Tapi sesuatu menghalanginya, seperti kaca, tapi begitu keras. Alexa mencoba menyentuhnya dan merasakan ketebalan dinding itu berbicara pada tangannya. Kini kepanikan semakin menancap kuat di hatinya. Semakin dia berusaha keluar dari halangan itu, semakin dia merasa lelah.

Alexa menangis.

Tanpa suara, isak tangis itu hanya terdengar sedikit. Kegusaran yang dicampur dengan kesendirian telah melahirkan perasaan takut. Bahkan saat cahaya-cahaya kecil itu merapat ke dinding tak terlihat dan menciptakan sebuah aurora indah. Mereka menari-nari seakan mengerti arti dari tangisan Alexa dan menyuruhnya untuk tenang. Tapi dia tetap tak bisa berkata-kata untuk memuji keindahan pemandangan ini, ketakutan hampir membelenggu Alexa sepenuhnya. Saat butiran-butiran cahaya itu merapati dinding penghalang dan membentuk sebuah lingkaran, ia justru merasa terancam.

Alexa menjerit.

Tanpa ragu, dia berteriak kencang. Tampaklah cahaya-cahaya itu menyingkir dari formasi dan bergerak acak seperti lalat. Mereka berhamburan pergi menjauh. Tirai cahaya itupun pecah, kepingan-kepingan warna pelangi itu berjatuhan bak serpihan-serpihan kaca. Kepingan-kepingan itu perlahan menguap lenyap sebelum sempat menyentuh air dan tanah basah di bawah.

Buruknya, di saat itulah justru Alexa semakin menyadari bahwa dirinya memang sendirian.

Bahkan saat cahaya-cahaya biru itu kembali lagi. Cahaya-cahaya itu membentuk spiral tinggi ke udara, tepat di tengah-tengah kolam.

Apa lagi ini? Mimpikah aku?

Itulah yang dipikirkannya saat memaku pandangannya. Spiral itu perlahan melebar, cahayanya merambat ke kolam bagai helaian rambut-rambut yang melayang di dalam air. Cahaya-cahaya kecil baru pun tumbuh dari balik helaian cahaya itu, bagaikan anggur yang berbuah.

Dia bisa merasakan cahaya spiral itu memanggilnya berulang-ulang. Alexa mencoba memberanikan diri mendekatinya. Dia menjulurkan tangan kanannya dan dengan perlahan maju setapak demi setapak lebih dekat dengan pusat kolam. Helaian-helaian cahaya di bawah air itu semakin kuat menjulur di antara kaki-kaki Alexa.

Saat dia sampai pada spiral itu, mendadak mereka semua redup.

Alexa memandang hampa pada sekelilingnya yang mendadak menjadi sangat gelap. Tangannya melayang hampa, mencoba menyadari kalau apa yang coba digenggamnya telah hilang.

Dia tersentak mundur beberapa langkah. Kepalanya tak bisa berhenti menoleh ke segala arah, dia bertambah kalut. Alexa merasakan ancaman menguntitnya dari segala arah. Dia juga sadari cahaya bulan meredup, sinarnya perlahan hilang. Hingga akhirnya Alexa berusaha keras untuk meraih tepian kolam.

Namun sesuatu yang kuat dan jahat menariknya masuk, jauh ke dalam kolam dangkal itu. Alexa terjerumus dalam kekelaman air yang membuat degup jantungnya berlari kencang. Dia mencoba naik, tapi usahanya itu justru membuatnya semakin tenggelam.. Pikirannya semakin dikuasai ketakutan ketika dia merasakan kemustahilan itu—mustahil kolam yang kedalamannya hanya mencapai perutnya, bisa menelan seluruh tubuhnya, bahkan amat jauh dari permukaan.

Cahaya merah menyala, menyembur dari dasar kolam. Kemilau warna merah itu membuat isi kolam tampak terang hingga langit di atasnya berona merah, seperti darah.

“Alexa…” suara perih, serak, dan panjang, mencoba memenuhi telingannya. Suara itu terdengar jahat, licik, seperti ular penggoda yang coba membiusnya dengan racun mematikan.

Alexa berusaha lari dari suara itu, dia mencoba memunculkan dirinya ke permukaan. Dia bisa bernafas di dalam air, dia juga bisa mendengar, tapi dia tak kuasa berteriak.

“Alexa…mengapa kau dekati aku?”

Mata Alexa membelalak saat sosok wajah menyeramkan mulai merambat naik dari dasar kolam. Dia melihat sosok kesatria masa lalu dengan zirah yang terbakar api merah kejinggaan. Wajahnya hanya terdiri dari api membara yang terdistorsi aliran air. Matanya menyala-nyala seperti lahar di dasar gunung berapi. Api itu dingin seperti es. Antara kemarahan dan wajah menyedihkan teraduk menjadi satu.

Alexa merasakan tubuhnya semakin tak mampu meronta saat kesatria itu memegangi kakinya erat-erat.

Dia berusaha menjerit, mulutnya terasa terjahit.

“Alexa…” suara itu menyebut nama Alexa berkali-kali. Ramai sekali.

Gelora api telah membekukannya. Neraka macam apa yang menawarkan rasa dingin sebagai siksaannya? Dia tahu ini mimpi, tapi begitu sulit baginya untuk berlari dari dunia ilusi ini. Api itu menyeretnya semakin dalam ke dasar, dengan hawa dingin dan bisikan-bisikan parau.

………

Padang pasir lainnya, terhampar luas.

Alexa tersadar dari mimpinya, walau sebenarnya, ia hanya memasuki dunia lain dari mimpinya. Sebuah padang pasir datar, luas, seperti tak berujung. Rasa panas, itulah yang dirasakan Alexa pertama kali, rasa yang bertentangan dengan dingin.

Dia mencari-cari sesuatu yang tak mungkin lagi dia temukan. Kolam mengerikan itu tak ada lagi di hadapannya, juga kesatria api yang coba merenggut tubuhnya. Yang ada hanya butiran berwarna cokelat yang sesekali beterbangan dihembus angin hangat dari berbagai arah. Terkadang angin kecil memutar, membawa butiran pasir membentuk spiral kecil yang singkat.

Seseorang telah berdiri di hadapannya.

Orang itu besar dan tinggi, tubuhnya perkasa. Baju zirah lengkap menutupi tubuhnya, warnanya didominasi biru tua. Rambutnya kasar, panjang, warnanya putih kekuningan seperti gading gajah, memanjang hingga sampai ke punggungnya.. Janggut dan kumisnya menutupi hampir seluruh mulut dan leher. Warna matanya cokelat, persis seperti milik Alexa. Garis-garis wajahnya keras, tulang alisnya menonjol untuk menggambarkan ketegasannya. Aura kebesaran memancar di wajahnya. Dia membawa sebilah pedang di pinggangnya dan sebuah perisai persegi panjang di tangan kirinya.

Mereka saling berpandangan satu sama lain.

Tak ada yang bisa menebak pikiran satu sama lainnya.

“Mendekatlah. Tak ada yang perlu kau takutkan lagi,” ujar pria besar dengan suaranya yang besar, dalam, dipenuhi dengan kharisma.

Ucapannya tak membuat Alexa bergerak. Dia tak bisa percaya begitu saja pada pria ini, bahkan di saat dia tahu ini adalah mimpi.

“Apa yang kau pikirkan tentang kolam barusan, Gadis muda?”

Alexa tergagap-gagap. Dia kesulitan untuk menjawab setelah semua yang dia alami berlalu begitu saja. Dia membiarkan matanya meneliti setiap detil pakaian kuno yang dikenakan pria di hadapannya.

“Apa yang kau pikirkan tentang kolam barusan, Gadis muda?” pria itu mengulang pertanyaan yang sama dengan nada yang sama.

“Kolam…” jawab Alexa gemetar. “Dimana aku sekarang?”

Ekspresi dingin pria itu tak berubah. Saat angin mengibaskan rambut mereka berdua ke kanan dan ke kiri, pembicaraan itu terasa makin mengancam bagi Alexa.

“Alexa McGeady…”

Nama Alexa yang tersebut oleh pria itu membuat Alexa makin cemas. Tapi bila terus dipikirkannya, perasaan itu makin menjadi lazim, sebab dia berpikir seluruh Mithrillia mengenalnya.

“Kau yang akan menentukan akan menjadi apa dirimu,” lanjut pria itu dengan suara berkarismanya.

“Siapa kau ini? Jangan membuatku semakin takut!” seru Alexa menghentak kencang. Dia merambat mundur cepat-cepat.

Pria itu tak bergeming. Dia justru menawarkan tangan kanannya untuk membantu Alexa berdiri dari posisinya sekarang. Telapak tangan kasar dan besar itu menunjukkan betapa keras perjuangan pria ini untuk menempuh sesuatu yang menjadikannya semegah sekarang.

Dia menoleh ke wajah parut pria itu sejenak, kemudian menjelajah ke tangannya lagi. Alexa menggenggamnya erat-erat, hingga dia terbantu untuk berdiri. Saat itu, dia menyadari pria ini sungguh besar. Mungkin lebih tinggi sedikit dari pendeta Enrico—bedanya pendeta Enrico agak kurus.

Pria itu tiba-tiba berlutut di hadapan Alexa dengan anggun. Satu kaki kanannya digunakan untuk menyangga. Kepalanya tertunduk menghormati Alexa, seakan-akan di hadapannya sekarang, berdiri seorang ratu.

“Hentikan…” sanggah Alexa gugup.

“Aku, Lord Bordock Incargot, memohon padamu, wahai keturunan terakhirku, Lamencia Incargot…” selanya memotong perkataan Alexa. “Biarlah aku memberikan penghormatanku untuk menunjukkan betapa besarnya dirimu di dalam tekad dan kesungguhan.”

Gadis itu tak tahu apa yang sedang dibicarakan pria di depannya. Dia tak kenal Lord Bordock. Dia baru tahu sekarang, itu adalah nama pria ini. Lagipula dia merasa dirinya bukanlah Lamencia Incargot. Hingga Alexa berpikir ini pasti sebuah kesalahpahaman.

“Tunggu, Tuan…bukan aku…”

Lord Bordock menghentikan ucapan Alexa dengan gerakan perlahannya untuk berdiri tegak kembali. Dia kembali pada pandangan tegasnya. Lord Bordock melepaskan genggaman perisainya begitu saja hingga lempengan besi tebal itu menancap dalam ke dalam pasir—sangat dalam, hingga Alexa bisa membayangkan betapa beratnya benda itu. Lalu kedua tangannya melepaskan sebuah kalung yang menggantung di balik pelindung lehernya. Lord Bordock mengangkat tangan kanan Alexa, untuk kemudian meletakkan gemericing kalung perak.

Kalung itu memiliki liontin berupa tiga bulan sabit yang saling menempel. Tiga sabit, untuk ketiga dimensi, bagi perdamaian seluruh dimensi. Alexa yang tertegun memandangi kalung itu, tak menyadari Lord Bordock telah lenyap dari hadapannya. Dirinya sendirian di tengah lebih dari miliyaran butiran pasir yang terbang tertiup hembusan udara.

………

Matanya terbuka.

Alexa menyadari dirinya tengah bersandar pada Kusko. Dia ingat saat Kusko datang untuk mengeluarkannya dari kamar mewah, bukan penjara. Penjaga yang keluar dari dalam tahanan untuk memberitahu hilangnya Alexa, hanya kebetulan saja berjalan melalui pintu penjara. Mayor Arbal ternyata benar-benar terpikat oleh pesonanya. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila terlambat beberapa jam Kusko membebaskannya.

Sepanjang jalan ini, Alexa hanya bisa melihat serpihan tanah berabu, tempat berdirinya pohon-pohon kering berbatang agak kehitam-hitaman. Hutan Kematian, karena abu-abu pembakaran mayat manusia ditebarkan di sini. Bila sampai menutup hampir seluruh tanah, bisa dibayangkan berapa banyak mayat manusia yang dibakar untuk menjadikannya seperti sekarang. Dengan abu-abu pembakaran ini, Hutan Kematian tidaklah menjadi subur sebagaimana seharusnya. Itulah dasar nama ‘Kematian’ atau Hutan Gorgoir, bila orang-orang tua di Mithrillia menyebutnya.

Tangannya serasa menggenggam sesuatu. Sesaat dia menengok ke balik selimutnya dan menemukan kalung yang sama persis seperti dalam mimpinya. Keterkejutan itu membuatnya bereaksi mendadak. Dia hampir saja jatuh bila lengan kiri Kusko tak menahannya tubuhnya dengan kuat.

“Setelah lama beristirahat, akhirnya matamu terbuka juga, Alexa,” sapa Kusko ramah. Tapi matanya tak berhenti menatap jalan ke depan.

“Sudah berapa lama aku tertidur?”

“Sejak kau terlelap di kereta kuda, Alexa. Itu sudah lama sekali. Kita dalam perjalanan ke tempat kediaman Elgar, Si Elf. Dia bisa memberitahumu apa saja yang ingin kau ketahui.”

“Sepertinya ada orang lain yang mengikutimu,” kata Alexa sambil mencoba menoleh ke belakang, tapi tertutup pundak Kusko.

“Mereka teman. Ivander dari Maya, dia sesamamu. Ada juga Cazar salah satu pejuang kebebasan. Aku bertemu dengan mereka di Benteng Sladur…”

“Dimana Bader?” tanya Alexa menyela.

Kusko terdiam dalam kebingungannya.

“Kusko?” ulang Alexa.

“Bader sudah kembali pada Dewa Lameth. Biarlah dia menemukan tempat yang tenang untuk beristirahat. Bukan di dunia yang penuh peperangan ini,” ujar Kusko perlahan.

Cukup bagi Alexa untuk mengerti maksud pengalihan bahasa dari Kusko. Dengan kata lain, kata-kata kepedihan itu telah dipelintir oleh Kusko.

Bader telah mati di Sladur.

Alexa menyandarkan wajah lusuhnya ke atas dada Kusko yang terbungkus jubah hitam tebal. Dia menggenggam erat kalung itu sambil berusaha untuk bernafas teratur. Tak disangkanya, itu adalah terakhir kalinya dia melihat wajah pria itu. Lampros Bader, nama yang akan membuatnya menyesal untuk waktu yang lama.

“Kau mengigau, Alexa. Kau berbicara di saat kau tertidur.”

Alexa tak menghiraukan kata-kata Kusko. Jelas sekali Kusko mengerti betapa besar trauma yang dialami Alexa malam itu.

“Aku mengerti, Alexa. Kau butuh waktu.”

Setelah lama menelusuri hutan, mereka tiba di tepiannya. Di depan mereka, sebuah jembatan kayu usang menanti. Kayu-kayu tua saling silang-menyilang membentuk kerangka jembatan yang mungkin tadinya kuat, namun kini hanya tersisa kejayaan masa lalunya saja.. Papan-papannya yang menjadi tapakan kaki juga tak jarang berlubang. Jembatan itu menghubungkan Hutan Kematian dengan bibir depan Lembah Gardner.

Memang jalur ini sangat jarang dilalui pengelana dan manusia-manusia kerajaan, sehingga seolah terlupakan pemeliharaannya. Lagipula nama Burandal cukup menakuti siapapun yang bermaksud memperbaiki jembatan ini. Kesan rapuh, ringkih, mudah patah. Siapapun pasti akan berpikir seperti itu saat melihatnya. Padahal di bawahnya terpampang sebuah sungai, Galbor, alirannya sangat deras dan berjeram. Di sungai itulah tempat Burandal memburu ikan-ikan mentah. Tinggi sekali jarak antara jembatan itu dan sungai Galbor. Sekali jatuh, matilah sudah.

0 comments:

Post a Comment