Tak hanya Éleon yang menyadari kenihilan Témpust di tempat itu.
Enrico tersadar, di seluruh tempat dia tak bisa menemui Témpust, padahal seharusnya Témpust memimpin peperangan ini. Dia juga sadar, pertarungannya dengan Klaha belum usai. Dia hanya agak mengendurkan perhatiannya pada Klaha. Makhluk itu sudah banyak menguras tenaga Enrico, hanya untuk menembus kulitnya yang sekeras beton. Lebih banyak bertahan, fokus pada pengembalian energi, sambil mencari kelemahan Klaha. Pelahan tenaganya kembali. Meskipun kelemahan Klaha belum ditemukan, Enrico akan menyerang lagi, mungkin hingga Klaha kelelahan, atau hingga tenaganya habis lagi. Dia mulai menikmati pertempuran ini, sebagaimana yang dirinya lakukan di saat masa-masa keemasannya.
Tapi pikiran itu terus membawanya pada kecemasan.
Mungkinkah sesuatu yang buruk akan terjadi setelah ini?
Sesekali pandangannya berhasil menangkap pemandangan yang meyakinkan kekhawatirannya. Wajah Éleon yang terlihat, tak ubahnya menyiratkan pemikiran yang persis dengannya. Tak ada waktu lama bagi Enrico untuk memikirkan hal semacam itu. Si gila Klaha sudah menyerbu membabi buta. Puing-puing batu berhamburan, menyebar debu-debu hingga pandangan keduanya buyar. Tangan-tangan Klaha tetap tak mau berhenti sampai di situ.
“Kalian yang akan jatuh! Kalian semua!” geram monster itu.
“Hentikan omong kosongmu itu! Akan kubalaskan perlakuanmu pada Deven!”
Saat pertarungan dua makhluk hebat itu berlangsung, sangkakala Comdred berbunyi nyaring. Tak ada apapun, tak ada siapapun yang bisa menghalangi kapal-kapal baru itu merapat ke dermaga Eagle Harbour. Para pengusung meriam telah berpegang pada sebilah pedangnya masing-masing di atas tanah. Tak ada letusan untuk menggempur. Para pejuang sudah letih bila harus melayani pasukan baru dari Benua Tengah, pasukan persekutuan itu merepotkan.
Lagi dan lagi.
Kegagalan itu tampak jelas, seperti sudah diramalkan di hadapan mereka. Kegigihan itu diuji dengan kedatangan dua ribu lima ratus manusia pengusung nama Lord Demetria Avalen di dadanya. Kali ini benar-benar manusia. Entah apa maksudnya mereka itu mengirim banyak manusia, di saat Abodh sebenarnya lebih merepotkan untuk ditangani pejuang-pejuang.
Éleon menarik nafasnya dalam-dalam. Tangannya bergetar hebat. Guncangan itu merambat menuju jantungnya. Pejuang kebebasan memang belum berkurang banyak, tapi melawan orang yang jumlahnya sepuluh kali lipat dari mereka, itu nyaris mustahil baginya. Dengan mata terpejam dan gelengan kepala menebas pikiran itu, dia maju menyerbu rombongan baru itu dengan teriakan keras.
“Usir mereka dari tanah kita!!!”
Seratus tiga puluh yang tersisa dari dua ratus orang di pihak pejuang kebebasan. Di sisi lain, jumlah penyerang Abodh telah menyentuh angka seratus. Sesuatu yang sebenarnya sudah dapat dianggap sebagai sebuah keajaiban dalam perang antara manusia dan ras lain.
Dua puluh pemanah didikan Cazar Balamug bersiaga di atas menara-menara di sepanjang jalan Eagle Harbour. Mereka terus menghujani serdadu Comdred dengan panah-panah bermata ulir. Sekali tali busur dilepaskan, panah itu akan berputar deras, mengoyak-ngoyak lapisan otot Abodh yang begitu tebal. Berdasarkan pemikiran Témpust, panah itulah yang terus mereka gunakan hingga kini, termasuk saat Témpust menancapkan panahnya ke tangan Demetria di kemah para bandit.
Kini serdadu Benua Tengah-lah yang menjadi sasaran mereka. Kesigapan para pemanah melahirkan sebuah serangan pembuka yang menewaskan dua puluh musuh baru. Bak hujan, kayu-kayu tipi situ terus mengalir, menghujam tanah. Dari atas, mereka bisa melihat keberanian seorang Hamanidiosalfar bernama Éleonais Markourith untuk memimpin rekannya menyerbu ke dermaga. Para pemanah tahu mereka harus menamatkan riwayat para Abodh terlebih dahulu. Target mereka kini adalah seratus Abodh yang tersisa.
Di dermaga, terpisah jauh dari Enrico, Éleon mengibaskan pedangnya untuk memutus kehidupan ribuan musuhnya. Teriakan musuh di depannya terdengar seperti deru ombak raksasa dari laut. Namun erangan serdadu-serdadu itu sama sekali tak melunturkan degupan amarahnya. Tak ada mulut yang memungkiri kehebatannya dalam berpedang. Kecekatannya sebagai manusia setengah Elf telah melahirkan kemampuan berpedang yang melebihi manusia normal. Bersama pedang dengan dua sisi mata, yang gagangnya dibalut kain putih itu, dia menghajar sepuluh orang secara beruntun. Mereka berjatuhan bagai domino yang tersentuh jari tangan. Bukan wajah lelah yang tergambar di wajah Éleon, hanya ada kecemasan yang berlarut-larut.
Dimana Témpust? Mengapa dia belum juga kembali?
Hatinya selalu terbeban untuk memikirkan itu. Dia tak bisa terlalu lama terpaku pada sekelibat masalah yang membuat hatinya bisa begitu gusar. Rasanya seluruh pejuang kebebasan juga sudah mulai menyadari ketidakberadaan Témpust di tempat itu. Bukan karena mereka benar-benar melihat pria itu pergi, namun teriakan Éleon barusan telah menyadarkan mereka. Seharusnya seorang Témpust yang melakukan itu, bukan Éleonais Baldmur, walaupun dengan segala alasan posisinya sebagai pimpinan Eagle Harbour. Di sini, semua pejuang kebebasan berkumpul, dan pimpinan mereka kini hanya satu, Lampros Témpust keturunan Panglima Besar Kertest. Tapi orang-orang itu secepatnya sadar kalau Éleon melakukannya demi mereka, demi membakar semangat mereka yang sudah mulai tertimbun keletihan. Mereka bingung apakah harus kecewa terhadap Témpust yang pergi tanpa berkata apapun pada mereka. Kini tak ada waktu bagi mereka, sebab masih ada seribu sembilan ratusan manusia yang harus mereka babat habis.
“Panah api, bersiap!” teriak komando dari atas menara.
Titus Vallam menahan kata-kata komando di mulutnya untuk diluncurkan di saat yang tepat.
Tangan-tangan terlatih dari tiap menara membidik kapal terakhir berisi enam ratusan manusia untuk menggenapi dua ribu pasukan manusia. Kapal itu mulai mendekati dermaga untuk menurunkan kematian pada para pejuang kebebasan.
“Lepaskan!”
Desingan-desingan puluhan anak panah itu pun melesat kencang, menyambar kemapanan kapal itu. Layar mereka mulai dihinggapi lidah-lidah api dari panah-panah kurus, terus melalap sampai ke tiang-tiang kayunya. Seluruh penghuni kapal itu panik dan berhamburan ke laut. Sebagian dari mereka terbakar, sambil mengerang-ngerang kepanasan. Sebagian lagi mati tertembus panah, sebelum tubuhnya mencapai lautan. Kapal itu pun hampir sepenuhnya dijatuhkan. Tapi lebih dari separuhnya selamat, mereka tengah merenangi sisa lautan di antara kapal dan dermaga.
Pasukan musuh dari kapal nomor dua adalah bantuan dari pihak benua Barat yang dikenal dengan pelatihan pedang terbaik. Mereka lihai, walaupun tak selihai Éleon. Tubuh mereka dilapisi jubah tempur hitam mengkilat, dari bahu, dada, hingga kaki. Bagian yang tak terlindungi amor dibalut oleh seragam biru muda, dengan garis merah di ujung-ujungnya. Pelindung kepala mereka hanya menyisakan mata-mata bengis yang tersingkap. Mereka memakai pedang lurus dengan gerigi hanya di awal mata pedang. Segulungan kain hitam terikat di masing-masing lengan kiri mereka, sebagai pertanda persekutuan dengan benteng Comdred.
Éleon melihat itu sebagai sebuah bahaya besar. Mereka harus dihalau, setidak-tidaknya mengurangi jumlah mereka akan sangat baik untuk dia dan pasukannya. Dia ingat obor-obor di Eagle Harbour memakai minyak dari kulit pohon Gatte yang mudah terbakar, begitu pula anak-anak panah yang ditembakkan barusan. Minyak itu sulit sekali dihilangkan bila tersentuh di tangan. Mungkin ini akan berhasil menghalau lima ratusan serdadu yang tersisa.
Tujuh orang pejuang kebebasan membuka jalan menuju dermaga, mereka mengawal dua puluh tong berisi getah pohon gatte yang dibopong meuju dermaga. Éleon adalah salah satunya, dia bahkan berdiri paling depan. Tanpa ampun, dihabisinya para penghalang jalan, sesekali Éleon melempar mayat mereka ke laut, sambil terus mengerang. Tarian pedang ketujuh orang itu meninggalkan celah kosong untuk dilalui, mereka menapak cepat ke tepian dermaga.
“Buka, celupkan pedang kalian!” perintah Éleon sambil menjagai mereka dari datangnya serangan lanjutan.
“Untuk apa? Ini bahkan bisa membakar tangan kami,” gemetar salah seorang di antaranya, meskipun dia menurut juga untuk membukanya.
“Menyediakan penyambutan untuk mereka, Saudaraku. Lagipula, aku lebih rela kehilangan tanganku daripada harus terpenggal di sini.” Éleon menyelesaikan tebasan terakhir, satu tubuh tak bernyawa tergeletak di depannya. Kemudian dia berjalan ke belakang, menghampiri tong di samping si penanya. Sambil menenggelamkan mata pedangnya ke dalam getah gatte, Éleon berujar sinis, “Apa itu menjadi masalah jika hanya mata pedangnya saja, Tuan Pejuang?”
Lawan bicaranya menggeleng gemetar, rasanya dia lebih takut pada Éleon, dibandingkan ribuan musuh-musuhnya.
“Bagus,” senyumnya datar. “Kalian semua, lakukan seperti apa yang kulakukan!” perintahnya pada dua puluh enam pejuang lain.
Tanpa banyak percakapan lanjutan, mereka menurut saja. Lempengan-lempengan logan tajam itu dicelupkan, perlahan-lahan diangkat agar tidak menetes ke tangan mereka.
“Éleon, lalu akan diapakan sisanya?”
“Tuang ke dinding dermaga, buang ke laut,” jawabnya sembari menghantam datangnya serdadu lain dengan ujung gagang pedang. Éleon tak tampak ingin menyia-nyiakan getah Gatte di mata pedangnya.
Gemercik getah kental itupun terdengar. Perlahan namun pasti permukaan air laut berubah warna, dipenuhi kilapan minyak, bercampur dengan sedikit warna kemerah-merahan—dari getah Gatte, juga warna darah para penyerbu.
“Cukup, jangan tuang semuanya,” cegah Éleon. “Aku ingin penyambutan yang lebih meriah,” ujarnya dengan senyum percaya diri, saat tinggal empat tong yang tersisa.
Empat tong itu ditinggalkan begitu saja di pinggir-pinggir dermaga. Serentak mereka mundur ke tengah Eagle Harbour. Sesekali Éleon menghentikan derapan sepatunya, dia menengok ke belakang untuk memastikan musuhnya berenang ke arah yang tepat. Mereka tak mungkin memutar, terlalu jauh, mereka pasti tak ingin membuang tenaga. Begitu pikirnya, hingga dia memutuskan untuk mencemari jalur terdekat.
Tampaknya serdadu-serdadu itu mengikuti apa yang diinginkan Éleon. Satu persatu kuku-kuku besi menancap di tepi-tepi dermaga, diikuti oleh tambang panjang menuju ke laut. Meskipun tergelincir jatuh oleh licinnya dinding, gerombolan serdadu itu tetap berusaha memijak kaki-kaki mereka sampai ke atas dermaga. Tak berapa lama, tepian dermaga disesaki oleh para serdadu.
Éleon tersenyum puas. Kemudian dia berteriak amat keras, “Menara!! Lepaskan panah-panah api ke dermaga!!” sambil menunjuk kerumunan itu dengan pedangnya.
Tanpa menunggu lama, Titus Vallam mengalihkan serangannya seperti yang Éleon minta. Puluhan anak panah segera menghujani ujung dermaga. Para serdadu berhamburan panik. Saat tubuh serdadu lain mulai terbakar, mereka sadar, mereka telah terperangkap jebakan Éleon–sebab Éleon tahu, pohon Gatte tidak pernah ada di Benua Barat, mustahil serdadu Benua Barat mengenalnya, dia tahu itu sejak mengamati warna baju perang mereka.
Salah satu anak panah berjalan sesuai kehendak Éleon, menancap di tong-tong yang ditinggalkannya.
Dari kejauhan Éleon lega melihatnya, ledakan besar menggaungkan suara yang memecah-belah pasukan musuh di dermaga. Ledakan itu melempar banyak musuh kembali ke lautan. Kobaran api dengan cepat merambat ke sela-sela siraman getah di dinding dermaga, membakar serdadu yang tengah memanjat, bahkan mengobarkan api di lautan. Rintihan mereka seakan mendominasi riuhnya pertempuran Eagle Harbour. Mata Éleon terus mengamati kejadian itu, dia sadar beberapa musuhnya berhasil lolos dari ledakan itu—tapi tidak dari getah Gatte.
Dia berbalik arah, Éleon kembali ke arah dermaga, memburu sisa-sisa serdadu. Hujan anak panah api masih belum berhenti, namun Éleon terus mendekat ke area serangan, tanpa memberikan tanda untuk berhenti pada pemanah–pemanah di menara.
“Titus! Titus!” ujar salah seorang pemanah dari menara lain gelagapan. Jilatan api di ujung panahnya langsung dicelupkan ke dalam ember kayu berisi air. Dia melihat Éleon di sana. “Itu pimpinan! Dia bisa kena!”
Titus terdiam, dia mengendurkan kembali tali busurnya. “Astaga, kau benar…” ucapnya terkejut, sekaligus bertanya-tanya di dalam pikirannya. “Mau apa orang gila itu?”
Melihat Titus berhenti, yang lainnya pun tak lagi meluncurkan anak panah.
Dari menara itu, tangan Éleon tampak seperti batang lidi, namun jelas sekali tangannya menunjuk ke langit sambil menghunus pedang. Sejenak Titus diam berpikir, apakah itu sebuah isyarat, atau hanya luapan emosi Éleon semata. Nyatanya Éleon terus menahan posisi pedangnya seperti itu, sampai Titus membulatkan tebakannya. Dia tersenyum heran, sambil menggelengkan kepala, lalu dengan sedikit percikan dari obor yang tergantung di tiang menara, dia mengobarkan kembali api di anak panahnya. Alisnya mengernyit tajam, sebelah matanya ditutup rapat-rapat, sambil menahan nafasnya, bukan membidik musuh melainkan Éleon.
Siapapun atas menara, meskipun tidak melihat dari sudut pandang Titus, pasti akan mengerti juga apa target dari panah Titus.
“Titus! Kau ini gila atau apa?” sergap seseorang dari seberang menara dengan semburan kata-katanya.
“Gila…” gumam Titus tak serius sambil terus tersenyum. “Tahukah kau siapa yang lebih gila daripadaku?” ujarnya sedikit lebih keras. Sepertiya bidikan Titus sudah mantap, dia tak ingin diganggu dulu saat ini.
Pemanah lainnya tetap mencegah bidikan Titus. “Bodoh! Kau membahayakan Éleon, turunkan busurmu!”
Titus terkekeh kecil, hanya sekali, sebab dia tak ingin tangannya berguncang terlalu banyak. “Tepat sekali!” teriaknya sesaat setelah anak panah terlepas dari tangan. Hatinya hanya berharap, semoga benar-benar tepat.
Tangan Éleon bergetar, pedangnya agak terpental ke depan. Saat itu dia sadar, pedangnya sudah menyala-nyala, kobaran api tersulut dari anak panah Titus yang datang menyambar. Tak berselang lama, medan pertempuran baru kini mengepungnya, antara tiga ratus orang melawan satu. Éleon menyergap satu orang dengan hujaman lurus dari atas, sayangnya serangan itu masih dipatahkan oleh tangkisan pedang. Éleon mengibasnya lagi, kali ini secepat kilat pedangnya sudah mengoyak bagian dada sang musuh, darah memancar seiring api merambat. Kemudian kakinya mendorong orang itu jauh-jauh, dua-tiga orang bertubrukan dengannya, api menyala lebih besar lagi.
“Berkobarlah, berkobarlah!” teriak Titus sambil tertawa puas, dia lega anak panahnya tidak melenceng.
Bala bantuan datang melapis Éleon. Mereka berlari tergopoh-gopoh, berteriak membakar semangat, sampai semua perasaan kecut itu lenyap tak tersisa. Éleon meluruskan pedangnya, sebagian dari mereka membenturkan pedangnya ke sana agar api merambat, sebagian lagi mengambil api dari sisa pembantaian Éleon. Maka berkobarlah pedang-pedang lain. Api itu terus terjalin, hingga dua puluh tujuh orang berpedang api berhasil mengobrak-abrik tiga ratus serdadu yang tersisa.
Kurang lebih satu jam berlalu, getah pohon Gatte benar-benar efektif, pertempuran di tepian dermaga selesai. Éleon tak percaya ini, tapi mereka benar-benar telah mengakhiri nyawa tiga ratus orang, hanya dengan jumlah pejuang sekecil ini. Hanya sesaat dia menghembus nafas lega, pikirannya langsung terusik.
Apakah ini tidak terlalu mudah?
Éleon terdiam sejenak, di antara kobaran api dari mayat-mayat sekutu Benua Barat yang bergelimpangan di sekelilingnya. Salah satunya telah padam, sama seperti padamnya pedang Éleon. Pria itu lekas mendekati. Sebilah belati ditariknya dari balik pinggang, sesuatu mendorongnya untuk membuka armor mayat ini. Sedikit-demi sedikit, pikiran Éleon terhujami suara-suara desingan anak panah dan kobaran api yang terus menggema berulang-ulang. Mayat ini terlalu kurus, dia terlalu kurus untuk menjadi seorang serdadu persekutuan Benua. Éleon bisa melihat goresan-goresan luka di dadanya, seperti cambuk, bekas luka yang saling timpa-menimpa. Dengan penuh ketergesa-gesaan, dia beralih pada mayat lain, ke yang lain lagi, kemudian berpindah lagi, sampai dia menyerah. Éleon tak lagi sanggup untuk mengelak, goresan luka pada mayat-mayat itu serupa, bagaimanapun Éleon coba menyangkalnya.
“Oh, Frey…” gumamnya terhenyak. “Ampuni aku, ampuni kami…”
Rasanya ingin sekali dia menarik kembali juntaian tali-tali waktu, kembali pada saat sangkakala kedatangan kapal itu berkumandang, jauh sebelum nafsu membunuhnya terumbar. Tapi dengan tangan itu, tangan yang ia pandangi sekarang, dia hanya bisa meratap gemetar. Éleon tersungkur menatap lantai batu dengan rona-rona tetesan darah, tangannya gemetar, nafasnya memburu begitu hebatnya. Baru saja dia membantai ratusan manusia tak berdosa. Dengan tubuh sekurus itu, dia yakin, mereka hanyalah rakyat miskin yang diperalat oleh seseorang di balik sana—seseorang yang merencanakan penyerangan ini.
“Pimpinan! Kembali ke kota, mereka butuh bantuan!” teriak bawahannya, dia berdiri jauh penglihatan kusam Éleon, di tepi-tepi bangunan dari Eagle Harbour, dimana asap-asap putih mengepul tipis, disusul teriakan-teriakan—bukan teriakan pembakar semangat, tapi jeritan kekalahan.
Dia tak tahu berapa lama dihabiskannya dalam lamunan, hanya berdiri diam memandangi kota. Pihaknya yang berada dalam kondisi terjepit, sebuah kenyataan pahit. Keberhasilan barusan mungkin hanyalah hiburan dari dewa Theon yang sudah meramalkan kekalahan mereka dari awal.
Mungkinkah ini akhir dari perjuangan kami?
Sejenak dia mengadahkan kepala ke langit, memohon kehadiran Valkyrie di pihak mereka sekarang.
Semilir angin berhembus tak lebih dari tiga detik, mengibaskan satu persatu helaian rambutnya yang lengket oleh darah, terasa dingin saat merambati tubuh yang diselimuti peluh.. Dia terkejut setengah mati, Éleon hampir lupa tentang hal yang satu ini. Angin itu datang membawa kabar, kehadiran mereka yang terkutuk. Desirannya menyisir seluruh penjuru Eagle Harbour hingga ke dermaga pertarungan. Untuk beberapa saat pertempuran Enrico dan Klaha berhenti. Mereka sadar ada sesuatu yang tak pernah mereka temui di dimensi Maya. Sesuatu itu kini akan menyambangi tempat itu.
Suara jeritan tipis dan parau terdengar melengking hingga ke arena pertempuran.
Pertempuran panas itu terhenti beberapa saat. Jeritan itu membuat ratusan pasang mata terpaku ke sela-sela kegelapan hutan. Mereka menanti perwujudan dari suara mengerikan itu. Semua suara seakan sepakat untuk diam tanpa perintah. Ricuh akibat perang berganti irama jantung yang berpadu kacau. Bulu kuduk mereka mulai digerayangi kengerian sebab suara itu terdengar lagi.
Tak hanya sekali, berkali-kali.
“Experta Warcouranta!!!” menyusul sebuah jeritan serak yang terdengar memimpin seluruh jeritan-jeritan lainnya. Setelahnya terdengar sahutan mengerikan menderu-deru.
Sekelebat bayangan-bayangan hitam melesat cepat tanpa mampu terlihat jelas oleh manusia-manusia itu. Mereka berhamburan keluar dari sela-sela pohon rindang berdaun tebal, bak sekawanan burung gagak yang matanya terbelalak oleh ladang jagung. Mereka datang seperti untaian pedang-pedang yang memutuskan leher siapapun musuh mereka. Suara-suara mencekam itu menggetarkan keberanian kedua pihak. Par Aztandor berhamburan ke arah yang tak menentu, seperti capung dan menerjang mangsa secepat seekor elang.
Éleon menatapnya tanpa sekalipun berkedip..
Dia berdiri tegak dengan tangan memegang pedang, genggamannya bergetar penuh ketakutan. Baru kali ini dia dan matanya menyaksikan sendiri kehebatan Aztandor yang melegenda.
Bayangan-bayangan hitam itu meliuk-liuk di udara, lalu menghantam setiap musuh-musuh mereka. Seketika itulah, seluruh pejuang kebebasan tahu Aztandor berdiri di pihak mereka. Tangan-tangan kering para Aztandor menyergapi setiap wajah musuhnya, kemudian menarik keluar jiwa-jiwa mereka. Tubuh-tubuh kosong itu berjatuhan tanpa luka fisik dari Aztandor. Satu persatu bala tentara musuh mengalaminya. Pasukan pimpinan Klaha mengambil langkah seribu, mereka panik, sampai tak ada komando yang berani mengatur.
Semudah itulah Kaum Berjubah Hitam menanggalkan nyawa seseorang.
Para pejuang kebebasan hanya bisa diam di tempat mereka berdiri, sambil memandangi pemandangan itu. Berpasang-pasang mata mengikuti terus kelanjutan pembantaian itu. Hingga kini, barulah manusia-manusia dari pihak musuh memberanikan diri untuk memberikan perlawanan serius. Terlihatlah kelemahan yang nyata dari Aztandor. Meskipun mereka seperti iblis, malaikat pencabut nyawa, atau apapun itu, tapi di sisi lain, tubuh mereka adalah tubuh manusia, mereka masih mungkin diserang oleh tajamnya pedang dan tusukan anak panah. Namun biar bagaimanapun, para Aztandor masih sedikit lebih beruntung, mereka bisa terbang selincah seekor lalat, lagipula mereka tak bisa mati.
Klaha memisahkan pertempurannya dengan Enrico. Dia lebih sibuk menghardik gerombolan kain-kain hitam yang mengerubunginya. Ini bukanlah saat untuk menyerang Klaha, di saat dia sibuk. Tapi Enrico sadar ini saatnya untuk mundur sejenak dan mengisi kembali tenaganya. Lagi-lagi usia, dia kesal dengan hal yang membuatnya semakin lemah itu. Terpaksa dia turuti kehendak tubuhnya.
Para pejuang yang tercengang dikejutkan lagi oleh suara derap kuda dari balik hutan. Mereka tahu suara tapal sekuat ini adalah milik Vacour, kuda milik pimpinan pejuang kebebasan, Lampros Témpust. Bayangan hitam kanopi hutan perlahan memudar saat cahaya matahari memperlihatkan wajah terburu-buru Témpust. Kedatangannya disambut wajah lega para pejuang. Tanpa banyak kata, dia menghampiri Éleon yang tak menyadari kehadirannya.
“Maaf, kurasa kau tahu kemana perginya diriku,” ujarnya sedikit mengagetkan Éleon.
“Para Aztandor, Témpust. Mereka di pihak kita. Perjanjian apa yang telah kalian sepakati?” tanya Éleon cemas.
“Tak akan merugikan kita, Éleon.”
Datanglah pendeta berambut keperakan bernama Enrico di antara mereka.
“Kegilaan ini, Témpust. Aku harap sesuatu yang buruk tak akan menularimu dan seluruh pejuangmu,” tegas Enrico, alisnya berkerut.
“Kau akan sadari pentingnya hal ini saat kau berada di posisiku…” jawab Témpust tersela, kata-kata itu terhenti oleh gerakan kecil tangan Éleon yang seakan berkata, tenanglah sesaat.
Sebab saat itu mendadak Éleon merasakan sebuah kegelapan segera menyusul kehadiran para Aztandor. Dia pikir itu memang berasal dari Aztandor, tapi mengapa jantungnya lebih kuat berdetak saat ini, dia bertanya-tanya apakah ada lagi tamu-tamu yang tak diundang. Akhirnya dia meyakinkan diri kalau ini adalah kegelapan yang berbeda dengan apa yang digiring oleh para Aztandor. Wajahnya terlihat bingung.
“Kalian bisa merasakannya?”
Enrico dan Témpust mengernyitkan alis mereka hampir bersamaan. Mereka heran mengapa Éleon terus menatap aneh pada lautan luas di hadapan mereka.
“Suara-suara itu, kekuatan hitam yang lebih dahsyat dari para Aztandor. Mungkinkah mereka juga adalah kerabat para Aztandor yang datang menyusul?” tanya Éleon dengan nada menggantung.
Di saat kebingungan Éleon itu, situasi telah berbalik. Pejuang kebebasan terbebas dari kepungan manusia-manusia penyerang. Para Aztandor telah membersihkan keberadaan mereka dengan sempurna. Kini, hanya tinggal menunggu waktu bagi Qasfar untuk menagih janji dari Témpust. Impian memiliki tubuh baru yang lebih kuat sudah menanti di hadapan mata-mata hitam para Aztandor. Pemimpin dari kaum Aztandor itu menatap puas bagi hasil pekerjaannya. Seluruh tubuh yang telah jatuh ini, adalah milik kaumnya.
Sampai…
Aliran kekuatan di luar nalar mengalir melewati penerawangan Éleon. Kekuatan itu bagaikan ribuan kuda kekar yang berlari menerobos jurang kematian. Mendadak batas antara kehidupan dan kematian dilanggar. Kehidupan berhembus ke dalam pusaran medan perang ini, terbawa kegelapan yang disadari Éleon sejak tadi. Mayat-mayat musuh yang telah kehilangan nyawanya mulai berdiri lemah, dan dengan amat perlahan mengangkat kembali pedang-pedang mereka. Satu persatu korban dari para Aztandor mulai menapaki tanah dengan kaki mereka sendiri, walaupun tak ada nyawa di dalam tubuh mereka. Qasfar menyadari ada yang aneh dari kejadian ini. Manteranya tak mungkin salah. Jika begitu, dia pun tak bisa menerima ada kekuatan sebesar itu, kekuatan yang menggerakan ratusan mayat untuk bangkit kembali.
“Apa-apaan ini?” ujar Témpust. Dia menarik keluar Broad Sword dari sarung di pinggangnya.
Enrico tersentak oleh ingatannya beberapa hari yang lalu. Mayat-mayat hidup yang dia temukan di dimensi Maya, dia tak yakin apakah mayat-mayat hidup itu sama seperti yang dia lihat sekarang. Kekuatan gelap yang membungkus mereka memang terlihat serupa.
“Kurasa aku sudah biasa menghadapi hal-hal semacam ini. Cukup belah saja kepala mereka dan erangan-erangan memuakkan itu akan terhenti,” ujarnya kesal.
“Mataku telah menyadarinya, ikatan tubuh mereka dengan Benteng Tengah. Mereka tak akan mati sebelum sesuatu yang mengendalikan mereka di ujung lautan sana mengakui kekalahan armadanya kali ini,” ujar Éleon pelan.
“Maksudmu tidak cukup hanya dengan kepala?” ulang Enrico.
“Jika kau ingin mencobanya, aku tak akan melarangmu,” jawab Éleon. “Kita juga tak bisa hanya diam di sini dan menanti penyihir itu kelelahan dengan manteranya, bukan?”
“Sebaiknya penyihir itu sudah terlalu tua untuk bisa menahan makhluk-makhluk ini dalam waktu yang lama,” timpal Témpust.
Dengan penglihatan perinya, Éleon mampu melihat kuasa magis dalam setiap tubuh tak bernyawa ini. Tangan-tangan kekelaman yang menggenggam tubuh mereka bagai boneka. Dia juga bisa melihat bagaimana para penjemput nyawa, kaum phantom, berlalu dari tempat ini karena tugas mereka menjemput arwah telah selesai. Orang-orang ini benar-benar dikendalikan sepenuhnya oleh kegelapan. Kekuatan sihir itu menyebrangi ratusan kilometer antara dua benua. Jauh di ujung sana, di Comdred Fortress, dipastikan seseorang dari sebuah kaum, sedang menggerakkan jari-jemarinya di atas sebuah penglihatan akan pertempuran ini.
Salah satu Aztandor terbang cepat dan berhenti mendadak di depan Témpust.
“Kau tak katakan apapun tentang ikatan kuat Avalen di tubuh mereka!” protesnya. Suara itu menunjukkan kepanikan seorang Qasfar.
“Jika pun aku tahu, kau pasti telah mengetahuinya juga, Qasfar!”
“Avalen? Demi Theon, bukankah itu berarti seorang muda Avalen yang mengendalikannya?” sentak Éleon cemas. “Pernahkah kau lihat seorang Demetria membangkitkan orang mati, Témpust?”
“Hingga kini, inilah kali pertama aku mendengus nama Avalen dalam kematian. Ada orang lain yang bernama Avalen, dia yang melakukan semua ini,” ujar Témpust mencoba berpikir dan mengingat-ingat semua yang terjadi antara dia dan Demetria.
Témpust tak bisa melepaskan matanya dari para mayat hidup yang mulai menikmati kehidupan mereka kembali. Mata-mata kemerahan itu memandangi tangan-tangan mereka dengan takjub. Anugerah kehidupan kembali, yang selayaknya membuat mereka kegirangan.
“Jika legenda yang selama ini berhembus tentang keturunan Azatur Bardiel adalah benar. Semua tentang ketangkasan mereka dalam peperangan, semua keberingasan mereka, lebih baik itu kau nyatakan sekarang, Qasfar,” ujar Témpust pada Qasfar.
Qasfar merasa tersanjung, bersamaan dengan maksud Témpust menyinggungnya, tepat dia sadari pula. “Aku ingat, Lampros Témpust. Semua. Iya benar, semua,” katanya pelan, tanpa memandang ketiga orang itu.
“Aku tak bisa katakan kalau aku membatalkan semua itu,” jawab Témpust berharap penuh pada Qasfar. Sudah amat jelas raut Témpust dipenuhi frustasi dangkal yang perlahan makin dalam.
“Semua? Témpust, apa maksudmu dengan semua?” sela Éleon.
Témpust hanya memperlihatkan wajahnya sejenak pada Éleon. Matanya begitu serius, seakan dia meminta Éleon untuk tak menanyakan hal itu lagi. Témpust meninggalkan Éleon untuk memasuki pertempuran itu lagi. Qasfar juga memandang Éleon, namun dia tersenyum menyeringai, tawa serak yang memualkan bagi Éleon.
“Hamanidiosalfar, sungguh malang bagimu untuk terperangkap di sini. Kaumku jauh lebih berkuasa daripada kaummu,” sindirnya dengan nada remeh. “Perpaduan keangkuhan seorang Elf dan kefanaan seorang manusia. Matilah kau selekas mungkin.”
Qasfar lekas melayang kembali ke udara. Kaum itu melanjutkan apa yang mereka mulai, walaupun mereka membabi buta tanpa tahu apakah ini bisa diakhiri atau tidak. Kali ini pertarungan mereka imbang—antara Aztandor yang tak bisa mati dan mayat hidup tanpa nyawa.
Kata-kata itu menusuk dalam di lubuk hati Éleon. Dia benci mengakui itu, tapi kebenaranlah yang mengalir dari mulut kering busuk Qasfar. Dia juga sadari, pikirannya sekarang menghambatnya untuk beraksi kembali, sementara dia mengetahui dirinya sendirian di tempatnya berdiri. Enrico dan Témpust sudah mengayunkan senjata-senjata mereka di tempat lain.
Éleon menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Kemudian dia memantapkan hati untuk melupakan kata-kata Qasfar. Jalan hidup ini, dialah yang memilih jalan hidup seperti ini, demi menyadarkan kaum Ljosalfar bahwa kaum setengah manusia memiliki tekad untuk bersatu kembali dengan mereka. Hampir saja semangatnya dirusak oleh kalimat rendahan semacam itu.
Ravalanta, Ravalanta, Hálanta!
Ravalant ei im Gorgomur!
Eferof feli im Midianor
Eferof feli im Midianor!
Éleon dapat merasakannya. Mantera itu sambung menyambung menembus batasan tempat. Telinga-telinga musuh dengan mudah menangkapnya, jauh lebih baik dari samar-samar pendengarannya.
Harga diri mendorongnya untuk maju kembali.
Dia dan kebanggaan atas darah Elf, keturunan Markourith terakhir yang masih bertahan di lahan manusia, juga merupakan satu-satunya keturunan Markourith yang bercampur dengan tali kekerabatan manusia. Ibunya adalah seorang Lady, Deaneth Markourith, dan ayahnya hanyalah seorang pengembara, Ierick Baldmur. Mereka berdua bertemu di saat peperangan tengah berkecamuk, dalam kunjungan seorang Ierick ke tanah awal Elf, Lamarka.
Éleonais lahir di Lamarka. Hanya sekedipan mata ia bisa menikmati kasih sayang orangtuanya, hingga satu persatu dari mereka meninggalkan Éleon. Ierick Baldmur, mati dalam tugasnya sebagai pengantar pesan, dan Deaneth Markourith terpaksa mengikuti takdirnya sebagai Elf untuk menyepi ke Anabalheim, meninggalkan tanah Lamarka. Sejak hari itu, dia bersumpah, suatu saat kaum Ljosalfar akan menyesal telah meninggalkan mereka.
Éleon menyerbu mayat-mayat hidup itu, bersama pejuang yang tersisa, bersama Témpust, bersama Enrico, dia sadar dirinya tak sendiri dalam pertempuran ini. Untuk kali ini saja, dia berusaha keras untuk bekerja sama dengan Aztandor yang begitu dibencinya.
Satu persatu mereka berhasil dijatuhkan tanpa erangan selayaknya manusia hidup. Kenyataan mendasar bahwa mereka tak lagi bernyawa membuat tubuh-tubuh itu bangkit terus-menerus, meski tubuh mereka sudah tak berbentuk lagi. Darah mereka akan terus menetes, menyembur, namun tak akan ada kalimat kehabisan darah yang membuat kematian datang. Cipratan-cipratan amis itu hanya menggenangi permukaan lantai batu yang mereka pijak.
Lalu tiba-tiba mereka menjadi lincah, gesit, dan tidak lagi bergerak seperti idiot. Penyebabnya tidak lain adalah rangkaian mantera berbeda yang diperdengarkan dari Benua Tengah. Éleon yakin yang didengarnya barusan, berbeda dengan mantera yang menggaung saat mayat-mayat itu pertama kali dibangkitkan. Emosi dalam mantera itu terasa lebih kuat dari tekad para pejuang sekarang. Éleon tahu penekanan-penekanan intonasi khas yang dia dengar, bukanlah sembarang kalimat-kalimat mantera dasar dari dalam sebuah gulungan. Gulungan apapun itu.
Alcantarra, bei dea hamani
Gotfert im Gorgomur
Vallias la worpeluf
Ravalanta, Ravalanta!
“Apa yang kaummu lakukan di saat seperti ini, Hai Qasfar?” teriak Témpust. “Mereka tak bisa mati!” katanya menghadap ke langit.
Qasfar menatap bengis pada Témpust. Kemudian dengan penuh emosi dia mengacak-acak mayat-mayat hidup itu. Semua usaha itu hanya berakhir sia-sia.
Begitupun keyakinan Enrico akan ‘keampuhan kepala’ itu, menjadi tiada berarti. Mayat-mayat hidup ini berbeda. Bahkan mereka tak bernafsu untuk makan. Mereka tak inginkan daging-daging liat para pejuang. Mereka hanya bergerombol untuk membunuhnya, dengan sisa-sisa ketangkasan seorang manusia.
Lalu dimana Klaha?
Kepalanya menoleh cepat, matanya mencari-cari keberadaan makhluk besar itu. Dia sudah tak terlihat lagi sejak kepanikan besar itu terjadi.
Sial, bagaimana mungkin aku bisa berada dalam kungkungan kegelapan sedemikian dalamnya?
Kali ini, Enrico terpaksa meletakkan dulu hal-hal semacam itu. Bukan dia yang menentukan kedatangan Aztandor, tapi Témpust. Bagi seorang pendeta semacam dia, kegelapan harus diusir, bukan ditemani. Melihat apa yang dia lakukan sekarang, Enrico seakan sedang menjilat ludahnya sendiri.
“Oh, Tuhan, maafkan hamba-Mu ini,” gumamnya pelan. Matanya masih saja cemas akan keberadaan Klaha. “Lepaskanlah kami…” rapalnya khusyuk sambil menyeka bercak darah pada sabit, kemudian menanggalkan jubahnya. “…daripada yang jahat. Amin.”
Sebenarnya apa kehendak kegelapan?
Lambat laun tersirat sudah maksud mereka di dalam jalinan pikiran Enrico. Kelelahan inilah yang mereka incar. Di kanan, kiri, depan, belakang, sisa-sisa pejuang sudah berusaha sekuat tenaga mereka—melawan rasa takut, lelah, gentar, dan gusar. Dia tahu menghilangnya Klaha mungkin adalah bagian dari rangkaian strategi jitu untuk menjatuhkan ketahanan Eagle Harbour. Serba dadakan, pasti akan ada lagi dukungan yang cukup dari jemari Avalen di sana.
Guardian? Mungkinkah Gyoudrim akan datang lagi?
Tamatlah Enrico saat itu terjadi. Walaupun jauh sekali di antara sekat-sekat kekhawatirannya, Gyoudrim dianggap tak sehebat yang orang-orang katakan. Di kemah para bandit, kemampuannya tak lebih dari menyembur api dan tubuh kaleng yang sekeras baja. Enrico tak bisa menerima kabar tentang keberadaannya sebagai naga paling disegani di seluruh dataran Mithrillia. Jadi, Enrico yang sudah sedikit mengetahui legenda Lord Bordock, mengakui dalam hatinya, sudah cukup ketakutan ini berlanjut. Entah apakah itu namanya Grazzadra, ataukah Gyoudrim, beserta cerita tentang mereka yang terdengar sama hebatnya, namun itu belum seberapa di mata Enrico. Tak ada yang perlu dikagumi dari sosok ribuan tahun lalu itu—kecuali keagungannya sebagai raja pendamai.
Lagi-lagi pikiran yang terlalu ngelantur.
Enrico kembali pada dunia nyata. Seluruh pandangannya ke arena yang dipenuhi banyak kaum—para Aztandor, manusia, Hamanidiosalfar, dan mayat hidup, semua itu membuatnya ingat akan keramaian perang. Dahulu sekali, saat usia dua puluhan masih akrab dengannya, dia adalah seorang misionaris ke daerah-daerah koloni Belanda. Sejatinya dia tak mendukung kolonialisme, sama sekali. Tapi panggilan akan Tuhan yang membuatnya inginkan tugas itu. Perang, pembunuhan, penyiksaan, sudah lama sekali telah menjadi bagian dari kilasan-kilasan memori panjang dalam hidupnya. Termasuk pikirannya tentang Mithrillia, juga penyakit aneh yang merenggut kedamaian dalam kematiannya. JES telah mengambil dan memberi banyak hal dari nafas Enrico. Pada stadium ini, kematian hanyalah angan-angan palsu.
Dia bergerak mendekati Témpust, sebab percuma para pejuang membuang tenaganya untuk meladeni mereka. Enrico ingin memberitahu hal itu.
“Tolong hentikan perlawanan ini, Témpust,” ujarnya setengah berteriak. Témpust menoleh saat musuh terakhirnya bisa dia jatuhkan—sementara.
“Apa maksudmu, Enrico? Tak ada yang lebih berharga daripada mempertahankan kota ini.”
“Aku tahu, Témpust!” ujarnya makin keras. “Kau tahu ada seorang pemimpin penyerangan mereka yang bernama Klaha, lalu lihatlah dimana dia sekarang!”
Témpust terdiam dan melihat.
“Kau pikir ini suatu rencana, bukan begitu Enrico?” tanya Témpust dengan mata menjaring setiap sisi kota.
“Lihatlah kelelahan pasukanmu! Mereka sudah bertarung dari awal hari berjalan, melawan banyak musuh, ditinggalkan oleh pimpinannya yang menyalami Kaum Jubah Hitam, sampai memperoleh kenyataan kalau jalinan mantera bisa meruntuhkan semangat mereka. Ini sudah lewat dari batas, Témpust. Kau akan kalah bila sekutu mereka bertambah lagi,” jelas Enrico.
“Aku tahu, aku tahu, Enrico. Aku mengenal pejuang-pejuang ini. Sedikit lagi, aku yakin penguasa mantera ini bukanlah penyihir muda dengan banyak tenaga. Dia juga butuh istirahat, dan saat itu tubuh-tubuh ini akan hancur tak kembali, walau hanya beberapa saat…”
“Bijaksanalah sedikit, Témpust…”
“Jangan memotong kata-kataku!”
“Tapi aku harus!” balas Enrico keras. “Kau sadar bahkan Éleon pun tak menduga ada kekuatan dengan sihir sekuat ini? Ini lebih dari cukup bukti untuk membawamu dan seluruh pasukanmu menyingkir dari sini. Jika para Aztandor adalah penguasa perang, cukup bagi mereka untuk menahan makhluk-makhluk brutal ini, sementara.”
Témpust memandang yakin pada Enrico dan memperlihatkan kerasnya hati di dalam rongga dadanya. “Aku tahu, Enrico. Bantuan tak akan datang secepat itu dari Comdred Fortress. Jaraknya jauh, terkecuali mereka cukup serius untuk menurunkan beberapa Guardian bersayap.”
“Ada apa denganmu?” potong Enrico kembali. “Kau menjadi nekad bertindak. Kemana hilangnya kebijaksanaanmu selama memimpin kelompokmu?”
Pembicaraan itu dipotong oleh beberapa ‘sampah’ yang datang tak diundang. Tertunda, sampai saat gumpalan daging dan tulang itu kembali berjatuhan ke tanah.
“Apakah karena batu itu? Kau takut kalau kenyataan itu terlalu cepat datang?” lanjut Enrico menyerbu pertahanan diri Témpust.
“Aku tak mengerti maksudmu,” jawab Témpust tanpa memandang wajah Enrico.
“Aku menghormatimu, Témpust. Kau hebat, kau kuat, dan kau juga memiliki pengetahuan yang baik tentang sejarah duniamu ini. Sadarilah, keturunan Lampros terlahir untuk melayani para Incargot. Sekarang, saat keadaan berusaha membalik semua posisimu, kau menyangkalnya, Témpust.”
Terpotong lagi. Oleh hal yang sama.
“Keturunan Lampros bisa merubah takdirnya tanpa menunggu harapan dari batu Oriel!” bantah Témpust.
“Tapi kau sadari itu pada awalnya, dan ironis bila kau menyingkirkan kenyataan itu sekarang. Apa yang membuatmu berkata-kata pada Hellen pada pesta itu? Kau ragu dalam pencarian seseorang yang akan membuat posisimu jatuh,” ujar Enrico berusaha menahan emosinya.
“Kata-kata itu tak sepatutnya kau dengar.”
“Tapi aku mendengarnya! Di antara keramaian suara sorak-sorai, aku memandangmu dan menemukan prinsipmu yang sudah mulai terkikis.”
Terpotong lagi. Pembicaraan itu selalu menemui penurunan tensi tiap kehadiran mayat-mayat hidup yang mengusik. Enrico sudah sadar akan pemikiran Témpust ini, sejak mendengar bisikannya pada Hellen Mistrella pada pesta penyambutan dirinya dan Ivander.
“Sadarilah, Témpust. Arti keberadaanmu di sini. Tentang kepercayaanmu, pikirkanlah maksud Lameth membawamu hingga tahap ini. Ingatlah, apa pesan Theon dalam kekuatan dan kejelian perang yang dianugerahkan padamu,” lanjut Enrico menutup semuanya.
Dia kembali ke medan pertempuran. Hatinya berat meninggalkan Témpust yang tak jua mau mengubah sikap keras kepalanya itu. Témpust memang orang yang keras, tapi dia tak menutup kuping untuk setiap kata-kata yang menyentilnya.
Témpust melambungkan pikirannya pada Alexa.
Mengapa nama itu tak terdengar seperti selayaknya nama orang yang terpilih; lalu dimana keberadaan gadis misterius itu dan puteranya, Bader sekarang; dan apakah sebenarnya yang tengah terjadi di utara benua Timur sekarang ini. Selalu berat baginya untuk setiap desahan nafas yang menahan kata-katanya untuk mundur dari Eagle Harbour. Dia yakin, bila saat ini dia menang, tentu ada atau tidak adanya Sang Terpilih bukan menjadi masalah yang patut dirisaukan. Apalagi kepercayaan dirinya tengah menukik bersamaan dengan setiap pembicaraan orang-orangnya tentang sosok yang mereka cari-cari itu.
Pikirannya menyalahkan Lord Bordock untuk sesaat.
Pria itu sudah lama mati. Namun kalimat terakhir menjelang ajalnya tersebar, teraduk dalam sajak karangan para Elf. Kalimat itu mungkin sehangat matahari bagi penduduk Mithrillia, tapi setajam mata pedang baginya. Dia sadar dirinya bukanlah, dan tidak akan, menjadi segalanya bagi mereka. Témpust merogoh sakunya dalam-dalam, sambil digenggamnya benda keras, kasar dan dingin. Batu Oriel yang kini dipandanginya, tanpa cahaya, hanya seonggok batu seukuran kepalan tangan biasa, kasar dan sedikit ditumbuhi bercak-bercak noda. Jika suatu saat seseorang dari tamu-tamu Maya-nya datang untuk merenggut batu itu, maka lenyaplah segala ketergantungan pejuang kebebasan padanya. Ini sama saja seperti menggiringnya ke tiang gantungan..
Kehormatannya sebagai pemimpin akan hilang tanpa bekas.
“Témpust! Berapa lama lagi kita harus menahan ini?” potong Éleon dalam setiap ayunan pedangnya yang makin melemah.
Témpust tersadar dari lamunannya. Dia sadar prajuritnya memang membutuhkan sedikit waktu untuk bersandar. Témpust menghabisi satu mayat hidup untuk terakhir kali sebelum mereka beristirahat. Dia menarik tali kekang kudanya dan membawanya menerobos arena peperangan.
Vacour berlari kencang merubuhkan barikade mayat hidup.
“Tarik mundur! Semuanya, naiklah ke atas atap-atap rumah!” komandonya.
Pedangnya yang berlumuran darah memancarkan cahaya matahari, sekaligus wajah lega para pejuang. Jauh dari sudut pantulan pedang itu, seorang pendeta bernama Enrico tersenyum kecil menyambut keputusannya. Dia mengerti keraguan Témpust untuk menarik para pejuang sepenuhnya dari Eagle Harbour, mungkin Témpust berpikir mayat-mayat hidup ini justru semakin merambah hutan hingga ke Goat Hill. Tapi baginya, langkah ini sudah cukup bagus. Dia bisa pastikan, seseorang di ujung lautan sana tengah menggerutu, mengemertakkan gigi sambil menghitung mundur pelepasan Guardian yang akan dia mainkan pada babak ini.
Kuda-kuda mereka serentak berlarian dari wilayah Eagle Harbour menuju Goat Hill. Bila diam di sini, mayat-mayat juga akan mencabik-cabik mereka tanpa ampun. Diiringi sedikit kepanikan, pejuang kebebasan yang tersisa mulai memanjat. Mereka sekarang berdiri di atas, menyaksikan para mayat berjalan tak tentu arah. Jumlah mereka yang begitu banyak membuat para pejuang sadar akan posisi mereka. Dari tempat mereka berdiri dan memandang, mereka bisa melihat sesungguhnya makhluk-makhluk neraka itu mengerikan. Mereka lupa hal apa yang membuat mereka berani menghadapi kerumunan bekas manusia itu tadi.
Para mayat itu memang tidak bodoh, tidak lamban, tapi mereka malas. Mereka hanya menunggu di bawah, menahan sisa-sisa gempuran Aztandor. Kaum Aztandor akhirnya pun mulai menguncupkan jubah-jubah mereka, lalu bertengger pada bangunan-bangunan tinggi. Mereka diam menunggu, sama seperti para pejuang.
Sesaat, garis-garis mantera itu memudar di telinga Éleon.
Dia merasakan tak ada lagi aliran tenaga yang cukup serius untuk menggerakkan mereka. Mendadak, semua mayat hidup itu roboh satu persatu seperti boneka marionette dengan tali yang terputus. Tak butuh waktu lama bagi mayat-mayat itu untuk menjadi seonggok daging tanpa daya kembali.
“Keparat, kita dipermainkan,” geram Qasfar menjadi-jadi.
“Akhir dari rangkaian mantera-mantera berulang itu, begitu Éleon?” celetuk Témpust yang berdiri di samping Éleon. “Sudah kuduga penyihir itu terlalu lelah dan renta.”
Éleon hanya tersenyum mendesis. “Bukan, Témpust. Dia tak mengendurkan kekuatan sihirnya sedari awal. Kekuatan itu mendadak hilang, bukan perlahan menyusut. Itu artinya, dia sengaja melakukan hal ini untuk memancing kita turun kembali.”
“Ini buruk. Sampai kapan kita akan tertahan di atas sini?” gusar Témpust.
Éleon melirik kawanan Aztandor yang masih diam seperti tak terjadi apapun. Dia masih belum mengerti mengapa mereka harus dilibatkan dalam hal ini. Kemampuan mereka memang hebat, tapi mayat-mayat ini jelas tak bisa begitu saja ditaklukan, sekalipun oleh Kaum Berjubah Hitam. Para Aztandor tak mungkin bisa menyentuh kekelaman dengan kekelaman, apalagi jika kekelaman itu lebih dalam dari mereka.
Dia segera menyadari kekeliruannya.
“Pertempuran antar elemen, selalu itu yang terjadi,” gumamnya. Témpust sedikit menaruh perhatiannya pada suara kecil itu. “Mungkinkah sebuah kegelapan menekan kegelapan lainnya? Bukankah itu sama saja menambah kegelapan itu?” lanjutnya datar. “Aku curiga, mantera itu bisa sampai ke tempat sejauh ini hanya karena kehadiran Aztandor sebagai media perluasan kegelapan itu sendiri.”
“Apakah dendammu begitu kuat hingga kau menyalahkan mereka atas semua keterpojokan kita ini?”
“Tanpa dendam pun aku akan berpikir demikian, Témpust. Hendaknya kau resapi apa arti dari permusuhan cahaya dan kegelapan, antara kaumku dan mereka,” kata Éleon tegas, meskipun itu hanya terdengar, bukan terlihat dari sorot matanya.
“Berarti keputusanku memanggil mereka adalah sebuah kesalahan besar?” tanya Témpust menantang, nadanya tak berubah keras.
“Tidak sepenuhnya benar bagimu untuk berkata seperti itu. Hidup kami pasti sudah habis bila kau tak mendatangkan mereka, kesalahan hanya ada pada isi perjanjianmu dengan mereka. Jika mereka pergi sekarang, tak akan ada lagi tubuh yang terbangun. Percaya padaku.”
Témpust hampir tersedak. “Sepertinya aku harus memberitahukanmu tentang isi dari perjanjianku dan kaum mereka,” tanggapnya pesimis. “Aku menjanjikan seluruh tubuh dari korban perang ini pada mereka, itu kuanggap sebagai sebuah penawaran yang impas.”
Sontak Éleon menjadi lesu tanpa solusi di pikirannya. Mendadak semuanya menjadi buntu, sebab tali-tali magis pasti masih mengikat tubuh-tubuh itu. Para Aztandor tak mungkin mau mengambil tubuh yang sedang terikat mantera penyihir lain. Itu sama saja memasuki rumah baru, dan menemukan orang asing yang sedang duduk di atas sofa dengan camilan dan televisi, di tangannya. Perjanjian itu pasti tak bisa dilanggar, bagaimanapun halangannya, apapun kondisinya. Keadaan ini membuat para pejuanglah yang membantu Aztandor, bukan sebaliknya.
“Seharusnya kau berpikir lebih banyak, sebelum kau mengambil tawaran itu,” ujar Éleon kesal.
“Aku sudah berpikir, mungkin ribuan kali lebih dari yang kau tahu. Mereka hanya menginginkan tubuh sebagai imbalannya, pengganti jasad mereka yang telah usang. Awalnya justru mereka yang meminta, harga yang teramat mahal untuk aku berikan. Lebih baik aku berjuang sampai mati, daripada harus menyerahkanmu, puteriku, Cazar, sepupuku, atau orang-orang berharga lainnya…”
“Mungkin kegelapan hati mereka sudah menjangkiti hatimu. Kau bicara seakan-akan pejuang-pejuang lain yang mati bukanlah orang yang berharga. Sudah tak ada lagi pilihan lain untuk kita, selain memutus jalinan mantera itu. Kau yang bertanggung jawab atas semua ini, Témpust.”
“Bahkan jika nyawaku yang akan membebaskan orang-orangku dari rasa takut, aku akan melakukannya,” balas Témpust untuk semua kata-kata kesal Éleon.
“Aku melihat benang-benang itu mengikat kuat. Aku tak yakin kita punya cara untuk melewati ini, untuk membersihkan mereka dari Eagle Harbour. Lihatlah para Aztandor, mereka pun hanya diam. Sekumpulan makhluk yang tak bisa dipercayai,” komentar Éleon pedas.
“Cari dulu dimana jenderal mereka yang dinamai Klaha. Sebab si tua Enrico terus-menerus mengingatkanku akan hal itu. Ini permainan, Éleon. Mereka pikir mayat-mayat hidup ini bisa menguras tenaga kita sebelum bala bantuan datang.”
“Bau Guardian kental terendus. Pantas saja telingaku bergerak-gerak sedari tadi.” Éleon memaku pandangannya ke laut lepas. “Bukan naga. Itu Griffon dengan pekikan tajam mereka. Aku tak yakin penyihir itu mau mendatangkan Griffon di saat ini.”
“Kau sadar, Éleon?”
“Tentang apa?”
“Kurasa inilah saatnya kita benar-benar keluar dari sangkar yang mengurung kita selama ini. Penyihir itu, dia pasti lebih tangguh dari apa yang kita saksikan sekarang.”
“Kenekadanmu akan membawa kematian, Témpust. Aku takut dewamu telah mengutuk kalian. Aku takut Dewa Frey menaruh murka sepihaknya padaku,” sanggah Éleon cepat-cepat.
“Kutukan itu bisa dirasakan, Éleonais putra Ierick, dan aku tak mau mencicipinya setetespun di atas lidahku.”
“Lidahmu mulai angkuh dari mati oleh rasa-rasa sensitif, Témpust. Aku tak mengerti apa yang tengah terjadi padamu, bahkan pada kita semua. Comdred yang mendadak menyerbu kota, apakah ada yang kau simpan dariku?” tanya Éleon dengan nada curiga.
“Aku yakin kendala itu sudah menyebar ke seluruh telinga pejuang. Beberapa manusia Maya yang datang ke dunia kita, dan apa yang mereka bawa untuk mengejutkan kita.”
Témpust memandang Éleon untuk menanti responsnya atas pernyataan itu, namun sepertinya Éleon tak mengetahuinya.
“Batu, ini soal batu. Oriel telah menurunkan nubuatnya ke atas bumi Mithrillia. Darah Incargot kembali bergejolak, merah pekat seperti akan berjalan tanpa tuntunan. Peperangan ini, hanyalah lembaran pertama dari nubuat Oriel,” lanjut Témpust.
Dengan kekalutan Éleon, Témpust pun tak bisa menunggu lebih lama untuk segera mengambil tindakan lanjut. Pria itu meniupkan jari-jari di bibirnya untuk menyuarakan siulan tinggi ke langit. Beberapa saat, Reape yang dia panggil menjawabnya. Elang itu turun ke atas lengannya.
“Pesan apa, Témpust? Kita tak bisa melibatkan mereka di sini,” sahut Éleon.
“Memang bukan itu. Aku hanya khawatir musuh sengaja mendiamkan kita di sini bersama mayat-mayat bodoh ini dan menyerang kita dari penjuru lain. Mungkin Hutan Whisdur pun tak akan sanggup menelan para pengacau semua. Aku harus tetap berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk.”
Témpust mengoyak sedikit bajunya, kemudian dia melukai kembali ibu jari yang telah berangsur pulih dari luka goresan pisau Falabour. Di atas kain abu-abu itu, dia menuliskan pesan untuk sepuluh orang tersisa di Goat Hill.
Jaga Celah Grendith!
Kemudian kain itu diikatkan dengan kuat pada kaki Reape. Dilepaskannya elang itu ke langit luas, sampai Reape membelok tajam ke arah Goat Hill. Témpust memandangi hilangnya elang itu dengan penuh kerisauan. Dia menyadari pasukannya akan tertahan cukup lama di tempat ini. Mayat-mayat, penghalang dari semua kemenangannya kali ini.
………
“Apa yang kau cemaskan, Lakissa?” ujar Hellen memecah kegelisahan di raut wajah puterinya.
Hellen baru saja selesai membagikan sedikit makanan dari dalam sebuah karung, roti-roti keras yang agak asam, karena memang itulah rasanya, mereka di Goat Hill telah terbiasa memakan roti itu. Pengungsi-pengungsi itu duduk diam di antara tenda-tenda kain di tengah-tengah belantara Whisdur, beralaskan tanah hutan, beratapkan dedaunan. Kepada para pengungsi, Hellen juga turut membantu memberikan minum pada gelas-gelas pengungsi dari drum-drum kayu berisi air. Kali ini, dia berhenti sejenak, sebab kecemasan Lakissa lebih penting baginya.
Lakissa Vernedt berbalik dan memandang wajah ibunya yang juga terlihat cemas, meskipun wanita itu tak mau memperlihatkannya.
“Entah mengapa baru kali ini aku merasa cemas. Sejak Bader belum juga kembali, aku menjadi takut hal yang sama akan terjadi pula pada ayah. Sebenarnya ada apa ini, mengapa begitu mendadak, Ibunda?”
Memori Hellen tersentak. Malam itu, Témpust membisikinya sebuah kata-kata keraguan. Ragu kalau-kalau utusan bumi Maya itu mengelabuinya untuk suatu tujuan. Dia tahu suaminya bukanlah orang yang mudah untuk diyakinkan, tapi setelah batu itu menyala merah, Témpust begitu terguncang. Hellen pikir suaminya telah dipaksa oleh batu itu, untuk segera mencari seseorang yang telah diberitahukan pada bumi Maya sebagai Sang Terpilih. Pertanyaan Lakissa hanya mengerucut pada jawaban itu, keinginan Témpust untuk tetap menyangkal kehadiran keturunan Incargot yang dikiranya telah lama punah.
“Ibu, mengapa wajahmu kelam? Salahkah aku sebagai pejuang untuk bertanya seperti itu?”
Hellen mencoba untuk tersenyum dan memudarkan kekelaman di wajahnya. “Seandainya pun aku tahu, Lakissa. Ayahmu pasti baik-baik saja, dan kakakmu bukanlah laki-laki lemah.”
“Aku tahu…” Lakissa membuang pandangannya jauh dari keramaian manusia yang mencari makanan. “Hanya saja, Ibu, angin ini tak kuinginkan berhembus. Mereka seakan berteriak meramalkan takdir.”
Angin kencang sesekali berhembus melalui sela-sela pepohonan Hutan Whisdur. Gesekan mereka membunyikan suara-suara pilu, sebagai bentuk peringatan alam. Angin itu akan terus berlari, menyisir setiap pengungsi Goat Hill dan Eagle Harbour di sana, mencari-cari keberadaan orang-orang yang dianggapnya layak untuk menerima kehidupan lebih panjang. Bukan angin yang memikirkan itu, bukan pula sebuah sajak, namun Lakissa, dia jauh lebih khawatir dari yang dia perlihatkan.
“Apa yang tengah terjadi di sana…apa?” gumamnya saat berjalan pelan meninggalkan ibunya.
Hampir malam di sana, beberapa orang berkumpul di Hutan Whisdur. Mereka cemas, sebab tak satupun dari mereka yang tahu apa yang tengah terjadi di balik hutan dan kabut yang membatasi kotanya dan Eagle Harbour. Mereka hanya tahu pimpinan mereka, Témpust, menyuarakan agar mereka mengungsi saat Allain tiba-tiba datang dan berbisik dengannya. Sebagian dari mereka yakin, ini adalah suatu awal dari rangkaian kemalangan yang akan menimpa kaum terpinggirkan itu, seperti yang sudah batu Oriel ramalkan.
Sampai detik ini, delapan orang dari pengungsi telah menghilang dari rombongan utama. Persis seperti yang sudah Éleon bayangkan, sama seperti yang Allain khawatirkan, alam tak mau menerima mereka yang keras hatinya. Tapi saudara-saudara mereka sama sekali tak melakukan reaksi. Mereka terlanjur takut terhadap peringatan itu dan memilih diam, menunggu sampai kota mereka bisa ditinggali kembali.
Derap langkah kuda terdengar dari kejauhan. Sepertinya kuda itu begitu familiar di telinga Lakissa. Bisa tergambar betapa besar bobot kuda itu, betapa besar pula perawakannya, sama seperti perawakan penunggangnya. Dia datang dengan nafas memburu yang terasa dari arah Goat Hill. Lakissa maju beberapa langkah dan mengamati kuda itu menyibak gumpalan kegelapan dedaunan yang menutupi sosok besarnya. Waler Gurdon, dia datang tergesa-gesa.
“Apa gerangan yang terjadi, Waler?” sambut Lakissa gusar.
Waler menghentikan kudanya dan menapakkan kakinya di tanah. Sesaat dia mengamati keadaan pengungsi di dalam hutan ini. Jumlahnya lebih banyak dari yang dia perkirakan. Lebih banyak untuk dilindungi, lebih banyak untuk mati.
Di kejauhan yang sama, sembilan orang yang dia bawa tengah memacu kudanya menuju arah yang sama. Mereka semua telah meninggalkan Goat Hill untuk menggenapi tugas dari Témpust.
“Waler, bicaralah padaku!” ulang Lakissa.
Waler tersentak dari pikiran tingginya. “Reape datang dengan pesan dari pimpinan. Pesan itu tertulis dengan darah. Kami butuh lebih banyak pejuang untuk menjaga ujung Hutan Whisdur,” katanya terburu-buru dengan nafas menghembuskan hawa dingin.
“Darah, apa maksud darah ayah? Apakah itu berarti dia dalam bahaya?” sambung Lakissa cepat.
“Aku tak tahu. Aku datang dengan kapak dan sembilan orang lainnya ke sini, dengan keyakinan bahwa pimpinan baik-baik saja di sana. Dia memikirkan keselamatan kalian semua, pikirkanlah karenanya pesan itu dibuat,” katanya dengan suara serak yang menjadi ciri khas pria besar.
Waler Gurdon meninggalkan Lakissa yang menatapnya tanpa suara. Kemudian Waler berjalan untuk mencari bantuan bagi pertahanan mereka nantinya. Sembilan orang lainnya merapatkan kudanya di samping kuda cokelat muda milik Waler.
“Vana, Kruge, Bianco, adakah dari kalian yang bisa memberitahuku ada apa di ujung sana?” ujar Lakissa mencoba menghentikan sembilan orang yang berjalan melaluinya. Mereka diam tak merespon dan terus saja berjalan.
“Dustin, Afar…” panggilnya. “Berdin, Skhale…” ulangnya. “Musdack, Laruz, ada apa dengan kalian semua?” ulang Lakissa makin keras.
Pria tinggi, keling, tak berambut, berhidung bengkok, yang bernama Afar menolehkan wajahnya. Matanya putih, namun syaraf-syarafnya terlihat lelah karena warna merah di sekelilingnya. Pelupuk matanya terlihat menghitam. Dia memejamkan matanya sedetik sebelum menarik nafas panjang. Pria dari Benua Selatan itu terlihat begitu letih dan ingin segalanya cepat berakhir.
“Kami bingung, Lakissa. Tak satupun dari kami yang bisa masuk ke dalam Eagle Harbour. Sejak pesan itu terakhir sampai, kami tak bisa menembus dinding magis yang menyelimuti kota itu. Kami hanya takut, mereka terlanjur lelah sebelum mengetahui tak ada jalan keluar bagi para pejuang di sana. Pertempuran belum akan berakhir, Lakissa,” katanya putus asa. “Ini sebuah keberuntungan bagi Reape untuk bisa keluar sebelum selubung magis itu datang. Aku bisa menjamin kekuatiran ayahmu memiliki alasan yang sangat kuat.”
“Lalu kenapa kalian ada di sini? Bukankah kalian pergi berperang bersama mereka?”
“Ingatlah, kami adalah pengikut Lameth. Kami tak ingin terjerat pikat kegelapan,” kata Afar, dia berjalan pelan menuju Lakissa, kemudian kedua tangan lebarnya memegang pundak Lakissa. Afar menunduk pelan dan menatap mata gadis itu dengan serius. Lakissa terhenyak melihat rona kecemasan yang mendalam di mata Afar. “Ayahmu, dia gunakan Aztandor. Sebab itu kalian diungsikan ke hutan ini,” katanya amat hati-hati.
“Az….az….?”
Lakissa tak mampu berkata-kata saat berita itu disiarkan ke telinganya. Dia berusaha membuang pandangannya dari wajah Afar, dia tak ingin terlihat mempercayai berita itu, dia benci terlihat shock.
“Orang-orang ini dalam bahaya, Lakissa. Lihatlah jumlah mereka, lihatlah berapa banyak dari mereka yang bersenjata. Hanya sedikit, seperti Allain dan beberapa orang lainnya. Mereka bukan petarung. Apa yang bisa kita lakukan seandainya kita diserang oleh kelicikan Comdred? Tak ada, Lakissa. Semua ini akan hilang. Para Phantom akan senang hati menyeret mereka.”
“Kau bicara juga tentang ibuku, Afar. Aku tak akan biarkan ibuku tersentuh!”
“Bagus. Semangat itu sudah hampir pudar di sini. Pertahankan itu dan biarkan Dewa Lameth melihat betapa keras tekadmu.”
“Afar! Bantu kami kumpulkan beberapa orang!” seru pria besar lainnya yang bernama Musdack.
Afar menepuk pundak Lakissa beberapa kali sebelum dia berpaling meninggalkan gadis itu di belakangnya.
“Tunggu, Afar!” sontak Lakissa menyadarkan dirinya kembali.
Afar menghentikan langkah lebarnya sejenak dan setengah menoleh ke belakang.
“Ijinkan aku bersama kalian, apapun yang akan kalian lakukan setelah ini, ijinkan aku ada di dalamnya,” pintanya penuh harap.
Afar tak menjawab dan membuang wajahnya lambat-lambat. Sambil berjalan kembali, dia katakan, “Lakukan apa yang menurutmu benar, Lakissa. Saat ini, bahkan hati nurani pun tak kuasa untuk sekedar berbisik.”
Afar berlalu, kembali pada kelompoknya, kelompok yang tak menerima kedatangan Kaum Jubah Hitam sebagai sebuah pertolongan. Sebelum malam benar-benar terbentuk sempurna, mereka harus sudah siap di ujung Hutan Whisdur. Malam ini akan menjadi malam tanpa bulan, malam yang sempurna untuk penyerangan mendadak. Seseorang seperti Témpust pasti sudah memikirkan hal sedetil itu. Memang beruntung baginya kali ini, Reape masih sempat menerobos dinding magis yang saat itu baru setengah terbentuk.
Tak ada yang tahu berapa besar armada yang akan melakukan serangan dadakan malam itu. Strategi brilian seorang penyihir Avalen yang menguntit dari balik lubang-lubang hati mereka, telah berjalan dengan begitu sempurna, melibatkan tiga ras yang terlihat begitu bodoh saat ini—Aztandor, manusia, dan Hamanidiosalfar.
Skak bagi sang raja!
Tak terbaca oleh langkahnya, Témpust sudah berada di ujung tanduk yang rapuh. Dia yang diperlakukan bak raja di sini, harus menerima kenyataan teritorinya telah dikuasai pion-pion musuh. Tinggal menghitung jam sampai sang penyihir sampai hati untuk menggerakan kesatria-kesatrianya ke medan pembantaian. Di sini, jauh di dalam Hutan Whisdur ini.
Enrico tersadar, di seluruh tempat dia tak bisa menemui Témpust, padahal seharusnya Témpust memimpin peperangan ini. Dia juga sadar, pertarungannya dengan Klaha belum usai. Dia hanya agak mengendurkan perhatiannya pada Klaha. Makhluk itu sudah banyak menguras tenaga Enrico, hanya untuk menembus kulitnya yang sekeras beton. Lebih banyak bertahan, fokus pada pengembalian energi, sambil mencari kelemahan Klaha. Pelahan tenaganya kembali. Meskipun kelemahan Klaha belum ditemukan, Enrico akan menyerang lagi, mungkin hingga Klaha kelelahan, atau hingga tenaganya habis lagi. Dia mulai menikmati pertempuran ini, sebagaimana yang dirinya lakukan di saat masa-masa keemasannya.
Tapi pikiran itu terus membawanya pada kecemasan.
Mungkinkah sesuatu yang buruk akan terjadi setelah ini?
Sesekali pandangannya berhasil menangkap pemandangan yang meyakinkan kekhawatirannya. Wajah Éleon yang terlihat, tak ubahnya menyiratkan pemikiran yang persis dengannya. Tak ada waktu lama bagi Enrico untuk memikirkan hal semacam itu. Si gila Klaha sudah menyerbu membabi buta. Puing-puing batu berhamburan, menyebar debu-debu hingga pandangan keduanya buyar. Tangan-tangan Klaha tetap tak mau berhenti sampai di situ.
“Kalian yang akan jatuh! Kalian semua!” geram monster itu.
“Hentikan omong kosongmu itu! Akan kubalaskan perlakuanmu pada Deven!”
Saat pertarungan dua makhluk hebat itu berlangsung, sangkakala Comdred berbunyi nyaring. Tak ada apapun, tak ada siapapun yang bisa menghalangi kapal-kapal baru itu merapat ke dermaga Eagle Harbour. Para pengusung meriam telah berpegang pada sebilah pedangnya masing-masing di atas tanah. Tak ada letusan untuk menggempur. Para pejuang sudah letih bila harus melayani pasukan baru dari Benua Tengah, pasukan persekutuan itu merepotkan.
Lagi dan lagi.
Kegagalan itu tampak jelas, seperti sudah diramalkan di hadapan mereka. Kegigihan itu diuji dengan kedatangan dua ribu lima ratus manusia pengusung nama Lord Demetria Avalen di dadanya. Kali ini benar-benar manusia. Entah apa maksudnya mereka itu mengirim banyak manusia, di saat Abodh sebenarnya lebih merepotkan untuk ditangani pejuang-pejuang.
Éleon menarik nafasnya dalam-dalam. Tangannya bergetar hebat. Guncangan itu merambat menuju jantungnya. Pejuang kebebasan memang belum berkurang banyak, tapi melawan orang yang jumlahnya sepuluh kali lipat dari mereka, itu nyaris mustahil baginya. Dengan mata terpejam dan gelengan kepala menebas pikiran itu, dia maju menyerbu rombongan baru itu dengan teriakan keras.
“Usir mereka dari tanah kita!!!”
Seratus tiga puluh yang tersisa dari dua ratus orang di pihak pejuang kebebasan. Di sisi lain, jumlah penyerang Abodh telah menyentuh angka seratus. Sesuatu yang sebenarnya sudah dapat dianggap sebagai sebuah keajaiban dalam perang antara manusia dan ras lain.
Dua puluh pemanah didikan Cazar Balamug bersiaga di atas menara-menara di sepanjang jalan Eagle Harbour. Mereka terus menghujani serdadu Comdred dengan panah-panah bermata ulir. Sekali tali busur dilepaskan, panah itu akan berputar deras, mengoyak-ngoyak lapisan otot Abodh yang begitu tebal. Berdasarkan pemikiran Témpust, panah itulah yang terus mereka gunakan hingga kini, termasuk saat Témpust menancapkan panahnya ke tangan Demetria di kemah para bandit.
Kini serdadu Benua Tengah-lah yang menjadi sasaran mereka. Kesigapan para pemanah melahirkan sebuah serangan pembuka yang menewaskan dua puluh musuh baru. Bak hujan, kayu-kayu tipi situ terus mengalir, menghujam tanah. Dari atas, mereka bisa melihat keberanian seorang Hamanidiosalfar bernama Éleonais Markourith untuk memimpin rekannya menyerbu ke dermaga. Para pemanah tahu mereka harus menamatkan riwayat para Abodh terlebih dahulu. Target mereka kini adalah seratus Abodh yang tersisa.
Di dermaga, terpisah jauh dari Enrico, Éleon mengibaskan pedangnya untuk memutus kehidupan ribuan musuhnya. Teriakan musuh di depannya terdengar seperti deru ombak raksasa dari laut. Namun erangan serdadu-serdadu itu sama sekali tak melunturkan degupan amarahnya. Tak ada mulut yang memungkiri kehebatannya dalam berpedang. Kecekatannya sebagai manusia setengah Elf telah melahirkan kemampuan berpedang yang melebihi manusia normal. Bersama pedang dengan dua sisi mata, yang gagangnya dibalut kain putih itu, dia menghajar sepuluh orang secara beruntun. Mereka berjatuhan bagai domino yang tersentuh jari tangan. Bukan wajah lelah yang tergambar di wajah Éleon, hanya ada kecemasan yang berlarut-larut.
Dimana Témpust? Mengapa dia belum juga kembali?
Hatinya selalu terbeban untuk memikirkan itu. Dia tak bisa terlalu lama terpaku pada sekelibat masalah yang membuat hatinya bisa begitu gusar. Rasanya seluruh pejuang kebebasan juga sudah mulai menyadari ketidakberadaan Témpust di tempat itu. Bukan karena mereka benar-benar melihat pria itu pergi, namun teriakan Éleon barusan telah menyadarkan mereka. Seharusnya seorang Témpust yang melakukan itu, bukan Éleonais Baldmur, walaupun dengan segala alasan posisinya sebagai pimpinan Eagle Harbour. Di sini, semua pejuang kebebasan berkumpul, dan pimpinan mereka kini hanya satu, Lampros Témpust keturunan Panglima Besar Kertest. Tapi orang-orang itu secepatnya sadar kalau Éleon melakukannya demi mereka, demi membakar semangat mereka yang sudah mulai tertimbun keletihan. Mereka bingung apakah harus kecewa terhadap Témpust yang pergi tanpa berkata apapun pada mereka. Kini tak ada waktu bagi mereka, sebab masih ada seribu sembilan ratusan manusia yang harus mereka babat habis.
“Panah api, bersiap!” teriak komando dari atas menara.
Titus Vallam menahan kata-kata komando di mulutnya untuk diluncurkan di saat yang tepat.
Tangan-tangan terlatih dari tiap menara membidik kapal terakhir berisi enam ratusan manusia untuk menggenapi dua ribu pasukan manusia. Kapal itu mulai mendekati dermaga untuk menurunkan kematian pada para pejuang kebebasan.
“Lepaskan!”
Desingan-desingan puluhan anak panah itu pun melesat kencang, menyambar kemapanan kapal itu. Layar mereka mulai dihinggapi lidah-lidah api dari panah-panah kurus, terus melalap sampai ke tiang-tiang kayunya. Seluruh penghuni kapal itu panik dan berhamburan ke laut. Sebagian dari mereka terbakar, sambil mengerang-ngerang kepanasan. Sebagian lagi mati tertembus panah, sebelum tubuhnya mencapai lautan. Kapal itu pun hampir sepenuhnya dijatuhkan. Tapi lebih dari separuhnya selamat, mereka tengah merenangi sisa lautan di antara kapal dan dermaga.
Pasukan musuh dari kapal nomor dua adalah bantuan dari pihak benua Barat yang dikenal dengan pelatihan pedang terbaik. Mereka lihai, walaupun tak selihai Éleon. Tubuh mereka dilapisi jubah tempur hitam mengkilat, dari bahu, dada, hingga kaki. Bagian yang tak terlindungi amor dibalut oleh seragam biru muda, dengan garis merah di ujung-ujungnya. Pelindung kepala mereka hanya menyisakan mata-mata bengis yang tersingkap. Mereka memakai pedang lurus dengan gerigi hanya di awal mata pedang. Segulungan kain hitam terikat di masing-masing lengan kiri mereka, sebagai pertanda persekutuan dengan benteng Comdred.
Éleon melihat itu sebagai sebuah bahaya besar. Mereka harus dihalau, setidak-tidaknya mengurangi jumlah mereka akan sangat baik untuk dia dan pasukannya. Dia ingat obor-obor di Eagle Harbour memakai minyak dari kulit pohon Gatte yang mudah terbakar, begitu pula anak-anak panah yang ditembakkan barusan. Minyak itu sulit sekali dihilangkan bila tersentuh di tangan. Mungkin ini akan berhasil menghalau lima ratusan serdadu yang tersisa.
Tujuh orang pejuang kebebasan membuka jalan menuju dermaga, mereka mengawal dua puluh tong berisi getah pohon gatte yang dibopong meuju dermaga. Éleon adalah salah satunya, dia bahkan berdiri paling depan. Tanpa ampun, dihabisinya para penghalang jalan, sesekali Éleon melempar mayat mereka ke laut, sambil terus mengerang. Tarian pedang ketujuh orang itu meninggalkan celah kosong untuk dilalui, mereka menapak cepat ke tepian dermaga.
“Buka, celupkan pedang kalian!” perintah Éleon sambil menjagai mereka dari datangnya serangan lanjutan.
“Untuk apa? Ini bahkan bisa membakar tangan kami,” gemetar salah seorang di antaranya, meskipun dia menurut juga untuk membukanya.
“Menyediakan penyambutan untuk mereka, Saudaraku. Lagipula, aku lebih rela kehilangan tanganku daripada harus terpenggal di sini.” Éleon menyelesaikan tebasan terakhir, satu tubuh tak bernyawa tergeletak di depannya. Kemudian dia berjalan ke belakang, menghampiri tong di samping si penanya. Sambil menenggelamkan mata pedangnya ke dalam getah gatte, Éleon berujar sinis, “Apa itu menjadi masalah jika hanya mata pedangnya saja, Tuan Pejuang?”
Lawan bicaranya menggeleng gemetar, rasanya dia lebih takut pada Éleon, dibandingkan ribuan musuh-musuhnya.
“Bagus,” senyumnya datar. “Kalian semua, lakukan seperti apa yang kulakukan!” perintahnya pada dua puluh enam pejuang lain.
Tanpa banyak percakapan lanjutan, mereka menurut saja. Lempengan-lempengan logan tajam itu dicelupkan, perlahan-lahan diangkat agar tidak menetes ke tangan mereka.
“Éleon, lalu akan diapakan sisanya?”
“Tuang ke dinding dermaga, buang ke laut,” jawabnya sembari menghantam datangnya serdadu lain dengan ujung gagang pedang. Éleon tak tampak ingin menyia-nyiakan getah Gatte di mata pedangnya.
Gemercik getah kental itupun terdengar. Perlahan namun pasti permukaan air laut berubah warna, dipenuhi kilapan minyak, bercampur dengan sedikit warna kemerah-merahan—dari getah Gatte, juga warna darah para penyerbu.
“Cukup, jangan tuang semuanya,” cegah Éleon. “Aku ingin penyambutan yang lebih meriah,” ujarnya dengan senyum percaya diri, saat tinggal empat tong yang tersisa.
Empat tong itu ditinggalkan begitu saja di pinggir-pinggir dermaga. Serentak mereka mundur ke tengah Eagle Harbour. Sesekali Éleon menghentikan derapan sepatunya, dia menengok ke belakang untuk memastikan musuhnya berenang ke arah yang tepat. Mereka tak mungkin memutar, terlalu jauh, mereka pasti tak ingin membuang tenaga. Begitu pikirnya, hingga dia memutuskan untuk mencemari jalur terdekat.
Tampaknya serdadu-serdadu itu mengikuti apa yang diinginkan Éleon. Satu persatu kuku-kuku besi menancap di tepi-tepi dermaga, diikuti oleh tambang panjang menuju ke laut. Meskipun tergelincir jatuh oleh licinnya dinding, gerombolan serdadu itu tetap berusaha memijak kaki-kaki mereka sampai ke atas dermaga. Tak berapa lama, tepian dermaga disesaki oleh para serdadu.
Éleon tersenyum puas. Kemudian dia berteriak amat keras, “Menara!! Lepaskan panah-panah api ke dermaga!!” sambil menunjuk kerumunan itu dengan pedangnya.
Tanpa menunggu lama, Titus Vallam mengalihkan serangannya seperti yang Éleon minta. Puluhan anak panah segera menghujani ujung dermaga. Para serdadu berhamburan panik. Saat tubuh serdadu lain mulai terbakar, mereka sadar, mereka telah terperangkap jebakan Éleon–sebab Éleon tahu, pohon Gatte tidak pernah ada di Benua Barat, mustahil serdadu Benua Barat mengenalnya, dia tahu itu sejak mengamati warna baju perang mereka.
Salah satu anak panah berjalan sesuai kehendak Éleon, menancap di tong-tong yang ditinggalkannya.
Dari kejauhan Éleon lega melihatnya, ledakan besar menggaungkan suara yang memecah-belah pasukan musuh di dermaga. Ledakan itu melempar banyak musuh kembali ke lautan. Kobaran api dengan cepat merambat ke sela-sela siraman getah di dinding dermaga, membakar serdadu yang tengah memanjat, bahkan mengobarkan api di lautan. Rintihan mereka seakan mendominasi riuhnya pertempuran Eagle Harbour. Mata Éleon terus mengamati kejadian itu, dia sadar beberapa musuhnya berhasil lolos dari ledakan itu—tapi tidak dari getah Gatte.
Dia berbalik arah, Éleon kembali ke arah dermaga, memburu sisa-sisa serdadu. Hujan anak panah api masih belum berhenti, namun Éleon terus mendekat ke area serangan, tanpa memberikan tanda untuk berhenti pada pemanah–pemanah di menara.
“Titus! Titus!” ujar salah seorang pemanah dari menara lain gelagapan. Jilatan api di ujung panahnya langsung dicelupkan ke dalam ember kayu berisi air. Dia melihat Éleon di sana. “Itu pimpinan! Dia bisa kena!”
Titus terdiam, dia mengendurkan kembali tali busurnya. “Astaga, kau benar…” ucapnya terkejut, sekaligus bertanya-tanya di dalam pikirannya. “Mau apa orang gila itu?”
Melihat Titus berhenti, yang lainnya pun tak lagi meluncurkan anak panah.
Dari menara itu, tangan Éleon tampak seperti batang lidi, namun jelas sekali tangannya menunjuk ke langit sambil menghunus pedang. Sejenak Titus diam berpikir, apakah itu sebuah isyarat, atau hanya luapan emosi Éleon semata. Nyatanya Éleon terus menahan posisi pedangnya seperti itu, sampai Titus membulatkan tebakannya. Dia tersenyum heran, sambil menggelengkan kepala, lalu dengan sedikit percikan dari obor yang tergantung di tiang menara, dia mengobarkan kembali api di anak panahnya. Alisnya mengernyit tajam, sebelah matanya ditutup rapat-rapat, sambil menahan nafasnya, bukan membidik musuh melainkan Éleon.
Siapapun atas menara, meskipun tidak melihat dari sudut pandang Titus, pasti akan mengerti juga apa target dari panah Titus.
“Titus! Kau ini gila atau apa?” sergap seseorang dari seberang menara dengan semburan kata-katanya.
“Gila…” gumam Titus tak serius sambil terus tersenyum. “Tahukah kau siapa yang lebih gila daripadaku?” ujarnya sedikit lebih keras. Sepertiya bidikan Titus sudah mantap, dia tak ingin diganggu dulu saat ini.
Pemanah lainnya tetap mencegah bidikan Titus. “Bodoh! Kau membahayakan Éleon, turunkan busurmu!”
Titus terkekeh kecil, hanya sekali, sebab dia tak ingin tangannya berguncang terlalu banyak. “Tepat sekali!” teriaknya sesaat setelah anak panah terlepas dari tangan. Hatinya hanya berharap, semoga benar-benar tepat.
Tangan Éleon bergetar, pedangnya agak terpental ke depan. Saat itu dia sadar, pedangnya sudah menyala-nyala, kobaran api tersulut dari anak panah Titus yang datang menyambar. Tak berselang lama, medan pertempuran baru kini mengepungnya, antara tiga ratus orang melawan satu. Éleon menyergap satu orang dengan hujaman lurus dari atas, sayangnya serangan itu masih dipatahkan oleh tangkisan pedang. Éleon mengibasnya lagi, kali ini secepat kilat pedangnya sudah mengoyak bagian dada sang musuh, darah memancar seiring api merambat. Kemudian kakinya mendorong orang itu jauh-jauh, dua-tiga orang bertubrukan dengannya, api menyala lebih besar lagi.
“Berkobarlah, berkobarlah!” teriak Titus sambil tertawa puas, dia lega anak panahnya tidak melenceng.
Bala bantuan datang melapis Éleon. Mereka berlari tergopoh-gopoh, berteriak membakar semangat, sampai semua perasaan kecut itu lenyap tak tersisa. Éleon meluruskan pedangnya, sebagian dari mereka membenturkan pedangnya ke sana agar api merambat, sebagian lagi mengambil api dari sisa pembantaian Éleon. Maka berkobarlah pedang-pedang lain. Api itu terus terjalin, hingga dua puluh tujuh orang berpedang api berhasil mengobrak-abrik tiga ratus serdadu yang tersisa.
Kurang lebih satu jam berlalu, getah pohon Gatte benar-benar efektif, pertempuran di tepian dermaga selesai. Éleon tak percaya ini, tapi mereka benar-benar telah mengakhiri nyawa tiga ratus orang, hanya dengan jumlah pejuang sekecil ini. Hanya sesaat dia menghembus nafas lega, pikirannya langsung terusik.
Apakah ini tidak terlalu mudah?
Éleon terdiam sejenak, di antara kobaran api dari mayat-mayat sekutu Benua Barat yang bergelimpangan di sekelilingnya. Salah satunya telah padam, sama seperti padamnya pedang Éleon. Pria itu lekas mendekati. Sebilah belati ditariknya dari balik pinggang, sesuatu mendorongnya untuk membuka armor mayat ini. Sedikit-demi sedikit, pikiran Éleon terhujami suara-suara desingan anak panah dan kobaran api yang terus menggema berulang-ulang. Mayat ini terlalu kurus, dia terlalu kurus untuk menjadi seorang serdadu persekutuan Benua. Éleon bisa melihat goresan-goresan luka di dadanya, seperti cambuk, bekas luka yang saling timpa-menimpa. Dengan penuh ketergesa-gesaan, dia beralih pada mayat lain, ke yang lain lagi, kemudian berpindah lagi, sampai dia menyerah. Éleon tak lagi sanggup untuk mengelak, goresan luka pada mayat-mayat itu serupa, bagaimanapun Éleon coba menyangkalnya.
“Oh, Frey…” gumamnya terhenyak. “Ampuni aku, ampuni kami…”
Rasanya ingin sekali dia menarik kembali juntaian tali-tali waktu, kembali pada saat sangkakala kedatangan kapal itu berkumandang, jauh sebelum nafsu membunuhnya terumbar. Tapi dengan tangan itu, tangan yang ia pandangi sekarang, dia hanya bisa meratap gemetar. Éleon tersungkur menatap lantai batu dengan rona-rona tetesan darah, tangannya gemetar, nafasnya memburu begitu hebatnya. Baru saja dia membantai ratusan manusia tak berdosa. Dengan tubuh sekurus itu, dia yakin, mereka hanyalah rakyat miskin yang diperalat oleh seseorang di balik sana—seseorang yang merencanakan penyerangan ini.
“Pimpinan! Kembali ke kota, mereka butuh bantuan!” teriak bawahannya, dia berdiri jauh penglihatan kusam Éleon, di tepi-tepi bangunan dari Eagle Harbour, dimana asap-asap putih mengepul tipis, disusul teriakan-teriakan—bukan teriakan pembakar semangat, tapi jeritan kekalahan.
Dia tak tahu berapa lama dihabiskannya dalam lamunan, hanya berdiri diam memandangi kota. Pihaknya yang berada dalam kondisi terjepit, sebuah kenyataan pahit. Keberhasilan barusan mungkin hanyalah hiburan dari dewa Theon yang sudah meramalkan kekalahan mereka dari awal.
Mungkinkah ini akhir dari perjuangan kami?
Sejenak dia mengadahkan kepala ke langit, memohon kehadiran Valkyrie di pihak mereka sekarang.
Semilir angin berhembus tak lebih dari tiga detik, mengibaskan satu persatu helaian rambutnya yang lengket oleh darah, terasa dingin saat merambati tubuh yang diselimuti peluh.. Dia terkejut setengah mati, Éleon hampir lupa tentang hal yang satu ini. Angin itu datang membawa kabar, kehadiran mereka yang terkutuk. Desirannya menyisir seluruh penjuru Eagle Harbour hingga ke dermaga pertarungan. Untuk beberapa saat pertempuran Enrico dan Klaha berhenti. Mereka sadar ada sesuatu yang tak pernah mereka temui di dimensi Maya. Sesuatu itu kini akan menyambangi tempat itu.
Suara jeritan tipis dan parau terdengar melengking hingga ke arena pertempuran.
Pertempuran panas itu terhenti beberapa saat. Jeritan itu membuat ratusan pasang mata terpaku ke sela-sela kegelapan hutan. Mereka menanti perwujudan dari suara mengerikan itu. Semua suara seakan sepakat untuk diam tanpa perintah. Ricuh akibat perang berganti irama jantung yang berpadu kacau. Bulu kuduk mereka mulai digerayangi kengerian sebab suara itu terdengar lagi.
Tak hanya sekali, berkali-kali.
“Experta Warcouranta!!!” menyusul sebuah jeritan serak yang terdengar memimpin seluruh jeritan-jeritan lainnya. Setelahnya terdengar sahutan mengerikan menderu-deru.
Sekelebat bayangan-bayangan hitam melesat cepat tanpa mampu terlihat jelas oleh manusia-manusia itu. Mereka berhamburan keluar dari sela-sela pohon rindang berdaun tebal, bak sekawanan burung gagak yang matanya terbelalak oleh ladang jagung. Mereka datang seperti untaian pedang-pedang yang memutuskan leher siapapun musuh mereka. Suara-suara mencekam itu menggetarkan keberanian kedua pihak. Par Aztandor berhamburan ke arah yang tak menentu, seperti capung dan menerjang mangsa secepat seekor elang.
Éleon menatapnya tanpa sekalipun berkedip..
Dia berdiri tegak dengan tangan memegang pedang, genggamannya bergetar penuh ketakutan. Baru kali ini dia dan matanya menyaksikan sendiri kehebatan Aztandor yang melegenda.
Bayangan-bayangan hitam itu meliuk-liuk di udara, lalu menghantam setiap musuh-musuh mereka. Seketika itulah, seluruh pejuang kebebasan tahu Aztandor berdiri di pihak mereka. Tangan-tangan kering para Aztandor menyergapi setiap wajah musuhnya, kemudian menarik keluar jiwa-jiwa mereka. Tubuh-tubuh kosong itu berjatuhan tanpa luka fisik dari Aztandor. Satu persatu bala tentara musuh mengalaminya. Pasukan pimpinan Klaha mengambil langkah seribu, mereka panik, sampai tak ada komando yang berani mengatur.
Semudah itulah Kaum Berjubah Hitam menanggalkan nyawa seseorang.
Para pejuang kebebasan hanya bisa diam di tempat mereka berdiri, sambil memandangi pemandangan itu. Berpasang-pasang mata mengikuti terus kelanjutan pembantaian itu. Hingga kini, barulah manusia-manusia dari pihak musuh memberanikan diri untuk memberikan perlawanan serius. Terlihatlah kelemahan yang nyata dari Aztandor. Meskipun mereka seperti iblis, malaikat pencabut nyawa, atau apapun itu, tapi di sisi lain, tubuh mereka adalah tubuh manusia, mereka masih mungkin diserang oleh tajamnya pedang dan tusukan anak panah. Namun biar bagaimanapun, para Aztandor masih sedikit lebih beruntung, mereka bisa terbang selincah seekor lalat, lagipula mereka tak bisa mati.
Klaha memisahkan pertempurannya dengan Enrico. Dia lebih sibuk menghardik gerombolan kain-kain hitam yang mengerubunginya. Ini bukanlah saat untuk menyerang Klaha, di saat dia sibuk. Tapi Enrico sadar ini saatnya untuk mundur sejenak dan mengisi kembali tenaganya. Lagi-lagi usia, dia kesal dengan hal yang membuatnya semakin lemah itu. Terpaksa dia turuti kehendak tubuhnya.
Para pejuang yang tercengang dikejutkan lagi oleh suara derap kuda dari balik hutan. Mereka tahu suara tapal sekuat ini adalah milik Vacour, kuda milik pimpinan pejuang kebebasan, Lampros Témpust. Bayangan hitam kanopi hutan perlahan memudar saat cahaya matahari memperlihatkan wajah terburu-buru Témpust. Kedatangannya disambut wajah lega para pejuang. Tanpa banyak kata, dia menghampiri Éleon yang tak menyadari kehadirannya.
“Maaf, kurasa kau tahu kemana perginya diriku,” ujarnya sedikit mengagetkan Éleon.
“Para Aztandor, Témpust. Mereka di pihak kita. Perjanjian apa yang telah kalian sepakati?” tanya Éleon cemas.
“Tak akan merugikan kita, Éleon.”
Datanglah pendeta berambut keperakan bernama Enrico di antara mereka.
“Kegilaan ini, Témpust. Aku harap sesuatu yang buruk tak akan menularimu dan seluruh pejuangmu,” tegas Enrico, alisnya berkerut.
“Kau akan sadari pentingnya hal ini saat kau berada di posisiku…” jawab Témpust tersela, kata-kata itu terhenti oleh gerakan kecil tangan Éleon yang seakan berkata, tenanglah sesaat.
Sebab saat itu mendadak Éleon merasakan sebuah kegelapan segera menyusul kehadiran para Aztandor. Dia pikir itu memang berasal dari Aztandor, tapi mengapa jantungnya lebih kuat berdetak saat ini, dia bertanya-tanya apakah ada lagi tamu-tamu yang tak diundang. Akhirnya dia meyakinkan diri kalau ini adalah kegelapan yang berbeda dengan apa yang digiring oleh para Aztandor. Wajahnya terlihat bingung.
“Kalian bisa merasakannya?”
Enrico dan Témpust mengernyitkan alis mereka hampir bersamaan. Mereka heran mengapa Éleon terus menatap aneh pada lautan luas di hadapan mereka.
“Suara-suara itu, kekuatan hitam yang lebih dahsyat dari para Aztandor. Mungkinkah mereka juga adalah kerabat para Aztandor yang datang menyusul?” tanya Éleon dengan nada menggantung.
Di saat kebingungan Éleon itu, situasi telah berbalik. Pejuang kebebasan terbebas dari kepungan manusia-manusia penyerang. Para Aztandor telah membersihkan keberadaan mereka dengan sempurna. Kini, hanya tinggal menunggu waktu bagi Qasfar untuk menagih janji dari Témpust. Impian memiliki tubuh baru yang lebih kuat sudah menanti di hadapan mata-mata hitam para Aztandor. Pemimpin dari kaum Aztandor itu menatap puas bagi hasil pekerjaannya. Seluruh tubuh yang telah jatuh ini, adalah milik kaumnya.
Sampai…
Aliran kekuatan di luar nalar mengalir melewati penerawangan Éleon. Kekuatan itu bagaikan ribuan kuda kekar yang berlari menerobos jurang kematian. Mendadak batas antara kehidupan dan kematian dilanggar. Kehidupan berhembus ke dalam pusaran medan perang ini, terbawa kegelapan yang disadari Éleon sejak tadi. Mayat-mayat musuh yang telah kehilangan nyawanya mulai berdiri lemah, dan dengan amat perlahan mengangkat kembali pedang-pedang mereka. Satu persatu korban dari para Aztandor mulai menapaki tanah dengan kaki mereka sendiri, walaupun tak ada nyawa di dalam tubuh mereka. Qasfar menyadari ada yang aneh dari kejadian ini. Manteranya tak mungkin salah. Jika begitu, dia pun tak bisa menerima ada kekuatan sebesar itu, kekuatan yang menggerakan ratusan mayat untuk bangkit kembali.
“Apa-apaan ini?” ujar Témpust. Dia menarik keluar Broad Sword dari sarung di pinggangnya.
Enrico tersentak oleh ingatannya beberapa hari yang lalu. Mayat-mayat hidup yang dia temukan di dimensi Maya, dia tak yakin apakah mayat-mayat hidup itu sama seperti yang dia lihat sekarang. Kekuatan gelap yang membungkus mereka memang terlihat serupa.
“Kurasa aku sudah biasa menghadapi hal-hal semacam ini. Cukup belah saja kepala mereka dan erangan-erangan memuakkan itu akan terhenti,” ujarnya kesal.
“Mataku telah menyadarinya, ikatan tubuh mereka dengan Benteng Tengah. Mereka tak akan mati sebelum sesuatu yang mengendalikan mereka di ujung lautan sana mengakui kekalahan armadanya kali ini,” ujar Éleon pelan.
“Maksudmu tidak cukup hanya dengan kepala?” ulang Enrico.
“Jika kau ingin mencobanya, aku tak akan melarangmu,” jawab Éleon. “Kita juga tak bisa hanya diam di sini dan menanti penyihir itu kelelahan dengan manteranya, bukan?”
“Sebaiknya penyihir itu sudah terlalu tua untuk bisa menahan makhluk-makhluk ini dalam waktu yang lama,” timpal Témpust.
Dengan penglihatan perinya, Éleon mampu melihat kuasa magis dalam setiap tubuh tak bernyawa ini. Tangan-tangan kekelaman yang menggenggam tubuh mereka bagai boneka. Dia juga bisa melihat bagaimana para penjemput nyawa, kaum phantom, berlalu dari tempat ini karena tugas mereka menjemput arwah telah selesai. Orang-orang ini benar-benar dikendalikan sepenuhnya oleh kegelapan. Kekuatan sihir itu menyebrangi ratusan kilometer antara dua benua. Jauh di ujung sana, di Comdred Fortress, dipastikan seseorang dari sebuah kaum, sedang menggerakkan jari-jemarinya di atas sebuah penglihatan akan pertempuran ini.
Salah satu Aztandor terbang cepat dan berhenti mendadak di depan Témpust.
“Kau tak katakan apapun tentang ikatan kuat Avalen di tubuh mereka!” protesnya. Suara itu menunjukkan kepanikan seorang Qasfar.
“Jika pun aku tahu, kau pasti telah mengetahuinya juga, Qasfar!”
“Avalen? Demi Theon, bukankah itu berarti seorang muda Avalen yang mengendalikannya?” sentak Éleon cemas. “Pernahkah kau lihat seorang Demetria membangkitkan orang mati, Témpust?”
“Hingga kini, inilah kali pertama aku mendengus nama Avalen dalam kematian. Ada orang lain yang bernama Avalen, dia yang melakukan semua ini,” ujar Témpust mencoba berpikir dan mengingat-ingat semua yang terjadi antara dia dan Demetria.
Témpust tak bisa melepaskan matanya dari para mayat hidup yang mulai menikmati kehidupan mereka kembali. Mata-mata kemerahan itu memandangi tangan-tangan mereka dengan takjub. Anugerah kehidupan kembali, yang selayaknya membuat mereka kegirangan.
“Jika legenda yang selama ini berhembus tentang keturunan Azatur Bardiel adalah benar. Semua tentang ketangkasan mereka dalam peperangan, semua keberingasan mereka, lebih baik itu kau nyatakan sekarang, Qasfar,” ujar Témpust pada Qasfar.
Qasfar merasa tersanjung, bersamaan dengan maksud Témpust menyinggungnya, tepat dia sadari pula. “Aku ingat, Lampros Témpust. Semua. Iya benar, semua,” katanya pelan, tanpa memandang ketiga orang itu.
“Aku tak bisa katakan kalau aku membatalkan semua itu,” jawab Témpust berharap penuh pada Qasfar. Sudah amat jelas raut Témpust dipenuhi frustasi dangkal yang perlahan makin dalam.
“Semua? Témpust, apa maksudmu dengan semua?” sela Éleon.
Témpust hanya memperlihatkan wajahnya sejenak pada Éleon. Matanya begitu serius, seakan dia meminta Éleon untuk tak menanyakan hal itu lagi. Témpust meninggalkan Éleon untuk memasuki pertempuran itu lagi. Qasfar juga memandang Éleon, namun dia tersenyum menyeringai, tawa serak yang memualkan bagi Éleon.
“Hamanidiosalfar, sungguh malang bagimu untuk terperangkap di sini. Kaumku jauh lebih berkuasa daripada kaummu,” sindirnya dengan nada remeh. “Perpaduan keangkuhan seorang Elf dan kefanaan seorang manusia. Matilah kau selekas mungkin.”
Qasfar lekas melayang kembali ke udara. Kaum itu melanjutkan apa yang mereka mulai, walaupun mereka membabi buta tanpa tahu apakah ini bisa diakhiri atau tidak. Kali ini pertarungan mereka imbang—antara Aztandor yang tak bisa mati dan mayat hidup tanpa nyawa.
Kata-kata itu menusuk dalam di lubuk hati Éleon. Dia benci mengakui itu, tapi kebenaranlah yang mengalir dari mulut kering busuk Qasfar. Dia juga sadari, pikirannya sekarang menghambatnya untuk beraksi kembali, sementara dia mengetahui dirinya sendirian di tempatnya berdiri. Enrico dan Témpust sudah mengayunkan senjata-senjata mereka di tempat lain.
Éleon menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Kemudian dia memantapkan hati untuk melupakan kata-kata Qasfar. Jalan hidup ini, dialah yang memilih jalan hidup seperti ini, demi menyadarkan kaum Ljosalfar bahwa kaum setengah manusia memiliki tekad untuk bersatu kembali dengan mereka. Hampir saja semangatnya dirusak oleh kalimat rendahan semacam itu.
Ravalanta, Ravalanta, Hálanta!
Ravalant ei im Gorgomur!
Eferof feli im Midianor
Eferof feli im Midianor!
Éleon dapat merasakannya. Mantera itu sambung menyambung menembus batasan tempat. Telinga-telinga musuh dengan mudah menangkapnya, jauh lebih baik dari samar-samar pendengarannya.
Harga diri mendorongnya untuk maju kembali.
Dia dan kebanggaan atas darah Elf, keturunan Markourith terakhir yang masih bertahan di lahan manusia, juga merupakan satu-satunya keturunan Markourith yang bercampur dengan tali kekerabatan manusia. Ibunya adalah seorang Lady, Deaneth Markourith, dan ayahnya hanyalah seorang pengembara, Ierick Baldmur. Mereka berdua bertemu di saat peperangan tengah berkecamuk, dalam kunjungan seorang Ierick ke tanah awal Elf, Lamarka.
Éleonais lahir di Lamarka. Hanya sekedipan mata ia bisa menikmati kasih sayang orangtuanya, hingga satu persatu dari mereka meninggalkan Éleon. Ierick Baldmur, mati dalam tugasnya sebagai pengantar pesan, dan Deaneth Markourith terpaksa mengikuti takdirnya sebagai Elf untuk menyepi ke Anabalheim, meninggalkan tanah Lamarka. Sejak hari itu, dia bersumpah, suatu saat kaum Ljosalfar akan menyesal telah meninggalkan mereka.
Éleon menyerbu mayat-mayat hidup itu, bersama pejuang yang tersisa, bersama Témpust, bersama Enrico, dia sadar dirinya tak sendiri dalam pertempuran ini. Untuk kali ini saja, dia berusaha keras untuk bekerja sama dengan Aztandor yang begitu dibencinya.
Satu persatu mereka berhasil dijatuhkan tanpa erangan selayaknya manusia hidup. Kenyataan mendasar bahwa mereka tak lagi bernyawa membuat tubuh-tubuh itu bangkit terus-menerus, meski tubuh mereka sudah tak berbentuk lagi. Darah mereka akan terus menetes, menyembur, namun tak akan ada kalimat kehabisan darah yang membuat kematian datang. Cipratan-cipratan amis itu hanya menggenangi permukaan lantai batu yang mereka pijak.
Lalu tiba-tiba mereka menjadi lincah, gesit, dan tidak lagi bergerak seperti idiot. Penyebabnya tidak lain adalah rangkaian mantera berbeda yang diperdengarkan dari Benua Tengah. Éleon yakin yang didengarnya barusan, berbeda dengan mantera yang menggaung saat mayat-mayat itu pertama kali dibangkitkan. Emosi dalam mantera itu terasa lebih kuat dari tekad para pejuang sekarang. Éleon tahu penekanan-penekanan intonasi khas yang dia dengar, bukanlah sembarang kalimat-kalimat mantera dasar dari dalam sebuah gulungan. Gulungan apapun itu.
Alcantarra, bei dea hamani
Gotfert im Gorgomur
Vallias la worpeluf
Ravalanta, Ravalanta!
“Apa yang kaummu lakukan di saat seperti ini, Hai Qasfar?” teriak Témpust. “Mereka tak bisa mati!” katanya menghadap ke langit.
Qasfar menatap bengis pada Témpust. Kemudian dengan penuh emosi dia mengacak-acak mayat-mayat hidup itu. Semua usaha itu hanya berakhir sia-sia.
Begitupun keyakinan Enrico akan ‘keampuhan kepala’ itu, menjadi tiada berarti. Mayat-mayat hidup ini berbeda. Bahkan mereka tak bernafsu untuk makan. Mereka tak inginkan daging-daging liat para pejuang. Mereka hanya bergerombol untuk membunuhnya, dengan sisa-sisa ketangkasan seorang manusia.
Lalu dimana Klaha?
Kepalanya menoleh cepat, matanya mencari-cari keberadaan makhluk besar itu. Dia sudah tak terlihat lagi sejak kepanikan besar itu terjadi.
Sial, bagaimana mungkin aku bisa berada dalam kungkungan kegelapan sedemikian dalamnya?
Kali ini, Enrico terpaksa meletakkan dulu hal-hal semacam itu. Bukan dia yang menentukan kedatangan Aztandor, tapi Témpust. Bagi seorang pendeta semacam dia, kegelapan harus diusir, bukan ditemani. Melihat apa yang dia lakukan sekarang, Enrico seakan sedang menjilat ludahnya sendiri.
“Oh, Tuhan, maafkan hamba-Mu ini,” gumamnya pelan. Matanya masih saja cemas akan keberadaan Klaha. “Lepaskanlah kami…” rapalnya khusyuk sambil menyeka bercak darah pada sabit, kemudian menanggalkan jubahnya. “…daripada yang jahat. Amin.”
Sebenarnya apa kehendak kegelapan?
Lambat laun tersirat sudah maksud mereka di dalam jalinan pikiran Enrico. Kelelahan inilah yang mereka incar. Di kanan, kiri, depan, belakang, sisa-sisa pejuang sudah berusaha sekuat tenaga mereka—melawan rasa takut, lelah, gentar, dan gusar. Dia tahu menghilangnya Klaha mungkin adalah bagian dari rangkaian strategi jitu untuk menjatuhkan ketahanan Eagle Harbour. Serba dadakan, pasti akan ada lagi dukungan yang cukup dari jemari Avalen di sana.
Guardian? Mungkinkah Gyoudrim akan datang lagi?
Tamatlah Enrico saat itu terjadi. Walaupun jauh sekali di antara sekat-sekat kekhawatirannya, Gyoudrim dianggap tak sehebat yang orang-orang katakan. Di kemah para bandit, kemampuannya tak lebih dari menyembur api dan tubuh kaleng yang sekeras baja. Enrico tak bisa menerima kabar tentang keberadaannya sebagai naga paling disegani di seluruh dataran Mithrillia. Jadi, Enrico yang sudah sedikit mengetahui legenda Lord Bordock, mengakui dalam hatinya, sudah cukup ketakutan ini berlanjut. Entah apakah itu namanya Grazzadra, ataukah Gyoudrim, beserta cerita tentang mereka yang terdengar sama hebatnya, namun itu belum seberapa di mata Enrico. Tak ada yang perlu dikagumi dari sosok ribuan tahun lalu itu—kecuali keagungannya sebagai raja pendamai.
Lagi-lagi pikiran yang terlalu ngelantur.
Enrico kembali pada dunia nyata. Seluruh pandangannya ke arena yang dipenuhi banyak kaum—para Aztandor, manusia, Hamanidiosalfar, dan mayat hidup, semua itu membuatnya ingat akan keramaian perang. Dahulu sekali, saat usia dua puluhan masih akrab dengannya, dia adalah seorang misionaris ke daerah-daerah koloni Belanda. Sejatinya dia tak mendukung kolonialisme, sama sekali. Tapi panggilan akan Tuhan yang membuatnya inginkan tugas itu. Perang, pembunuhan, penyiksaan, sudah lama sekali telah menjadi bagian dari kilasan-kilasan memori panjang dalam hidupnya. Termasuk pikirannya tentang Mithrillia, juga penyakit aneh yang merenggut kedamaian dalam kematiannya. JES telah mengambil dan memberi banyak hal dari nafas Enrico. Pada stadium ini, kematian hanyalah angan-angan palsu.
Dia bergerak mendekati Témpust, sebab percuma para pejuang membuang tenaganya untuk meladeni mereka. Enrico ingin memberitahu hal itu.
“Tolong hentikan perlawanan ini, Témpust,” ujarnya setengah berteriak. Témpust menoleh saat musuh terakhirnya bisa dia jatuhkan—sementara.
“Apa maksudmu, Enrico? Tak ada yang lebih berharga daripada mempertahankan kota ini.”
“Aku tahu, Témpust!” ujarnya makin keras. “Kau tahu ada seorang pemimpin penyerangan mereka yang bernama Klaha, lalu lihatlah dimana dia sekarang!”
Témpust terdiam dan melihat.
“Kau pikir ini suatu rencana, bukan begitu Enrico?” tanya Témpust dengan mata menjaring setiap sisi kota.
“Lihatlah kelelahan pasukanmu! Mereka sudah bertarung dari awal hari berjalan, melawan banyak musuh, ditinggalkan oleh pimpinannya yang menyalami Kaum Jubah Hitam, sampai memperoleh kenyataan kalau jalinan mantera bisa meruntuhkan semangat mereka. Ini sudah lewat dari batas, Témpust. Kau akan kalah bila sekutu mereka bertambah lagi,” jelas Enrico.
“Aku tahu, aku tahu, Enrico. Aku mengenal pejuang-pejuang ini. Sedikit lagi, aku yakin penguasa mantera ini bukanlah penyihir muda dengan banyak tenaga. Dia juga butuh istirahat, dan saat itu tubuh-tubuh ini akan hancur tak kembali, walau hanya beberapa saat…”
“Bijaksanalah sedikit, Témpust…”
“Jangan memotong kata-kataku!”
“Tapi aku harus!” balas Enrico keras. “Kau sadar bahkan Éleon pun tak menduga ada kekuatan dengan sihir sekuat ini? Ini lebih dari cukup bukti untuk membawamu dan seluruh pasukanmu menyingkir dari sini. Jika para Aztandor adalah penguasa perang, cukup bagi mereka untuk menahan makhluk-makhluk brutal ini, sementara.”
Témpust memandang yakin pada Enrico dan memperlihatkan kerasnya hati di dalam rongga dadanya. “Aku tahu, Enrico. Bantuan tak akan datang secepat itu dari Comdred Fortress. Jaraknya jauh, terkecuali mereka cukup serius untuk menurunkan beberapa Guardian bersayap.”
“Ada apa denganmu?” potong Enrico kembali. “Kau menjadi nekad bertindak. Kemana hilangnya kebijaksanaanmu selama memimpin kelompokmu?”
Pembicaraan itu dipotong oleh beberapa ‘sampah’ yang datang tak diundang. Tertunda, sampai saat gumpalan daging dan tulang itu kembali berjatuhan ke tanah.
“Apakah karena batu itu? Kau takut kalau kenyataan itu terlalu cepat datang?” lanjut Enrico menyerbu pertahanan diri Témpust.
“Aku tak mengerti maksudmu,” jawab Témpust tanpa memandang wajah Enrico.
“Aku menghormatimu, Témpust. Kau hebat, kau kuat, dan kau juga memiliki pengetahuan yang baik tentang sejarah duniamu ini. Sadarilah, keturunan Lampros terlahir untuk melayani para Incargot. Sekarang, saat keadaan berusaha membalik semua posisimu, kau menyangkalnya, Témpust.”
Terpotong lagi. Oleh hal yang sama.
“Keturunan Lampros bisa merubah takdirnya tanpa menunggu harapan dari batu Oriel!” bantah Témpust.
“Tapi kau sadari itu pada awalnya, dan ironis bila kau menyingkirkan kenyataan itu sekarang. Apa yang membuatmu berkata-kata pada Hellen pada pesta itu? Kau ragu dalam pencarian seseorang yang akan membuat posisimu jatuh,” ujar Enrico berusaha menahan emosinya.
“Kata-kata itu tak sepatutnya kau dengar.”
“Tapi aku mendengarnya! Di antara keramaian suara sorak-sorai, aku memandangmu dan menemukan prinsipmu yang sudah mulai terkikis.”
Terpotong lagi. Pembicaraan itu selalu menemui penurunan tensi tiap kehadiran mayat-mayat hidup yang mengusik. Enrico sudah sadar akan pemikiran Témpust ini, sejak mendengar bisikannya pada Hellen Mistrella pada pesta penyambutan dirinya dan Ivander.
“Sadarilah, Témpust. Arti keberadaanmu di sini. Tentang kepercayaanmu, pikirkanlah maksud Lameth membawamu hingga tahap ini. Ingatlah, apa pesan Theon dalam kekuatan dan kejelian perang yang dianugerahkan padamu,” lanjut Enrico menutup semuanya.
Dia kembali ke medan pertempuran. Hatinya berat meninggalkan Témpust yang tak jua mau mengubah sikap keras kepalanya itu. Témpust memang orang yang keras, tapi dia tak menutup kuping untuk setiap kata-kata yang menyentilnya.
Témpust melambungkan pikirannya pada Alexa.
Mengapa nama itu tak terdengar seperti selayaknya nama orang yang terpilih; lalu dimana keberadaan gadis misterius itu dan puteranya, Bader sekarang; dan apakah sebenarnya yang tengah terjadi di utara benua Timur sekarang ini. Selalu berat baginya untuk setiap desahan nafas yang menahan kata-katanya untuk mundur dari Eagle Harbour. Dia yakin, bila saat ini dia menang, tentu ada atau tidak adanya Sang Terpilih bukan menjadi masalah yang patut dirisaukan. Apalagi kepercayaan dirinya tengah menukik bersamaan dengan setiap pembicaraan orang-orangnya tentang sosok yang mereka cari-cari itu.
Pikirannya menyalahkan Lord Bordock untuk sesaat.
Pria itu sudah lama mati. Namun kalimat terakhir menjelang ajalnya tersebar, teraduk dalam sajak karangan para Elf. Kalimat itu mungkin sehangat matahari bagi penduduk Mithrillia, tapi setajam mata pedang baginya. Dia sadar dirinya bukanlah, dan tidak akan, menjadi segalanya bagi mereka. Témpust merogoh sakunya dalam-dalam, sambil digenggamnya benda keras, kasar dan dingin. Batu Oriel yang kini dipandanginya, tanpa cahaya, hanya seonggok batu seukuran kepalan tangan biasa, kasar dan sedikit ditumbuhi bercak-bercak noda. Jika suatu saat seseorang dari tamu-tamu Maya-nya datang untuk merenggut batu itu, maka lenyaplah segala ketergantungan pejuang kebebasan padanya. Ini sama saja seperti menggiringnya ke tiang gantungan..
Kehormatannya sebagai pemimpin akan hilang tanpa bekas.
“Témpust! Berapa lama lagi kita harus menahan ini?” potong Éleon dalam setiap ayunan pedangnya yang makin melemah.
Témpust tersadar dari lamunannya. Dia sadar prajuritnya memang membutuhkan sedikit waktu untuk bersandar. Témpust menghabisi satu mayat hidup untuk terakhir kali sebelum mereka beristirahat. Dia menarik tali kekang kudanya dan membawanya menerobos arena peperangan.
Vacour berlari kencang merubuhkan barikade mayat hidup.
“Tarik mundur! Semuanya, naiklah ke atas atap-atap rumah!” komandonya.
Pedangnya yang berlumuran darah memancarkan cahaya matahari, sekaligus wajah lega para pejuang. Jauh dari sudut pantulan pedang itu, seorang pendeta bernama Enrico tersenyum kecil menyambut keputusannya. Dia mengerti keraguan Témpust untuk menarik para pejuang sepenuhnya dari Eagle Harbour, mungkin Témpust berpikir mayat-mayat hidup ini justru semakin merambah hutan hingga ke Goat Hill. Tapi baginya, langkah ini sudah cukup bagus. Dia bisa pastikan, seseorang di ujung lautan sana tengah menggerutu, mengemertakkan gigi sambil menghitung mundur pelepasan Guardian yang akan dia mainkan pada babak ini.
Kuda-kuda mereka serentak berlarian dari wilayah Eagle Harbour menuju Goat Hill. Bila diam di sini, mayat-mayat juga akan mencabik-cabik mereka tanpa ampun. Diiringi sedikit kepanikan, pejuang kebebasan yang tersisa mulai memanjat. Mereka sekarang berdiri di atas, menyaksikan para mayat berjalan tak tentu arah. Jumlah mereka yang begitu banyak membuat para pejuang sadar akan posisi mereka. Dari tempat mereka berdiri dan memandang, mereka bisa melihat sesungguhnya makhluk-makhluk neraka itu mengerikan. Mereka lupa hal apa yang membuat mereka berani menghadapi kerumunan bekas manusia itu tadi.
Para mayat itu memang tidak bodoh, tidak lamban, tapi mereka malas. Mereka hanya menunggu di bawah, menahan sisa-sisa gempuran Aztandor. Kaum Aztandor akhirnya pun mulai menguncupkan jubah-jubah mereka, lalu bertengger pada bangunan-bangunan tinggi. Mereka diam menunggu, sama seperti para pejuang.
Sesaat, garis-garis mantera itu memudar di telinga Éleon.
Dia merasakan tak ada lagi aliran tenaga yang cukup serius untuk menggerakkan mereka. Mendadak, semua mayat hidup itu roboh satu persatu seperti boneka marionette dengan tali yang terputus. Tak butuh waktu lama bagi mayat-mayat itu untuk menjadi seonggok daging tanpa daya kembali.
“Keparat, kita dipermainkan,” geram Qasfar menjadi-jadi.
“Akhir dari rangkaian mantera-mantera berulang itu, begitu Éleon?” celetuk Témpust yang berdiri di samping Éleon. “Sudah kuduga penyihir itu terlalu lelah dan renta.”
Éleon hanya tersenyum mendesis. “Bukan, Témpust. Dia tak mengendurkan kekuatan sihirnya sedari awal. Kekuatan itu mendadak hilang, bukan perlahan menyusut. Itu artinya, dia sengaja melakukan hal ini untuk memancing kita turun kembali.”
“Ini buruk. Sampai kapan kita akan tertahan di atas sini?” gusar Témpust.
Éleon melirik kawanan Aztandor yang masih diam seperti tak terjadi apapun. Dia masih belum mengerti mengapa mereka harus dilibatkan dalam hal ini. Kemampuan mereka memang hebat, tapi mayat-mayat ini jelas tak bisa begitu saja ditaklukan, sekalipun oleh Kaum Berjubah Hitam. Para Aztandor tak mungkin bisa menyentuh kekelaman dengan kekelaman, apalagi jika kekelaman itu lebih dalam dari mereka.
Dia segera menyadari kekeliruannya.
“Pertempuran antar elemen, selalu itu yang terjadi,” gumamnya. Témpust sedikit menaruh perhatiannya pada suara kecil itu. “Mungkinkah sebuah kegelapan menekan kegelapan lainnya? Bukankah itu sama saja menambah kegelapan itu?” lanjutnya datar. “Aku curiga, mantera itu bisa sampai ke tempat sejauh ini hanya karena kehadiran Aztandor sebagai media perluasan kegelapan itu sendiri.”
“Apakah dendammu begitu kuat hingga kau menyalahkan mereka atas semua keterpojokan kita ini?”
“Tanpa dendam pun aku akan berpikir demikian, Témpust. Hendaknya kau resapi apa arti dari permusuhan cahaya dan kegelapan, antara kaumku dan mereka,” kata Éleon tegas, meskipun itu hanya terdengar, bukan terlihat dari sorot matanya.
“Berarti keputusanku memanggil mereka adalah sebuah kesalahan besar?” tanya Témpust menantang, nadanya tak berubah keras.
“Tidak sepenuhnya benar bagimu untuk berkata seperti itu. Hidup kami pasti sudah habis bila kau tak mendatangkan mereka, kesalahan hanya ada pada isi perjanjianmu dengan mereka. Jika mereka pergi sekarang, tak akan ada lagi tubuh yang terbangun. Percaya padaku.”
Témpust hampir tersedak. “Sepertinya aku harus memberitahukanmu tentang isi dari perjanjianku dan kaum mereka,” tanggapnya pesimis. “Aku menjanjikan seluruh tubuh dari korban perang ini pada mereka, itu kuanggap sebagai sebuah penawaran yang impas.”
Sontak Éleon menjadi lesu tanpa solusi di pikirannya. Mendadak semuanya menjadi buntu, sebab tali-tali magis pasti masih mengikat tubuh-tubuh itu. Para Aztandor tak mungkin mau mengambil tubuh yang sedang terikat mantera penyihir lain. Itu sama saja memasuki rumah baru, dan menemukan orang asing yang sedang duduk di atas sofa dengan camilan dan televisi, di tangannya. Perjanjian itu pasti tak bisa dilanggar, bagaimanapun halangannya, apapun kondisinya. Keadaan ini membuat para pejuanglah yang membantu Aztandor, bukan sebaliknya.
“Seharusnya kau berpikir lebih banyak, sebelum kau mengambil tawaran itu,” ujar Éleon kesal.
“Aku sudah berpikir, mungkin ribuan kali lebih dari yang kau tahu. Mereka hanya menginginkan tubuh sebagai imbalannya, pengganti jasad mereka yang telah usang. Awalnya justru mereka yang meminta, harga yang teramat mahal untuk aku berikan. Lebih baik aku berjuang sampai mati, daripada harus menyerahkanmu, puteriku, Cazar, sepupuku, atau orang-orang berharga lainnya…”
“Mungkin kegelapan hati mereka sudah menjangkiti hatimu. Kau bicara seakan-akan pejuang-pejuang lain yang mati bukanlah orang yang berharga. Sudah tak ada lagi pilihan lain untuk kita, selain memutus jalinan mantera itu. Kau yang bertanggung jawab atas semua ini, Témpust.”
“Bahkan jika nyawaku yang akan membebaskan orang-orangku dari rasa takut, aku akan melakukannya,” balas Témpust untuk semua kata-kata kesal Éleon.
“Aku melihat benang-benang itu mengikat kuat. Aku tak yakin kita punya cara untuk melewati ini, untuk membersihkan mereka dari Eagle Harbour. Lihatlah para Aztandor, mereka pun hanya diam. Sekumpulan makhluk yang tak bisa dipercayai,” komentar Éleon pedas.
“Cari dulu dimana jenderal mereka yang dinamai Klaha. Sebab si tua Enrico terus-menerus mengingatkanku akan hal itu. Ini permainan, Éleon. Mereka pikir mayat-mayat hidup ini bisa menguras tenaga kita sebelum bala bantuan datang.”
“Bau Guardian kental terendus. Pantas saja telingaku bergerak-gerak sedari tadi.” Éleon memaku pandangannya ke laut lepas. “Bukan naga. Itu Griffon dengan pekikan tajam mereka. Aku tak yakin penyihir itu mau mendatangkan Griffon di saat ini.”
“Kau sadar, Éleon?”
“Tentang apa?”
“Kurasa inilah saatnya kita benar-benar keluar dari sangkar yang mengurung kita selama ini. Penyihir itu, dia pasti lebih tangguh dari apa yang kita saksikan sekarang.”
“Kenekadanmu akan membawa kematian, Témpust. Aku takut dewamu telah mengutuk kalian. Aku takut Dewa Frey menaruh murka sepihaknya padaku,” sanggah Éleon cepat-cepat.
“Kutukan itu bisa dirasakan, Éleonais putra Ierick, dan aku tak mau mencicipinya setetespun di atas lidahku.”
“Lidahmu mulai angkuh dari mati oleh rasa-rasa sensitif, Témpust. Aku tak mengerti apa yang tengah terjadi padamu, bahkan pada kita semua. Comdred yang mendadak menyerbu kota, apakah ada yang kau simpan dariku?” tanya Éleon dengan nada curiga.
“Aku yakin kendala itu sudah menyebar ke seluruh telinga pejuang. Beberapa manusia Maya yang datang ke dunia kita, dan apa yang mereka bawa untuk mengejutkan kita.”
Témpust memandang Éleon untuk menanti responsnya atas pernyataan itu, namun sepertinya Éleon tak mengetahuinya.
“Batu, ini soal batu. Oriel telah menurunkan nubuatnya ke atas bumi Mithrillia. Darah Incargot kembali bergejolak, merah pekat seperti akan berjalan tanpa tuntunan. Peperangan ini, hanyalah lembaran pertama dari nubuat Oriel,” lanjut Témpust.
Dengan kekalutan Éleon, Témpust pun tak bisa menunggu lebih lama untuk segera mengambil tindakan lanjut. Pria itu meniupkan jari-jari di bibirnya untuk menyuarakan siulan tinggi ke langit. Beberapa saat, Reape yang dia panggil menjawabnya. Elang itu turun ke atas lengannya.
“Pesan apa, Témpust? Kita tak bisa melibatkan mereka di sini,” sahut Éleon.
“Memang bukan itu. Aku hanya khawatir musuh sengaja mendiamkan kita di sini bersama mayat-mayat bodoh ini dan menyerang kita dari penjuru lain. Mungkin Hutan Whisdur pun tak akan sanggup menelan para pengacau semua. Aku harus tetap berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk.”
Témpust mengoyak sedikit bajunya, kemudian dia melukai kembali ibu jari yang telah berangsur pulih dari luka goresan pisau Falabour. Di atas kain abu-abu itu, dia menuliskan pesan untuk sepuluh orang tersisa di Goat Hill.
Jaga Celah Grendith!
Kemudian kain itu diikatkan dengan kuat pada kaki Reape. Dilepaskannya elang itu ke langit luas, sampai Reape membelok tajam ke arah Goat Hill. Témpust memandangi hilangnya elang itu dengan penuh kerisauan. Dia menyadari pasukannya akan tertahan cukup lama di tempat ini. Mayat-mayat, penghalang dari semua kemenangannya kali ini.
………
“Apa yang kau cemaskan, Lakissa?” ujar Hellen memecah kegelisahan di raut wajah puterinya.
Hellen baru saja selesai membagikan sedikit makanan dari dalam sebuah karung, roti-roti keras yang agak asam, karena memang itulah rasanya, mereka di Goat Hill telah terbiasa memakan roti itu. Pengungsi-pengungsi itu duduk diam di antara tenda-tenda kain di tengah-tengah belantara Whisdur, beralaskan tanah hutan, beratapkan dedaunan. Kepada para pengungsi, Hellen juga turut membantu memberikan minum pada gelas-gelas pengungsi dari drum-drum kayu berisi air. Kali ini, dia berhenti sejenak, sebab kecemasan Lakissa lebih penting baginya.
Lakissa Vernedt berbalik dan memandang wajah ibunya yang juga terlihat cemas, meskipun wanita itu tak mau memperlihatkannya.
“Entah mengapa baru kali ini aku merasa cemas. Sejak Bader belum juga kembali, aku menjadi takut hal yang sama akan terjadi pula pada ayah. Sebenarnya ada apa ini, mengapa begitu mendadak, Ibunda?”
Memori Hellen tersentak. Malam itu, Témpust membisikinya sebuah kata-kata keraguan. Ragu kalau-kalau utusan bumi Maya itu mengelabuinya untuk suatu tujuan. Dia tahu suaminya bukanlah orang yang mudah untuk diyakinkan, tapi setelah batu itu menyala merah, Témpust begitu terguncang. Hellen pikir suaminya telah dipaksa oleh batu itu, untuk segera mencari seseorang yang telah diberitahukan pada bumi Maya sebagai Sang Terpilih. Pertanyaan Lakissa hanya mengerucut pada jawaban itu, keinginan Témpust untuk tetap menyangkal kehadiran keturunan Incargot yang dikiranya telah lama punah.
“Ibu, mengapa wajahmu kelam? Salahkah aku sebagai pejuang untuk bertanya seperti itu?”
Hellen mencoba untuk tersenyum dan memudarkan kekelaman di wajahnya. “Seandainya pun aku tahu, Lakissa. Ayahmu pasti baik-baik saja, dan kakakmu bukanlah laki-laki lemah.”
“Aku tahu…” Lakissa membuang pandangannya jauh dari keramaian manusia yang mencari makanan. “Hanya saja, Ibu, angin ini tak kuinginkan berhembus. Mereka seakan berteriak meramalkan takdir.”
Angin kencang sesekali berhembus melalui sela-sela pepohonan Hutan Whisdur. Gesekan mereka membunyikan suara-suara pilu, sebagai bentuk peringatan alam. Angin itu akan terus berlari, menyisir setiap pengungsi Goat Hill dan Eagle Harbour di sana, mencari-cari keberadaan orang-orang yang dianggapnya layak untuk menerima kehidupan lebih panjang. Bukan angin yang memikirkan itu, bukan pula sebuah sajak, namun Lakissa, dia jauh lebih khawatir dari yang dia perlihatkan.
“Apa yang tengah terjadi di sana…apa?” gumamnya saat berjalan pelan meninggalkan ibunya.
Hampir malam di sana, beberapa orang berkumpul di Hutan Whisdur. Mereka cemas, sebab tak satupun dari mereka yang tahu apa yang tengah terjadi di balik hutan dan kabut yang membatasi kotanya dan Eagle Harbour. Mereka hanya tahu pimpinan mereka, Témpust, menyuarakan agar mereka mengungsi saat Allain tiba-tiba datang dan berbisik dengannya. Sebagian dari mereka yakin, ini adalah suatu awal dari rangkaian kemalangan yang akan menimpa kaum terpinggirkan itu, seperti yang sudah batu Oriel ramalkan.
Sampai detik ini, delapan orang dari pengungsi telah menghilang dari rombongan utama. Persis seperti yang sudah Éleon bayangkan, sama seperti yang Allain khawatirkan, alam tak mau menerima mereka yang keras hatinya. Tapi saudara-saudara mereka sama sekali tak melakukan reaksi. Mereka terlanjur takut terhadap peringatan itu dan memilih diam, menunggu sampai kota mereka bisa ditinggali kembali.
Derap langkah kuda terdengar dari kejauhan. Sepertinya kuda itu begitu familiar di telinga Lakissa. Bisa tergambar betapa besar bobot kuda itu, betapa besar pula perawakannya, sama seperti perawakan penunggangnya. Dia datang dengan nafas memburu yang terasa dari arah Goat Hill. Lakissa maju beberapa langkah dan mengamati kuda itu menyibak gumpalan kegelapan dedaunan yang menutupi sosok besarnya. Waler Gurdon, dia datang tergesa-gesa.
“Apa gerangan yang terjadi, Waler?” sambut Lakissa gusar.
Waler menghentikan kudanya dan menapakkan kakinya di tanah. Sesaat dia mengamati keadaan pengungsi di dalam hutan ini. Jumlahnya lebih banyak dari yang dia perkirakan. Lebih banyak untuk dilindungi, lebih banyak untuk mati.
Di kejauhan yang sama, sembilan orang yang dia bawa tengah memacu kudanya menuju arah yang sama. Mereka semua telah meninggalkan Goat Hill untuk menggenapi tugas dari Témpust.
“Waler, bicaralah padaku!” ulang Lakissa.
Waler tersentak dari pikiran tingginya. “Reape datang dengan pesan dari pimpinan. Pesan itu tertulis dengan darah. Kami butuh lebih banyak pejuang untuk menjaga ujung Hutan Whisdur,” katanya terburu-buru dengan nafas menghembuskan hawa dingin.
“Darah, apa maksud darah ayah? Apakah itu berarti dia dalam bahaya?” sambung Lakissa cepat.
“Aku tak tahu. Aku datang dengan kapak dan sembilan orang lainnya ke sini, dengan keyakinan bahwa pimpinan baik-baik saja di sana. Dia memikirkan keselamatan kalian semua, pikirkanlah karenanya pesan itu dibuat,” katanya dengan suara serak yang menjadi ciri khas pria besar.
Waler Gurdon meninggalkan Lakissa yang menatapnya tanpa suara. Kemudian Waler berjalan untuk mencari bantuan bagi pertahanan mereka nantinya. Sembilan orang lainnya merapatkan kudanya di samping kuda cokelat muda milik Waler.
“Vana, Kruge, Bianco, adakah dari kalian yang bisa memberitahuku ada apa di ujung sana?” ujar Lakissa mencoba menghentikan sembilan orang yang berjalan melaluinya. Mereka diam tak merespon dan terus saja berjalan.
“Dustin, Afar…” panggilnya. “Berdin, Skhale…” ulangnya. “Musdack, Laruz, ada apa dengan kalian semua?” ulang Lakissa makin keras.
Pria tinggi, keling, tak berambut, berhidung bengkok, yang bernama Afar menolehkan wajahnya. Matanya putih, namun syaraf-syarafnya terlihat lelah karena warna merah di sekelilingnya. Pelupuk matanya terlihat menghitam. Dia memejamkan matanya sedetik sebelum menarik nafas panjang. Pria dari Benua Selatan itu terlihat begitu letih dan ingin segalanya cepat berakhir.
“Kami bingung, Lakissa. Tak satupun dari kami yang bisa masuk ke dalam Eagle Harbour. Sejak pesan itu terakhir sampai, kami tak bisa menembus dinding magis yang menyelimuti kota itu. Kami hanya takut, mereka terlanjur lelah sebelum mengetahui tak ada jalan keluar bagi para pejuang di sana. Pertempuran belum akan berakhir, Lakissa,” katanya putus asa. “Ini sebuah keberuntungan bagi Reape untuk bisa keluar sebelum selubung magis itu datang. Aku bisa menjamin kekuatiran ayahmu memiliki alasan yang sangat kuat.”
“Lalu kenapa kalian ada di sini? Bukankah kalian pergi berperang bersama mereka?”
“Ingatlah, kami adalah pengikut Lameth. Kami tak ingin terjerat pikat kegelapan,” kata Afar, dia berjalan pelan menuju Lakissa, kemudian kedua tangan lebarnya memegang pundak Lakissa. Afar menunduk pelan dan menatap mata gadis itu dengan serius. Lakissa terhenyak melihat rona kecemasan yang mendalam di mata Afar. “Ayahmu, dia gunakan Aztandor. Sebab itu kalian diungsikan ke hutan ini,” katanya amat hati-hati.
“Az….az….?”
Lakissa tak mampu berkata-kata saat berita itu disiarkan ke telinganya. Dia berusaha membuang pandangannya dari wajah Afar, dia tak ingin terlihat mempercayai berita itu, dia benci terlihat shock.
“Orang-orang ini dalam bahaya, Lakissa. Lihatlah jumlah mereka, lihatlah berapa banyak dari mereka yang bersenjata. Hanya sedikit, seperti Allain dan beberapa orang lainnya. Mereka bukan petarung. Apa yang bisa kita lakukan seandainya kita diserang oleh kelicikan Comdred? Tak ada, Lakissa. Semua ini akan hilang. Para Phantom akan senang hati menyeret mereka.”
“Kau bicara juga tentang ibuku, Afar. Aku tak akan biarkan ibuku tersentuh!”
“Bagus. Semangat itu sudah hampir pudar di sini. Pertahankan itu dan biarkan Dewa Lameth melihat betapa keras tekadmu.”
“Afar! Bantu kami kumpulkan beberapa orang!” seru pria besar lainnya yang bernama Musdack.
Afar menepuk pundak Lakissa beberapa kali sebelum dia berpaling meninggalkan gadis itu di belakangnya.
“Tunggu, Afar!” sontak Lakissa menyadarkan dirinya kembali.
Afar menghentikan langkah lebarnya sejenak dan setengah menoleh ke belakang.
“Ijinkan aku bersama kalian, apapun yang akan kalian lakukan setelah ini, ijinkan aku ada di dalamnya,” pintanya penuh harap.
Afar tak menjawab dan membuang wajahnya lambat-lambat. Sambil berjalan kembali, dia katakan, “Lakukan apa yang menurutmu benar, Lakissa. Saat ini, bahkan hati nurani pun tak kuasa untuk sekedar berbisik.”
Afar berlalu, kembali pada kelompoknya, kelompok yang tak menerima kedatangan Kaum Jubah Hitam sebagai sebuah pertolongan. Sebelum malam benar-benar terbentuk sempurna, mereka harus sudah siap di ujung Hutan Whisdur. Malam ini akan menjadi malam tanpa bulan, malam yang sempurna untuk penyerangan mendadak. Seseorang seperti Témpust pasti sudah memikirkan hal sedetil itu. Memang beruntung baginya kali ini, Reape masih sempat menerobos dinding magis yang saat itu baru setengah terbentuk.
Tak ada yang tahu berapa besar armada yang akan melakukan serangan dadakan malam itu. Strategi brilian seorang penyihir Avalen yang menguntit dari balik lubang-lubang hati mereka, telah berjalan dengan begitu sempurna, melibatkan tiga ras yang terlihat begitu bodoh saat ini—Aztandor, manusia, dan Hamanidiosalfar.
Skak bagi sang raja!
Tak terbaca oleh langkahnya, Témpust sudah berada di ujung tanduk yang rapuh. Dia yang diperlakukan bak raja di sini, harus menerima kenyataan teritorinya telah dikuasai pion-pion musuh. Tinggal menghitung jam sampai sang penyihir sampai hati untuk menggerakan kesatria-kesatrianya ke medan pembantaian. Di sini, jauh di dalam Hutan Whisdur ini.