Monday, 31 May 2010

CHAPTER 15 - Datangnya Harapan

Pengusung meriam-meriam telah berhenti berteriak. Komando-komando keluar dari ruang penembakan meriam. Tak ada lagi yang bisa ditembaki oleh bola besi hitam itu. Dua kapal Comdred hancur, namun awak-awaknya berenang, menepi dengan cepat. Dua kapal lainnya telah merapat dan menurunkan serdadunya dengan sempurna. Pimpinan serdadu Comdred itu menggila. Klaha, Assassin pertama dari dua kelanjutan Assassin Project, menghantam para pejuang kebebasan dengan senjata api tak berpelurunya—sebab tak ada peluru di Mithrillia. Peluru-pelurunya telah habis saat menghabisi penghalang perjalanannya dari Iscariot ke Comdred Fortress—sekaligus membunuh orang-orang di markas Alpha Operation, termasuk Deven.

Para pejuang kebebasan berusaha sekuat tenaga menahan gempuran bertubi-tubi dari kaum Abodh yang digiring ke sana oleh kekuatan kegelapan Midianor.. Mereka terlalu banyak bagi para pejuang kebebasan, situasi ini tak berimbang. Sudah berjam-jam setelah Témpust mengirim Reape ke Sladur, namun tak ada tanda-tanda kehadiran rombongan jubah hitam.

Empat ratus Abodh datang menyerbu, menghadapi dua ratus orang dari pihak pejuang kebebasan.

Drama perjuangan keras terjadi di Eagle Harbour saat itu. Suara gaung kapal yang biasa terdengar berubah menjadi suara teriakan-teriakan yang saling terkait. Tebasan senjata, logam berdesing, kemudian teriakan menyusul. Hantaman gada dan kapak berat para Abodh juga menghancurkan lantai Eagle Harbour menjadi puing-puing, penuh dengan semburat darah.

“Jangan mundur! Tahan barisan!” teriak Témpust keras-keras.

Para Abodh berbaju zirah memang alot untuk ditekuk, tapi mereka tak cepat, mereka lamban. Kapak-kapak mereka mudah dipatahkan gerakannya, namun tebasan-tebasan punya kekuatan yang cukup untuk mematahkan pedang dalam beberapa kali aduan. Suara dentingan besi, seruan kesakitan, hantaman tubuh, geraman Abodh, dan tentunya seruan suara serak Témpust yang menekan rasa takut bawahannya selalu terdengar.

Selain itu, para pejuang gentar akan wujud Klaha.

Terkecuali Enrico yang menghadapinya sendirian.

Monster itu memiliki ukuran tubuh yang sebanding dengan para Abodh. Kulitnya abu-abu, kering, dengan jahitan di mana-mana. Dia hanya memiliki satu mata sementara mata lainnya hanya tinggal sebuah lubang kosong. Tak berambut, hanya kepala dengan bagian tengah agak menonjol, dan hidungnya tertutupi masker besi yang menyambung ke tengkuk. Pundaknya begitu besar hingga menyatu dengan leher. Tubuhnya terbungkus baju besi yang begitu sempurna. Sebelah tangan senjata, sebelah tangan jari-jemari yang genggamannya bisa meremukkan mobil sekalipun. Sayangnya, atau lebih tepat ‘untungnya’, Klaha bodoh dan lamban.

Enrico belum lelah untuk yang satu ini. Dia telah beberapa kali memasukkan serangan ke dalam pertahanan Klaha, namun tampaknya ciptaan biadab ini memiliki seribu satu alasan untuk tidak merasa sakit. Tangan rentanya sudah lelah menggenggam sabit perak dan menghujamkannya keras-keras ke tubuh Klaha. Monster itu sulit membalas, tapi balasannya akan jauh lebih menyiksa Enrico dibandingkan semua serangan yang telah Enrico lancarkan. Inilah Klaha yang telah merenggut nyawa Deven. Dendam Enrico begitu memanaskan darah di nadinya. Bayangan Deven selalu tampak di setiap geraman parau Klaha. Kelelahannya mendadak sirna saat itu. Dia tahu kebencian adalah dosa, tapi membiarkan musuh merenggut sesuatu yang berharga di hidupnya juga adalah sebuah dosa bagi Enrico.

Langit seakan runtuh saat terdengar gema sangkakala baru.

Keberanian itu seakan runtuh saat tiga kapal lain menyembulkan layarnya dari garis horizon. Atas nama Comdred Fortress, mereka datang untuk mengusung kekuatan perlawanan yang lebih besar di Eagle Harbour. Pengisi kapal-kapal itu adalah manusia yang dibutakan oleh propaganda dan harta. Ironisnya, mereka yang berada di kapal itu adalah orang-orang dari Benua Tengah, mereka yang seharusnya masih memiliki garis keturunan bangsa besar Nemoralexia. Bagi mereka, uang lebih penting dibandingkan perjuangan mati-matian melawan penjajah Mirage yang jumlahnya puluhan kali lipat dari jumlah orang-orang yang menentangnya.

Éleonais menatap pesimis pada tiga kapal itu.

Cipratan-cipratan darah melekat di wajahnya yang telah membunuh banyak musuh, sebagian mengering di sekitar kelopak matanya, berisi mata yang memancarkan ketidakpercayaan akan apa yang dilihatnya sekarang. Pasukannya telah lebih banyak hilang dibandingkan pasukan bantuan Témpust. Pimpinannya itu terlihat tak fokus sepenuhnya pada pertahanan. Sesekali dia memergoki Témpust menengok ke arah hutan menuju Goat Hill.

Di sisi lain, sepuluh orang yang tersisa di Goat Hill tengah mengalami ketakutan yang sama dengan yang dialami Mérdanté. Para Aztandor sudah menduduki Goat Hill. Mereka menanti Témpust untuk membicarakan kesepakatan bagi kedua pihak. Goat Hill memberi tanda asap hitam dari kumpulan sampah yang dibakar di dalam lubang tanah. Asapnya memanggil-manggil Témpust untuk datang.

Tak sedikitpun tanda itu meleset dari pandangan Témpust.

Darah menyembur keluar dari Abodh terakhir yang ditebasnya dengan pedang tebal di tangannya. Tak ada lagi waktu bagi Témpust untuk terus menahan gempuran. Dia memanggil kuda kekarnya dengan siulan kencang. Vacour, kuda itu berlari dengan cepat menyongsong majikannya. Témpust beranjak dari tempat itu tanpa berkata apapun. Éleon melihat kepergiannya.

Tapi dia tak bisa terpaku terlalu lama pada pandangannya terhadap Témpust. Lingkungan bisa membunuhnya kapan saja dia lengah. Éleon berusaha mengacuhkan pikiran itu dan fokus pada pertarungan. Dia yakin pimpinannya sedang mengusahakan sesuatu yang baik bagi pertempuran ini.

Apakah Aztandor telah datang?

Tiba-tiba saja pikiran itu mengunjunginya. Seperti yang Allain sampaikan padanya. Bala bantuan yang tak diharapkan, namun amat diperlukan.

Apakah asap hitam yang sekarang masih terlihat itu adalah tanda dari orang-orang yang tersisa di Goat Hill?

Pikirannya mulai diganggu oleh hal-hal semacam itu. Dia sangat amat yakin kedatangan Aztandor akan menjadi kejutan terbesar bagi pertempuran ini. Bukan hanya bagi pihak penyerbu, tapi juga bagi pasukannya yang mati-matian mempertahankan kota strategis ini.

Éleon membuyarkan semua lamunan itu dengan cepat.

Dia hampir saja hancur oleh hantaman kapak Abodh yang mengalir menuju tengkoraknya. Hantaman itu tertahan oleh pedang pejuang lainnya. Segera disadari betapa beruntung dirinya.

“Jangan melamun, Éleon,” katanya setelah menghempaskan nyawa Abodh itu dalam beberapa kali serangan penuh konsentrasi dan tenaga.

Éleon tersenyum gelisah. Dia kembali ke jalurnya sebagai pimpinan pasukan Eagle Harbour. Rasanya sesuatu yang besar akan terjadi setelah ini, firasatnya terus membisiki terus-menerus. Semoga itu adalah kemenangan bagi pejuang kebebasan.

………

Waler Gurdon masih di Goat Hill, bersama dengan sembilan orang lainnya. Mereka menanti tanggapan atas sinyal itu. Dua puluh lima Aztandor menyinggahi Goat Hill. Mereka hanya melayang diam beberapa sentimeter di atas tanah dengan Qasfar berdiri di barisan terdepan.

Terdengar suara deru tapak Vacour dari kejauhan.

“Dia datang. Kalian bisa berbicara dengannya sekarang. Aku minta kebaikan hati kalian dalam kesepakatan nanti,” tandas Waler.

Qasfar melayang melewatinya, bergerak semakin dekat menuju pintu hutan, tempat Témpust akan datang.

“Jika ada yang bisa kami minta sekarang, itu adalah tubuh besarmu. Jadi diamlah dan saksikan pimpinanmu berbicara. Apakah dia cukup pintar dalam hal ini,” kata Qasfar mencibir.

Waler menunjukkan raut wajah kesal. Namun dia sadar, sepuluh orang tak akan sebanding dengan dua puluh lima Aztandor—bahkan lima puluh orang sekalipun. Dengusan nafas-nafas parau Aztandor seakan menghipnotis untuk tetap diam.

Semakin keras terdengar Vacour meringkik, membawa Témpust memasuki Goat Hill kembali. Dia terkejut melihat jumlah besar Aztandor yang datang, terlebih lagi perawakan mereka tampak lebih dari yang dia perkirakan—lebih menyeramkan, lebih misterius, lebih jahat, dan terlihat begitu licik. Témpust segera turun dari atas sadel dan berjalan cepat mendekati Qasfar, pimpinan kaum Aztandor, keturunan langsung dari Azatur Bardiel.

“Kuharap kebaikan hati kalian yang membawa jubah hitammu melayang ke kota ini,” sapa Témpust.

“Hawa kematian begitu kental, Témpust. Tak kusangka keadaanmu lebih tersudut dibandingkan apa yang temanmu katakan. Seorang pria berambut ikal datang dengan wajah gemetar saat melihat kami. Kuharap kau benar-benar mengutusnya.”

“Mérdanté? Tentu dia yang kuutus.” Témpust berpikir mengapa Qasfar hanya menyebutkan ciri dari satu orang saja.

Kemana Ivander dan Cazar? Apakah urusan pencarian itu belum tuntas juga?

“Seluruh tubuh tak bernyawa di sana…” Témpust menunjuk arah Eagle Harbour, “…ambillah jika kalian inginkan.”

“Pimpinan, termasuk para pejuang?” sela Waler.

Diliriknya Waler Gurdon dengan tajam. Akhirnya Waler memilih diam dan hanya mendengar.

“Kehidupan seribu tahun kami tidak dimaksudkan untuk tubuh-tubuh serendah itu lagi, Témpust. Kami tahu ada beberapa orang yang memiliki derajat lebih di matamu…” Témpust berusaha mencerna maksud kata-kata Qasfar. “…seperti Mérdanté, Mered hampir saja membuatnya kehilangan ‘wadah’ untuk hidup. Aku tak ingin kaumku menyesal telah mengabaikan Mérdanté. Aku butuh bayaran setimpal, tubuh dari jiwa yang kuat.”

Siapa? Éleonkah?

Témpust memikirkan nama itu untuk pertama kali. Namun dia buru-buru menepis nama itu dari pikirannya. Ada banyak orang seperti itu di sini, Lakissa Vernedt dan Lampros Bader, puteri dan puteranya dari perkawinan dengan Hellen Mistrella; Cazar Balamug, tangan kanannya, ahli penyusupan terbaik mungkin di seluruh benua Timur; Lampros Mérdanté, sepupunya yang amat loyal, putera dari Lampros Gilford, adik Lampros Alford—ayah kandung Témpust; Éleonais Markourith, putera dari seorang gadis keturunan kaum Elf, yang menikah dengan keturunan Baldmur; Waler Gurdon, pandai besi andalannya; Titus Vallam, yang walaupun agak kurang dalam respon, kemampuan bertarungnya tak diragukan lagi. Meski cukup banyak, namun tak satupun dari orang-orang itu sudi diserahkannya.

“Hanya sampai sebatas itu kebaikan yang kutawarkan padamu, Qasfar anak Azatur. Hanya tubuh tak bernyawa,” tandas Témpust sekali lagi.

“Jika satu dari mereka yang berhamburan di pikiranmu terjatuh dalam peperangan, maka itu akan menjadi hak kami,” jawab Qasfar.

Témpust tersenyum menggeleng heran. Dia sedikit terkejut akibat kemampuan Qasfar untuk membaca pikirannya, sekaligus ia begitu percaya tak satupun dari mereka yang akan mati dalam peperangan.

“Terserah padamu, Qasfar putera legenda Azatur. Kami menghormati bantuan darimu dan akan menepati kesepakatan yang terjadi saat ini.”

“Termasuk bila itu tubuhmu, Témpust?” tanya Qasfar. Senyumnya tak memendam sedikitpun keculasan. Semua jelas tersirat.

Emosi Témpust nyaris tersulut oleh untaian kata-kata itu. Dia berusaha memendam emosinya di depan para Aztandor. Dia ingat apa yang ada di dalam tubuh para Aztandor. Menghadapi mereka semua. sama saja mengadu pedang dengan setengah kekuatan dari Lord Bordock.

“Kau tak akan menemukan kesempatan itu, Qasfar. Aku mengenal pedangku, dan pedangku mengasihi aku lebih dari tetesan darah. Dewa Lameth menjanjikan kemenangan bagiku. Aku akan tetap hidup untuk melihat dominasi Mirage diruntuhkan oleh Sang Terpilih,” kata Témpust. Dia tersenyum meremehkan sesuatu yang dianggapnya sebagai sindiran dari Qasfar.

Qasfar menyerahkan sebilah pisau pendek yang matanya bengkok. Gagangnya berukiran api-api berwarna ungu dan hitam, dengan sebuah mata di dasar gagangnya. Pisau itu terasa ringan, tapi bisa sangat mematikan. Ketajamannya bahkan terasa menusuk setiap mata yang melihat.

Greimand nor Témpust, Greimand ei riw. Segal falabour!

“Teteskan darahmu pada simbol mata di gagangnya. Simbol itu akan menjadi sebuah perjanjian yang tak akan terkhianati antara kau dan kaumku,” sambung Mered.
Hati Témpust berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk melakukan hal ini.

Pada akhirnya dia menyayat sedikit dari jari telunjuknya. Darahnya yang tersisa di pisau langsung terhisap ke atas, mengalir ke gagang pisau itu dan membuat mata di dasar gagangnya menyala bagai warna darah. Seketika itu Témpust merasa tangannya kaku dan dingin. Perasaan tajam itu berlangsung sesaat sebelum dia menyerahkan pisau itu kembali pada Mered.

Terdengar suara tawa Qasfar mendesis. Dia tak menoleh untuk melihat prosesi itu sama sekali. “Sudah selesai, Témpust,” ujar Qasfar.

Mered maju beberapa langkah dan mengambil pisau itu dari genggaman Témpust. Secepat kilat menyambar, dua puluh lima Aztandor bertolak dari Goat Hill, menyusuri pepohonan bagai capung beterbangan.

Témpust bergegas kembali ke atas sadel Vacour. Dia harus memimpin kembali perang itu. Tanpa dirinya, dia tak percaya para Aztandor akan mengikuti semua perjanjian yang terjalin. Pisau Falabour merupakan benda yang diturunkan bagi pendeta-pendeta tertinggi di Nemoralexia. Benda itu selalu ada setiap kali perjanjian darah akan dilakukan. Pemimpin kaum Aztandor, Azatur, menjadi pemegang terakhirnya saat ini, sangat mungkin kaumnya telah mengubah ketentuan dalam penggunaan pisau itu. Para Aztandor menguasai tiga per empat dari seluruh mantera hitam dalam gulungan kegelapan—para Svartalfar sendiri hanya menguasai setengah, namun jauh lebih mahir dari Aztandor.

“Aku kembali ke Eagle Harbour, Waler,” katanya sambil sedikit merintih. Ujung jarinya masih terasa sedikit ngilu. “Saat kalian lihat asap dari Eagle Harbour berwarna hitam, bawa kembali para penduduk ke kotanya.”

Waler mengangguk mengerti.

Vacour pun melesat menyusul para Aztandor yang sudah lebih dahulu memburu nafsu mereka. Nafas-nafas busuk itu terdengar menggema hingga ke seluruh penjuru hutan. Témpust harus menyadari niat mereka sepenuhnya berada pada keinginan untuk mendapatkan tubuh-tubuh baru, bukan pada keinginan untuk menyambung kembali kekerabatan yang sudah ratusan tahun pupus oleh perbuatan mereka sendiri.

CHAPTER 14 - Aztandor

Lurus melalui celah-celah batu di Lembah Gardner, kemudian melintasi patok-patok kayu cokelat tua besar yang menandai perbatasan Raven, akan ada sebuah hutan tua dengan aroma kerapuhan berdiri di belakang pepohonan muda yang mengelilingi tepian luarnya. Di sekitarnya terdapat banyak makam kumuh yang lama tak terurus—bahkan gundukan tanahnya sudah terbongkar. Hutan jelek itu memiliki nama Urifed. Di sanalah kaum jelek itu juga menetap dan bersembunyi, Aztandor.

Benteng Raven terlihat jumawa di bawah bendera hitam di ujung-ujung menaranya. Rajutan singa berbenang emas itu berkibar mewah, bersama rumbai-rumbai benang warna emas di seluruh tepinya. Umbul-umbul itu menghiasi setiap sudut dari kompleks tembok Raven Fortress, benteng dengan meriam terbesar yang mampu menyapu pasukan musuh bagaikan tertiup angin. Meriam itu panjangnya lima puluh meter, lebarnya empat setengah meter. Para penyihir dari Raven akan memasukkan kabut ungu—perwujudan dari kekuatan sihir mereka—ke dalam botol-botol kaca seukuran genggaman tangan. Itulah mesiunya. Letusan meriam itu hampir bisa meruntuhkan separuh Benteng Sladur. Mereka menyebut meriam itu De Valkyrie.

Hutan Urifed, tak menyeramkan di siang hari, namun hilangnya sinar matahari sejak petang akan melepaskan aura kelam dari keberadaan para Aztandor di sana. Hutan itu terdiri dari pohon-pohon eboni dengan kayu-kayu yang baik untuk membuat harpa dan genderang. Bagian terluar hutan ini adalah sumber kayu utama bagi penduduk Raven Fortress. Ketika siang, para penebang pohon datang untuk setidaknya mengambil sebatang pohon untuk dijadikan karya baru, atau untuk dijual dalam bentuk papan-papan dan gelondongan. Tapi serangga pun tak berani masuk ke dalamnya saat malam tiba, dan tak seorangpun berani.

Si pintar Mérdanté, sepupu dari Témpust.

Tak ada waktu lagi baginya untuk berpikir kalau tempat itu berbahaya bila didatangi sendirian di pagi-pagi buta. Kudanya sudah letih karena terus dipacu dalam kecepatan yang tak kira-kira. Mérdanté tahu dia tak boleh berhenti di sini, dengan penuh harapan, dia mendorong dirinya memasuki Hutan Urifed. Pagi muda yang masih diselimuti kabut. Mérdanté membelah kabut itu dengan derap kudanya. Lembap dan dingin, rasanya seakan menusuk lubang telinga. Beberapa kali sahutan burung gagak terdengar, diiringi dengan semilir angin. Dari tepian dalam pohon-pohon muda, tanah semakin curam membawahnya ke hutan tua, dengan akar-akar rapuh dibungkus lumut dan puluhan ranting patah berserakan. Pijakan Hesfid amblas setiap tapaknya menyentuh tanah lembek di Urifed, tak jarang ada genangan-genangan air berwarna kehijauan dengan bau busuk menyeruak. Kalau sudah begini, hanya dengan insting Mérdanté mencari keberadaan Kuil Azatur. Dia berharap alam membantunya menemukan tempat terlarang itu.

Salah, sepertinya alam segan.

Mérdanté berdiam di tengah hutan, berusaha menenangkan kudanya yang semakin kalut. Dia tak menemukan satupun tanda-tanda keberadaan tuntunan alam. Dia tahu dirinya tersasar, meskipun pisaunya sudah menggores tanda silang di pohon-pohon, tetap saja pohon-pohon tergores itu yang ditemuinya lagi. Lagi dan lagi, meskipun Mérdanté masih belum mengakui dia salah jalan. Pasti ketemu, aku akan menemukannya. Mérdanté tahu waktu sangat terbatas, apalagi bagi Témpust di ujung benua sana.

Mérdanté merasa benar saat dia mulai memasuki bagian hutan lain, semakin berbau busuk, dadanya semakin sesak. Entah darimana lender-lendir kental yang bergelantungan di dahan-dahan pohon itu berasal. Pohon-pohonnya kelihatan kurus dan terkelupas bahkan beberapa di antara mereka tetap berdiri walaupun mati. Dia tak bisa memungkiri kalau tulang belulang manusia bukanlah hal aneh di dalam hutan ini. Cahaya matahari tak sedikitpun menembus bebas ke dalam. Hanya ada sinar-sinar tipis dari celah kecil dari kanopi hutan. Pantas saja banyak pohon-pohon rendah yang mulai kurus dan mati. Itu karena cahaya tak menyusup baik. Pohon-pohon tinggi itu pastilah sudah tua dan renta. Sudah begitu, daerah ini lembapnya bukan main.

Hidungnya tertarik oleh bebauan tipis yang samara-samar menunjukkannya jalan, wangi dupa. Tidak salah lagi Mérdanté sudah berada di jalan yang benar. Beruntung bagi Mérdanté, dari sudut kanan matanya, dia melihat batu besar tertanam di tanah. Bentuknya seperti nisan kotak, sudah retak di sana-sini dan berlumut di dasarnya. Semakin dekat Mérdanté, dia semakin yakin ini sebuah petunjuk. Pahatan-pahatan tulisan kuno tertera di permukaan cekungnya. Bau itu juga berasal dari sini.

Mérdanté turun dan menghampiri batu harum itu.

Baunya mirip seperti bebauan cendana yang memberikan ketenangan. Mérdanté memang tak percaya ada batu yang bisa mengeluarkan bau, namun dia tak menemukan sumber bebauan yang masuk akal lainnya di sekitar batu itu.
Dia meraba-raba tulisan di atas batu itu, sambil coba mengeja.

Hetar ealrud, olz riw, riw foccats ei hem
[Bencilah dunia, begitupun kami, kami menderita karenanya]
Zhot AZATUR, rige min De Had
[Berserulah pada Azatur, tinggikan dia Sang Kepala]
Hwen zu hetar wof traugh e mirk
[Saat kebencian mengalir melalui darahmu]
Zu wud nezzar ne worpeluf
[Kau akan memperoleh kekuatan baru]
Zaf fint russete gorgomur zan
[Dan bahkan membuat kematian gentar]

Bahasa itu pula yang digunakan dalam gulungan mantera-mantera hitam, di dalam Kalanost. Bahkan tak satupun dari manusia Mithrillia yang bisa memahami maksud bait itu. Mérdanté berpikir keras untuk mencocokkan sedikit demi sedikit ejaan bahasa itu dengan bahasa kuno Mithrillia yang masih agak dipahaminya. Dia berusaha keras mengulang kembali seluruh pelajaran kata kuno yang diajarkan para sesepuh di Desa Cordante saat dia kecil dulu..Hanya ada kemiripan pada kata Gorgomur, yang berarti kematian, maut, atau ketakutan mendalam, dengan kata Gorgoir, sisanya…dia menyerah.

Bahasa ini, yang dia lihat sekarang, sudah punah sejak era baru Lord Bordock. Karena dahulu, bahasa ini adalah simbol perapalan mantera-mantera kegelapan yang bisa membinasakan umat manusia. Karena itu, saat Pendeta Agung Azatur Bardiel coba menggunakannya untuk ambisi pribadi, seluruh langit Nemoralexia mendadak gelap. Awan-awan hitam kelam menggumpal, memutari langit negeri itu. Tahulah Lord Bordock bahwa ada yang tak beres dengan salah satu dari pendetanya. Maka saat itu juga, saat Azatur dibuang dari Nemoralexia, bahasa itu benar-benar tak lagi dipakai.
Apa yang bisa dia perbuat hanya dengan mengetahui makna dari satu kata?
Tak ada yang bisa Mérdanté lakukan kecuali mencari jalan lain. Hatinya yakin ini adalah gerbang awal menuju kuil tersembunyi itu. Mérdanté hampir menyerah, meskipun dia masih ragu-ragu meninggalkan batu itu. Sesaat Mérdanté memandang kudanya yang masih terlihat lelah. Lalu dia kembali lagi memusingkan diri dengan tulisan-tulisan itu.

Sebuah suara mendadak menyergap dirinya. “Arbalesta vanadir!!!” seruan parau yang terdengar tiba-tiba itu membingungkan Mérdanté.

Tak sampai sedetik, Mérdanté terpelanting dari posisinya menunduk sekarang. Kudanya meronta dan meringkik kencang. Tubuhnya terseret di tanah lembek, terantuk banyak akar, sebelum punggungnya membentur pohon. Kejadian mendadak itu membuat Mérdanté terkejut setengah mati. Dia berusaha bangkit dan mencari pelakunya.

Arbalesta vanadir!” ulang suara itu sebelum Mérdanté sempat melihatnya.

Lagi-lagi Mérdanté terdorong jauh ke belakang. Seperti ada sebuah bola besi besar yang menghujam.

“Brengsek!” geramnya sambil mencoba berdiri kembali. “Tunjukkan wajahmu di hadapanku, Penyihir!” teriaknya.

Sesuai permintaan Mérdanté, sosok wajah menyedihkan itu mendadak memenuhi ruang penglihatannya. Asap hitam menggumpali sekelilingnya, seakan melakukan tarian sambutan bagi Mérdanté.

Busuk, keriput dan kering. Mata yang dipenuhi urat-urat merah kecil, tanpa kelopak hingga hampir keluar dari lubangnya. Makhluk itu tingginya lebih dari pada Mérdanté dan Témpust. Tubuhnya ditutupi jubah sehitam jelaga yang terkoyak-koyak. Bisa ditebak, kakinya tak menapak tanah.

Dia mengangkat jari telunjuknya ke hadapan wajah Mérdanté yang terdiam kaku. Jari-jari kurus panjang dengan kuku yang kuning dan rusak. Sebagian tulang jarinya sudah terlihat dengan daging-daging cokelat yang sudah benar-benar busuk dan kulit yang terkoyak. Mérdanté bias melihat makhluk itu menggenggam sebuah tongkat sihir dari kayu cokelat tua, berhiaskan sulur-sulur dan batu hitam bulat sebagai mahkotanya.

Aztandor, tidak salah lagi, inilah Aztandor.

Nafasnya bisa terasa di wajah Mérdanté. Nafas yang sesak, seperti terhimpit beban di dadanya. Nafas itu berhembus kencang seperti dipaksakan. Seperti ada kemarahan besar dalam diri Aztandor itu pada Mérdanté.

“Aztandor?” tanya Mérdanté gemetar.

“Aztandor?” ulangnya dengan suara parau yang mengerikan.

“Aku…”

“Aku…” ulangnya terus.

Mérdanté tidak mengetahui maksud pengulangan itu, yang jelas dia tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya saat makhluk itu mendekati wajahnya terus, seakan baru sekali melihat manusia. Kepalanya dimiringkan bergantian—ke kanan dan ke kiri, jangankan melanjutkan kata-kata, keberanian untuk menatap wajahnya pun menguap entah kemana. Bayangan akan Aztandor selama ini telah benar-benar menipunya. Aztandor tidaklah sekeren yang diucapkan dalam kisah-kisah dan mitos di masa kecilnya. Ternyata mereka menyeramkan, dan menjijikkan.

Zu fert ei riw, rade zu commo harez,” (kau takut pada kami, beraninya kau datang ke sini) rapal Aztandor berdesah, saat dia memojokkan Mérdanté terus-menerus. “Arbalesta vanadir!” ucapnya sekali lagi.

Mérdanté terhempas ke kiri, terguling-guling di tanah berlumpur, terseret beberapa kaki sebelum jemarinya meraih akar terdekat. Aztandor kembali datang menghampiri wajah pucat pasi itu. Wajah Mérdanté jelas sekali memperlihatkan rasa takut.

“Kumohon,” katanya terbatuk-batuk. “Kami butuh bantuanmu. Pejuang kebebasan menginginkan bantuanmu. Témpust, pimpinan kami, menginginkan bantuanmu,” lanjutnya terbata-bata..

Aztandor itu mendadak menjauhkan wajahnya dari Mérdanté.

“Pergilah, karena tak ada lagi yang bisa disambung di antara kalian dan kami. Kami jera melihat dunia yang begitu angkuh mempermalukan kami. Kami tak ingin lidah bijak palsu para peri mengolok-olok kami. Kami tak ingin bahkan kebodohan para Abodh mengganggu kami. Kami lelah dikucilkan kaummu yang merasa hebat, manusia…”

“Tapi…”

Sekuat topangan kedua tangannya, Mérdanté mencoba bangkit berdiri, sambil sedikit merintih. Aztandor itu mendorong kembali tubuh Mérdanté dengan ujung tongkatnya hingga pria itu terjerumus kembali ke tanah. Agaknya benturan demi benturan yang diterimanya telah melemahkan tubuh itu.

“Kau telah berbuat kesalahan untuk datang ke sini. Kuil kami tak akan lagi diinjak oleh manusia. Sang Kepala tak akan mau bertemu lagi dengan manusia. Tapi tubuhmu, sebaiknya menjadi milikku untuk menggantikan mayat busuk yang telah lama membuatku gatal.”

Aztandor itu tersenyum… Mérdanté tahu itu bukan pertanda baik.

Dia mencoba bertahan dari rasa gentar ini dan melawan.

Tak semudah yang dia bayangkan untuk membuat Aztandor mau membantu mereka di Eagle Harbour. Memang, ada sedikit rasa sesal, mengapa dia tak mau mendengarkan kata Cazar di Sladur. Mérdanté itu sedikit keras kepala, tapi juga agak pengecut. Di saat apa yang diperjuangkannya dihalangi, semangatnya bisa langsung pudar saat itu juga. Tapi kali ini, kaitannya dengan nyawa, dia tak mau main-main.

Dengan dorongan kaki kanan, Mérdanté berdiri, lalu sontak mengeluarkan pedang diiringi tebasan miring ke arah bahu iri Aztandor secepat mungkin. Namun penyihir itu menghindar seperti asap yang terdorong angin tebasan Mérdanté. Mérdanté melakukan tebasan turun sekuat tenag, tapi tongkat Aztandor menangkisnya, pergelangan tangan Mérdanté merasakan benturan keras, seperti membelah batu.

Biertorica Caurage!

Aztandor menggunakan tangan kanannya untuk mengeluarkan sebuah bola tenaga dalam, dikelilingi listrik berwarna biru terang. Listrik itu meletup-letup di permukaan tangannya. Bola itu meluncur telak ke perut Mérdanté. Bajunya terkoyak, permukaan kulitnya terbaret-baret semakin banyak. Lalu bola itu hilang menguap, seiring asap putih muncul dari luka di perutnya.

Mérdanté tak sanggup menahan sakit yang menimpanya. Listrik itu masih membuat tubuhnya mengalami kejutan-kejutan. Dia tersungkur jatuh, hingga menjadi begitu lemah untuk menggenggam pedangnya. Tangannya bergerak lemah menutupi pedihnya luka akibat listrik yang menubruk perutnya.

Sang Aztandor melayang-layang di depan kepala Mérdanté. Belaian jubah hitam Aztandor terasa di jari kiri Mérdanté. Bahkan akar pohon tahu persis, bagaimana rasa takut yang dihadapi Mérdanté sekarang.

Mérdanté gagal membawa harapan.

Dia tak ingin berpasrah, tapi tak mungkin baginya untuk meronta.

Aztandor mengangkat tongkat tinggi-tinggi, hingga jubahnya tersibak, memperlihatkan sedikit tulang belulang dari tangan kering itu. Aztandor itu pun tersenyum mendesis. Cahaya keunguan segera berbinar dari mahkota tongkat itu, bentuknya seperti kobaran api. Cahaya itu adalah wujud mantera kuno terlarang yang disegel oleh para Elf. Para Elf bersumpah untuk tidak memberitahukan mantera itu pada siapapun, tapi entah mengapa para Aztandor menemukannya. Rapalan kata-kata cepat yang kini keluar dari mulut Aztandor—seakan berbicara asal—adalah jalinan kata-kata mistis untuk memasuki tubuh seseorang dan mengusir jiwa lain di tubuh itu.

Tapi sepertinya Mérdanté beruntung.

Tiba-tiba sinar itu meredup. Tongkatnya berhenti bergejolak, Aztandor itu sendiri bingung tentang apa yang terjadi. Cahaya yang tersisa kini tinggal percikan listrik Mérdanté dan cahaya matahari muda yang masih sedikit sekali. Aztandor itu menengok ke seluruh arah, pada sisi-sisi gelap lindungan kanopi hutan, dan segeralah dia sadar ada apa sebenarnya. Dia dan Mérdanté sudah dikelilingi puluhan Aztandor lainnya, seperti lingkaran kabut asap hitam.

Serentak mereka terbang tak berpola, mengelilingi Mérdanté dan Aztandor itu, seperti capung. Setiap gerakan itu meninggalkan jejak asap hitam yang menghilang secara mistis. Salah satu dari mereka—yang memiliki jubah hitam terbesar—turun dan mengambil tempat di samping Mérdanté. Jari-jari jangkung Aztandor itu meletakkan ujung kukunya pada punggung Mérdanté, lalu disayatnya garisan kecil dengan ujung kuku, dan setetes dua tetes darah mengalir. Aliran listrik di tubuh Mérdanté hilang seketika.

Aztandor itu mendengus keras, sambil mendesis parau.

“Mered, dia bawakan sesuatu untuk kita. Mengapa kau usir dia dan ingin mengambil tubuhnya?” tanya Aztandor itu pada Aztandor yang menyerang Mérdanté.

“Qasfar, dia milikku. Aku yang menemukannya lebih dulu. Menjauhlah dan bersikaplah adil!” bantah Mered sambil menunjukkan taring-taringnya.

Mérdanté tak bisa lagi berkata banyak. Dia melihat di hadapannya, di atasnya, di mana-mana, begitu banyak Aztandor mengelilinginya. Dia terbatuk-batuk menahan hawa busuk para Aztandor yang tercium begitu menyengat.

“Ada perang di Eagle Harbour…” rintihnya menyela perdebatan dua Aztandor itu. “Ada perang, disana…”

Mereka mendadak diam memperhatikan.

“Témpust butuh bantuan kalian. Tolong kami…” lanjutnya.

“Aku sudah bilang kami tak akan membantu manusia lagi, kau bedebah…”

“Mered, akan kujahit mulut besarmu nanti,” potong Qasfar. “Sadarlah kita butuh tubuh-tubuh baru. Perang akan memberi kita hal itu. Sejak Sang Kepala tak sanggup keluar, aku pimpinan di sini!”

“Jangan seenaknya, Mulut bangkai! Siapa yang menunjukmu?” kesal Mered.

“Sang Kepala, Mered…” jawab Qasfar dihiasi senyum licik. “Perlukah kukatakan sekali lagi? Sang Kepala…Sang Kepala….” Tawa Qasfar memecah keheningan hutan itu segera setelahnya, suara tawa yang tipis dan tinggi, seakan memecahkan telinga yang mendengarnya. “Mari, Aztandor. Menuju medan pertempuran!”

Dengan segera, para Aztandor berhamburan ke arah selatan, sesuai dengan arah telunjuk Mérdanté. Mereka pergi secepat mereka datang. Meski begitu, bau busuknya masih tersisa beberapa menit setelah mereka meninggalkan Mérdanté sendiri.

Sepi, hembusan angin dingin menggetarkan tubuh lemahnya.

Lebih baik daripada usaha pengambilan tubuhnya.

Mérdanté memandang Hesfid dari kejauhan. Hatinya tak lagi terbebani oleh omongan Cazar, dia lega tugasnya berhasil. Pulang ke Goat Hill, hanya itu yang ada di dalam pikirannya sekarang, meskipun luka itu membuatnya tak mampu berbuat apa-apa saat ini. Seakan paham dengan keadaan Mérdanté, Hesfid menghampiri tuannya itu, merendahkan moncongnya, kemudian menggerakkan kepala Mérdanté. Pria itu berusaha keras, bahkan hanya untuk mengelus kudanya.

“Sebentar lagi, kita pulang…Hesfid.”

Thursday, 27 May 2010

CHAPTER 13 - Pembersihan

Hayden berjalan menyusuri 22th Avenue yang terbentang di hadapannya. Sudah sejak lama dia belum kembali ke Rumania untuk membereskan markas dan ruang kerjanya. Cukup lama dia berdiam di Birmingham untuk sekedar mengunjungi rumah lama. Di tangannya, dia memeluk bungkusan kertas berwarna cokelat berisi makanan kaleng dan sayuran. Begitu penuhnya hingga Hayden sendiri kesulitan untuk melhat ke depan. Trotoar ini membimbingnya terus menyibak harumnya udara pagi.

Pagi itu, belum dikatakan lengkap bila Hayden belum membeli koran. Hayden menyadari betapa dia begitu terasingkan dari keadaan dunia setelah dua hari membiarkan otaknya beristirahat tanpa koran.

Sepi.

Itu kata yang tepat untuk menggambarkan sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman rumput dengan Range Rover diparkir di atas jalur betonnya. Hayden membuka pintu putih rumah, kemudian menyalakan lampu kuning yang menerangi lorong menuju ruang keluarga—yang tak berisi keluarga, hanya dia dan pendingin ruangannya. Dia menapakkan kakinya di atas karpet abu-abu yang membungkus hampir seluruh bagian lantai rumahnya.

Harian itu dilemparkan ke atas sofa di depan televisi layar datar. Hayden meletakkan belanjaan di atas meja kayu ala bar di dapur dan mengobrak-abrik isinya. Dia menyusun satu-persatu barang yang telah dibelinya, sebelum mengambil sebotol susu rendah lemak dari rak terbawah lemari es. Langkah berat Hayden membawanya ke sofa merah tua di depan televisi, di sela-sela kesibukkan tangannya membuka tutup aluminium botol susu.

Hayden meletakkan botol kaca itu di atas meja telepon setelah beberapa tegukan. Dia duduk dengan nyaman di sofa merah tua dan membaca lembaran pertama dari harian yang dibelinya.

Berita yang sangat menggugah.

Di sana tertulis tentang kematian beruntun tujuh orang di Jepang. Korban ditemukan mati dalam kondisi mengenaskan dengan kondisi tak berkepala—bahkan kepalanya pun hilang. Pembunuhan ini terjadi hanya dalam waktu sehari, di empat kota berbeda yang letaknya saling berjauhan. Polisi dibantu oleh detektif swasta masih menyelidiki kemungkinan pembunuhan, dan keterkaitan antara tujuh korban. Kesamaan yang ditemukan antara ketujuh korban masih samar-samar mencuat. Ketujuhnya diduga memiliki gangguan jiwa akibat depresi berat. Anggota keluarganya masing-masing menyebutkan bahwa mereka suka mengumbar bualan telah melihat setan-setan atau Shinnigami (dewa kematian). Belum selesai kasus itu menjulang di Jepang, negara-negara Asia Timur lainnya ikut ambil bagian menyumbang korban. Kasusnya sama.

Pertanyaan di sana tertulis, benarkah telah lahir seorang psikopat yang membunuh orang-orang dengan gangguan jiwa?

Pelakunya bukan hanya seorang. Melihat waktu dan lokasi kejadiannya, polisi menduga mereka adalah komplotan besar. Mungkin pembunuhan itu dimaksudkan untuk tujuan tertentu.

Kebijakan selanjutnya dari negara-negara korban adalah memperketat penjagaan di banyak rumah sakit jiwa. Pikiran para polisi terlalu sederhana, mereka pikir dengan ini jumlah kematian tak akan bertambah banyak.

Hayden merasa ada yang tak beres dengan semua ini. Membaca bahwa seluruh korbannya memiliki gangguan kejiwaan dan kebiasaan melihat ilusi-ilusi, tanpa sadar pikirannya langsung menerka-nerka…

Penderita penyakit itu…mereka semua dibunuh?

“Hellfire Institution. Pasti mereka dalangnya,” pikir Hayden. “Ini gila. Berita sebesar ini belum membuat Flavio menghubungiku juga. Ada apa sebenarnya di sana?” tanya Hayden kesal di dalam hatinya.

Hayden membanting koran itu ke sofa dan beranjak ke meja telepon. Dia menekan tombol-tombol menuju nomor Rosetti, pesawat telepon itu berguncang-guncang saking kerasnya Hayden menekan. Kakinya tak sabar menunggu sambungan terjadi. Justru Hayden menelan kekecewaan. Ponsel Flavio tak diaktifkan, tak mungkin baginya untuk menelepon ke jaringan telepon perusahaan asuransi yang tengah diperbaiki.

Hayden meletakkan gagang telepon kembali. Dia membenturkan kepalanya pelan, ke dinding di samping meja teleponnya.

Apakah ini semacam pembersihan?

CHAPTER 12 - Mimpi

Gadis lugu itu malas terlibat suatu petualangan yang penuh konflik. Dia mengharapkan sebuah penjelajahan yang penuh keindahan alam, bukan sebuah pertentangan yang rumit. Baginya, bisa beristirahat di dekat orang yang mampu menjaganya dengan baik, adalah sebuah hadiah terindah di hari itu. Laju kuda itu tak membuka matanya, walau sudah beberapa jam tiga orang yang mengawalnya menembus kayu-kayu kering dan tajam.

Alexa McGeady, dia bermimpi.

Dia berada di dalam sebuah kolam dangkal, dengan langit membiru gelap oleh sinar rembulan penuh. Sekitarnya merupakan pohon-pohon besar yang melingkupi. Pohon-pohon berakar gantung dengan dedaunan yang lebat, membentuk sebuah kanopi yang menghalangi pandangan ke sela-sela pepohonan. Hanya tempatnya sekarang yang bersinar. Alexa duduk di atas kolam dangkal itu. Ketinggian air telah menyentuh bagian perutnya.

Dia sadar dirinya berada di tempat antah-berantah.

Dia tak menemukan apapun kecuali cahaya-cahaya biru seperti kunang-kunang, yang beterbangan kesana-kemari. Cahaya-cahaya temaram itu tak cukup membuatnya nyaman di tengah kekelaman.

Kini Alexa menyadari dia sendirian. Di tempat asing. Tanpa suara.

Dia berusaha bangkit perlahan dari air, gemericik bunyi air segera terdengar. Dia berjalan pelan-pelan menyeret air di kakinya, menuju hutan yang dia rasa sebagai tujuan berikutnya. Tapi sesuatu menghalanginya, seperti kaca, tapi begitu keras. Alexa mencoba menyentuhnya dan merasakan ketebalan dinding itu berbicara pada tangannya. Kini kepanikan semakin menancap kuat di hatinya. Semakin dia berusaha keluar dari halangan itu, semakin dia merasa lelah.

Alexa menangis.

Tanpa suara, isak tangis itu hanya terdengar sedikit. Kegusaran yang dicampur dengan kesendirian telah melahirkan perasaan takut. Bahkan saat cahaya-cahaya kecil itu merapat ke dinding tak terlihat dan menciptakan sebuah aurora indah. Mereka menari-nari seakan mengerti arti dari tangisan Alexa dan menyuruhnya untuk tenang. Tapi dia tetap tak bisa berkata-kata untuk memuji keindahan pemandangan ini, ketakutan hampir membelenggu Alexa sepenuhnya. Saat butiran-butiran cahaya itu merapati dinding penghalang dan membentuk sebuah lingkaran, ia justru merasa terancam.

Alexa menjerit.

Tanpa ragu, dia berteriak kencang. Tampaklah cahaya-cahaya itu menyingkir dari formasi dan bergerak acak seperti lalat. Mereka berhamburan pergi menjauh. Tirai cahaya itupun pecah, kepingan-kepingan warna pelangi itu berjatuhan bak serpihan-serpihan kaca. Kepingan-kepingan itu perlahan menguap lenyap sebelum sempat menyentuh air dan tanah basah di bawah.

Buruknya, di saat itulah justru Alexa semakin menyadari bahwa dirinya memang sendirian.

Bahkan saat cahaya-cahaya biru itu kembali lagi. Cahaya-cahaya itu membentuk spiral tinggi ke udara, tepat di tengah-tengah kolam.

Apa lagi ini? Mimpikah aku?

Itulah yang dipikirkannya saat memaku pandangannya. Spiral itu perlahan melebar, cahayanya merambat ke kolam bagai helaian rambut-rambut yang melayang di dalam air. Cahaya-cahaya kecil baru pun tumbuh dari balik helaian cahaya itu, bagaikan anggur yang berbuah.

Dia bisa merasakan cahaya spiral itu memanggilnya berulang-ulang. Alexa mencoba memberanikan diri mendekatinya. Dia menjulurkan tangan kanannya dan dengan perlahan maju setapak demi setapak lebih dekat dengan pusat kolam. Helaian-helaian cahaya di bawah air itu semakin kuat menjulur di antara kaki-kaki Alexa.

Saat dia sampai pada spiral itu, mendadak mereka semua redup.

Alexa memandang hampa pada sekelilingnya yang mendadak menjadi sangat gelap. Tangannya melayang hampa, mencoba menyadari kalau apa yang coba digenggamnya telah hilang.

Dia tersentak mundur beberapa langkah. Kepalanya tak bisa berhenti menoleh ke segala arah, dia bertambah kalut. Alexa merasakan ancaman menguntitnya dari segala arah. Dia juga sadari cahaya bulan meredup, sinarnya perlahan hilang. Hingga akhirnya Alexa berusaha keras untuk meraih tepian kolam.

Namun sesuatu yang kuat dan jahat menariknya masuk, jauh ke dalam kolam dangkal itu. Alexa terjerumus dalam kekelaman air yang membuat degup jantungnya berlari kencang. Dia mencoba naik, tapi usahanya itu justru membuatnya semakin tenggelam.. Pikirannya semakin dikuasai ketakutan ketika dia merasakan kemustahilan itu—mustahil kolam yang kedalamannya hanya mencapai perutnya, bisa menelan seluruh tubuhnya, bahkan amat jauh dari permukaan.

Cahaya merah menyala, menyembur dari dasar kolam. Kemilau warna merah itu membuat isi kolam tampak terang hingga langit di atasnya berona merah, seperti darah.

“Alexa…” suara perih, serak, dan panjang, mencoba memenuhi telingannya. Suara itu terdengar jahat, licik, seperti ular penggoda yang coba membiusnya dengan racun mematikan.

Alexa berusaha lari dari suara itu, dia mencoba memunculkan dirinya ke permukaan. Dia bisa bernafas di dalam air, dia juga bisa mendengar, tapi dia tak kuasa berteriak.

“Alexa…mengapa kau dekati aku?”

Mata Alexa membelalak saat sosok wajah menyeramkan mulai merambat naik dari dasar kolam. Dia melihat sosok kesatria masa lalu dengan zirah yang terbakar api merah kejinggaan. Wajahnya hanya terdiri dari api membara yang terdistorsi aliran air. Matanya menyala-nyala seperti lahar di dasar gunung berapi. Api itu dingin seperti es. Antara kemarahan dan wajah menyedihkan teraduk menjadi satu.

Alexa merasakan tubuhnya semakin tak mampu meronta saat kesatria itu memegangi kakinya erat-erat.

Dia berusaha menjerit, mulutnya terasa terjahit.

“Alexa…” suara itu menyebut nama Alexa berkali-kali. Ramai sekali.

Gelora api telah membekukannya. Neraka macam apa yang menawarkan rasa dingin sebagai siksaannya? Dia tahu ini mimpi, tapi begitu sulit baginya untuk berlari dari dunia ilusi ini. Api itu menyeretnya semakin dalam ke dasar, dengan hawa dingin dan bisikan-bisikan parau.

………

Padang pasir lainnya, terhampar luas.

Alexa tersadar dari mimpinya, walau sebenarnya, ia hanya memasuki dunia lain dari mimpinya. Sebuah padang pasir datar, luas, seperti tak berujung. Rasa panas, itulah yang dirasakan Alexa pertama kali, rasa yang bertentangan dengan dingin.

Dia mencari-cari sesuatu yang tak mungkin lagi dia temukan. Kolam mengerikan itu tak ada lagi di hadapannya, juga kesatria api yang coba merenggut tubuhnya. Yang ada hanya butiran berwarna cokelat yang sesekali beterbangan dihembus angin hangat dari berbagai arah. Terkadang angin kecil memutar, membawa butiran pasir membentuk spiral kecil yang singkat.

Seseorang telah berdiri di hadapannya.

Orang itu besar dan tinggi, tubuhnya perkasa. Baju zirah lengkap menutupi tubuhnya, warnanya didominasi biru tua. Rambutnya kasar, panjang, warnanya putih kekuningan seperti gading gajah, memanjang hingga sampai ke punggungnya.. Janggut dan kumisnya menutupi hampir seluruh mulut dan leher. Warna matanya cokelat, persis seperti milik Alexa. Garis-garis wajahnya keras, tulang alisnya menonjol untuk menggambarkan ketegasannya. Aura kebesaran memancar di wajahnya. Dia membawa sebilah pedang di pinggangnya dan sebuah perisai persegi panjang di tangan kirinya.

Mereka saling berpandangan satu sama lain.

Tak ada yang bisa menebak pikiran satu sama lainnya.

“Mendekatlah. Tak ada yang perlu kau takutkan lagi,” ujar pria besar dengan suaranya yang besar, dalam, dipenuhi dengan kharisma.

Ucapannya tak membuat Alexa bergerak. Dia tak bisa percaya begitu saja pada pria ini, bahkan di saat dia tahu ini adalah mimpi.

“Apa yang kau pikirkan tentang kolam barusan, Gadis muda?”

Alexa tergagap-gagap. Dia kesulitan untuk menjawab setelah semua yang dia alami berlalu begitu saja. Dia membiarkan matanya meneliti setiap detil pakaian kuno yang dikenakan pria di hadapannya.

“Apa yang kau pikirkan tentang kolam barusan, Gadis muda?” pria itu mengulang pertanyaan yang sama dengan nada yang sama.

“Kolam…” jawab Alexa gemetar. “Dimana aku sekarang?”

Ekspresi dingin pria itu tak berubah. Saat angin mengibaskan rambut mereka berdua ke kanan dan ke kiri, pembicaraan itu terasa makin mengancam bagi Alexa.

“Alexa McGeady…”

Nama Alexa yang tersebut oleh pria itu membuat Alexa makin cemas. Tapi bila terus dipikirkannya, perasaan itu makin menjadi lazim, sebab dia berpikir seluruh Mithrillia mengenalnya.

“Kau yang akan menentukan akan menjadi apa dirimu,” lanjut pria itu dengan suara berkarismanya.

“Siapa kau ini? Jangan membuatku semakin takut!” seru Alexa menghentak kencang. Dia merambat mundur cepat-cepat.

Pria itu tak bergeming. Dia justru menawarkan tangan kanannya untuk membantu Alexa berdiri dari posisinya sekarang. Telapak tangan kasar dan besar itu menunjukkan betapa keras perjuangan pria ini untuk menempuh sesuatu yang menjadikannya semegah sekarang.

Dia menoleh ke wajah parut pria itu sejenak, kemudian menjelajah ke tangannya lagi. Alexa menggenggamnya erat-erat, hingga dia terbantu untuk berdiri. Saat itu, dia menyadari pria ini sungguh besar. Mungkin lebih tinggi sedikit dari pendeta Enrico—bedanya pendeta Enrico agak kurus.

Pria itu tiba-tiba berlutut di hadapan Alexa dengan anggun. Satu kaki kanannya digunakan untuk menyangga. Kepalanya tertunduk menghormati Alexa, seakan-akan di hadapannya sekarang, berdiri seorang ratu.

“Hentikan…” sanggah Alexa gugup.

“Aku, Lord Bordock Incargot, memohon padamu, wahai keturunan terakhirku, Lamencia Incargot…” selanya memotong perkataan Alexa. “Biarlah aku memberikan penghormatanku untuk menunjukkan betapa besarnya dirimu di dalam tekad dan kesungguhan.”

Gadis itu tak tahu apa yang sedang dibicarakan pria di depannya. Dia tak kenal Lord Bordock. Dia baru tahu sekarang, itu adalah nama pria ini. Lagipula dia merasa dirinya bukanlah Lamencia Incargot. Hingga Alexa berpikir ini pasti sebuah kesalahpahaman.

“Tunggu, Tuan…bukan aku…”

Lord Bordock menghentikan ucapan Alexa dengan gerakan perlahannya untuk berdiri tegak kembali. Dia kembali pada pandangan tegasnya. Lord Bordock melepaskan genggaman perisainya begitu saja hingga lempengan besi tebal itu menancap dalam ke dalam pasir—sangat dalam, hingga Alexa bisa membayangkan betapa beratnya benda itu. Lalu kedua tangannya melepaskan sebuah kalung yang menggantung di balik pelindung lehernya. Lord Bordock mengangkat tangan kanan Alexa, untuk kemudian meletakkan gemericing kalung perak.

Kalung itu memiliki liontin berupa tiga bulan sabit yang saling menempel. Tiga sabit, untuk ketiga dimensi, bagi perdamaian seluruh dimensi. Alexa yang tertegun memandangi kalung itu, tak menyadari Lord Bordock telah lenyap dari hadapannya. Dirinya sendirian di tengah lebih dari miliyaran butiran pasir yang terbang tertiup hembusan udara.

………

Matanya terbuka.

Alexa menyadari dirinya tengah bersandar pada Kusko. Dia ingat saat Kusko datang untuk mengeluarkannya dari kamar mewah, bukan penjara. Penjaga yang keluar dari dalam tahanan untuk memberitahu hilangnya Alexa, hanya kebetulan saja berjalan melalui pintu penjara. Mayor Arbal ternyata benar-benar terpikat oleh pesonanya. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila terlambat beberapa jam Kusko membebaskannya.

Sepanjang jalan ini, Alexa hanya bisa melihat serpihan tanah berabu, tempat berdirinya pohon-pohon kering berbatang agak kehitam-hitaman. Hutan Kematian, karena abu-abu pembakaran mayat manusia ditebarkan di sini. Bila sampai menutup hampir seluruh tanah, bisa dibayangkan berapa banyak mayat manusia yang dibakar untuk menjadikannya seperti sekarang. Dengan abu-abu pembakaran ini, Hutan Kematian tidaklah menjadi subur sebagaimana seharusnya. Itulah dasar nama ‘Kematian’ atau Hutan Gorgoir, bila orang-orang tua di Mithrillia menyebutnya.

Tangannya serasa menggenggam sesuatu. Sesaat dia menengok ke balik selimutnya dan menemukan kalung yang sama persis seperti dalam mimpinya. Keterkejutan itu membuatnya bereaksi mendadak. Dia hampir saja jatuh bila lengan kiri Kusko tak menahannya tubuhnya dengan kuat.

“Setelah lama beristirahat, akhirnya matamu terbuka juga, Alexa,” sapa Kusko ramah. Tapi matanya tak berhenti menatap jalan ke depan.

“Sudah berapa lama aku tertidur?”

“Sejak kau terlelap di kereta kuda, Alexa. Itu sudah lama sekali. Kita dalam perjalanan ke tempat kediaman Elgar, Si Elf. Dia bisa memberitahumu apa saja yang ingin kau ketahui.”

“Sepertinya ada orang lain yang mengikutimu,” kata Alexa sambil mencoba menoleh ke belakang, tapi tertutup pundak Kusko.

“Mereka teman. Ivander dari Maya, dia sesamamu. Ada juga Cazar salah satu pejuang kebebasan. Aku bertemu dengan mereka di Benteng Sladur…”

“Dimana Bader?” tanya Alexa menyela.

Kusko terdiam dalam kebingungannya.

“Kusko?” ulang Alexa.

“Bader sudah kembali pada Dewa Lameth. Biarlah dia menemukan tempat yang tenang untuk beristirahat. Bukan di dunia yang penuh peperangan ini,” ujar Kusko perlahan.

Cukup bagi Alexa untuk mengerti maksud pengalihan bahasa dari Kusko. Dengan kata lain, kata-kata kepedihan itu telah dipelintir oleh Kusko.

Bader telah mati di Sladur.

Alexa menyandarkan wajah lusuhnya ke atas dada Kusko yang terbungkus jubah hitam tebal. Dia menggenggam erat kalung itu sambil berusaha untuk bernafas teratur. Tak disangkanya, itu adalah terakhir kalinya dia melihat wajah pria itu. Lampros Bader, nama yang akan membuatnya menyesal untuk waktu yang lama.

“Kau mengigau, Alexa. Kau berbicara di saat kau tertidur.”

Alexa tak menghiraukan kata-kata Kusko. Jelas sekali Kusko mengerti betapa besar trauma yang dialami Alexa malam itu.

“Aku mengerti, Alexa. Kau butuh waktu.”

Setelah lama menelusuri hutan, mereka tiba di tepiannya. Di depan mereka, sebuah jembatan kayu usang menanti. Kayu-kayu tua saling silang-menyilang membentuk kerangka jembatan yang mungkin tadinya kuat, namun kini hanya tersisa kejayaan masa lalunya saja.. Papan-papannya yang menjadi tapakan kaki juga tak jarang berlubang. Jembatan itu menghubungkan Hutan Kematian dengan bibir depan Lembah Gardner.

Memang jalur ini sangat jarang dilalui pengelana dan manusia-manusia kerajaan, sehingga seolah terlupakan pemeliharaannya. Lagipula nama Burandal cukup menakuti siapapun yang bermaksud memperbaiki jembatan ini. Kesan rapuh, ringkih, mudah patah. Siapapun pasti akan berpikir seperti itu saat melihatnya. Padahal di bawahnya terpampang sebuah sungai, Galbor, alirannya sangat deras dan berjeram. Di sungai itulah tempat Burandal memburu ikan-ikan mentah. Tinggi sekali jarak antara jembatan itu dan sungai Galbor. Sekali jatuh, matilah sudah.

CHAPTER 11 - Pesan dari Reape

Cazar dan kedua teman seperjalanannya memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan—sama dengan Bader dan Alexa nyaris menginap. Penginapan Kuda Putih, penginapan yang mereka datangi tadi pagi. Penjara sedang ketat-ketatnya dijaga pada waktu ini. Mereka tengah menunggu ketatnya penjagaan itu terbuka, memberikan celah bagi mereka. Sampai saat itu mereka akan tetap di dalam penginapan. Mérdanté dan Ivander masih bercakap-cakap di ruangan kamar, sesuatu yang kurang ingin diketahui Cazar.

Adalah seorang Cazar Balamug yang menemukan seekor falcon terbang tinggi melintas dalam pandangannya. Saat itu malam telah datang, seperti bentangan kain hitam di atas langit dengan segala keindahan kilau bintangnya. Tapi bintang-bintang itu tak terlihat dari Sladur, seperti habis dilalap oleh kegelapan langit. Sebuah pertanda buruk, yaitu saat Cazar menyadari tak adanya bintang waktu Reape datang. Elang pembawa pesan itu memberi salam dengan pekikannya yang mengudara di atas langit kelam Benteng Sladur. Benteng ini begitu tenang, jauh dari keributan kota pelabuhan, tak seperti Eagle Harbour yang tengah terkepung.

Cazar menerima hewan berbulu cokelat kehitaman itu di atas lengan kanannya yang terbungkus kain wol berlengan panjang. Cengkraman kaki-kaki Reape seakan berbicara tentang pesan yang dia bawa untuk mereka.

“Reape?” gumam Cazar. “Untuk apa kira-kira Tempust menyuruhmu menyusul kami,” bisiknya sambil mengelus bulu-bulu di kepala Reape.

Cazar menarik simpul tali di kaki Reape, kemudian dibiarkannya Reape mematuk sedikit daging dari makan malam penginapan, sebelum kemudian Reape kembali terbang tanpa sepengetahuannya.

Sepotong kertas kecil itu dibukanya tergesa-gesa. Angin di balkon berhembus sangat kencang, seperti hendak mencegah Cazar membacanya, berkali-kali Cazar merasa kertas itu akan lepas dri tangannya. Di lantai dua ini penginapan ini, bayangan dalam pikiran Cazar seperti tertembus ribuan anak panah, dari surat itu, ya kertas kecil yang tak seberapa besar itu.

Ada apa dengan Témpust? Perasaannya tentang Bader kah yang mendorong Témpust mengirim pesan ini?

Begitu firasat-firasat Cazar terus menggulung di hatinya. Firasat itu ternyata meleset. Hanya beberapa rangkaian kata singkat yang membuat Cazar terperanjat. Bahkan tangannya ingin jari-jari kasarnya melonggarkan cengkraman pada kertas itu. Segera dia tinggalkan tempatnya berdiri, dia yakin Mérdanté pasti tak kalah terkejut pada tingkah sepupunya itu. Hanya butuh lima langkah untuk memasuki ruangan temaram berlampu minyak yang berpenjar kekuningan. Cazar mendudukkan dirinya ke atas sebuah kursi kayu di samping meja kayu rendah. Saat Cazar seperti membanting tubuhnya ke atas kursi, seluruh percakapan Ivander dan Mérdanté terhenti. Empat mata itu memandang gusarnya Cazar.

Cazar tak berbicara. Dia langsung memberikan kertas itu pada Mérdanté. Dugaannya tepat, sepupu Témpust itupun tak kalah heran. Ini merupakan pertama kalinya bagi Témpust untuk mengalahkan egonya sebagai seorang pemegang teguh dendam masa lalu. Mereka berdua tahu sikap Témpust netral terhadap kaum yang menamakan dirinya Aztandor, tapi terkadang pria itu senang mengoceh tentang cara para Aztandor memperoleh kehormatan rasnya. Entah itu karena darah palsu Sang Legenda, Bordock, yang didapatkan kaum terkutuk itu, atau memang rasa irinya oleh kaum yang tak terusik serdadu Mirage itu.

“Dia gila, Mérdanté. Saudaramu itu sudah kehilangan akal sehatnya.”

“Sebenarnya ada apa di sana? Bukankah sebenarnya kita dibutuhkan, Cazar?” Mérdanté belum bisa membuang sedihnya akan sepeninggal Bader. Perasaan sedih itu selalu mendorongnya untuk pulang. Tekanan dari surat ini menambah dorongan itu.

Tak satupun kata-kata dalam kertas itu terbaca oleh Ivander. Surat itu ditulis dengan bahasa asli desa Cordante, bahasa para pelaut, logatnya kasar dan sama sekali tidak santun. Itu membuatnya hanya diam memandangi konflik antara dua rekanan itu.

“Mérdanté, pikiranmu sedang kacau. Aku tahu maksud pertanyaanmu barusan. Jika kau inginkan itu, pergilah sekarang!” tegur Cazar.

Mérdanté menatap Cazar yang begitu tegas menegurnya. Hatinya membenarkan semua tuduhan Cazar terhadapnya. Dia tak ingin lagi tinggal lebih lama di dalam kota ini. Terlalu beresiko untuk menyusup nanti malam. Pria ini baru saja menyadari hal ini, saat malam semakin larut dan bayangan penderitaan kemenakannya terlintas terus-menerus. Dia tak ingin lagi berpikir adanya harapan tentang sesuatu di dalam diri Alexa.

Semakin mengesalkan saat Cazar mulai tak sabar menunggu.

“Tunggu, Cazar, Mérdanté, ada yang bisa jelaskan ini padaku?” sela Ivander.

Namun sepertinya tak ditanggapi. Kedua pria lainnya sibuk menusuk mata satu sama lain dengan sorotan tajam, seperti berusaha saling membawa pihak lain ke dalam keyakinannya. Bagi Ivander, Cazar terlihat akan memenangi perang keyakinan ini. Dia melihat keraguan dan kepedihan di mata seorang Mérdanté, ahli strategi dari Goat Hill. Seorang berotak pandai yang kini terlihat hampir sama dengan dungunya seekor keledai.

“Maksudmu kau akan menghalangi niatnya untuk mengiring Aztandor ke medan perang? Jika kita tetap di sini, kita terjebak, Cazar. Kau tahu sendiri…” Mérdanté berdiri dari atas ranjangnya. “Tak satupun dari kita yang pernah melihat Alexa, dan kau inginkan penyelamatan tanpa memikirkan kotamu sendiri? Kaummu, Cazar! Kaum yang kau bela!” lanjut Mérdanté meninggi keras.

“Kekuatan perangmu mungkin menjadikan dirimu pantas menyandang keturunan seorang Lampros Kertest, tapi lihat mentalmu. Kau tak ubahnya seperti daun di panas hari. Kau gugur, dan ketika jatuh, tak satupun keuntungan dihasilkan, selain oleh mayatmu yang akan membusuk dan diinjak-injak. Aku tahu kau takut. Aku tahu kau ingin menghindar.”

Mérdanté sedikit terpancing oleh amarahnya. Tapi pengendalian dirinya akan emosi jauh lebih tangguh daripada yang diduga.

“Kuulangi, Cazar. Kau inginkan kejatuhan Goat Hill dan Eagle Harbour?” singkat Mérdanté, jelas-jelas memendam emosi.

“Percayalah padaku. Bukanlah saat ini dimana pasukan Comdred akan menyerbu habis-habisan. Pengorbanan mereka yang berjuang sendiri di sana, tak akan sebanding dengan harga yang akan kau bayar untuk setan berkedok itu.” Cazar mendudukkan dirinya di atas kursi merah lainnya. “Kutukan mereka itu abadi. Bukan mustahil kutukan itu bisa menulari pasukan kita.”

“Seberapa bodohkah Témpust sehingga dia berani untuk mengambil keputusan ini? Dia bukan pria sembarangan yang malas berjuang. Dia tahu bagaimana memanfaatkan potensi seadanya untuk memenangi sebuah perang. Kalau dia sampai menginginkan ini terjadi, berarti ada sesuatu di sana.”

Mereka hening beberapa saat, dimana malam menunggu begitu lama bagi aksi mereka selanjutnya.

“Kalau kau paham, maka bergeraklah sekarang!” tegas Mérdanté kembali.

Cazar tak juga beranjak dari tempatnya, Mérdanté sedikit geram.

“Biar aku saja yang melakukannya!” ujar Mérdanté kasar.

Pria berambut ikal itupun pergi dengan menapakkan kakinya di atas lantai papan kayu. Pintu itu mengeluarkannya dari ruangan bertensi tinggi. Mérdanté tak lagi memikirkan seorang gadis tak jelas yang bernama Alexa—padahal tadi siang baru saja disebutnya sebagai Sang Terpilih. Pandangannya lurus, menuruni setiap anak tangga, melewati orang-orang yang menikmati malam di bar, melewati pintu sekali lagi, hingga menaiki kuda cokelatnya yang berambut hitam, namanya Hesfid. Derapan kuda Mérdanté tergema sampai ke atas penginapan itu—tempat Cazar dan Ivander memandang keluar dan menyaksikan kepergian rekan mereka.

Terasa seperti sebuah pengkhianatan.

Cazar memiringkan pandangannya ke Selatan, seakan dia bisa melihat Goat Hill dari sana. Dia merasakan bisikan-bisikan udara yang menghembus. Hidungnya mencium bau darah yang terbawa bersama angin. Setelah mencoba menerbangkan kertas pesan dari Reape, kini hembusan angin mencoba memberitahu keadaan di Eagle Harbour—kacau. Dia tak mampu bayangkan ada apa di sana.

Tidak.

Dia tak menyangka Mérdanté akan benar-benar pergi. Dia pikir rekannya itu masihlah seorang Mérdanté yang sedikit kecut dan ciut nyalinya. Tapi keberaniannya cukup besar untuk menyambangi Kuil Azatur sendirian. Cazar berkeras hati tak merestui kepergian Mérdanté ke kuil Azatur, meski keadaan mendesak di selatan. Harapannya hanyalah penolakan dari kaum Aztandor terhadap pinta sahabatnya itu. Bila tetap berhasil, doanya hanya agar para lintah itu tidak menghisap terlalu banyak darah, darah para pejuang yang masih berharga, karena perjuangan sesungguhnya belum dimulai.

“Cazar?”

“Oh, maaf Ivander. Aku terlalu memikirkan kejadian tadi,” jawab Cazar sambil tersenyum sedikit sekali.

“Memangnya, tadi itu apa?” sambung Ivander cepat.

Cazar membalik badannya dan menunjuk arah yang dituju seorang Mérdanté dengan kudanya. Perjalanan panjang terus ke utara, agak berbelok ke kanan, di sanalah Kuil Azatur terbangun. Sementara penjelasan itu diberikan, tentang asal usul Aztandor; sifat dasar mereka; siasat-siasat mereka; dan hubungannya dengan malam ini, Ivander mulai bisa membayangkan alasan pertikaian keduanya.

Mata biru Ivander menerawang jalan-jalan batu berkilatan yang basah setelah beberapa jam lalu baru saja tersiram hujan. Kilatan itu terpantul dari cahaya bulan yang hampir bersinar sempurna. Keheningan sudah tergambar pula dari lorong-lorong penjuru Sladur. Suara berisik itu hanya datang dari bar di bawah kamar mereka. Dingin yang menusuk tulang mulai merambati jari-jari Ivander.

Sementara Cazar masih berusaha membuang keraguannya untuk bergerak malam ini, diperhatikannya seluruh penjuru kota, bak kunang-kunang di antara gelapnya malam. Tapi Cazar paham betul, kunang-kunang itu menyembunyikan ular-ular berbisa di tengah kegelapannya.

Cazar begitu serius untuk seseorang yang tak dikenalnya.

“Bersiap-siap, Ivander. Saatnya hampir tiba untukmu dan aku.”

Cazar mengangkat busur dan menyarungkan pisau sepanjang telapak tangan di pinggangnya. Bahkan sampai saat itu, kaki-kaki Ivander masih ragu untuk digerakkan. Ini berbeda dengan misi-misi di dunia asalnya, dimana teligannya disumpal dengan alat komunikasi, hanya dengan mendengarkan petunjuk Hayden dan membantai target, semuanya bisa selesai. Cazar sudah selesai dengan persiapannya, saat dilihatnya Ivander masih termenung mengetuk-ngetukkan sepatu ke lantai.

“Aku tunggu di bawah, cepatlah.”

Ivander menarik nafas berat, kemudian terhembus begitu saja seiring anggukkannya.

Kemudian dia dan Cazar berjalan beriringan melewati iringan lampu minyak yang menyinari lorong sempit menuju tangga-tangga, membawa mereka dua belas langkah ke lantai bawah, menuju keriuhan di lantai bawah.

Orang-orang terkesan acuh pada mereka. Itu sebuah keuntungan.

“Tanpa kuda, Ivander. Biarkan Silver Wind, Hemer, dan kudamu Lecon untuk diam di sini.” Kata-kata itu menghentikan Ivander yang tengah melepaskan tali kekang Lecon dari pagar kayu.

Dia menyadari fakta positif dari pemerintahan tegas kota ini. Sudah berjam-jam mereka membiarkan kereta berisi barang berharga milik gerombolan Serigala Pasir di luar, namun tak satupun yang berani mengusiknya, apalagi mengambilnya. Tirai yang menutupinya masih utuh, tali-talinya masih kuat. Bannya hanya sedikit bergeser karena pemilik penginapan ini mendorongnya untuk memberikan tempat bagi kuda lainnya.

………

Sedikit sekali dari penduduk yang masih berkeliaran di jalan-jalan. Penjaga-penjaga masih berlalu lalang saat Ivander dan Cazar tiba di pelataran timur. Lapangan timur memang tak dijaga dari bawah, melainkan dari setiap menara dan jalur pijakan di atas tembok kastil yang menyatu dengan penjara. Busur-busur panah memenuhi punggung mereka.

Sesungguhnya, merekalah ‘setan-setan’ yang berkeliaran di tempat hampir serupa kuburan ini.

Sebuah pasak di sana membuat Ivander mengingat kembali saat itu. Mengingat saat kepala Bader dipajang di sana membuat lehernya ngilu. Sekarang benda itu sudah lenyap dari sebuah pasak kayu di dekat pisau guillotine yang mengatup ke bawah. Bercak darah mengering di sisi berkilaunya.

Mereka berhenti sejenak untuk bersandar di tembok. Mereka bersembunyi di balik batu-batunya yang kokoh dan tebal. Penjagaan di bangunan penjara seketat itu, mustahil untuk ditembus begitu saja.

“Sekarang, bagaimana, Cazar?” tanya Ivander sambil tersenyum. Senyum itu melambangkan kebingungannya, dan keheranannya. Dia heran mengapa dia sendiri bisa membulatkan tekadnya untuk memasuki penjagaan yang sangat ketat ini.

“Ini tak sebanding dengan penyusupan kami di Benua Tengah. Walau begitu, meremehkan mereka bukanlah cara yang baik untuk menusuk ke dalam pintu itu.” Cazar mengajak Ivander untuk sedikit mengintip dari sela tembok. “Pintu itu…satu-satunya lubang di dinding penjara ini selain lubang-lubang angin kecil berteralis baja yang letaknya jauh dari jangkauan siapapun.”

“Kau tahu banyak, Cazar?”

“Itu struktur dasar penjara di benteng. Setiap orang dari kami tahu hal ini.” Cazar mengeluarkan sebilah pisau dari pinggang belakangnya. “Nah, sepertinya sekarang saat yang tepat untuk berjalan di bawah bayangan atap bangunan ini. Kita coba, Ivander.”

Udara dingin di malam hari membuat keringatnya tak bisa menetes. Ivander tahu dirinya rentan terlihat. Tubuhnya merapat ke dinding, kemudian dia mengikuti bagaimana Cazar melakukan tugasnya. Pria itu begitu cekatan, tak tampak guratan ketakutan di wajahnya. Bandingkan dengan Ivander yang takut untuk berbuat kesalahan hingga memilih tertinggal jauh dari Cazar.

Degupan-degupan jantung itu dipadu dengan kegelisahan.

Sangat terasa bagi Ivander. Kali ini dia bersama seseorang yang kemampuan bertarungnya belum jelas. Berbeda sekali dengan dia dan Deven. Mereka saling mengenal kelemahan dan kekuatan rekannya, itu yang membuat mereka solid dan kompak. Sementara sekarang, dia belum pernah sekalipun melihat Cazar menangani musuh. Bertemu pun baru saja.

Ivander membuang kecemasannya dengan satu hembusan nafas pelan.

Cukup jauh dari sini, pintu yang dituju sudah terlihat jelas. Bayangan mereka bersatu dengan lebih panjangnya bayangan atap tinggi bergenting.

Semua seperti berjalan lancar di waktu Ivander mulai bisa menguasai situasi, mendadak dua orang penjaga berhamburan keluar dari pintu. Mereka tergesa-gesa untuk berbicara pada penjaga pintu lainnya. Entah apa yang mereka bicarakan, itu membuat mereka tampak panik. Tak pedulikan itu, yang jelas ini membuat Cazar dan Ivander mendapat kesempatan emas.

“Tahanan wanita itu hilang!” teriak penjaga lainnya sambil menarik nafas pendek-pendek. Dia berteriak pada para pemanah di atasnya. Kepanikan penjaga itu seakan tertular pada para pemanah. Satu di antara mereka berlari ke menara terdekat.

Tahanan wanita…Alexa?

Bunyi lonceng dari atas menara penjara menggema keras. Kericuhan pun terjadi dalam sekejap. Dari balik bayangan hitam, Ivander menyaksikan penjaga-penjaga keluar bagai kuda-kuda dari kandangnya, dari berbagai lorong. Saat dia menyadari, Cazar sudah di sampingnya, mendorongnya untuk segera menyingkir dari tempat itu. Wajah mereka pun segera berpindah ke tempat yang tersinari cahaya bulan dan obor yang menerangi lorong kedua terdekat dari penjara. Langkah mereka tak berhenti hingga di situ, justru lebih cepat berlari mengikuti kesibukan para penjaga.

Rombongan itu berlari ke arah barat, berlawanan dengan letak penjara. Cazar dan Ivander memperhatikan sekeliling mereka, dimana banyak orang telah terjaga dan menonton keributan di luar. Mereka tak terlalu peduli, hanya keluar dari rumahnya dengan mata setengah terbuka, memandangi dua orang yang berlari tergesa-gesa, lalu mereka hanya diam. Mereka menunggu lonceng itu selesai berdentang untuk bisa tertidur lagi. Sifat tidak peduli itu terbentuk akibat perlakuan buruk Mayor Arbal pada mereka. Walaupun Sladur sangat tegas, tapi para pengadil di sini tak ubahnya seperti boneka yang dikendalikan oleh Mayor Arbal. Pekerjaan para penjaga Sladur tak boleh dicampuri oleh penduduk, atau bisa-bisa penduduk itu yang berbalik menjadi tersangka. Itu yang menyebabkan semalam—saat Serigala Pasir beraksi di bar—tak ada penduduk yang dengan sukarela membantu menghentikan aksi nekad mereka.

Lorong lebar yang dilalui Ivander dan Cazar membawa mereka berlari lurus dan berbelok ke kiri, sebelum mencapai pusat kota Sladur. Sebuah lapangan bundar yang luas dengan air mancur dan patung megah di tengahnya.

Lonceng itu terus menjalin suara hingga ke Sladur tengah.

Tempat dimana Ivander dan Cazar berdiri sekarang, Sladur bagian tengah, dimana mereka berhenti mengejar para penjaga yang mulai terpecah belah. Di sekitar air mancur, Cazar menarik baju Ivander dan berhenti.

“Tidakkah kau mencium sedikit bau yang berbeda dari para penjaga? Hidungku tidaklah setajam Amon, tapi aku bisa merasakannya.” tanya Cazar. Kepalanya terus menoleh ke sana kemari.

“Katakan, Cazar. Jangan sampai Alexa lolos lagi kali ini!”

“Aku tak bisa menyalahkan penciumanku, Ivander. Yang jelas, seorang Bounty Hunter tengah membawanya pergi. Baunya seperti jubah hitam yang tak jarang tersiram darah, dan sepatu kulit, bukanlah pejuang, melainkan pasti seorang Pemburu Bayaran. Batu-batu keras yang menyusun benteng sudah terlalu takut terhadap Mayor Arbal, mereka tak memberitahuku kemana perginya kedua manusia itu.”

“Bounty Hunter?” Ivander memandang ke arah yang sama dengan arah pandangan Cazar—timur. “Ada apa di sana?”

Cazar terdiam tak menjawab untuk sejenak. Dia membandingkan arah Timur yang tengah dilihatnya dengan kesibukan para penjaga mengobrak-abrik tiap rumah penduduk di sisi sebaliknya. Sepertinya terjadi kepanikan di antara para penjaga, hingga mereka bertindak tanpa arah.

“Perketat penjagaan di tiap gerbang! Jangan biarkan mereka keluar dari tempat ini!” teriak orang yang kelihatannya paling berkuasa di sana. Para penjaga pun berhamburan ke empat penjuru mata angin, tepat ke seluruh gerbang.

“Benarkah ini semua?” gumam Cazar perlahan. “Mengapa mereka langsung bereaksi ke arah barat? Apakah udara mengkhianatiku dengan mengatakan kalau orang yang kita cari justru belum beranjak jauh dari penjara timur?”

“Kita akan berbalik?” Ivander menanti jawaban pasti itu. “Cazar?”

Dalam hati Cazar, dia percaya kalau alam tak pernah berbohong. Alam tidak pernah mengkhianatinya. Kepercayaannya terhadap kehadiran Dewa Lameth di setiap elemen alam telah meyakinkannya untuk hidup dari bimbingan alam, sejak dia meninggalkan dunia kelamnya sebagai pembantai. Masa lalu Cazar Balamug adalah seorang pembunuh bayaran, bukan pemburu bayaran. Dia tega menghabisi siapa saja demi seseorang yang mau membayarnya dengan harga tinggi. Dia berbeda dengan Kusko yang memiliki satu Tuan, saat itu Cazar tak mengikatkan dirinya pada seseorang. Suatu saat, seseorang berpangkat tinggi membayarnya untuk menghabisi salah satu orang penting dalam pemerintahan. Malangnya, saat itu juga Cazar ditangkap. Misinya gagal. Dia disiksa beberapa malam. Kesadisan pada malam-malam itu sungguh menyakitkan baginya. Setelah itulah, dia dibuang ke Grendith, dengan tujuan menyesatkannya ke Ragnarok. Tapi para pemerintah salah, Cazar diselamatkan oleh Témpust. Bersama pria itu, dia mendapatkan kepercayaan dirinya kembali, hingga dia sepenuhnya mengabdi menjadi tangan kanan Témpust. Dia ingat itu juga, sebagai hadiah dari alam baginya.

Tapi pada Bader, pada apa yang terjadi pada Bader. Mengapa alam tak mengingatkan Bader untuk berjaga-jaga? Atau mungkin Bader bereaksi sama sepertinya saat ini? Kebimbangan pada tuntunan alam itu sendiri.

“Berbalik, Ivander!”

Ivander tak bisa mengerti maksud kalimat itu. Dia memperlihatkan wajah penuh tanda tanya. Ivander pikir ada sesuatu di punggungnya yang ingin Cazar tengok, maka itu Cazar menyuruhnya berbalik. Dia juga mengira Cazar dan dia akan berbalik ke timur. Yang mana yang benar?

“Maksudku, para penjaga itu tak tahu ada dimana mereka berdua sekarang. Tapi kita tahu, dan kita diberitahu. Berterima kasihlah pada kebaikan alam.” Cazar tersenyum melihat wajah Ivander yang perlahan mulai mengerti kata-katanya. “Cepatlah, kita tidak ingin kehilangan mereka lagi.”

Ivander menggangguk tegas.

………

Mereka berlari berputar arah. Melewati banyaknya rumah-rumah berpintu terbuka, penggeledahan tengah berlangsung secara keras. Wajah-wajah letih penduduk terlempar keluar dari pintu rumah. Sejalan dengan itu, Cazar dan Ivander terus menyusuri lorong lebar ini hingga sampai kembali di pelataran timur. Tempat itu penuh dengan dinginnya udara yang tak terhirup—hanya ada sedikit penjaga di sana.

Pertanyaannya, dimanakah Alexa dan Bounty Hunter itu sekarang?

Daerah timur amatlah luas. Bukan hanya sebuah tempat berisi lapangan lebar, tanpa bangunan, yang membuat seluruh makhluk hidup di sana bisa nampak. Mereka sempat mencari-cari beberapa saat. Cazar berharap keyakinanya benar. Keyakinan itu akhirnya terbayar juga, saat seorang penunggang kuda dengan kereta kudanya melintas tepat di jalan lurus menuju pusat Sladur. Benar, penyamaran apa lagi yang cocok untuk saat ini kalau bukan seorang pedagang dari negeri nun jauh di sana.

Cazar pun sependapat.

Dia menahan kereta kuda itu dengan menghalangi jalurnya. Penunggang kuda itupun menghentikan derapan kecil laju kudanya.

Tak ada suara yang keluar dari mulut pria bertudung abu-abu itu. Dia duduk di atas keretanya sambil memegang cambuk dan tali kekang kedua kuda. Kepalanya tertunduk menebar misteri. Setelan bajunya serupa para pedagang asli dari Benua Timur. Sederhana, abu-abu kusam, tertutup, dengan baju agak kebesaran.

“Bicaralah. Kami pikir kau sejalan dengan kami,” ujar Cazar membuatnya menegakkan kepalanya.

Kain warna gelap itu disingkapnya, hingga Cazar mengenali siapa di balik tudung abu-abu itu, seorang Bounty Hunter yang namanya telah tersebar di ke empat benua. “Aku tahu, Cazar. Aku tahu itu…” jawabnya.

“Sudah kuduga alam tak pernah mengecewakan, Saudaraku. Lama waktu berselang sejak saat itu.”

Jelas sekali, Bounty Hunter ini tidak asing bagi para pejuang kebebasan.

“Ivander, ini temanku dan seluruh pejuang kebebasan. Namanya Mithrillia Kusko. Dia memang, adalah Bounty Hunter.”

Mendadak Ivander terpatri pada wajahnya. Pria berjubah abu-abu di depannya ini seakan tak asing lagi, tapi entah siapa. Nama Kusko memang terdengar saat dia, Bader dan Témpust menempuh perjalanan ke kemah para bandit untuk merespon peringatan dari Reape. Saat itu wajah Kusko juga tak terlihat jelas, hanya rambut sepanjang lehernya yang menutupi wajahnya yang lengket dengan darah. Tapi wajah ini…familiar baginya, apakah salah jika dia bertanya pada seseorang yang dianggapnya mirip dengan manusia dari dimensi asalnya?

Apakah masuk akal jika seorang musisi menjadi bayangan masa lalunya akan Kusko?

Akhirnya dia ingat satu nama, Trevor Starlight, yang dia ingat sebagai idolanya semasa remaja. Pria itu menjadi alasan bagi Ivander untuk menyelinap diam-diam pada malam kedua di Alpha Operation demi konsernya. Gitaris solo itu memiliki segudang alasan bagi Ivander—dan jutaan penggemar lain—untuk mengidolainya. Dia mampu bermain baik, semua teknik telah dipertontonkannya di khalayak ramai, diramu dengan melodi yang menyayat dan aransemen yang luar biasa. Itulah Trevor Starlight.

Tapi malam itu menjadi konser terakhir Trevor dalam karirnya. Setelah menyelesaikan bait terakhir dari lagunya, Trevor pergi tanpa pamit pada para penontonnya. Kekecewaan penonton tak pernah ditanggapinya, karena setelah itu, nama Trevor hanya menjadi sejarah dalam industri musik Eropa. Dia hilang secara misterius, tanpa pernah memunculkan wajahnya di atas kotak mika berisi kepingan CD lagi.

Bukan dia, Ivander tak yakin, yang pasti mustahil Trevor adalah Kusko.

“Naiklah, Ivander, Cazar. Kita akan keluar dari pintu timur,” tawar Kusko ramah. Lamunan Ivander terurai oleh tawaran itu.

Dia teringat, kuda dan kereta kuda mereka tertinggal di White Horse Inn. Di sana ada Silver Wind, haram untuk ditinggalkan.

“Maaf, Kusko. Bisakah kau menjauh dari sini? Para penjaga sedang berbondong-bondong memperketat penjagaan di keempat pintu gerbang, termasuk gerbang timur ini,” kata Ivander. “Lagipula kuda-kuda kami tertinggal di gerbang utara. Sangat tidak mungkin bagimu untuk beriringan dengan kami ke gerbang utara.”

“Dan Kusko, isi kereta kudamu itu, Alexa bukan?” tanya Cazar. Sedikit dia berusaha menengok ke belakang kereta dari depan hembusan nafas kuda cokelat tua itu, seakan bisa dilihatnya dari depan.

“Hari yang panjang dan melelahkan baginya. Dia tertidur lelap, dan demi keselamatannya, aku terima saran Ivander. Akan kutunggu kalian di gerbang barat.”

Kusko menarik kembali kain abu-abu kusam yang digunakannya untuk menutupi wajah. Dia juga mengenakan kalung penanda pengunjung benteng Sladur, tapi tak satupun penjaga yang mencurigainya karena wajah. Itu merupakan pertanda kalau Sang Bounty Hunter, Mithrillia Kusko, hanya dikenal melalui namanya, bukan parasnya.

………

Dua kereta kuda bertemu di depan bangunan-bangunan batu yang berjejer rapi. Jajaran bangunan ini adalah daerah pusat pemerintahan Sladur, dimana aliran pajak dan suplai kebutuhan penduduknya diatur. Tempat yang paling ramai dengan orang penting, namun dengan lebih sedikit penjagaan dibandingkan ketiga gerbang lainnya.

“Sudah semuanya, Cazar?” tanya Kusko menengok sedikit ke belakang.

“Belum, tapi tak terambil. Tak mungkin bisa kudapatkan, hal terakhir yang sesungguhnya paling penting,” jawab Cazar lemah dan penuh kesedihan.

“Bader? Aku melihatnya tadi pagi. Sungguh menyesal aku terlambat menyelamatkannya,” timpal Kusko. “Berdiam di sini justru akan membuat rohnya gusar. Mari, Cazar, Ivander. Aku tunjukkan jalan menuju Elgar, satu-satunya kaum Elf yang masih sudi menginjakkan kakinya di bumi timur.”

“Elgar? Mengapa nama itu baru kudengar?” gumam Cazar begitu pelan.

“Itu karena dia sendiri, Cazar,” sahut Kusko. Cazar sendiri tak mengharapkan Kusko mendengar kata-katanya. “Elgar akan menunjukkan padamu alasan untuk mempertahankan Alexa sekuat tenagamu. Hal yang sama seperti yang dikatakan Tuanku kepadaku.”

“Tapi Goat Hill dalam peperangan. Mereka butuh kami,” sanggah Cazar.

“Tak lebih dibutuhkan dibandingkan kalian akan membutuhkan Alexa. Percayalah, kalian tak akan melewatkan satupun kekalahan di selatan sana, karena saat ini bukanlah saat bagi Témpust untuk kalah.”

Cazar coba untuk percaya pada Kusko, juga pada Merdante yang entah sekarang berada dimana.

Mereka tiba di depan lempengan kayu tebal dan besar, yang dikunci oleh baja-baja kuat. Sepasang bidang kayu itu memjulang tinggi dengan potongan gelondong kayu persegi yang tebal sebagai kuncinya. Sisi kanan dan kirinya terbangun atas dinding-dinding batu dengan jalur pijakan para pemanah dan menara pengintai yang menjulang melebihi ketinggian dinding itu. Sebuah sungai memisahkan kota dan daerah terakhir di sisi barat. Jembatan kokoh menjadi penghubung antara keduanya. Di ujung jembatan, sudah berjaga sepuluh orang berpanji Sladur, dengan tombak dan perisainya.

Tombak-tombak hitam itu memalangi mereka.

“Tak seorang pun boleh keluar dari Sladur malam ini. Itu keputusan dari Mayor Arbal,” kata satu dari mereka.

“Tapi kami pedagang. Kau pasti tahu bila kami terlambat memasuki Gabion satu hari saja, harga sutera-sutera kami bisa turun beberapa keping Krall,” kilah Kusko.

Cepat sekali kata-kata itu membuat si penjaga ragu. Kemudian dia berbisik pada penjaga lainnya. Tapi jelas tampak ketundukan mereka pada Mayor Arbal, menjadikan keputusannya tetap pada semula.

“Keputusan Mayor Arbal tak bisa kami langgar. Hukuman bisa mendatangi kami, dan mengejar-ngejar kalian. Berbaliklah dan tunggu hingga malam ini berakhir…”

Pundaknya ditepuk oleh penjaga lain. Kemudian mereka berbisik lagi pelan-pelan. Sepertinya sebuah saran diucapkan di sana. Lalu penjaga yang berbicara tadi mengangguk-angguk setuju. Dia kembali pada tiga orang yang menanti jawabannya.

“Bisa kami lihat isi dari kereta yang kalian bawa? Mungkin malam ini kalian tetap tak bisa keluar, tetaplah tenang jika yang kalian bawa bukanlah gadis itu.”

Kusko mengkerut. Dia tak menduga hal ini bisa menjadi lama dan berbelit-belit. Alexa ada di dalam dan tak selembar suterapun yang bisa menutupi-nutupi keberadaannya. Seperti meminta persetujuan dahulu dari Kusko, Cazar terjun dari atas kudanya.

Untuk sesaat dia pandangi delapan orang penjaga lain di depan gerbang. Ini seperti kesempatan lain untuk mempengaruhi dua orang yang tampaknya lemah di hadapannya. Kemudian dia maju beberapa langkah untuk membangun kenyamanan obrolan penting malam itu.

Ivander dan Kusko mulai gusar.

Mereka menyentuh gagang pedang secara bersamaan, seperti bersiap pada sebuah bentrokan. Dengan sabar dinantinya hasil kasak-kusuk antara Cazar dan penjaga. Kedua makhluk penganggu itu mengangguk setuju. Tanda bagi Ivander dan Kusko untuk melepaskan genggaman dari gagang pedang.

Cazar mengiringi dua penjaga itu ke belakang kereta kuda lain, dimana tumpukan harta tersimpan di sana. Dia berhasil menyogok kedua penjaga ini dengan seluruh harta di kereta itu. Wajah-wajah berbinar mereka membuat Cazar ingin muntah, tapi dia pun turut senang kesepakatan itu tercapai.

“Baiklah. Seluruhnya untuk kami dan kalian boleh pergi sekarang.”

“Terima kasih atas kerjasamanya, Tuan-Tuan.”

Sebuah pisau mengiris tali yang mengikat kereta itu dengan Hemer. Mereka diijinkan pergi dari Sladur. Tangan penjaga tadi melambai-lambai ada penjaga pintu, isyarat untuk membuka gerbang besar itu.

Selanjutnya adalah memotong jalur Lembah Gardner, kediaman para Burandal-Burandal yang tak berpihak pada siapapun. Mereka adalah para kurcaci-kurcaci jelek dan liar. Mereka tak senang diperintah. Itu yang membuat jalan terbentang di hadapan mereka amatlah berbahaya. Hutan-hutan kering berkayu kehitam-hitaman menyambut mereka saat beberapa langkah dilayangkan dari titik akhir Sladur. Hutan itu terus sambung-menyambung ke kanan dan ke kiri, sejauh yang bisa dilihat. Hutan itu sudah mati belasan tahun lalu, namanya Hutan Kematian, penuh oleh ranting-ranting kurus kering dan akar-akaran besar.

“Tak ada jalan lain, Kusko?” tanya Cazar ragu-ragu.

“Dekat dan berbahaya, Cazar. Karena saat ini, waktu lebih berharga daripada mengkhawatirkan bagian tubuhmu yang patah, seperti diriku,” katanya sambil turun dari atas punggung Drustgab.

Pria itu menengok ke belakang, pada kereta kudanya. Dia menyadari medan akan semakin berat untuk ditempuh dengan membawa kereta kuda. Akar-akar bangkai pohon bisa menjegal roda kayu kereta kuda itu. Kusko membuka tirai keretanya dan menarik keluar tubuh seorang gadis yang tengah tertidur lelap. Untuk sementara Kusko menyandarkan tubuh Alexa pada sebatang pohon kering di dekatnya. Ivander melihat gadis itu, di bawah bulan, Ivander bersumpah dia mengenal gadis itu sebelumnya.

“Kusko…itukah Alexa?” serunya tergagap-gagap.

“Sedari awal, dialah yang kalian cari-cari. Maaf aku tak bisa menghantarkannya ke Goat Hill saat pertama kali dia tiba di dunia ini.”

Ivander menjejakkan kudanya perlahan mendekati Drustgab. Dia memandang wajah molek gadis yang tengah tertidur dengan wajah letih dan kusam itu.

“Jangan perhatikan dia seperti dirimu baru melihat seorang wanita satu kali seumur hidupmu, Ivander. Sebenarnya aku juga tak begitu yakin mengapa kehadirannya menjadi begitu penting di sini, bagi Tuanku, bagi Tammil Ibrahim juga. Tapi aku akan berusaha melindunginya sampai aku tahu hal apa yang terus menjadikannya berharga. Bahkan jika kau yang barusaha melakukan hal buruk padanya, pedangku yang akan menebasmu dahulu,” ujar Kusko. Dia menyambilnya dengan memotong penghubung antara kereta kudanya dengan Drustgab.

Mereka pun membiarkan Silver Wind pergi dalam kedamaian. Walaupun belum pasti kuda itu akan kembali ke Goat Hill, setidaknya kebebasan adalah haknya sekarang.

“Memang, dunia itu sangat sempit…" gumam Ivander.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Kusko.

Ivander menggeleng, sambil melebarkan senyumnya, sedikit geli. "Bahkan saat kita sudah menjejakkan kaki di dimensi lainnya, dunia tetap terasa sempit ya, Alexa?” celetuk Ivander tanpa memandang Kusko. Gadis yang terakhir ditemuinya di dekat mesin penjual minuman, kini berada dekat dengannya lagi.

Akhirnya dia bisa tahu nama gadis itu.

Kusko mengangkat tubuh Alexa ke atas kuda bersamanya. Kemudian ia membungkus Alexa dengan selimut bulu beruang hitam yang tebal, dan menyandarkan gadis itu di dadanya. Ditahannya tubuh Alexa dengan tangan kiri yang ditempelkan di punggungnya. Kedua kaki Alexa berada di sisi kiri kudanya. Bukanlah hal berat untuk membawa orang seperti Alexa dalam satu kuda yang sama.

Melewati Hutan Kematian—jalan pintas menuju lembah Gardner—ketiga penunggang kuda itu berharap ada sesuatu dari balik bibir seorang Elf bernama Elgar yang membuat perjuangan mereka tak sia-sia.

Informasi Pemindahan Blog The Myth Trilogy

Sepertinya tak perlu kata sapaan, sudah lama sekali blog-novel The Myth Trilogy tidak di-update
Terhitung hari ini, atau sejak postingan ini di-publish, blog yang beralamat di http://trilogyofmyth.blogspot.com/ tidak lagi akan di-update, karena saya lupa e-mailnya. (-_-;)
Untuk itu, bila ingin terus membaca kisah selanjutnya dari The Myth Trilogy, blog ini akan menyediakannya dari bab 11 yang terputus di tengah jalan, sampai buku satu selesai.

Salam Penulis